NovelToon NovelToon

Hijrah Cinta Arunika

Bab 1. Dia, Dirgantara Mahesa

Pagi itu, sang Cakrawala menampakkan awan hitamnya, hingga membuat sang Bentala tampak redup karena mentari terselimuti. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat perempuan bernama Arunika.

Hari baru telah datang. Jiwa yang kosong harus terisi dengan cita dan asa. Aru mencoba menghidupkan kembali jiwanya yang sempat hancur diserang pahitnya kenyataan.

Dia mematut dirinya di depan cermin. Penampilannya kali ini sangat berbeda jauh dari penampilan sebelumnya. Aru yakin, setelah ini dia akan menjadi bahan perbincangan di kampus. Namun, bukankah perbuatan baik terkadang disalahkan artikan oleh sebagian orang? Dan sudah seharusnya, Aru tidak perlu memusingkan hal itu.

Setelah memakai gamis berwarna hitam dengan motif bunga-bunga kecil, dia mulai mengenakan hijab pashmina yang sejak semalam telah dipersiapkan. Sebelumnya, Aru tidak tahu bagaimana cara menggunakannya.

Namun, dengan kekuatan gadget pintar, hal itu tidaklah sulit. Aru telah selesai mengenakan hijab pashmina-nya. “hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir," gumam Aru memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Hari ini, dia akan kembali ke kampus demi menyelesaikan pendidikan yang hampir lima bulan ini ditinggalkan. Bukan tanpa sebab. Dia memiliki masalah yang cukup serius sampai mengguncang jiwa dan batinnya.

Dua bulan yang lalu, Aru menyadari jika dia tidak mendapati tamu bulanannya hampir dua periode. Sadar jika pernah melakukan hubungan dengan sang Kekasih, Aru pun memeriksa dengan alat test kehamilan.

Betapa terguncangnya hidup Aru ketika alat tersebut menunjukkan hasil garis dua atau sering diartikan dengan positif hamil. Dia mencoba mencari pertanggungjawaban dari laki-laki yang mengatakan jatuh cinta padanya dan tidak akan meninggalkan Aru.

Namun, dia justru ditinggal begitu saja bagai tak berguna. Habis manis, sepah pun dibuang. Begitu kata pepatah yang cocok menggambarkan kondisi Aru saat itu.

Mama dan Papanya mengetahui aib tersebut dan sempat marah pada Aru yang tidak bisa menjaga diri. Namun, rasa kecewa lebih mendominasi isi hati mereka.

Tidak ada niatan untuk menggugurkan. Janin di kandungannya adalah sebuah anugerah walau datang di waktu yang tidak diharapkan. Namun, semakin hari pikiran Aru semakin tak menentu. Hingga janin itu pergi sebelum Aru melihat bagaimana bentuk dan rupanya.

Hidupnya kembali terpuruk hingga dia menyadari jika apa yang saat ini menimpa hidupnya adalah hasil dari apa yang diperbuat di masa lalu. Pergaulan bebas dan melazimkan segala bentuk zina. Aru kehilangan jati diri dan arah jalan pulang.

Hingga setitik hidayah dari Tuhan menghampiri kalbunya. Dia mulai belajar mengikhlaskan yang telah terjadi. Dia berusaha menganggap jika apa yang menimpanya merupakan bagian dari pendewasaan dalam perjalanan hidupnya.

Ngaji online. Adalah salah satu media yang menjadi titik balik dari hijrahnya Arunika. Tentunya, Aru sudah menganalisa terlebih dahulu sebelum benar-benar masuk komunitas tersebut. Yang pasti, di dalamnya mengajarkan agama yang damai dan toleransi tinggi.

Merasa tak ada lagi yang kurang, Aru keluar dari kamar lalu menuruni anak tangga dimana keluarganya sedang berkumpul saat pagi hari. "Assalamualaikum, semua," sapa Atu disertai senyuman manis.

Tidak ada yang menjawab salamnya. Mungkin terlalu kagum sekaligus terkejut melihat penampilan Aru yang sekarang. "Ka-kamu Aru, anakku kan?" tanya sang Mama tidak percaya dengan penglihatannya.

"Iya, Ma. Ini aku, Aru, anak Mama. Doakan ya, Ma. Aku ingin memperbaiki diri," jawab Aru penuh kelembutan.

Mama Kalea pun tersenyum penuh haru. Senyum putrinya telah kembali. Papa Javas yang mendengar hal tersebut, tidak mampu menyembunyikan senyumnya. beliau ikut bersyukur melihat keadaan sang Putri yang mulai bangkit dari keterpurukan.

Bukan tanpa sebab. Karena hampir lima bulan ini, Aru selalu mengurung diri dalam kamar. Keluar jika akan makan dan mengambil minum. Begitu seterusnya hingga berbulan-bulan. Namun, semua keluarga selalu mengunjungi kamar Aru agar hidup gadis tersebut tidak terpuruk terus-menerus.

"Selamat pagi ... Ma ...." Sapaan Abidzar terputus-putus ketika melihat sosok baru yang sudah duduk meja makan.

"Kak Aru?" lirih Abidzar hampir tidak percaya dengan penglihatannya.

"Apa sih, Dek. Sini, Duduk. Kamu harus makan," ucap Aru tersenyum manis sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya. Bocah berseragam SMP itu pun melongo melihat penampilan sang Kakak yang sangat berbeda dari biasanya.

"Kakak kesambet apa? Atau sudah dapat wangsit, Kak?" Abidzar tak henti-hentinya bertanya, mencoba mencari tahu alasan yang membuat sang Kakak berubah. Namun, Abi merasa bahagia karena perubahan itu lebih ke yang lebih baik lagi.

Lagi-lagi Aru menanggapi dengan senyum. "Kan habis dari goa, Bi," celetuk Aru yang membuat semua keluarga terkekeh.

Melihat kembalinya sang Anak, Mama Kalea merasa bersyukur pada Tuhan. Berharap, semoga keluarganya bisa kembali harmonis seperti dulu.

Satu jam kemudian, Aru telah berdiri di depan gedung kampus tempatnya dulu menimba ilmu. Aru menghela napas kasar ketika mengingat setiap gunjingan yang mahasiswa lain lontarkan kala mengetahui jika Aru telah hamil sebelum menikah.

"Aku harus percaya jika Allah itu ada. Aku hanya perlu menutup telinga agar tak lagi mendengar gunjingan mereka semua," gumam Aru menyemangati diri sendiri.

Kebanyakan manusia, mereka cenderung hanya akan menghakimi tanpa ingin tahu cerita secara utuh. Mereka juga cenderung mendengar hanya dari satu belah pihak. Padahal, ada dua pihak yang bersangkutan, yang harus didengar versi ceritanya. Baru setelah itu, mereka dapat menyimpulkan.

Dengan langkah yang sedikit berat, kaki Aru melangkah memasuki gedung. Saat baru pertama kali masuk, semua mata seakan tertuju ke arahnya. Tatapan setiap orang juga beragam. Namun, Aru mencoba tidak peduli dan terus berjalan.

Hingga tanpa sengaja, Aru menabrak dada seseorang karena berjalan menundukkan kepala. "Astaghfirullah!" pekik Aru terkejut.

Ketika Aru mendongak, keterkejutan itu semakin bertambah. Namun, ekspresi itu hanya sebentar karena setelahnya, Aru merubah raut wajahnya menjadi datar.

"Wow! Ada yang baru nih, Bro!" pekik suara dari samping pria yang tidak lain adalah teman dari seseorang yang Aru tabrak.

Sosok laki-laki yang Aru tabrak menatapnya dengan pandangan tak terbaca. "Aku permisi," pamit Aru lebih dulu. Dia tidak pernah sanggup melihat tatapan laki-laki yang pernah mengatakan jika Aru mu ra han.

Laki-laki yang entah memiliki masalah apa sehingga seringkali merendahkan diri Aru. Namun, hal tersebut tidak sepenuhnya salah. Aru memang tidak lagi memiliki harga diri. Sampai kini, Aru membenci dirinya yang dulu.

Dia adalah Dirgantara Mahesa. Mahasiswa yang mengambil kuliah Pascasarjana (S2) di jurusan management.

Sampai Aru berjalan menjauh pun, tatapan Dirga seakan masih menelisik penampilannya. Mungkin saja, laki-laki itu akan mencari bahan untuk mengolok-oloknya lagi. Tentunya dengan penampilan baru Aru, pasti akan ada saja yang mengatakan jika Aru menutup aurat hanya untuk menutupi aib.

"Ya Allah. Berikan aku kekuatan yang lebih banyak lagi," batin Aru berdoa.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...selamat datang dan selamat membaca di novel terbaru ku yah......

...semoga kalian suka🌹...

Bab 2. Berisik!

Tujuan pertama Aru adalah menuju ruang dekan. Dia harus mengajukan surat izin aktif terlebih dahulu. Aru hanya bisa berdoa semoga pengajuannya diterima.

"Permisi, Bu? Pak Agungnya ada di ruangan?" tanya Aru sopan.

Petugas TU yang Aru sebut Ibu itu menatapnya dengan pandangan merendahkan. Aru sadar jika pandangan wanita paruh baya di depannya itu sedang menelisik penampilan.

Aru sedikit risih tetapi mencoba mengabaikan. "Bu?" ucap Aru lagi baru wanita di depannya mengangguk sebagai jawaban. Sehina itu Aru di hadapan manusia karena kesalahannya di masa lalu.

"Terimakasih, Bu." Setelah berucap demikian, Aru memasuki ruangan dan mengetuk salah satu pintu yang tertulis nama profesor Agung. Di ruang tersebut, masih ada empat pintu lain yang digunakan oleh dosen berbeda.

"Masuk!"

"Permisi, Pak," ucap Kalea setelah membuka pintu. Baru saja kakinya akan melangkah, sang Dekan sudah lebih dulu mencegah.

"Tidak perlu masuk. Saya tidak mau ruangan saya kotor," ucap beliau tak berperasaan.

Deg.

Jantung Aru bagai berhenti berdetak detik itu juga. Aru menghela napas pelan untuk menghilangkan sesak dalam hatinya. "Baik, Pak. Saya bermaksud untuk mengajukan—"

"Tidak perlu dilanjutkan! Dengan berat hati, para petinggi kampus sepakat untuk mengeluarkan kamu. Kami tidak ingin nama universitas menjadi buruk hanya karena satu orang yang tidak bertanggungjawab."

Aru tersenyum miris. Matanya sudah siap mengeluarkan bendungan air di pelupuknya. Namun, Aru mendongak agar air kristal itu urung turun.

Jemari Aru mencengkeram selempang tas yang menggantung di lengannya. "Maaf jika nama saya hanya mencemarkan nama baik kampus. Terimakasih karena pernah menerima saya di universitas ini. Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak," pamit Aru lalu berjalan melewati wanita paruh baya yang bekerja di bidang Tata Usaha.

Langkah Aru terayun cepat menuju belakang rooftop kampus. Dia ingin menenangkan batin yang sedang mengalami pergolakan. Beruntung, untuk bisa sampai kesana, ada tangga darurat sehingga Aru tidak perlu bertemu dengan mahasiswa lain.

Setelah menutup pintu rooftop, Aru berjalan gontai mendekati pagar pembatas. Air matanya luruh seketika. Pagi hari yang mendung itu, semakin membuat suasana hati Aru tak menentu.

Sekuat tenaga Aru menahan isakan tangisnya agar tidak ada seorangpun mendengar. "Apa aku sehina itu? Apa aku sudah tidak memiliki tempat lagi di dunia ini?" racau Aru tersedu-sedu.

Hatinya sakit bukan karena dikeluarkan dari kampus. Melainkan lebih kepada perkataan orang-orang yang menganggap Aru kotor. "Iya, aku memang kotor. Aku tidak ada artinya, aku buruk, aku tidak punya harga diri, dan masih banyak lagi kekurangan ku. Tetapi, apakah mereka tidak bisa menjaga perasaanku sedikit saja?" racau Aru lagi sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.

"Papa, sakit sekali. Maafkan aku karena tidak bisa menjadi anak yang membanggakan." Penyesalan itu pun kembali menghantui. Andai waktu itu Aru mendengar nasehat sang Papa untuk tidak lagi mendatangi klub malam, andai Aru mendengarkan kemarahan sang Mama dan kekecewaan sang Adik, mungkin keadaan seperti ini tidak akan Aru alami.

Aru menatap bawah dimana lantai dasar tampak kecil dari tempatnya berdiri. Kepalanya mengatakan, mungkin jika dia lompat dari gedung tersebut, semua masalahnya akan hilang. Namun, hal itu hanya berlaku di dunia. Saat di akhirat, nyawanya akan tertolak.

Terlalu frustasi, Aru berjongkok dan menenggelamkan kepala pada tumpukan lengannya. Tangisnya semakin meraung-raung penuh kesakitan yang begitu menyesakkan.

"Ngapain sih teriak-teriak?! Berisik!"

Suara itu membuat Aru terdiam dan mendongak. Dia celingukan mencari arah sumber suara. Setelah sadar siapa sang pelaku, bukannya mereda, tangis Aru semakin menjadi-jadi.

"Kamu senang kan dengan keadaanku saat ini? Kamu pasti bahagia karena memiliki bahan untuk mengolok-olok ku lagi. Kamu mau mengatakan apa lagi? Aku sok suci? Aku sok alim?" tanya Aru dengan air mata berderai.

Dia berjalan beranjak dan berjalan mendekati laki-laki bernama Dirga. Entah mengapa pria itu ada disini. Bukankah seharusnya dia mengikuti pelajaran?

Aru menatap penuh luka pemilik mata tajam yang berhasil mengintimidasi lawan bicaranya. Namun kali ini, hal itu tidak memengaruhi Aru. "Hina saja aku semaumu. Sekarang. Mumpung aku sedang memberimu kesempatan. Aku tidak tahu apakah besok kamu masih bisa melakukannya," ucap Aru lirih sambil membenarkan pashmina-nya yang tertiup angin.

Matanya sudah memerah begitu juga dengan hidung dan pipinya. Dirga justru terkekeh sinis yang membuat kekesalan Aru semakin memuncak.

"Memang, besok kamu mau kemana?" tanyanya sinis.

"Bukan urusan kamu!" pekik Aru kesal.

Aru lihat, Dirga menghela napas lalu menyimpan telapak tangan ke dalam saku celananya. "Mau lompat ke bawah kan?" tebaknya dengan satu alis terangkat.

Melihat Aru terdiam, Dirga terkekeh sinis. "Kamu pikir, dengan terjun bisa menyelesaikan semua? Apa kamu tidak berpikir jika saat ini orang tuamu sedang berdoa demi kebaikanmu? Apa kamu tidak berpikir bagaimana wajah kecewa dan sedihnya mereka ketika mengetahui putrinya memilih mengakhiri hidupnya?"

Pertanyaan itu membuat Aru tergugu. Dia sampai lupa jika di dunia ini masih memiliki orang-orang yang begitu mencintai dirinya. Orang-orang yang tidak pernah mempermasalahkan masa lalunya. Mereka adalah keluarga.

Aru tersadar jika Dirga di hadapannya tampak berbeda. Walau nada bicaranya sinis, sejak pertemuan tadi pagi, laki-laki itu belum menghinanya. Aru mendongak dan melihat tatapan sendu milik Dirga.

Namun, pemandangan itu hanya sebentar karena setelahnya, tatapan itu berganti dengan tatapan sinis seperti biasa. "Apa?" tanya Dirga angkuh.

Aru memutar bola matanya jengah. "Pergi sana! Jangan ganggu aku!" pinta Aru membuang muka.

"Kamu yang pergi. Aku sudah lebih dulu ada disini," jawab Dirga santai. Tangannya bergerak mengambil sebatang nikotin di saku celananya dan menghidupkan dengan pemantik.

Ketika tatapan Aru tertuju pada lantai, sudah banyak putung rokok yang terbuang. Mungkin benar jika Dirga sudah lebih dulu berada di sana.

Aru terbatuk-batuk ketika asap rokok itu disemburkan pada wajahnya. "Uhuk! Uhuk! Apa-apaan sih, kamu? Aku juga berhak ada di sini!" pekik Aru tidak terima.

"Kata siapa? Bukankah kamu sudah dikeluarkan ya?" Ucapan Dirga membuat Aru menatap pria di hadapannya, seakan ingin menguliti.

Bibir yang tadi berucap baik, kini kembali ke setelan pabrik. Tajam dan penuh intrik.

Aru menghela napas kasar. Tak ingin lagi terpancing emosi karena ucapan Dirga yang menguras stok sabar. Saat Aru akan berbalik dan berjalan, kakinya tiba-tiba terkilir hingga membuat tubuhnya limbung.

"Aakkh!" pekik Aru sambil memejamkan mata. Mengira jika dia akan terjatuh dan kembali dipermalukan. Nyatanya, ketika Aru membuka mata, wajah Dirga lah yang menjadi pemandangan pertamanya.

Aru mengerjapkan mata beberapa kali agar dia tidak terpesona oleh ketampanan seorangpun Dirga. "Berdiri atau aku biarkan kamu jatuh?"

Aru membelalak tak percaya. Selain pedas, ternyata Dirga juga bermulut kasar.

Bab 3. Pondok pesantren

Sepulang dari kampus, Aru langsung menuju kamarnya. Dia ingin menenangkan diri dan menyusun kalimat apa yang harus dia katakan pada papa dan mama. Mereka pasti sangat kecewa. Belum lagi, Aru kemungkinan akan mendapatkan kemarahan papanya.

Pikiran Aru melanglang buana pada masa-masa indah bersama Yoda, mantan kekasihnya. Namun, Aru sadar jika masa indah itu hanyalah semu. Tentu tidak mudah baginya untuk melupakan kekasih yang sampai saat ini masih menghuni hatinya.

Namun, Aru berusaha berpikir logis jika seseorang yang mencintai dengan sungguh-sungguh tidak akan pergi saat dalam rahimnya terdapat nyawa yang tak berdosa. Dan satu lagi, laki-laki yang sungguh mencintai tidak akan merusak wanitanya sebelum hari pernikahan itu tiba.

Mengingat hal tersebut, air mata Aru kembali menetes. Yoda hanya main-main dengannya. Entah kemana Kini laki-laki itu berada. Setelah kelulusannya diumumkan, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya.

"Ya Allah, mungkin apa yang menimpaku saat ini adalah balasan dari apa yang aku perbuat di masa lalu. Terlalu membanggakan pasangan yang belum halal dan merasa diri paling sempurna. Ampuni aku ya Allah," sesal Aru menutup wajahnya yang sudah basah karena air mata.

Bersamaan dengan itu, azan Zuhur berkumandang di mushola dekat rumahnya. Aru mengucap hamdalah lalu segera mengambil wudu dan menjalankan kewajiban. Kewajiban yang sejak dulu dia abaikan.

Kini, setelah dirinya hancur, Aru baru mendatangi Tuhannya lagi. Aru malu. Namun, dia tahu jika Tuhannya Maha Pengasih dan Maha Pemurah.

...............

"Papa belum pulang ya, Ma?" tanya Aru ketika ikut bergabung bersama Mama Kalea di dapur.

"Paling sebentar lagi pulang. Kenapa memangnya?" tanya Mama Kalea tersenyum penuh arti.

Melihat kegelisahan sang Putri, senyum itu pun luntur. Sebagai seorang ibu, ikatan batinnya dengan anak sangatlah kuat. "Apa ada yang menganggu pikiranmu, Sayang? Apakah ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Mama Kalea yang sudah mengalihkan perhatian seluruhnya.

Aru memilin jari dan menatap sang Mama takut-takut. "Tadi pagi aku sudah mengajukan surat izin aktif di kampus." Dia mulai mencari cara untuk bicara.

"Lalu?" tanya Mama Kalea yang kini kembali mengiris bawang putih yang ada dalam pegangan.

Helaan napas kasar pun terdengar dari Aru. Sangat berat ketika harus mengatakan dengan jujur. Walau begitu, bukan berarti Aru akan berbohong. "Aku dikeluarkan dari kampus, Ma."

"Apa!" Pekikan kencang itu berhasil mengalihkan perhatian dua wanita berbeda generasi yang sedang berada di dapur. Jantung Aru bagai telah berhenti memompa ketika melihat sosok papanya sedang berdiri tidak jauh darinya. Belum lagi, tatapan nyalang yang dilayangkan sang Papa, membuat nyali Aru semakin menciut.

"Apa-apaan ini, Ru? Papa sangat kecewa padamu! Kamu bukan Aru yang Papa kenal lagi. Papa kecewa ...." Papa Javas mengusap wajahnya frustasi.

"Kamu mau jadi apa kalau sampai tidak kuliah? Apa selama ini kamu kekurangan kasih sayang dari kami? Apa selama ini, cinta yang Papa kasih ke kamu tidak cukup? Kenapa kamu tumbuh menjadi orang seperti itu? Papa merasa sudah gagal mendidik dan menjagamu." Papa Javas sudah sangat lelah menghadapi putri yang sangat disayanginya.

Entah menurun dari siapa sikap buruk Aru. Yang papa Javas tahu, semenjak berpacaran dengan Yoda, Aru berubah menjadi pembangkang.

Aru menangis mendengar pernyataan kekecewaan sang Papa. Tangisnya semakin meraung-raung kala merasakan pelukan dari sang Mama. Pelukan yang menenangkan, yang justru membuat Aru terlena hingga ingin menangis sejadi-jadinya.

"Sudah, Pa. Jangan marahi Aru terus-menerus. Dia tetap anak kita. Jangan ikut menghakiminya." Mamanya memberikan pembelaan untuk Aru.

Papa Javas menghela napas kasar. Beliau menatap sang Putri dengan kekecewaan yang memuncak. Putri yang selama ini dibesarkan dengan kasih sayang, tidak sepenuhnya membuat Aru menjadi pribadi yang lebih baik.

Mungkin, karena dulu dirinya begitu memanjakan Aru hingga anak itu bisa bertindak sesukanya. "Papa kecewa padamu, Ru," lirihnya sebelum berlalu meninggalkan anak dan istrinya.

Abi yang menyaksikan hal tersebut, menatap simpati pada kakak tercintanya. Dia mendekat dan ikut memeluk Aru.

"Makanya, Kak. Kalau Papa bicara tuh didengarkan," ucap Abi sama sekali bukan kalimat penenang.

Jitakan di kening pun mendarat sempurna. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang Mama?

"Aw! Sakit, Ma!" gerutunya tampak kesal.

"Lagian salah kamu juga. Kakaknya sedang sedih malah kamu ikut mengomeli," ucap Mama Kalea sambil memijit pelipis yang terasa pening.

Baru tadi pagi beban di kepalanya meringan, kini beban itu harus kembali hinggap memenuhi pikiran. Mama Kalea melepas pelukan dan meraih gelas berisi air putih agar perasaanya sedikit membaik.

Aru yang melihat hal tersebut, semakin merasa tidak berguna. Dia sudah menyebabkan kekacauan dalam keluarga. "Maafkan, Aru, Ma. Aru sudah berjanji untuk berubah. Bukan hanya penampilan, tapi Aru ingin berubah sepenuhnya," gumam Aru terdengar pilu. Bagai anak kecil yang meminta mainan sampai menangis lalu mengiris kalbu.

Semenjak hari itu, Mama Kalea dan Papa Javas sepakat untuk membawa sang Putri ke pondok pesantren. Bukan bermaksud untuk menutup aib yang sudah dibuatnya. Melainkan, mereka ingin membuat sang Putri menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Rasanya, belajar dalam ponsel belum cukup menurut keduanya. Aru juga perlu mengaji secara langsung dengan tokoh agama.

Ketika jam makan malam tiba, Aru melihat semua anggota keluarga telah berkumpul. Dia menundukkan kepala ketika tatapannya bertemu dengan tatapan dingin sang Papa. Dia segan dan takut ketika harus ditatap seperti itu.

Makan malam berjalan dengan hening. Tidak ada yang berniat untuk membuka pembicaraan walaupun hanya pembahasan ringan.

Semua terdistraksi dengan adanya ketegangan Aru dan Papa Javas. Hingga suara menggelegar sang Kepala Keluarga pun terdengar.

"Aru!" Panggilan itu berhasil membuat bulu kuduk Aru merinding. Padahal, bukan sebuah panggilan berupa teriakan yang kencang. Hanya panggilan yang didominasi sikap datar dan dingin.

"I-iya, Pa?" Aru tergagap. merasa takut dengan kejadian selanjutnya. Jika sang Papa sudah seperti itu, pasti akan ada sesuatu yang mendebarkan.

"Kamu ingin memperbaiki diri kan? Kamu ingin berhijrah dengan lebih baik lagi kan?" tanya Papa Javas yang segera diangguki antusias oleh Aru.

"Iya, Pa."

"Papa dan Mama sepakat untuk memasukkan kamu ke pesantren. Papa tidak akan menerima kalimat penolakan darimu. Entah kamu ingin atau tidak, kamu harus tetap masuk ke pesantren. Jadilah versi terbaikmu. Jangan lagi mau diinjak-injak dan direndahkan. Memang, kamu seorang perempuan yang mahkotanya sudah hilang. Namun, jangan jadikan hal tersebut untuk hal keterpurukan. Tunjukkan dan tingkatkan kualitas diri kamu," ucap Papa Javas panjang lebar dan penuh nasehat berguna.

Aru menganggukkan kepala, menyetujui keinginan sang Papa. Masuk ke pondok pesantren bukanlah hal yang sulit bukan?

"Oh iya. Papa tidak akan melepaskan kamu dan memberimu kebebasan lagi. Cukup sudah Papa kecolongan dulu. Kamu akan berangkat pagi dan pulang sore dengan diantar sopir. Tidak perlu menginap disana. Karena kalau menginap, bisa-bisa kejadian di masa lalu akan terulang."

Aru seketika merasa tersentil dengan ucapan sang Papa. Aru sudah tidak ingin melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan. Aru sudah bukan lagi Aru yang dulu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!