"Apa yang Bunda lalukan?" Mendongak menatap Elena yang bersedekap dada, sementara Vivian, adik iparnya sedang duduk di kursi.
"Kau mau meracuni aku dan bunda!" Menatap tajam Haura.
"Maksud kamu apa, Vi? Mas Harun juga tadi memakan hidangan yang ... Aaakkkhhhh." Haura tersungkur ke lantai karena tidak bisa mengibangi tubuhnya yang baru saja mendapat dorongan dari Elena. Wanita itu meringis karena tangannya menyentuh beling sehingga mengeluarkan darah.
Belum lagi gamis yang dia kenakan telaj kotor. Perlakuan seperti ini sudah sering Haura dapatkan, dan yang wanita itu lakukan hanya bersabar tanpa mengadu.
"Beraninya kau menjawab setiap perkataan kita. Harusnya kau sadar diri posisimu hanya anak pembantu di rumah ini!" Hardik Vivian menunjuk Haura yang berusaha berdiri.
Keduanya seakan tidak punya hati, tanpa lelah menyiksa Haura dengan tujuan wanita itu tidak betah dirumah, dan pergi.
Elena hanya diam memperhatikan bagaimana putri kesayangannya membentak dan menyakiti Haura.
Sejak awal Elena dan Vivian tidak pernah menyukai keberadaan Haura di rumah ini. sebab wanita itu hanya menghalangi segala rencana yang telah mereka susun untuk merebut harta kekayaan Edelweis.
"Kau ingin merebut harta kak Harun bukan, makanya kau tetap tinggal meski dia tidak mencintaimu!" Todong Vivian mencengkram dagu Haura, sehingga wanita itu tidak bisa berdiri. Terlebih Haura baru saja sembuh dari demamnya selama beberapa hari.
"Untuk apa aku merebut harta mas Harun? Sementara aku adalah istrinya," jawab Haura berusaha bangkit meski tangan mulai mengeluarkan darah.
"Vivian sudah! Wanita tidak tahu malu sepertinya mana mengerti. Kau, buatkan kami sarapan yang enak!" Menarik Haura kasar agar berdiri.
"Tapi Bunda, tangan aku ...."
"Luka kecil seperti itu saja kau mengeluh, sini!" Menarik tangan Haura kasar dan mencuci tangan yang terluka.
"Lima menit semua harus jadi tanpa bantuan pelayan!" Usai mengeluarkan titahnya, Elena dan Vivian meninggalkan meja makan.
"Harusnya yang menikah sama kak Harun itu aku." Vivian mengerutkan bibirnya kesal, terlebih jika mengingat bagaimana Harun memanjakan Haura.
"Sabar sayang, bunda akan pastikan Haura keluar dari rumah ini karena diusir oleh Harun. Hanya kau yang pantas bersanding dengannya." Elena tersenyum licik.
Jika dia tidak bisa merebut harta keluarga Edelweis melalui suaminya, maka dia akan mengurasnya melalui anak tirinya sendiri.
Dengan menikahkan Vivian dan Harun, maka tentu saja harta kekayaan keluarga Edelweis akan jatuh ke tangannya, terlebih jika putrinya berhasil hamil dan menjadi cucu pertama di rumah ini.
"Bunda, bagaimana kalau Haura mengadukan perlakuan kita?"
"Jika ingin, dia sudah melakukannya sejak lama Sayang. Dia itu terlalu lugu dan sok suci."
***
Haura menangis sambil menyiapkan makanan untuk Vivian dan Elena. Rasa sakit yang dirasakan tangannya tidak sesakit yang dirasakan hatinya saat ini. Entah kapan kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangganya bisa dirasakan. Yang bisa dilakuakn oleh Haura adalah menangis dan menahan rasa sakit hatinya dari apa yang dilakukan oleh mertuanya.
Haura Ariana, wanita berusia 24 tahun yang telah menikah dengan dokter spesial saraf yang bernama Harun karena dijodohkan, sebagai balas budi Ayah Harun pada orang tuanya yang menjadi pembantu selama bertahun-tahun di kediaman Edelweis. Meski begitu, hubungan keduanya baik-baik saja selama hampir satu tahun ini. Hanya saja dia mempunyai mertua yang sering kali mencampuri rumah tangannya.
Hal itu sering kali membuat Haura tertekan di rumah suaminya sendiri, meski begitu, dia tidak pernah melaporkan apapun pada sang suami karena tidak ingin menghancurkan keluarga Harun-suaminya.
Haura menghapus air matanya kasar dengan hijab yang dia gunakan, sementara sebelah tangannya sibuk mengaduk nasi goreng di atas wajan.
Tidak pernah sekalipun Haura mengeluh akan penderitaan yang dia rasakan, karena rasa bersyukurnya jauh lebih banyak sebab mendapatkan suami yang sangat menyayanginya.
Mungkin Haura akan mundur jika yang memperlakukannya buruk adalah Harun. Namun, suaminya sangat baik, jadi tidak ada alasan untuk Haura pergi apalagi bersedih berada di rumah mewah tersebut.
Usai menyiapkan sarapan untuk mertua juga adik iparnya, Haura kembali ke kamar untuk mengobati beberapa luka di tangannya. Kepala wanita itu juga sedikit pusing, mungkin karena baru saja sembuh dari demam.
Dia menbaringkan tubuhnya di ranjang, sambil memengang ponsel di tangannya. Semua pekerjaan rumah telah dia kerjakan, dan waktunya istirahat.
Baru saja akan melihat-lihat sesuatu di ponselnya, benda pipih itu berdering. Wajah yang tadinya sedih berubah menjadi berseri-seri mengetahui siapa yang menghubunginya.
Langsung saja Haura menjawab panggilan dari suaminya. Dia mengucapkan salam sebelum bicara hal yang lain.
"Mas kok telpon? Memangnya sudah tidak sibuk?" tanya Haura dengan kening mengkerut. Pria itu baru pergi beberapa jam, tapi sudah menelpon.
"Aku ingin memastikan kamu baik-baik saja, Ra. Jangan kerjakan apapun, bahkan hanya untuk menyiram bunga di dalam depan rumah! Kamu itu baru sembuh." Wajah Harun terlihat khawatir di seberang telpon, Haura dapat melihatnya karena sedang melakukan Video call.
Wanita itu hanya tersenyum menanggapi ocehan yang berbentuk perhatian dari Harun.
"Aku tidak mengerjakan apapun mas, lihatlah." Mengarahkan kamera pada penjuru kamar. "Aku sedang ada di kamar, istirahat sesuai perintahmu."
"Baguslah, aku tutup dulu telponnya."
Haura menganggukkan kepalanya, meletakkan ponsel di sisi ranjang setelah sambungan telpon terhubung.
Entah kenapa rasa kantuk menyerang Haura secara tiba-tiba padahal baru jam 10 pagi, masih terlalu dini untuk tidur. Namun, apa boleh buat matanya tidak bisa diajak untuk bekerjasama.
Wanita itu menuju alam mimpi di jam yang seharusnya dia mengerjakan sesuatu yang bermanfaat.
Ketengan Haura hanya bertahan sebentar saja karena teriakan Elena yang mengema di depan pintu kamar. Wanita itu buru-buru bangun meski kepalanya terasa sangat pening.
"Maaf Bunda, aku ketiduran," ucap Haura setelah membuka pintu secara terburu-buru.
Dia mendapatkan tatapan tajam dari mertuanya, membuat Haura menunduk takut.
"Maaf-maaf, apa kau mengira dengan kata maaf semuanya akan selesai? Bisa-bisanya kau bermalas-malasan di kamar padahal baru jam 10 pagi, tidak usah sok manja. Baru demam 3 hari gaya sudah selangit. Harun itu perhatian bukan cinta sama kamu, tapi takut kamu sakit parah dan jadi beban!" Elena terus mengomel tanpa memikirkan perasaan Haura yang mungkin saja terluka karena ucapannya.
Wanita itu menarik tangan Haura kasar menuju gudang yang sangat berantakan. Mendorong Haura masuk sehingga gamisnya mengenai debu yang sangat tebal.
"Bersihkan sampai mengkilap, kalau perlu jil*at!" ujarnya. Rasa kesal Elena benar-benar dia luapkan sekarang setelah menahan beberapa hari karena Harun terus berada di rumah dan memanjakan istrinya yang sedang sakit.
...****************...
Balik lagi sama otor bucin😍, jangan lupa subscribe, like dan komen di setiap part ya.
Cinta kalian
Mendapat perlakuan buruk dari ibu mertua juga adik iparnya, tidak membuat Haura begitu bersedih. Wanita itu sudah terbiasa akan sikap Elena dan Vivian yang diluar batas wajar.
Haura juga tidak berniat mengadukan apapun pada suaminya karena tidak ingin Harun bersedih dan merasa bersalah sebab telah gagal menjadi suami yang baik untuknya. Terlebih pria itu baru saja kehilangan ayahnya beberapa bulan yang lalu.
Sekarang, Haura lagi-lagi ada di dapur untuk menyiapkan makan siang buat suaminya, tentu saja akan mengantar sendiri ke rumah sakit sekalian memberi semangat untuk Harun. Semua Haura lakukan untuk menebus beberapa hari yang dia lewatkan memanjakan pria itu karena tiba-tiba demam.
Senyuman wanita berpakaian syar'i itu mengembang sempurna setelah berhasil memasukkan makanan ke rantang nasi. Dia merongoh saku gamisnya untuk mengambil ponsel, lalu menghubungi Harun untuk meminta izin dan memberitahukan bahwa dia akan datang.
Hanya dalam satu deringan, panggilannya sudah dijawab oleh suami tercinta.
"Mas Harun sibuk?" tanya Haura setelah sambungan telpon terhubung.
"Tidak, kenapa? Apa kamu demam lagi Ra?" Suara harun terdengar khawatir di seberang telpon.
"Aku cuma bertanya Mas. Ini aku mau nganter makan siang kerumah sakit, boleh tidak?"
Senyuman Harun di seberang telpon langsung merekah mendapat perhatian kecil dari istrinya. Menikah karena perjodohan ternyata tidak selamanya buruk, terbukti hubungan Harun dan Haura baik-baik saja.
Saling menerima satu sama lain, juga menyelesailan masalah dengan kepala dingin.
"Boleh, mas tunggu ya. Oh iya kesini naik taksi saja jangan angkutan umum, matahari terlalu panas!"
"Iya mas."
Haura lantas memutuskan sambungan telponnya, lalu segera bersiap-siap untuk pergi agar Harun tidak menunggu terlalu lama atau kelaparan. Wanita itu Menenteng rantang nasi dengan senyuman mengembang.
Lagi dan lagi langkah Haura harus berhenti karena cegatan Elena di ambang pintu rumah. Wanita paruh baya yang berstatus sebagai mertuanya bersedekap dada sambil meneliti penampilan Haura dari ujung kaki sampai kepala.
"Mau kemana kamu?" tanyanya sinis. Kebencian selalu menyertai sorot mata Elena jika bicara pada Haura.
"Mau nganterin makan siang buat mas Harun, Bunda. Setelahnya aku balik untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah."
"Tidak usah caper kamu sama Harun, putraku tidak mungkin menyukai anak pembantu sepertimu! Selama ini dia baik hanya karena bentuk tanggung jawab dan menjalankan amanah dari ayahnya." Tanpa izin, Elena langsung merebut rantang di tangan Haura lalu menyerahkan pada Vivian yang berdiri di sampingnya
"Vi, antar ini kerumah sakit. Dan kau?" Menatap Haura tajam. "Sana pergi!" Mendorong pundak Haura kasar.
Wanita dengan pakaian Syar'i itu hanya bisa mengalah untuk menghindari pertengkaran satu sama lain. Segera membalik tubuhnya untuk menuju kamar.
Sabar Haura, siapapun yang mengantar makanan itu tidak masalah yang penting mas Harun makan.
***
Rumah sakit
Harun terus saja senyum-senyum sendiri membayangkan istrinya akan datang untuk membawakan makan siang. Pria itu telah membereskan ruangannya agar terlihat lebih rapi, tidak lupa menyemprotkan parfum agar aroma obat tidak terlalu menyengat.
"Bahagia banget, ada apa nih?"
Harun mendelik melihat sahabatnya Ezra tiba-tiba masuk tanpa permisi.
"Istri aku bakal datang, sana keluar!"
"Ekhem, sekarang sudah berani mengakui istri. Kapan nih ngungkapin perasaanya? Perempuan juga butuh kepastian dan kata-kata bro, bukan hanya sekedar tindakan."
"Besok."
"Kenapa harus besok, sekarang saja bagaimana? Mumpung Haura berkunjung. Lagian ya sekarang mah sulit nemu perempuan sesempurna dia, Run. Udah cantik, baik hati, solehah lagi." Ezra menaikkan turunkan alisnya menggoda. Pria itu tahu betul sahabatnya sedang malu-malu kucing untuk mengakui perasaanya pada Haura, padahal mereka sudah menikah satu tahun kurang 1 hari.
"Besok aniversarry pertama kami, aku bakal ngungkapin perasaan saat itu tiba. Jadi keluar dari ruangan aku sekarang juga! Haura sebentar lagi sampai!"
Harun beranjak dari duduknya lalu mendorong Ezra keluar dari ruangan. Sahabatnya itu memang sedikit ceplas-ceplos jika mengatakan sesuatu, tapi pandai menjaga rahasia.
Sepeninggalan Ezra, Harun terus memandangi pintu berharap seseorang membukanya dengan cepat.
Dokter saraf bernama lengkap Harun Chaiden Edelweis itu, sebenarnya sudah menyukai istrinya sejak lama. Hanya saja belum mengungkapkan perasaan karena belum menemukan waktu yang tepat.
Dan mungkin besok adalah waktu yang tepat untuk Harun mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.
"Akhirnya kamu datang juga ...." Ucapan Harun terhenti ketika yang datang malah adiknya.
"Bukannya Haura yang bakal datang, Vi?" Kening Harun mengkerut.
"Awalnya gitu kak, tapi kak Haura tiba-tiba ada urusan penting yang entah apa, jadi dia yang menyuruhku untuk membawanya," jawab Vivian menarik kursi lalu duduk tepat di samping Harun. Wanita itu tersenyum sangat manis hanya untuk menarik perhatian kakak tirinya. Sementara Harun tampak acuh.
"Kenapa, kak Harun tidak suka aku yang datang?"
Harun mengelengkan kepalanya. "Tidak, hanya saja aku mengira Haura yang akan datang. Makasih ya Vi, untuk makan siangnya."
Vivian mengangguk dan menyajikan menu yang dimasak oleh Haura di atas meja. Sesekali melirik Harun yang tampak lebih tampan dengan jas dokter di tubuhnya.
Harusnya yang menjadi istri kak Harun itu aku, bukan Haura. Lihat saja, sebentar lagi kak Harun akan menjadi milikku.
"Haura!"
Merasa namanya di panggil oleh seseorang, Haura lantas bangkit dari duduknya lalu membuka pintu kamar. Mengerjap perlahan melihat Elena berada di depan kamarnya. Raut wajah wanita itu tidak sesinis tadi, bisa dikatakan sedikit lunak.
"Kenapa Bunda?"
"Ini bunda ada arisan sama teman-teman, tapi tidak bisa datang soalnya perut bunda sakit banget. Tolong wakilin ya Nak," bujuk Elena sambil mengelus perutnya dan sesekali meringis.
"Ta-tapi Bunda, aku tidak terlalu kenal sama teman-teman Bunda. Takutnya juga nanti malah ...."
"Datang saja buat wakilin setelah itu pulang." Elena sedikit memaksa, membuat Haura yang tidak tegaan pada orang lain lantas menyetujui keingin mertuanya.
Sebenarnya Haura takut dan sedikit gugup jika harus bertemu tengan teman-teman mertuanya yang sedikit pedas jika membicarakan orang lain. Namun, tidak ada pilihan untuknya, hanya ini yang bisa dia lakukan agar tidak mendapatkan bentakan dari Elena.
"Baiklah, aku siap-siap dulu." Wanita itu masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap dan berpakaian lebih tertutup lagi daripada dirumah.
Tidak ada salahnya membantu mertuanya yang sedang tidak enak badan. Meski mendapat perlakuan tidak baik, bukan berarti Haura harus membalasnya bukan?
"Alamatnya jangan lupa kirim ke aku ya Bunda," ucap Haura ketika akan meninggalkan rumah.
"Sudah bunda kirim."
"Baiklah."
Sambil menunggu taksi yang dia pesan, Haura mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi sang suami. Jika keluar rumah biasanya Haura selalu meminta izin pada suaminya. Terlebih seorang istri yang sholeha tidak boleh keluar rumah tanpa izin dari suaminya, meski jika yang meninggal orang tua sekalipun.
Baru saja dia akan mendial kontak Harun, ponselnya sudah direbut oleh Elena. Haura lantas menatap mertuanya bingung. "Kenapa bunda mengambil ponselku? Aku ingin mengabari mas Harun dan ...."
"Tidak perlu mengabari Harun, lagian dia pulang malam. Nanti bunda yang mengatakan kalau kamu pergi mewakili bunda!" Cegah Elena dengan raut wajah tidak suka. Menurutnya Haura itu terlalu cari perhatian pada Harun.
"Tapi Bunda, seorang istri tidak pantas keluar rumah tanpa izin dari suaminya."
"Ck, bawel banget sih kamu. Keburu teman-teman bunda pada pergi. Sana buruan!" Suara Elena naik satu oktaf.
Haura menghela nafas panjang dan akhirnya mengalah. Wanita cantik itu meninggalkan rumah tanpa izin dari sang suami.
Ini pertama kalinya Haura keluar rumah tanpa izin dari Harun.
Semoga mas Harun mengerti nanti.
Haura naik ke taksi yang akan mengantarnya ke alamat yang akan di tuju. Lama wanita itu di atas taksi karena drama macet yang berkepanjangan sebelum akhirnya sampai di sebuah hotel yang cukup ramai akan pengunjung.
Terlihat sangat sederhana untuk ukuran ibu-ibu sosialita seperti Elena.
"Apa alamatnya sudah benar? Masa arisan di hotel?" gumam Haura terus memperhatikan hotel yang sepi akan pengunjung.
Haura lantas menghubungi mertuanya untuk memperjelas sesuatu, dan jawaban Elena tetap sama.
Alamatnya sudah benar, kamu masuk saja apa susahanya!
***
Jam 7 malam, akhirnya semua pekerjaan Harun di rumah sakit telah selesai. Pria itu bersiap-siap untuk pulang bertemu istrinya.
Menjadi pemilik rumah sakit tidak membuat Harun bekerja sesuka hati di rumah sakit Edelweis, terlebih tanggung jawabnya sebagai seorang dokter harus dia laksanan.
"Mau pulang bro?" sapa Ezra di lobi rumah sakit.
"Hm." Menganggukkan kepalanya.
"Makan malam dulu kita!" ajak Ezra.
"Nanti sama istri aku!"
Harun lantas meninggalkan Ezra dilobi rumah sakit sendirian, mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumah untuk bertemu istri tercinta.
Kening Harun mengkerut setelah sampai di rumah dan tidak mendapati suara orang mengaji di kamarnya.
"Bunda, Haura kemana?" tanya Harun ketika sudah mencari istrinya di dalam kamar.
Elena yang ditanya segera berdiri bersama Vivian. Kedua wanita itu menampilkan wajah sok tidak tahu. Padahal jelas-jelas Elena yang menyuruh Haura pergi tapi tidak kunjung kembali sampai sekarang.
"Tadi siang bunda lihat dia keluar rumah terburu-buru setelah menyuruh Vivian mengantar makanan, dan sampai sekarang dia belum pulang juga Nak. Bunda juga sebenarnya khawatir sama Haura, terlebih dia wanita yang baik hati dan sedikit polos." Memperlihatkan ekspresi seolah-olah khawatir di depan Harun, hanya untuk mengambil simpati saja, juga menghindari rasa curiga.
"Ponselnya tidak aktif," keluh Harun cemas. Pria itu mengusap wajahnya kasar.
"Iya kak, aku juga sudah telpon kak Haura sejak tadi, tapi tidak aktif. Aku takut kak Haura kenapa-napa."
Harun menghela nafas panjang, tanpa menganti baju pria itu akhirnya meninggalkan rumah untuk mencari istrinya yang entah pergi kemana.
Sementara Elena dan Vivian tersenyum sangat lebar setelah kepergian Harun. Keduanya bertos ria dan berteriak kegirangan.
"Sebentar lagi akan ada bencana di rumah ini, Bunda!" Vivian memekik senang.
"Pastinya, dan kitalah yang diuntungkan. Pasti malam ini Harun akan mengusir Haura dari rumah. Kasian banget anak pembantu itu!"
"Aku sudah tidak sabar menikah dengan kak Harun, Bunda."
Vivian mencak-mencak seperti anak kecil sakin bahagianya. Kedua wanita licik itu sudah mempersiapkan semuanya sejak pagi dan dengan mudahnya Haura masuk ke perangkap yang mereka pasang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!