NovelToon NovelToon

Terpaksa Jodoh

Bab 1 | Aku Tidak Hamil!

"Aku suami kamu, Dira!" Arsyil merapatkan tubuhnya pada tubuh Nadira yang tersudut di dinding. Mata pria itu menatap ke dalam mata sang istri dengan marah karena wanita itu meminta bercerai darinya setelah mengetahui dirinya tidak hamil. 

Jantung Nadira berdegup kencang, rasanya ingin melompat ke luar. Dia tidak tahu rasa apa yang menghampirinya sehingga dia begitu gugup berada sedekat itu dengan lelaki yang sudah satu bulan menikahinya. Lebih tepatnya pernikahan yang tak diinginkan. Karena mereka dijebak oleh orang yang tidak diketahui. 

Seingat Nadira, sebulan yang lalu dia diajak oleh Luna ke pesta ulang tahun sepupu Luna yang diketahui bernama Nindy. 

Di tengah-tengah pesta, dia ditinggal sebentar oleh Luna ke kamar kecil. Tak lama setelah, itu seorang pelayan datang dan memberikan segelas jus padanya. Setelah minum jus itu kepalanya terasa pusing dan tidak tahu apa-apa lagi. 

Alangkah terkejutnya ia ketika terbangun sudah berada di sebuah kamar hotel tanpa busana dengan seorang lelaki di sampingnya. Nadira sedikit lega setelah mengetahui orang yang tidur dengannya adalah Arsyil, lelaki yang baru dia kenal selama enam bulan. Meski, dalam hati ia merasa kecewa karena peristiwa itu.

Karena mengira mereka sudah melakukan hubungan terlarang, Arsyil pun bertanggung jawab dengan menikahi Nadira. Nadira setuju karena ia takut jika dirinya hamil karena kejadian malam itu. 

"I-iya. Aku tahu," jawab Nadira terbata, tidak berani menatap mata yang kini memperhatikannya. 

"Ta-tapi, aku gak hamil. Itu artinya kita gak melakukannya malam itu, kita hanya dijebak seolah-olah kita melakukan hubungan badan."

"Apapun itu, kita sudah menikah. Kita sudah sah menjadi suami istri. Aku suamimu dan kamu istriku!" tegas Arsyil. 

"Ta-tapi, kita ini cuma teman. Gak ada cinta diantara kita."

"Siapa bilang?" 

Nadira memberanikan diri menatap lelaki yang kini yang sudah menjadi suaminya. "Apa maksudmu?" 

"Aku cinta sama kamu Nadira Karima!" Semakin mendekatkan wajahnya. 

"Aku ingin memiliki anak dan menua denganmu," tambahnya. 

"Ta-tapi aku gak bisa. Kamu tau, kan? aku punya pacar, Erza. Lagi pula aku mau menikah denganmu karena berpikir akan hamil. Dan ternyata aku tidak hamil. Kita bisa berpisah dan kembali ke kehidupan masing-masing seperti semula."

"Lupakan pacarmu! Sekarang akulah suamimu, Arsyil Arshaka Narendra!" 

"Gak bisa. Aku mencintai Erza, selama satu bulan aku jadi istrimu aku terus memikirkannya."

"Dia bukan laki-laki yang baik Dir. Kamu tahu …. " 

"Kamu gak tahu apapun tentang Erza! Aku yang lebih mengenalnya, jangan asal bicara!" 

"Buka mata kamu Dir! Apa kamu gak berpikir jika kejadian di hotel malam itu ada hubungannya sama mereka?" 

"Gak mungkin! aku berteman dengan Luna sejak SMP. Aku berpacaran dengan Erza sudah empat tahun lebih. Aku tahu dan kenal betul mereka, gak mungkin mereka mengkhianatiku apalagi sampai melakukan hal rendahan seperti itu."

"Pasti ada orang lain yang gak suka sama aku, tapi siapa?" tambah Nadira. Seingatnya dia tidak memiliki musuh. 

Arsyil menggelengkan kepala. Rupanya sang istri belum tau wajah asli sabahat dan pacarnya itu. 

"Jadi … buang jauh-jauh cintamu buat aku, karena aku gak akan pernah bisa menerimanya, dan satu lagi lepaskan aku, biarkan aku pergi!" tegas Nadira penuh Emosi. 

"Enggak! Aku gak akan melepaskanmu apalagi kalau kamu berharap kembali pada lelaki brengsek itu! Aku akan menjaga dan melindungimu Dira."

"Tolonglah. Sudah cukup satu bulan ini kamu menjagaku."

"Aku akan menjaga kamu seumur hidupku, jadi jangan berharap aku akan melepaskanmu selama aku masih bernapas."

"Apa maumu?" Menatap mata Arsyil dengan frustasi. 

"Menua bersamamu." 

"Enggak!" 

Arsyil langsung saja melempar tubuh mungil Nadira ke atas kasur lalu menimpa tubuhnya. Wanita itu ketakutan melihat sang suami emosi. 

"A-apa yang akan kamu lakukan?" tanya Nadira panik, terlebih melihat sorot mata Arsyil yang mengerikan. Sorot mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. 

"Melakukan apa yang seharusnya aku lakukan," jawabnya, membuat jantung Nadira berpacu cepat karena tahu betul maksud sang suami. Nadira Sungguh tidak ingin disentuh oleh lelaki itu, apalagi sampai memiliki anak. Tidak! Itu bukanlah inginnya. 

"Gak! lepaskan aku! ku mohon …." Nadira memohon disertai deraian air mata. 

"Kenapa? aku suamimu. Aku berhak melakukan apapun terhadap dirimu. Seluruh tubuhmu adalah milikku!" 

"Enggak! Tolong lepaskan aku. Kamu bisa mencari wanita yang lebih baik dari aku," bujuk Nadira. 

"Yang ku inginkan hanya kamu, istriku."

Nadira menangis meraung saat Arsyil benar-benar mengambil haknya sebagai suami. Dia tidak bisa berkutik karena tenaganya kalah besar dari sang suami, akhirnya dirinya hanya bisa pasrah.

"Aku mencintaimu, istriku," bisik Arsyil di sela-sela percintaannya lalu bibirnya membungkam mulut Nadira. 

"Maafkan aku, Nadira. Ku harap kamu bisa menerimaku sepenuhnya sebagai suami setelah ini," batin Arsyil. 

...*****...

Nadira tergugu menangis sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Ia menyesal membiarkan lelaki itu menjamah tubuhnya, sungguh ia tidak rela. Namun, melawan dia tidak bisa. 

Arsyil duduk di tepi ranjang setelah membersihkan diri. Jauh di lubuk hatinya lelaki itu merasa bersalah karena sudah memaksa sang istri melakukan hubungan suami istri. Padahal selama sebulan menikah dia tidak pernah menyentuh istrinya sedikitpun, tentu saja atas permintaan Nadira. 

"Dir, Maaf." Tangannya terulur hendak meraih tubuh Nadira. 

"Jangan sentuh aku!" Merapatkan selimut. Arsyil menarik kembali tangannya. "Kamu benar, malam itu gak terjadi apa-apa. Kita hanya dibuat seolah-olah melakukan dosa."

"Apa kurangnya aku, Dir? Kenapa kamu gak bisa terima aku sebagai suami kamu?" tanyanya lembut seraya menatap Nadira yang menangis penuh sesal. 

"Gak ada yang kurang dari kamu. Hanya saja aku gak cinta sama kamu! dan setelah apa yang kamu lakukan terhadapku tadi, detik itu juga kamu adalah orang jahat dimataku!" 

Hati Arsyil berdenyit perih. Memejamkan mata menikmati sakit yang menghujam jantungnya. 

"Maafkan aku kalau …." 

"Gak usah banyak omong! keluar sekarang!" teriak Nadira. 

Arsyil mengalah dan akhirnya keluar dari kamar. "Ya Allah, kenapa mencintai harus sesakit ini?" Mengusap wajah kasar, lalu menuju ruang kerjanya. 

Setelah sang suami keluar dari kamar, Nadira beranjak turun dari tempat tidur hendak membersihkan diri. Wanita itu berjalan dengan sedikit tertatih menuju kamar mandi. 

Di meja kerjanya, Arsyil merenungi semua yang sudah terjadi. Salahkan jika dia mencintai istrinya sendiri. Mencintai wanita yang sejak lama dia kagumi. 

Yang selama ini menjadi teman biasa pun dia sudah bahagia. Namun, Tuhan punya rencana yang lebih indah. Ia di satukan dengan wanita yang dicintainya dalam diam itu, meskipun dengan cara yang terduga. 

Lelaki itu pikir, menikah dengan Nadira adalah buah dari kesabarannya selama ini. Namun, ternyata ia salah. Sang istri tidak mencintainya. 

Perlakuan baik dan sikap lembut yang penuh cinta selama sebulan ini ia tunjukkan tidak bisa meluluhkan hati sang istri, wanita itu tetap saja menganggapnya tidak lebih dari teman. Dan sekarang, mungkin wanita itu membencinya. 

"Ya. Aku memang temanmu, Dir. Teman hidup untuk selamanya," gumamnya.

Arsyil mengingat kejadian sebulan yang lalu. Malam itu  ia mengendarai mobil menuju rumah sepulang dari minimarket, di tengah perjalanan ban mobilnya kempes karena tertusuk paku. Entah siapa yang menebar paku di tengah jalan seperti itu. 

Dia turun hendak mengganti ban dengan ban cadangan. Saat mengambil ban cadangan tiba-tiba ia dipukul dari belakang. Lelaki itu tumbang dan tak sadarkan diri. 

Setelah bangun betapa terkejutnya dia sudah berada di sebuah kamar hotel bersama Nadira, di bawah selimut yang sama dalam keadaan polos. 

...*****...

Nadira sudah membersihkan diri. Ia menatap benci ke atas tempat tidur seakan melihat kembali apa yang dilakukan sang suami padanya. 

Wanita itu meremas baju, lalu melangkah menuju ke tempat tidur yang berantakan hendak membereskan sisa sisa percintaan mereka tadi.

Nadira memejamkan mata mengusir bayangan yang dibencinya yang terus menari-nari di pelupuk mata.  Saat menyingkap selimut wanita itu mendapati bercak darah yang menempel pada seprei. Seketika air matanya luruh, ia menyesal karena Arsyil sudah mengambil sesuatu yang paling berharga dalam dirinya. Sesuatu yang ia jaga selama dua puluh tiga tahun, yang akan ia berikan kepada orang yang dicintainya setelah mereka menikah nanti. 

"Brengsek! lelaki kurang ajar! Aku benci kamu Arsyil. Kamu sudah menghancurkan hidupku, aku benci kamu!" teriak Nadira, lalu suaranya melemah seiring tubuh yang meluruh di lantai. 

Entah berapa lama Nadira menangis, tanpa sadar ia tertidur di lantai hingga hampir memasuki jam makan siang. 

Arsyil masuk ke dalam kamar dan mendapati sang istri tergeletak di lantai. Dengan sigap lelaki itu mengangkat tubuh istrinya dan membaringkannya ke tempat tidur. Ia sempat melihat bercak darah yang menempel pada seprei. 

"Apa kamu benar-benar menyesal mahkotamu diambil suamimu ini?" lirih Arsyil sembari menyelimuti sang istri. Kemudian lelaki itu berbaring di samping wanita yang dicintainya lalu memeluknya. 

"Erza … kita akan sama-sama lagi, kan? Aku masih cinta sama kamu," racau Nadira. Namun, matanya terpejam. 

"Kamu akan terus bersamaku, Dira. Akulah yang benar-benar mencintaimu," batin Arsyil sembari mengeratkan pelukannya, menekan rasa sakit yang menjalar di hati.

Sebelum matanya ikut terpejam, Arsyil sempat melirik ke atas nakas. Dimana ada sebuah test pack dengan satu garis merah yang membuat Nadira ingin berpisah darinya. 

Bersambung …. 

Bab 2 | Sekedar Mantan

Nadira bersiap hendak pergi ke restoran miliknya setelah dua hari meliburkan diri. Wanita itu menghias wajah dengan riasan natural khasnya. 

"Sayang, bisa tolong bantu aku," pinta Arsyil sembari berjalan mendekati sang istri yang berada di depan meja rias. 

"Jangan panggil aku sayang, karena aku bukan sayangmu!" ucap Nadira datar sambil terus menggambar alis. 

Sejak apa yang dilakukan Arsyil dua hari yang lalu, Nadira berubah benci kepada lelaki itu. 

"Tapi aku menyayangimu, istriku."

Nadira jengah, memutar bola mata malas sambil terus menggambar alis. 

"Sayang, bantu aku sebentar."

"Bantu apa?" ketusnya sambil menghentikan kegiatan mengukir alis dan memandang sang suami lewat cermin.

"Bantu aku memasang dasi."

Malas berdebat, Nadira segera bangkit dan memasangkan dasi sang suami. Berharap setelah itu Arsyil keluar dari kamar. "Oh Tuhan … gak bisakah hidupku tenang tanpa gangguan dari orang ini," batin Nadira meratap. 

Arsyil mengamati wajah cantik wanita pujaannya yang fokus memasangkan dasi, kemudian mendaratkan sebuah kecupan di kening sang istri, Nadira terkejut dan segera menjauhkan diri dari sang suami.

"Jangan lancang!" Menghapus bekas ciuman Arsyil di keningnya. Lelaki itu menghela napas. "Terima kasih sayang," ucapnya. 

"Kamu ngapain masih di sini?" ketus Nadira, geram melihat sang suami masih setia berdiri di tempatnya.

"Nungguin kamu selesai dandan, kita turun sama-sama ya?" 

"Tunggu aja aku di meja! Aku pusing terus-terusan melihat wajahmu!" 

"Baiklah, istriku." Dengan hati sedih Arsyil keluar dari kamar.

"Aku kangen kamu yang dulu, Dir. Dira yang baik dan manis," batin Arsyil sambil menutup pintu. 

"Lihat aja! Akan ku buat kamu gak betah hidup sama aku dan kamu sendiri yang akan menceraikan aku." Menatap pintu yang baru saja tertutup sembari menyilangkan tangan di dada dan tersenyum jahat. 

Selepas kepergian Arsyil, Nadira mengirim pesan kepada Erza meminta bertemu siang ini. 

...*****...

Nadira melenggang ke dalam restoran, beberapa karyawan menyapanya dan dia membalas dengan senyuman. Kaki wanita itu melangkah ke lantai tiga dimana ruangannya berada. 

Wanita itu masuk ke ruang kerja dan mendapati Luna sedang berkutat dengan laptopnya. 

"Ngapain Lun?" tanya Nadira sembari mendudukkan diri di kursi kerjanya. 

"Lagi input data Buk," sahutnya tanpa mengalihkan perhatian dari laptop. 

"Heh, berkali-kali dibilangin. Kalau cuma berdua panggil Dira aja."

"Eh maaf, Dir. Suka lupa hehe, tapi kan disini kamu bos aku." Menghentikan kegiatannya lalu menatap Nadira. 

"Dasar!" Nadira mengeluarkan laptop lalu menaruhnya di atas meja. 

Tak lama seorang pelayan mengetuk pintu, Dira mempersilahkan pelayan yang membawakan camilan dan minuman itu masuk.

Selepas kepergian pelayan tersebut, Nadira menyampaikan keinginannya untuk bertemu dengan Erza pada Luna, tetapi ia tidak menceritakan tentang rumah tangganya dengan Arsyil. 

Ia bercerita berharap sahabatnya itu dapat membantu, mengingat nomor Erza tidak bisa dihubungi. Bahkan dirinya mengirim pesan hanya centang satu abu-abu.

"Lun, gimana?" Melirik Luna yang kembali sibuk dengan laptopnya.

"Eh maaf, Dir. Aku gak denger, soalnya lagi fokus input. Takutnya ada yang salah," bohong Luna. Wanita itu pura-pura tidak mendengar. 

Nadira kembali menceritakan keinginannya untuk bertemu dengan Erza.

"Ehm. Gimana ya, Dir. Bukannya aku gak mau bantu nih. Tapi aku juga gak tau kabarnya Erza sekarang, setelah kamu nikah sama si Arsyil itu, benar-benar ilang seperti di telan bumi."

"Kirain dia ada hubungi kamu, nanyain aku kek, atau cerita sedihnya karena aku nikah gitu." Nadira merasa kecewa. 

"Dia marah kali ya? Kecewa banget pasti. Makanya dia gak kontak aku ataupun kamu biar gak terus-terusan ingat sama aku yang udah jadi istri orang."

Luna hanya mendelikkan bahu, ia tidak terlalu menanggapi Nadira. Lagipula dia tidak perduli. 

"Lun! kamu diam aja sih!" kesal Nadira seraya melirik Luna yang sibuk dengan pekerjaannya. 

"Eh, maaf, Dir. Jangan diajak ngomong dulu, takutnya salah ini. Mana banyak banget lagi," keluhnya. 

"Iya deh!" Menghela nafas lalu membuka laptopnya.

 

"Untung kerjaan banyak, jadi selamat kan. Sepertinya aku harus sering-sering menumpuk pekerjaan. Huh, dasar bodoh!" batin Luna sembari tangannya lincah menari di atas keyboard. 

...*****...

Jam makan siang, Nadira memutuskan mendatangi kantor Erza, dia akan menjelaskan semua kesalahpahaman yang terjadi. Lelaki yang tidak pernah menghubunginya lagi setelah kejadian di hotel sebulan yang lalu membuat rindu di dadanya semakin menggebu.

Tadinya dia ingin mengajak Luna menemui Erza, tapi sahabatnya itu menolak karena sudah ada janji dengan kekasihnya.

Ya. Sahabatnya yang bertahun-tahun jomblo itu kini sudah memiliki kekasih. Nadira ikut senang, meski Luna belum mengatakan siapa kekasihnya. Sebagai sahabat Nadira mendoakan yang terbaik untuk Luna. 

Dengan mantap, Nadira melangkah ke ruangan sang kekasih. Tak perlu izin baginya karena karyawan di sana sudah hafal dengannya sebagai kekasih bos mereka.

Nadira berharap Erza dapat menerimanya kembali setelah mendengar penjelasan darinya. Sungguh cintanya terhadap Erza sudah mengakar kuat di hati Nadira.

Dengan jantung berdegup kencang, wanita itu mengetuk pintu ruang kerja Erza. Namun, tidak ada jawaban. Karena tidak ada jawaban, Nadira membuka sedikit pintu ruangan itu guna melihat keadaan di dalam. Kosong, tidak ada siapapun. 

Nadira menutup pintu lalu berbalik. di saat bersamaan, Lily yang merupakan sekretaris Erza lewat. Nadira langsung saja menanyakan keberadaan kekasihnya. 

"Ly, kok Erza gak ada di ruangannya?" 

"Oh, pak Erza barusan keluar."

"Kamu tahu dia pergi kemana?"

"Maaf, soal itu saya kurang tau. Saya permisi dulu ya, Bu," pamit Lily kemudian meninggalkan Nadira yang masih berada di depan ruangan bosnya.

Nadira kemudian memutuskan menunggu di loby sampai Erza kembali. Sungguh rindu di hatinya sudah menggunung hingga dia rela menunggu berjam-jam sampai melupakan perkerjaannya sendiri.

Matanya terus mengawasi parkiran, kalau kalau mobil Erza muncul. Dia sudah tidak sabar bertemu dengan lelaki itu, lelaki yang sudah mengisi seluruh ruang hatinya.

Tiga jam lebih Nadira menunggu barulah orang yang ditunggu muncul. Senyum Nadira merekah lalu segera berlari menghampiri Erza. Dengan tidak tahu malunya, Nadira menghambur memeluk Erza tanpa peduli jika ada mata yang melihat. Hidung Nadira menangkap bau parfum yang Familiar, tapi bukan parfum Erza. Namun, Nadira tidak mempedulikan itu.

"Sayang, aku kangen banget sama kamu." Erza melepaskan pelukan Nadira, dia mendorong sedikit tubuh wanita itu agar tidak terlalu dekat dengannya. Nadira terkejut mendapat perlakukan seperti itu, kekasihnya seakan jijik bersentuhan dengannya.

"Sayang, ada yang harus aku katakan. Kamu harus dengar penjelasan aku."

Erza tidak mempedulikan Nadira, dia langsung berjalan meninggalkan Nadira menuju ruangannya.  Tidak putus asa, Nadira mengikuti Erza hingga ke dalam ruangannya.

"Mau apa lagi, Dir?" Berbalik mengahap Nadira yang mengekorinya.

"Aku mau jelasin sesuatu sama kamu …."

"Gak perlu ngejelasin apapun. Semua sudah jelas, kamu menghianati aku, kamu sudah merusak kepercayaannku."

"Semua itu gak benar. Aku sama Arsyil di jebak orang, percayalah aku sama dia gak melakukan apapun," jelas Nadira, berharap Erza mengerti.

"Apa aku harus percaya? Seorang laki-laki dan seorang perempuan berada di sebuah kamar hotel, semalaman tapi gak terjadi apa-apa. Itu gak mungkin!"

 

"Sumpah. Kami memang gak melakukan apapun. Sebentar lagi aku sama dia akan bercerai dan kita bisa kembali seperti dulu lagi."

Erza cukup terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Nadira.

"Jangan gila kamu! aku mana mau memungut bekas orang!"

"Kamu tega ngomong gitu sama aku? Kamu gak cinta lagi sama aku?" Mata Nadira berkaca-kaca. Hatinya perih mendengar pernyataan Erza, dia tidak menyangka lelaki yang dulu begitu mencintainya kini berubah. Secepat itukah?

"Setelah apa yang kamu lakukan padaku, kamu berharap aku masih cinta sama kamu? Asal kamu tahu, semenjak aku tahu kamu tidur sama teman kamu itu, saat itu juga cintaku ke kamu langsung musnah!"

"Semudah itu?" Air mata Nadira luruh membasahi pipi.

"Gak usah nangis. Mending kamu pulang dan urus saja suami kamu! Jangan temui aku lagi. Aku gak mau berhubung dengan istri orang."

"Aku pacar kamu, Za."

"Itu dulu, sebelum kamu ketahuan selingkuh. Sekarang kita bukan siapa-siapa lagi, hanya sekedar mantan. Ingat MANTAN," tegas Erza dengan mengulang dan menekan kata mantan. Kata yang nenusuk ke dalam jantung Nadira.

"Aku masih cinta sama kamu, Za." Berharap Erza memahami perasannya.

 

"Omong kosong. Kalau kamu cinta sama aku gak mungkin kamu selingkuh sama teman kamu itu, sampai tidur bareng lagi."

"Aku gak bohong. Aku cinta sama kamu! Kamu tahu, selama sebulan aku jadi istrinya, aku gak bisa berhenti mikirin kamu. Aku gak bahagia sama dia karena aku gak cinta. Aku cintanya cuma sama kamu."

"Jangan banyak omong. Keluar sekarang, aku banyak pekerjaan." Menggiring Nadira keluar dari ruangannya. 

"Za, percaya sama aku." 

"Pergi." Erza segera menutup pintu ruangan. 

Bersambung …. 

Bab 3 | Tidak Usah Sok Perhatian!

Nadira singgah di taman kota, dia menangis tersedu sedan menumpahkan segala beban yang mengganjal hatinya. 

Nadira kecewa Erza tidak mempercayainya, dan yang lebih menyakitkan lelaki itu menuduhnya telah berselingkuh dan berbuat zina. Erza melontarkan kata-kata tajam yang mengoyak hati, tak sampai di situ lelaki itu juga mencampakkannya. 

Dia menyesali semua yang sudah terjadi, dia menyesal karena telah menikah dengan Arsyil. Seandainya dia menolak ajakan itu, tentulah jalan hidupnya tidak akan seperti ini. Dirinya terlalu takut waktu itu, hingga tanpa pikir panjang menerima lamaran Arsyil.

Tapi apa? Dirinya tidak hamil sama sekali, bahkan dirinya masih suci hingga sang suami merenggutnya. Nadira semakin tersedu-sedu, ia benci pada Arsyil, ia benci pada dirinya sendiri. 

Seandainya dia tidak menikah dengan Arsyil, tentulah saat ini dia masih bersama Erza. Mungkin mereka akan menikah, meski entah kapan itu akan terjadi. 

"Argh! Kenapa?!" pekiknya, tanpa peduli pada orang-orang yang melihatnya. 

"Siapa orang yang udah tega menjebak aku? Atau mungkin itu semua rencana Arsyil sendiri agar bisa menikah denganku? Dia bilang, dia mencintaiku. Dasar licik! Harusnya aku tidak memiliki teman sepertimu! bisa-bisanya aku tertipu wajahnya lugunya." 

"Sialan kau Arsyil! Aku benci kamu!" pekiknya. 

...*****...

Sore hari Arsyil datang menjemput Nadira. Nadira yang baru kembali melihat mobil sang suami masuk ke area Restoran miliknya. Wanita itu kesal lalu memukul setir mobilnya. 

"Ngapain sih dia ke sini? Bikin muak aja!" umpat Nadira sembari memarkirkan mobilnya. 

Nadira turun dari mobil bersamaan dengan Arsyil yang juga turun dari mobilnya. Mereka bertemu, Nadira mengabaikannya dan langsung saja pergi tanpa menghiraukan sang suami yang tersenyum padanya. 

"Dira, tunggu!" Arsyil mengejar Nadira dan berhasil menangkap tangannya. "Lepasin!" bentak Nadira sambil menghempas tangan Arsyil. Dia menatap benci pada suaminya. 

"Kamu kenapa?" Menelisik wajah Nadira yang sembab sambil mengulurkan tangan hendak menyentuh wajah sang istri.

"Bukan urusanmu! Ngapain kamu ke sini?!" Menepis tangan Arsyil.

"Mau jemput kamu. Kita pulang yuk, kamu …."

 

"Aku bisa pulang sendiri. Kamu tahu kan, aku bawa mobil sendiri. Gak usah sok perhatian! Aku bukan anak TK yang apa-apa harus di jemput. Aku akan pulang kalau restoran ini sudah tutup." sela Nadira cepat.

 

"Tapi kamu istriku …." 

"Tapi aku gak menganggap kamu sebagai suamiku!"

 

Hati Arsyil berdenyit perih mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut istrinya, sungguh tega Nadira berkata seperti itu padahal mereka sudah menikah. 

"Baiklah. Jika kamu memang belum bisa mencintai aku, setidaknya hormati aku sebagai suami kamu. Bisakah kamu bersikap seperti bulan lalu?"

"Aku gak mau dengar apapun dari kamu. Mending kamu pergi sekarang! Dan ingat, jangan memintaku hormat sama kamu sebagai suami karena aku gak menganggap kamu suamiku. Kamu hanya orang asing yang mengacaukan hidupku. Dan aku gak akan pernah cinta sama kamu!"

"Dir, gak ada sedikit empatimu terhadap aku?"

Nadira terkekeh, menurutnya terlalu konyol lelaki itu berharap dirinya berempati padanya.

"Dir. Kita ini sama-sama korban …."

"Gak usah dibahas! Aku benci mengingatnya. Terlebih aku sudah kehilangan segalanya." Kemudian Nadira berlalu meninggalkan Arsyil yang masih mematung di depan tangga.

"Maksud kamu apa Dir?" gumam Arsyil pelan.

 

Lelaki itu menghembus nafas kasar, menekan sesak di dada, kemudian berbalik dan pulang ke rumah. 

Nadira masuk ke dalam ruangan kerja dengan wajah sembab dan cemberut.

Para staf melihat bos mereka yang sepertinya sedang kacau. Namun, tidak berani untuk bertanya. Mereka hanya saling pandang sambil bertanya-tanya sendiri. 

Luna melihat Nadira yang kacau mengabaikannya dan memilih pamit turun ke lapangan dengan alasan mengontrol para karyawan.

"Luna kenapa sih? Kok aneh? Kenapa dia tidak gak nanya aku kenapa atau apalah." Melirik Luna hingga menghilang di balik pintu.

Luna sudah tahu apa yang terjadi dengan Nadira hari ini, dia juga tahu Nadira bertengkar dengan suaminya karena dia melihat lewat CCTV. Luna tersenyum miring seolah menertawakan penderitaan Nadira.

"Sekarang sudah saatnya giliranku berbahagia. sebentar lagi … selamat tinggal restoran jelek ini hahaha," batin Luna sembari melirik hall restoran yang ramai pengunjung dan waiter yang berlalu lalang. 

...*****...

Arsyil tiba di rumah minimalis dua lantai yang didominasi cat warna putih serta halaman yang cukup asri. Rumah yang ia beli sebelum menikah dengan Nadira.

Dia tidaklah sekaya Erza, perusahaanya juga tidak sebesar perusahaan keluarga Erza. Meskipun demikian, Arsyil merintis sendiri dari nol dan baru berhasil setelah beberapa kali mengalami kegagalan.

Arsyil menyapukan pandangan ke seluruh sudut kamar. Sepi tanpa adanya sang istri, istri yang selama sebulan ini berlaku baik, yang selalu menyambutnya ketika pulang kerja. Mereka seperti keluarga harmonis, meski hubungan suami istri tidak mereka lakukan. 

Dia merindukan momen itu, tapi sayang Nadira berubah sejak mengetahui jika dirinya tidak hamil. Wanita itu membencinya setelah dirinya mengambil sesuatu yang berharga darinya. Sesuatu yang memang seharusnya jadi miliknya.

Dia memang memiliki raga Nadira saat ini. Namun, tidak dengan hatinya.

 

"Dira …." lirihnya.

Arsyil menghela nafas kasar, menekan sesak yang kembali datang. Setelah ia melesat ke kamar mandi guna membersihkan diri. 

...****** ...

pukul sebelas malam Nadira baru pulang ke rumah. Wanita itu masuk ke dalam rumah mendapati sang suami menunggunya di ruang tamu. Nadira menghela nafas karena jengkel lalu memutar bola mata malas.

 

"Baru pulang Dir?" Berdiri, lalu menghampiri Nadira.

 

"Seperti yang kamu lihat?" Mengabaikan Arsyil dan melewati pria itu.

"Dir. Tunggu!"

"Apalagi sih?" Nadira yang sudah berada di anak tangga menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap suaminya dengan tatapan tidak suka.

 

"Kenapa pulangnya malam banget? Restoran, kan tutup jam sembilan?"

"Memangnya kenapa?" Nadira balik bertanya.

 

"Sudah, aku gak mau berdebat. Aku capek, mau istirahat," tambahnya, kemudian melesat menuju kamar.

Arsyil menyusul Nadira ke kamar, dia mendapati sang istri terbaring sembarang di atas tempat tidur dengan kaki menjuntai ke lantai dan mata terpejam.

 

"Dir. Mandi dulu gih. Aku sudah siapkan air hangat." Arsyil duduk di tepi ranjang.

Nadira membuka mata, lalu melirik sang suami. "Sudah ku bilang gak usah sok perhatian, aku gak akan luluh sama kamu!" Kemudian bangkit dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi.

Selagi Nadira mandi, Arsyil membuka laptop memeriksa pekerjaannya. Tiba-tiba perutnya berbunyi dan berdenyit perih karena sedari sore belum makan. Ia ingin makan bersama Nadira.

Arsyil meringis sembari memegangi perutnya. "Lapar sekali," gumamnya.

Lima belas menit kemudian Nadira keluar dari kamar mandi. Ia memakai pakaian tidur, menggunakan rangkaian skin dan body care malam, kemudian bersiap hendak tidur setelah mengeringkan rambut tanpa mempedulikan sang suami.

"Dir, aku belum makan," tukas Arsyil pada Nadira yang sudah berbaring memunggunginya.

 

"Makan sana, ngapain ngomong sama aku," sahutnya tanpa menoleh Arsyil.

"Kamu sudah makan?"

 

"Kalo belum mana mungkin aku bisa tidur."

"Aku lapar Dir."

"Ya makan sana kalau lapar. Gak perlu ngomong sama aku, kamu udah dewasa pasti bisa mikir sendiri. Kalo lapar ya makan bukan laporan."

"Aku mau makan bareng kamu."

Nadira abai, dia memejamkan mata dan memeluk erat bantal guling.

"Dir. Bisa temani aku makan?" pinta Arsyil. 

Nadira tetap diam, malas sekali dia menemani lelaki itu. Dunianya terasa sesak terus-terusan berada di dekat Arsyil.

"Baiklah. Aku tidur juga." Arsyil berbaring lalu melingkarkan tangan di pinggan Nadira, wanita itu terkejut dan segera menepis tangan Arsyil lalu menjauhkan tubuhnya.

"Jangan berani-berani menyentuhku!" sarkas Nadira, wanita itu berkacak pinggan di samping tempat tidur.

Arsyil duduk lalu berkata, "aku suami kamu, aku berhak melakukan apapun, memeluk ataupun lebih dari itu gak ada salahnya. Yang ada kamu berdosa karena menolakku."

"Terserah apa katamu! yang jelas geser, aku mau tidur. Kalo gak mau aku akan tidur di luar," ancam Nadira.

"Kalo kamu tidur di luar, aku juga akan tidur di luar," jawab Arsyil singkat.

"Argh!" pekik Nadira sambil mengepalkan tangan, sungguh ia jengkel.

Perut Arsyil kembali berbunyi, Nadira dapat mendengar suara yang keras itu. Sementara Arsyil langsung memegang perutnya. 

"Makan sana! Memangnya kamu mau mati kelaparan?"

"Astagfirullah Dir. Kasar sekali bahasamu."

"Makanya makan sana!"

Arsyil pun turun dari tempat tidur lalu berjalan keluar kamar. Nadira bernapas lega saat lelaki itu menghilang di balik pintu. Namun, tak lama kemudian Arsyil kembali dengan sedikit berlari lalu melabuhkan sebuah kecupan singkat di pipi sang istri, setelahnya ia melesat ke luar. Nadira yang bersiap hendak berbaring, mematung mendapat perlakuan yang mengejutkan itu.

"Brengsek! Berani sekali dia!" umpatnya setelah sadar sambil menatap kesal pada pintu yang tertutup.

 

"Argh! Gak bisakah hidupku tenang tanpa adanya gangguan darinya? Kalo gini terus aku bisa gila." Meremas rambutnya.

"Gak bisa, gak bisa gini terus, aku harus segera menemukan cara agar bisa jauh dari dia," gumam Nadira, lalu merebahkan diri dan memejamkan mata. 

Bersambung …. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!