NovelToon NovelToon

Star! Istri Kecil

Awal

Tak pernah terpikirkan oleh diriku, akan dihadapkan pada situasi ini. Dimana aku akan bersanding dengan perempuan lain untuk menjadi istriku.

"Abby jangan bercanda!!! Alif sudah punya pilihan Alif sendiri!!''

Abby diam seribu bahasa, sementara gadis itu ketakutan bersembunyi dibekalang Abby.

Tubuh yang kecil dengan rambut terurai jelas ia bukan tipe Alif. Ia mencintai perempuan solehah.

"Pokoknya satu minggu lagi kalian menikah!! Abby tak ingin bicara lagi!!" ucap Abby kemudian menuntun gadis itu berjalan bersamanya.

"Yaa Allah cobaan apa ini ... Apa yang harus kulakukan!!''

Rahmi gadis itu baru mengalami tragedi kini ia dihadapkan disituasi yang juga memilukan.

"Rahmi ... Jangan takut, Nak. Abby tau ini sulit ... Tapi Abby gak punya pilihan," ucap Abby sedih, ia menunduk dan mengusap kepala gadis itu.

''Abby ... Bisakah saya jadi istri yang baik?'' tanya Rahmi menunduk.

Abby tersenyum dan berkata, "Tentu, Nak."

....

"Yaa allah apa yang Abby pikirkan, Dia tiba-tiba menjodohkanku. Bagaimana aku akan mengatakannya pada aminah, ia akan kecewa. Satu minggu? Abby pasti gila!! Abby pikir pernikahan itu hal enteng!''

"Oke!! Intinya kamu dijodohin dan gak suka?"tanya Dika.

"Yah ... Pokoknya gitu deh," ucap Alif menjatuhkan dirinya disofa.

"Coba bujuk Abbymu, bahwa kamu sudah punya calon ... ''ucap Dika menawarkan solusi.

"Telat!! Nikahnya minggu depan!!''

"Huhk, kok gitu?" tanya Dika terkejut.

"Mana gw tau!!! Kepalaku saja rasanya mau pecah!!''

"Tenang dulu!!! Mending kita sholat dulu ... Bentar lagi adzan," ucap Dika menenangkan Alif yang bagaikan bom waktu sekarang.

...

"Assalamualaikum."

Alif memasuki rumah yang tampak sepi itu, mungkin Abby masih ada dimasjid. Saat kaki Alif melewati dapur, ia melihat gadis yang akan dijodohkan dengannya tengah berusaha mengambil sesuatu dari lemari atas, bahkan ia sudah menggunakan kursi namun tak juga sampai. Alif menghela napas, ia membantu gadis itu mengambil garam yang dari tadi berusaha ia ambil.

''Kamu mau ngapain?" tanya Alif.

"Saya mau masak, saya dengar kalau orang menikah harus bisa masak ... Jadi Ami mau belajar masak," ucap gadis itu dengan menunduk takut.

Alif mengusap rambutnya dengan gusar ia kembali bertanya, "kamu bisa masak?"

Dengan ragu Rahmi menggelengkan kepalanya pelan.

"Kamu mau masak apa?"

Rahmi tampak diam, ia tidak tau apa-apa. Jangankan memasak bahkan ia tidak tau jenis-jenis sayur.

Alif menghela napas, ia meletakkan garam itu dan menyuruh Rahmi untuk menunggu Abby pulang baru memasak.

"Masaknya nanti aja, tunggu Abby pulang. Nanti dia kasih ajar."

"Kamu gak bisa kasih ajar?" Tanya Rahmi pelan bahkan hampir nyaris tak terdengar.

Alif mengalihkan pandangannya kemudian ia mengatakan, "Aku sibuk."

...

Rahmi terus menunggu kedatangan Abby hingga Abby datang membawakan oleh-oleh cemilan untuknya.

''Rahmi, nungguin Abby, yah?"

Rahmi mengangguk, kemudian dengan gugup ia bertanya, ''Aby ... Ajarin Rahmi memasak ... Boleh, yah?"

Abby diam sejenak kemudian ia tersenyum dan mengusap kepala Rahmi. Ia mengajak Rahmi kedapur untuk belajar memasak.

Rahmi tampak bahagia, ia belajar dengan begitu antusias.

Dari kejauhan Alif memandang dengan perasaan bersalah. Namun ia langsung menepi perasaannya itu. Baginya menikahi gadis itu sama saja dengan neraka untuknya. Karna dihatinya telah bediri seorang perempuan solehah yang ia pilih sendiri.

...

Hari-hari terasa begitu cepat, Rahmi mulai belajar jadi istri yang baik. Ia juga mulai belajar memakai kerudung, gadis itu seolah tidak lelah melakukan berbagai pekerjaan.

''Rahmi!!''

Gadis itu segera meletakkan sapunya dan berlari keluar.

''Lama banget!!!'' ucap Alif dengan kesal. Rahmi menunduk dalam, ia takut dengannya. Ia berusaha sebisa mungkin jadi seorang istri yang baik karna takut Alif akan memarahinya.

''Maaf.''

Alif tidak peduli apapun yang dikatakatan Rahmi, ia berjalan kemobilnya. Bila bukan perintah abbynya, ia malas pergi dengan Rahmi.

Dengan cepat Rahmi ikut dibelakang Alif.

''Jangan duduk disebelahku!!! Duduk dibelakang sana!!'' ucap Alif memandang sinis.

Rahmi turun, dan duduk dibelakang. Hatinya sakit, tapi ia harus tetap tersenyum.

Mereka akan pergi kebutik untuk memilih baju yang akan dipakai saat mereka menikah nanti.

Kini Rahmi, gadis itu dihadapkan dengan para pengawai tokoh yang ramah, ramah dalam artian lain. Rahmi hanya tersenyum paksa, ia sadar dirinya tidak pantas bersanding dengan Alif yang seorang derajatnya lebih tinggi darinya.

''Sudah?!'' tanya Alif.

Rahmi mengangguk pelan, meski ia tidak suka dengan gaun pengantinnya ia harus tetap bersikap seolah ia suka, karna yang memilihnya adalah Alif.

Alif memandang Rahmi, satu kata yang keluar dari bibirnya, membuat hati Rahmi lagi-lagi tersakiti.

''Jelek.''

Rahmi membalasnya dengan senyuman palsunya. Alif yang melihat senyum itu, jadi kesal, moodnya hancur.

''Jalan!! Lambat banget!''

Dengan tergesa-gesa Rahmi berjalan ke mobil.

''Ahk!!''

Rahmi menatap kakinya yang teriris batu kecil, ia terjatuh tepat didepan mobil.

''Rahmi!!''

Rahmi langsung berdiri naik kemobil. Ia berusaha menahan air matanya, dan darah yang mengalir deras membuatnya kesulitan bergerak. Ia sekeras mungkin menyembunyikan darah yang mengotori pakaiannya. Ia bersyukur Alif tidak melihatnya jatuh. Apa yang akan dikatakan Alif jika melihatnya jatuh, ia pasti akan dimarahi habis-habisan.

Setelah sampai dirumah, Alif berbalik kebelakang, ia melihat Rahmi tengah tertidur dengan nyenyak. Dengan kesal Alif melemparkan barang ke kepala Rahmi.

''Bangun!! Turun!!''

Rahmi menggusap kepalanya yang terasa nyeri, karna benda yang dilemparkan Alif terbuat dari besi.

''TURUN!!''

Mendengar bentakkan Alif dengan ketakutan, ia turun dari mobil. Ia mengambil gaunnya dengan tergesa-gesa. Diteras, ia bertemu abby, namun dirinya lebih takut pada Alif. Rahmi melewati abby dengan begitu cepat ia berlari kekamarnya.

Brak.

Rahmi menutup pintu kamarnya. Hatinya sakit, ia memeluk lututnya erat.

''Momy, dady ... Ami kangen,'' ucap Rahmi pelan.

Kehangatan keluarga, kasih sayang, semuanya hilang, dunianya bagaikan nereka. Ingin rasanya ia kabur sejauh-jauhnya, sebaik apapun abby padanya, ia tetap tersiksa berada disini. Dirinya seolah tercekik setiap saat.

...

''Alif!!''

Alif berbalik menatap Abbynya.

''Bersikap baiklah pada Rahmi!!!''

Alif menyinggungkan senyumnya, ia berkata dengan sinis, '' memang apa yang Alif lakukan?''

Abby menggertakkan giginya, sebelum emosinya memuncak, abby memilih untuk pergi.

''Ingatlah ini, Alif. Rahmi, anak itu tidak salah apa-apa. Ini semua salah Abby,'' ucap Abby pelan.

Alif diam seribu bahasa. Dirinya terasa sesak semenjak kedatangan gadis itu, dunianya menjadi kacau. Ia bahkan lelah dengan berbagai pertanyaan yang orang-orang tanyakan kenapa ia mau menikahi Rahmi. Sementara orang-orang tahu ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan solehah yang berbading terbalik dengan Rahmi.

...

''Rahmi?''

Rahmi tersadar, ia segera kekamar mandi mencuci wajahnya. Meski tidak terlihat begitu jelas, Rahmi tetap khawatir abby bertanya kenapa matanya bengkak.

Rahmi buru-buru menutupinya dengan bedak.

Dengan perlahan Rahmi membuka pintu, menampakkan Abby yang datang dengan berbagai makanan ditangannya.

''Untuk Ami?''

Abby mengangguk, kemudian abby berjongkok, abby sempat terkekeh.

''Rahmi masih belum terbiasa pakai jilbab?''

Abby memperbaiki Jilbab Rahmi yang berantakan. Rahmi menyengir, ia tidak tau yang bener seperti apa karna ini pertama kalinya memakai jilbab.

Rahmi menerima makanan itu dan berpamitan sama Abby.

Brak!

Rahmi menutup pintu, ia melihat apa yang ada didalamnya. Tanpa terasa Rahmi tersenyum, meski tidak seperti orang tuanya. Ditempat bagai nereka ini, ada hal yang dapat membuatnya bertahan.

Pernikahan

Rahmi menatap pantulan dirinya dicermin, rasanya ingin menangis. Ia tak mau menikah, tapi tak ada hal yang dapat membuatnya menolak. Berbagai ucapan selamat, malah terasa bagaikan tusukan pisau untuknya.

''Tegang, yah?''

Rahmi menengok, gadis disebelahnya adalah sepupu Alif.

''Mau jalan?''

Rahmi berpikir sejenak, kemudian ia mengangguk pelan. Rahmi dan gadis itu berjalan bersama, ia hanya menggelilingi taman sekitar.

''Hiks.''

Rahmi memandang sosok gadis yang menangis begitu terseduh-sedu dibawah pohon mangga dengan memandang sebuah foto ditangannya.

''Kita, pulang Rahmi.''

Rahmi diam, ia malah melangkah mendekati gadis itu.

''Kenapa kau menangis?''

Gadis itu memincingkan matanya.

''Namaku Aminah. Seseorang akan menikah dengan kekasihku ... Lantas bagaimana aku tidak menangis, bahkan ia yang mengambil kekasihku memandangku dengan sedih.''

Rahmi diam seribu bahasa, ia menunduk begitu dalam. Ingin rasanya ia mengatakan, kalau begitu kau saja yang menikahinya. Namun ia diam, lidahnya tercekat. Bila ada jalan agar ia keluar dari neraka. Kini jalan itu ada didepannya.

Grebb

Zahra menarik Rahmi, ia menarik gadis itu begitu cepat menuju kamarnya, seolah ia tau apa yang dipikirkan Rahmi.

''Dengar Rahmi! Seberapa benci kau pada Alif. Ingat abby! Abby ... Ia sakit! Ia punya janji pada orang tuamu! Ini jalan satu-satunya!! Alif laki-laki yang tidak tau diri itu, tidak akan pernah tau!''

Rahmi diam, ia tidak tau. Lebih tepat-nya ia takut, takut akan dunia yang dihadapinya setelah menikah dengannya.

''Rahmi!! Aku mohon!! Demi Abby! Bertahanlah!''

Rahmi memeluk Zahra. Dirinya menangis, ia takut, takut, sangat takut.

''Aku Zahra!!! Seorang dokter ... Aku tidak bisa berbohong lagi ... Diriku terus memberontak, setiap melihat kondisi abby semakin hari ... Ia semakin digerogoti oleh penyakitnya!! Dan Anaknya yang tak tau diri itu sama sekali tak menyadarinya!! Aku benci dirinya, tapi aku juga benci pada diriku yang takut mengatakan kebenarannya ... Ini rahasia kita. Aku mohon Rahmi!! Tidak-kah kau melihat abby bahagia? Dia bahagia kau akan menikahi anaknya!!''Perlahan seiring perkataan yang diucapkannya, Zahra berlutut didepan Rahmi.

''Aku mohon!! Abby sudah bagaikan ayah pengganti untukku!! Aku tidak bisa melihatnya semakin menderita,'' ucap Zahra dengan air mata yang menetes.

Rahmi menepuk-nepuk bahu Zahra, ia tersenyum dengan senyuman yang begitu menyakitkan.

''Iya, demi Abby. Rahmi akan bertahan,'' ucapnya pelan tapi matanya tak bisa berbohong bahwa yang dikatakannya adalah hal yang paling menyakitkan.

Syut!

TV diruangan itu menyala menampakkan acara yang ada diluar sana, dibalik kamar yang dihiasi dengan indah ini. Diluar sana tampak megah, terlihat laki-laki dengan iris mata tajamnya tengah mengucapkan janji pernikahan.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Muhammad Alif Al-Lail bin Muhammad Chandra dengan Rahmi afifah bin Khaidra al-mahesa dengan mahar seperangkat alat sholat ,Emas seberat 80 gram dan perhiasan seberat 50 gram dibayar tunai."

''Sah?''

''SAH!!''

Zahra melihat kearah Rahmi, pandangan gadis itu tampak kosong. Rahmi seolah kehilangan cahaya hidupnya, gadis itu diam, diam dan diam.

Kini acara mereka akan bertemu, tapi Rahmi masih belum berubah. Ia seolah menolak kenyataan yang ada didepannya.

Rahmi mendekati Alif, ia mencium tangan seseorang yang bagaikan kehidupan nerekanya, Alif mencium puncuk kepala Rahmi, yang selalu dianggap sebagai awal dari kesengsaraan hidupnya.

Semua orang bersorak, tapi tidak untuk kedua insang yang seharusnya bahagia itu. Malah bagi mereka seperti sebuah benderang perang yang memilukan.

Abby, hanya Abby yang tampak begitu bahagia. Ia menyambut para tamu dengan wajah berseri, ia bahkan bercanda dengan para sahabat lamanya. Sangat berbeda dengan kedua mempelai, Rahmi dan Alif tampak kaku. Alif selalu bersikap dingin dan Rahmi yang takut selalu menunduk.

''Selamat,'' ucap Aminah menatap kedua mempelai yang kini menyandang status suami-istri.

''Iya,'' ucap Alif singkat. Ia memalingkan wajahnya, hatinya terluka. Namun apa yang bisa diperbuat. Melawan ayahnya? Ia tak sebejat itu untuk perang dingin dengan keluarga yang satu-satunya ia punya, selama penolakan pun, ia sudah merasa bagaikan anak durhaka pada Abbynya. Tapi ia tetap tidak bisa menerimanya.

Aminah terdiam, ia memandang Rahmi cukup lama. Gadis itu tidak salah ... Takdir-lah yang patut ia salahkan, gadis itu bahkan ketakutan. Alif pasti membencinya, gadis itu juga memiliki mimpi. Terlihat diwajah Rahmi ia tidak bahagia, Aminah yakin ia juga terpaksa.

''Jangan menyakiti istrimu. Meski kau tidak mencintainya ... Anggap saja ini permintaan dari orang yang kau pernah cintai,'' ucap Aminah, ia memandang dengan kepedihan. Meski ia menolak untuk mengasihani Rahmi yang merebut kekasihnya, tapi Hatinya tak sanggup memandang gadis yang selalu menunduk dengan mata yang memperlihatkan luka yang begitu dalam. Ia membuang segala egonya hanya untuk kebahagian orang lain.

Alif diam, suaranya tercekat. Ingin rasanya ia berteriak mengatakan bagaimana bisa kau berpikir seperti itu disaat orang yang duduk disebelahku bukan kau, malah seorang perempuan yang jauh dari agama. Teganya kau mengatakan hal semenyakitkan itu padaku ... Dimana hatimu? Setelah yang kita lalui bersama ... Kita tinggal menunggu persetujuan abby, lalu kita bisa menikah. Sejuta katanya tercekat dengan perasaan yang menyakitkan, mungkin sebelum ia berhasil mengeluarkan semuanya ia sudah menangis lebih dahulu.

''Kalau begitu, Aku pamit ... Sekali lagi selamat,'' ucap Aminah kemudian berlalu pergi.

Meski ingin menyapa Rahmi, hatinya tetap tidak akan kuat. Ia memilih untuk pergi, bila hatinya sudah dapat menerima segalanya. Ia akan menemui gadis itu, ia akan menjadi temannya. Meski mereka akan memandangnya dengan aneh, ia ingin menjadi teman gadis itu. alasannya sederhana, mata yang selalu kesepian itu membuatnya tak bisa menahan diri. Biarlah ia dikatakan munafik, egois, naif, ia tak peduli.

Alif duduk, dengan pandangan yang tajam. Rahmi menelan ludahnya, ia takut, Alif sedang dalam keadaan tidak begitu baik.

Seseorang dengan stelan rapi datang membawa hadiah dengan asistennya. Sebenarnya ia datang karna iseng, ia datang karna hanya terlalu bosan dengan pekerjaan dikantornya yang menumpuk.

''Selamat, Tuan Alif.''

Alif berdiri menyambut tamu itu, senyumnya mengambang, senyum seorang profesional.

''Mana istrimu?''

Alif terpaku cukup lama, wajah orang itu tampak berkerut, ia melirik gadis yang selalu menunduk itu.

''Ini istriku, Rahmi,'' ucap Alif singkat.

Rahmi maju kedepan memperlihatkan wajahnya.

''Halo.. Salam kenal,'' ucap Rahmi tersenyum canggung.

Orang itu diam, ia terkejut wajahnya tampak sangat terkejut. Alif mengalihkan pandangannya.

''Star ... .''

Rahmi memiringkan kepalanya bingung, ia menatap orang dihadapannya dengan khawatir.

''Benar!! Aku tidak salah!!!''

Ia berjongkok berlutut dihadapan Rahmi, senang bertemu dengan Anda!!!'' ucapnya dengan lembut.

Alif terkejut, ia memerhatikan mereka dengan bingung. Tapi terbesit rasa kesal dihatinya, dirinya masih kesal mengingat kekasihnya malah berwelah asih dengan orang yang mengambil posisinya.

''Ah! Anu ... Ma-maaf.'' Rahmi mundur beberapa langkah.

''Ahk! Maaf saya mengagetkan Anda ... Kalau bisa bertemu lagi, itu adalah takdir,'' ucapnya berdiri dengan senyuman yang menawan. Kemudian ia pergi meninggalkan pertanyaan dikepala gadis itu.

....

Waktu berlalu begitu cepat, Rahmi gadis itu menatap ruangan milik suaminya.

Ia telah mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai.

Rahmi berjalan kekasur, ia naik untuk tidur lebih awal.

''Apa yang kau lakukan?''

Rahmi menengok, ia menunduk melihat Alif yang menatapnya dengan tajam.

''Ti-tidur,'' gugup Rahmi.

Alif memicingkan matanya, ia menunjuk kearah sofa dan dengan sinis berkata, ''Kamu tidur disofa sana.''

Rahmi menahan air matanya yang akan jatuh dengan perlahan ia berjalan kesofa, merebahkan tubuhnya yang kecil.

Malam semakin larut, tapi Alif sama sekali tidak bisa tidur. Meski matanya mengantuk, seberapa lama ia terpejam kesedarannya tidak bisa hilang. Mungkin ini hukaman untuknya karna membuat istrinya tidur disofa.

Alif bangun, ia memandang tubuh mugil yang kedinginan itu. Terbesit rasa bersalah, Alif bangun ia mengambil selimut dalam lemari dan menyelimuti Rahmi.

''Apa yang kulakukan?!!'' gumam Alif menggusap rambutnya kasar.

Ia kembali keranjang, sudut bibirnya terangkat tanpa ia sadari dikala Rahmi tidak lagi kedinginan. Alif kembali memejamkan matanya, dan kali ini ia sudah dapat tertidur dengan lelap.

Pergi

Terkadang kita harus membuang untuk merelakan, merelakan untuk menerima. Hal menyakitkan akan terasa lebih melegakan bila menyingkirkannya.

Kini Rahmi kembali dihadapkan dalam hal menyakitkan dalam hidupnya. Pelindungnya satu-satunya akan jauh darinya, suaranya tercekat. Ia kembali dengan dirinya yang terbedaya dengan sebuah alasan kuno yang tak bisa dilawan dari masa ke masa, 'Ia tak punya kekuatan untuk melawan.'

''Alif!! Kau mau kemana membawa koper?!!'' tanya Abby.

Sebuah pagi yang harusnya bahagia, malah bagaikan kehancuran. Pagi-pagi Alif bangun mengemasi barangnya dan menarik Rahmi tanpa belas kasih, meski gadis itu masih tertidur lelap.

''Kerumah yang baru!!!'' Alif menyentak tangan Abbynya, ia telah melupakan sosok penuh welah kasih yang merawatnya seorang diri.

''Nak!! Jangan tinggalin Abby!!!'' ucap Abby dengan mata berkaca-kaca.

Alif memalingkan wajahnya, ia seolah tau dirinya akan terjatuh dan keputusannya akan goyah bila menatap mata laki-laki yang ada didepannya.

Rahmi diam, ia merutuki dirinya. Ia teringat apa yang diucapkan zahra. Abby sakit, tapi ia tidak berdaya, ia tak memiliki keberanian untuk mengatakannya. Bibirnya selalu tercekat dikala dirinya ingin berteriak, bahwa sosok yang telah tua ini sakit.

Tapi lagi-lagi ia hanya diam sambil memeluk Abby, dengan perasaan yang tidak ingin berpisah.

''Rahmi!!''

Rahmi berjalan pelan meninggalkan Abby, ingin rasanya tinggal tapi dirinya tetap tidak berani untuk melawan. Abby menatap Rahmi sambil tersenyum, sudut bibirnya mengucapkan sebuah kata yang membuat Rahmi rasanya ingin menangis sejadi-jadinya.

Abby bilang padanya Abby baik-baik saja.

''Lelet!! Jalan yang cepet!!''

Brak!

Alif membanting pintu mobilnya, membuat Rahmi terkaget-kaget. Sekeras mungkin ia menahan suaranya, agar Alif tidak marah lagi.

Pelindungnya telah pergi, sekarang siapa yang akan melindungi gadis yang jauh dari rumah itu. Gadis yang menempuh jalan sulit, gadis yang tak pernah merasakan susahnya kehidupan.

Perjalanan terasa begitu panjang, kediaman yang damai tenang mulai berganti dengan perkotaan yang berisik. Rahmi, ia terkagum saat melewati gedung-gedung pencakar langit itu yang entah sudah berapa lama berdiri, namun sang pendiri sudah tak berdiri lagi.

''Turun!''

Rahmi turun secara perlahan, Alif membuka bagasi mobil membawa kopernya. Ia melirik Rahmi dan dengan kesal melemparkan koper kecil untuk gadis itu.

''Itu kopermu!''

Rahmi sekuat tenaga menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.

''Jalan yang cepat!!''

Rahmi berlari dengan sekuat tenaga sambil menarik kopernya, Rumah yang begitu besar dan megah itu kini tampak cemerlang dimata Rahmi.

''Wah ....''

Sebuah kata kekaguman malah membuat Alif kesal, baginya Rahmi adalah kesialan yang dimilikinya.

Brak!

''Kamu!! Mulai saat ini!! Bersihkan tempat ini sampai bersih!!! Saya tidak mau lihat ada debu!!Jangan pernah anggap dirimu sebagai istriku!!! Kamu adalah pembantu!!''

Alif melempar kopernya, ia tanpa perasaan menatap sinis Rahmi. Kelembutan, kebaikan, cahaya, semua sudah hilang dari laki-laki yang ada dihadapan Rahmi. Segala yang diajarkan Abby-nya dari kecil hilang begitu saja.

''B-baik ...,'' ucap Rahmi dengan menunduk dalam.

Tidakkah Alif kasian dengannya? Gadis yang memiliki tubuh kecil, yang tangannya sangat kecil dan rapuh akan bekerja bagaikan kuli untuk rumah yang harus dibersihkan oleh 20 pelayan. Tapi dia tidak peduli, hatinya beku oleh takdir yang tak bisa diterimanya.

Brak!!

Pintu yang terbanting keras, meninggalkan Rahmi seorang diri dalam rumah yang gelap dengan sejuta hal yang membuat gadis itu tersiksa bagaikan dineraka.

Rahmi menarik koper Alif dengan susah payah menuju kamar terdekat. Saat membuka pintu, debu bertebaran dimana-mana.

''Huk,huk!!''

Rahmi menutup hidungnya, ia berjalan mengelilingi rumah itu, mencari alat pembersih. Pertama-tama ia harus membersihkan kamar itu.

Setelah dua jam berlalu gadis itu akhirnya menemukan sebuah kain dan air. Rumah itu belum bisa terpakai, belum ada air yang menyala, ia mengambil air dari kolam yang ada diluar dan kain yang didapat dari rak tertinggi yang ada didapur.

Rahmi bekerja tanpa lelah, ia membersihkan kamar itu dengan keras agar tidak ada debu disana.

''Ah!! Syukurlah, sudah bersih!!'' ucap Rahmi. Akhirnya ia bisa memasukkan koper Alif dan juga kopernya.

Gadis itu menatap seluruh seisi rumah, berapa lama akan bersih dengan dirinya seorang.

...Rahmi, percayalah pada kuasa Allah, tuhan yang telah menciptakan kita tak akan selalu diam. Ia maha melihat, lagi maha mendengar....

''Pasti bisa!!'' ucap Rahmi menyemangati dirinya.

Dengan keras Rahmi kembali berushaa membersihkan seisi rumah. Menit berganti jam, hari yang terang kini terlihat gelap.

Ckelk!

Alif menatap seisi rumah, matanya memincing saat melihat Rahmi yang kucel dan terlihat kotor membersihkan lantai sambil menunduk-nunduk.

''Kau ... Kenapa belum bersih?!!''

Bentakkan Alif membuat Rahmi tersentak, dirinya buru-buru berdiri menghadap Alif.

''Ma-maaf ... Ka-kak.''

''Kak? AKU BUKAN KAKAKMU!!! Dengar yah!! Kau pembantu disini!!!''

Rahmi memegang dadanya yang terasa sesak, dirinya terasa begitu tersakiti.

''Maaf, t-tuan,'' ucap Rahmi dengan menunduk begitu dalam.

''Tuan? Siapa Tuanmu!!'' ucap Alif kesal, perkataan yang Rahmi ucap tiada satupun yang membuat hatinya merasa lebih baik.

''Mana koperku?'' tanya Alif mengedarkan pandangannya.

''Dikamar sana.'' Dengan takut Rahmi menunjuk kamar yang ada diujung.

Alif berlari dengan cepat, dengan hati-hati Rahmi mengikutinya dari belakang.

''Kau menaruh koperku dikamar pelayan?!!!''

Kemarahan yang tak beralasan, hanya mencari sebuah kesalahan untuk melampiaskan kepada orang yang dianggap bersalah karna tidak memiliki orang lain untuk disalahkan, maka manusia akan memilih yang paling lemah dan tidak akan melawan.

''Ma-maaf.''

Tubuh Rahmi gemetaran, dirinya takut menatap laki-laki yang dalam kemarahan.

''Tidak becus!! Tidak berguna!! Jangan harap bisa tidur tanpa membersihkan seluruh rumah ini!!!''

Deg!

''Ahk, B-baik.''

Manusia, terkadang takut melawan yang lebih terlihat kuat darinya, sehingga mereka tidak pernah melawan. Padahal diamnya malah membuat mereka diinjak-injak. Rahmi lagi-lagi hanya diam, menuruti dan tak melawan karna ia tidak memiliki kekuatan untuk melawan, ia tak memiliki siapapun.

Brak!!

Alif melempar koper Rahmi keluar dari kamar tersebut dengan sinis ia berkata, ''Kamu tidur diluar, jangan pernah berharap kamu bisa tidur disebuah kamar!!''

Dengan gemetaran Rahmi mengambil kopernya, ia berjalan lunglai dan kembali membersihkan rumah itu.

Detik, menit, jam, hari. Kini matahari sudah terlihat akan terbit, tapi sosok gadis masih bekerja dengan begitu keras. Bekerja tanpa imbalan, bekerja bagaikan budak, bekerja bagaikan seorang yang akan mati bila tidak melakukannya.

Disisi lain, seseorang tertidur dengan mata yang hitam, ia tidaklah tidur dengan nyenyak. Sejuta cara ia mencoba tidur, namun mata itu tak bisa tidur. Akhirnya ia minum obat tidur, tidurpun ia merasa tak nyaman.

Sementara Rahmi gadis itu bernapas lega disaat semua sudah bersih. Ia menarik kopernya kearah dapur, ia melebarkan sebuah kain. Ia tidur diatas kain itu, diujung dapur yang tak akan dilihat siapapun.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!