Siapa sangka gadis biasa yang super biasa itu menjadi biasa saja karena memang telah terbiasa. Dia adalah Emi Talenta. Kedua orang tuanya memberikan nama itu, kerena berharap putri mereka akan menjadi seseorang yang memiliki banyak talenta.
Dia telah menjadi seorang mahasiswi tahun ketiga di salah satu perguruan tinggi swasta yang uang kuliahnya bisa dicicil sebanyak sepuluh kali tiap semesternya.
Di kelas yang hampir mirip aula itu terasa sunyi, meskipun ada puluhan orang duduk di dalamnya. Emi berjalan masuk ke dalam kelas itu tanpa menimbulkan suara karena datang terlambat. Dia memilih duduk di bangku kosong terdekat dari pintu masuk.
“Apa pendapat Anda, bank yang berorientasi kepada nasabah?” Tiba-tiba Salmiah, dosen wanita yang sudah memiliki pengalaman mengajar dua puluh tahun lebih itu melontarkan sebuah pertanyaan di tengah-tengah penyampaian materi kuliah hari itu.
Semua mata mengikuti arah pandangan ibu dosen yang tengah berdiri di depan kelas. Pandangannya tertuju kepada Emi Talenta. Sudah bisa dipastikan pertanyaan itu dialamatkan kepada Emi yang datang terlambat lima menit.
“Ya?” Emi mengusap keningnya yang tidak mengeluarkan peluh, “bank… yang berorientasi itu….” jedanya seraya berpikir.
Masih dengan raut wajah tegas, Salmiah berjalan mendekat ke arah Emi. “Jangan membuat kami menunggu,” ucapnya kemudian.
“Baik, Bu,” jawab Emi terbata. Dia jelas kaget dan terkejut diberi pertanyaan dadakan, padahal dia belum duduk dengan nyaman di bangkunya.
“Ok, silahkan.”
“Ya, Bu?” Emi memasang wajah bingungnya.
Dosen wanita yang tidak lagi muda itu menahan kesalnya karena mahasiswinya itu malah balik bertanya. Tetapi, dia harus tetap tenang. “Katakan apa pendapat Anda!”
“Sudah Ibu, bank yang berorientasi kepada nasabah itu baik,” ucap Emi. Dia berpikir dirinya telah mengatakan pendapatnya, bank yang berorientasi kepada nasabah itu adalah baik.
Kali ini giliran dosen bermata coklat itu yang menjadi bingung. Salmiah ingin marah, tapi tidak bisa. Marah hanya akan menurunkan kharismanya. Sadar dirinya terjebak oleh jawaban singkat mahasiswinya, wanita itu dengan sigap menggunakan kekuasaannya.
“Ok, kita cukupkan sampai disini. Saya pikir semuanya sudah paham mengenai manajemen perbankan. Silahkan Anda selesaikan soal kasus bab 2 sampai dengan bab 10,” ucap Salmiah sembari berjalan kembali ke mejanya. Dia melepaskan kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya.
Kelas yang tadinya tenang menjadi riuh. Mereka baru saja mendengar penjelasan pendahuluan 5 menit, sudah diberi tugas sembilan bab. Terang saja batin mereka menolak dan ingin berteriak. Tetapi tidak mungkin juga mereka menyanyikan lagu mahasiswa juga manusia.
Setelah mengumpulkan keberanian dalam tempo sesingkat-singkatnya, komting di kelas itu memutuskan untuk bertanya, “tugasnya dikerjakan per individu atau perkelompok, Bu?” tanyanya dengan nada serius.
“Perkelompok, dan sudah harus dikumpul nanti malam pukul 00:00 wib!” jelas Salmiah yang telah siap untuk meninggalkan ruangan dengan tas jinjing di tangan kanannya. “Selamat mengerjakan!” ucapnya tanpa beban meninggalkan mahasiswa yang terlihat tidak terima dengan tugas yang baru saja mereka terima.
Disaat mahasiswa yang lainnya terlihat duduk bersama kelompoknya masing-masing untuk membicarakan waktu dan tempat untuk mengerjakan tugas bersama, Emi tidak peduli dengan dirinya yang tidak memiliki teman kelompok.
Menyelesaikan soal- soal kasus dari bu Salmiah yang jumlahnya membuat masuk angin dan bikin asam lambung naik, bukanlah hal yang mudah bagi Emi. Tetapi baginya mencari segepok uang jauh lebih sulit daripada mengerjakan tugas segunung.
Tak ingin membuang waktunya, Emi segera membuka laptop bekas kakak lelakinya. Laptop itu sudah dua tahun lebih hidup bersamanya, baik dalam keadaan suka maupun duka. Ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Selain bekerja paruh waktu di toko roti milik kedua orang tuanya, Emi memiliki pekerjaan sampingan lain. Kali ini dia menerima permintaan mendesain sebuah undangan pernikahan.
Dia menemukan bakat terpendamnya diusianya yang ke 18 tahun, yaitu menjadi seorang desainer grafis. Tidak butuh waktu lama Emi berkutat di depan layar laptopnya untuk menyelesaikan permintaan kliennya.
Emi tersenyum puas setelah menerima pesan terima kasih dari kliennya. Tiba-tiba terbesit di pikirannya untuk membuat desain video undangan pernikahan karena sedang gabut.
Dengan lincah jemarinya membuat video singkat berdurasi tiga puluh detik itu. Dia bahkan tidak ragu- ragu untuk menjadikan namanya sebagai calon pengantin wanita, dan tanpa ragu pula video itu diunggah di media sosialnya yang hanya memiliki 102 pengikut itu.
Itu adalah kali pertama dirinya memamerkan desainnya di media sosial yang dipenuhi dengan postingan roti fresh from the oven.
Setelah menutup laptopnya, Emi akhirnya sadar jika dirinya sudah berada di ruang kosong. Semua teman temannya telah pergi meninggalkan kelas sejak tadi. Segera gadis itu membereskan tas ransel berwarna orange miliknya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang.
Emi dengan perasaan senang setelah menerima sisa pembayaran dari kliennya, berjalan meninggalkan kampusnya itu tanpa dia tahu video yang baru saja diunggah itu, tidak sengaja terlihat oleh seseorang yang masih berada di benua yang sama.
Dalam waktu kurang dari lima belas menit, video undangan pernikahan bohongan itu telah dibagikan sebanyak seribu kali. Sementara gadis yang membuat video itu tidak tahu jika karyanya telah menjadi pembicaraan dan perdebatan di media sosial karena menggunakan nama seorang aktor sekaligus penyanyi terkenal, bukan hanya itu, undangan itu juga memuat foto kebersamaan kedua mampelai. Sebagian menganggap video itu hanyalah undangan editan yang dibuat oleh salah satu penggemar, namun sebagian lagi menganggap undangan itu benar adanya karena beberapa pakar telematika meragukan kepalsuan foto pascawedding tersebut.
Hingga malam hari, Emi yang disibukkan dengan tugas yang tidak manusiawi itu, tidak menyentuh gawai hingga keesokan harinya. Jadilah dia tidak menyadari unggahannya dipenuhi oleh beragram komentar.
Beberapa hari kemudian, Emi berjalan dengan tergesa gesa di kampusnya. Rok panjangnya tidak membatasinya untuk berjalan setengah berlari, karena dia menggunakan sepatu lari.
"Hanna!” teriaknya setelah melihat sosok mahasiswi yang ditujunya.
Emi setengah berlari menghampiri Hanna, dan memberikan roti pesanan gadis itu.
Gadis yang bernama Hanna berdecak, “kau sudah lihat media sosialmu?” ketusnya sembari merampas roti miliknya.
Emi mengangguk dengan mata yang berbinar. “Ya, pengikutnya tiba-tiba jadi tujuh ratus tujuh puluh tujuh followers,” katanya dengan nada bersemangat.
Hanna yang sedang mengunyah potongan roti di mulutnya, mebelalakan matanya. Dia berpikir penjual roti langganannya sudah error agaknya. Apakah dia menjadi bersemangat karena tidak memiliki teman selama ini?
Hanna menunjukkan layar gawai seri keluaran terbaru miliknya kepada Emi, “bagaimana kau bisa setenang itu setelah membaca komentar orang asing di media sosialmu?” tanyanya kemudian.
“Oh, aku belum melihatnya,” ucap Emi sembari mengeluarkan gawai seri terlama miliknya dengan tenang.
“Dia belum membacanya?” gumam Hanna tak percaya.
“Apa?! Penguntit? Sangat jelek dan bodoh?” Emi membaca layar gawainya kesal, ada ratusan komentar yang mengumpat dirinya dan orang tuanya. “Siapa orang-orang gila ini?” tanyanya kepada Hanna.
Hanna mengangkat kedua bahunya sembari memakan rotinya dengan santai. Hari itu dirinya tidak ada jadwal kuliah. Dia datang ke kampus hanya karena tiba-tiba ingin makan roti.
“Apa mereka penggemar si Simon?” gumam Emi. Dia memutuskan untuk menghapus unggahannya, dan membuat postingan permintaan maaf di akun media sosialnya. Dia berpikir masalah itu akan selesai begitu saja.
“Terima kasih, selamat menikmati rotinya,” kata Emi seraya pergi meninggalkan Hanna.
Bukankah seharusnya pengumuman beasiswa sudah keluar? Emi membuka website kampus dari gawainya sembari berjalan menuju fakultasnya.
Jantungnya berdebar seiring dengan jemarinya membuka laman pengumuman. Dan benar saja, kemalangan kembali menerpanya. Namanya tidak ada di daftar penerima beasiswa semester depan.
Bagaimana bisa? nilai indeks prestasinya semester lalu rata- rata baik sekali.
Salah satu syarat kelulusan penerima beasiswa yang diperbaharui setiap tahunnya adalah harus masuk di 30% nilai indeks prestasi tertinggi.
Dia telah berusaha keras untuk itu. Apakah ada kesalahan? otaknya berpikir lebih keras. Dimana salahnya?
"Apa yang sedang kau lihat?" suara Hanna yang tiba-tiba, mengagetkan Emi. Gadis itu merebut gawai Emi, "kau mendaftar beasiswa?"
"Tidak," Emi merebut kembali gawainya.
"Apakah aku harus membeli roti dulu, agar kau berbicara lembut denganku?" sindir Hanna. "Melihat aura auranya, sepertinya pengumuman itu tidak menyenangkanmu," tebak Hanna kemudian.
Emi memasukan kembali gawainya ke dalam tas, "sudah ya, aku pergi masuk kelas."
Tidak menyerah, Hanna mengikuti langkah Emi masuk ke gedung fakultas ekonomi dan bisnis.
"Mengapa kau ke sini? Apakah ada seseorang yang kau cari disini?" tanya Emi sedikit penasaran, Nicholas misalnya? teman sekelasnya yang kemarin ditatap Hanna tak berkedip.
Hanna menggeleng, senyum melebar di wajahnya, "kuliah," katanya singkat.
"Oh mahasiswa desain telah pindah ke gedung ini," Emi memutuskan untuk tidak memperdulikan keberadaan Hanna. Dia pikir Hanna tidak serius menjawab pertanyaannya.
"Aku pindah jurusan, sepertinya menggambar bukan keahlianku," Hanna tersenyum tipis, dan berjalan mendahului Emi.
***
Di sebuah aula kelas, tampak seorang pria paruh baya sedang berdiri dengan serius menjelaskan sesuatu yang menurutnya sangat penting untuk segera disampaikan kepada mahasiswanya.
Semangatnya begitu bergelora, hingga dua papan tulis berwarna putih mengkilap yang menempel di dinding depan kelas tak cukup untuk menampung tulisan tulisan pemikirannya.
Critt... critt..
Suara decit terdengar nyaring dari arah papan berwarna putih saat pria itu menghapus guratan spidolnya. Tak peduli apakah mahasiswanya telah menyalinnya atau belum. Dia juga tidak peduli apakah mahasiswa menyimak atau tidak apa yang disampaikannya.
Di pojok kanan kelas, Emi hanya duduk diam mendengarkan celoteh dosen yang usianya hampir setengah abad itu. Dia menghela napas berat, mengingat namanya tidak ada dalam daftar penerima beasiswa untuk tahun depan. Segala pemikiran berkecamuk di kepalanya hingga tak sadar jika dosen yang memiliki semangat tinggi itu telah meninggalkan kelas mereka. Perkuliahan jam pertama telah selesai.
"Emi!" Teriakan salah satu mahasiswi di kelas itu membuyarkan lamunan Emi
"Ya?" tanya Emi setelah menoleh ke arah sipemanggil bernama Carolina. Gadis itu tengah berdiri di sebelah kursi Emi.
Carolina memasang senyum di wajahnya, "kami akan mengerjakan tugas pak Yunus di rumahku, ayo ikut!" ajaknya kemudian.
Emi mengernyitkan dahinya, memastikan kembali kondisi indra pendengarnya. "Kau bilang apa? maaf."
Meskipun teman sekelas, Emi tidak pernah berbicara dengan Carolina. Ya, hanya sebatas hubungan simbiosis mutualisme diantara mereka.
Gadis cantik berambut ikal dengan warna coklat keemasan itu mencoba kembali memasang senyum di wajahnya. "Ayo ikut mengerjakan tugas pak Yunus di rumahku, karena kita satu kelompok."
"Oh," jawab Emi singkat. Segera dia memasukan buku dan alat tulis miliknya ke dalam tas. Mengapa dia memasukanku dalam kelompoknya ? Batinnya.
***
Sebuah mobil mungil dan stylish berwarna merah meluncur meninggalkan area kampus Pelita Pelipur Lara.
Emi, si gadis fresh from the oven duduk diam di dalam mobil merah melaju dengan kecepatan lumayan agak cepat itu. Dia diam karena bingung, mengapa dirinya berada di tengah-tengah Carolina and the geng?
Selama perjalanan menuju rumah milik kedua orang tua Carolina, pikiran Emi terus bertanya tanya, mengapa ketiga gadis itu tiba-tiba beramah tamah dan menjadikan dirinya bagian dari mereka.
Hingga tugas mereka selesai, Emi masih bertanya-tanya dalam pikirannya, karena dia belum menemukan jawabannya.
Di kejauhan dua ribu seratus dua puluh tiga mil dari keberadaan Emi, ada sebuah gedung apartemen yang terlihat modren dan luas. Simon Liu, seorang aktor dan juga seorang penyanyi terkenal menempati salah satu unit di gedung itu.
Di ruangan kerjanya, Simon duduk dengan santai di kursi pijat sembari menatap layar gawainya. Dia membaca sebuah forum web gosip yang menyeret namanya.
“Mengapa mereka terlalu serius menanggapi postingan gadis itu? Mungkin ia hanya penggemar biasa,” katanya kepada seorang pria yang terlihat sibuk berbicara dengan seseorang melalui gawai.
Pria itu adalah teman Simon Liu yang telah tujuh tahun menjadi manajernyanya. Pria bernama Kent itu menutup sambungan teleponnya, “hanya penggemar biasa?” sindirnya kesal sembari menunjukan screenshot postingan lama yang pernah diunggah oleh Simon di akun media sosial pribadinya.
Sebuah foto seorang gadis yang wajahnya tidak begitu jelas dengan caption love. Meskipun postingan foto itu sudah dihapus, namun entah mengapa ada orang yang mengabadikannya dan menyimpannya. Kini poto tersebut kembali disebarkan dan dikaitkan dengan unggahan yang dibuat oleh seorang gadis yang tidak mereka kenal.
“Bagaimana bisa mereka begitu sangat mirip?” tanya Kent tidak percaya dengan sebuah kebetulan yang tengah dihadapinya.
Simon melihat foto yang pernah diunggah olehnya dengan mimik wajah serius, dia menghiraukan pertanyaan Kent . Sebuah foto yang bahkan dia sendiri sudah lupa.
“Apakah mereka adalah gadis yang sama?” gumam Simon.
Kent menatap Simon dengan tatapan mencurigai. Sebuah dugaan prasangka muncul di otaknya, “tidak salah lagi, kau pasti memiliki hubungan dengan gadis itu. Mungkin saja besok dia akan kembali membuat pernyataan bahwa dia telah dihamili olehmu, dan kau memintanya untuk aborsi.”
“Tuan Chen, sepertinya kau butuh healing untuk membersihkan pikiranmu yang terkontaminasi oleh berita seleb,” saran Simon. Dia tak percaya manajernya berpikir terlalu jauh.
“Aku akan mencoba menghubungi gadis itu, dan menekannya,” ungkap Kent sembari menekan layar gawainya.
Emi memuat nomor teleponnya di bio akun sosial medianya untuk pembelian roti, jadi tidak sulit untuk mendapatkan nomor kontaknya.
“Dia tidak mengangkatnya?” gumam Kent heran, dan mencoba sekali lagi menghubungi nomor Emi.
“Jangan melakukan apapun, bukankah dia sudah meminta maaf,” kata Simon dengan santai.
“Gadis itu hanya akan dianggap sebagai penggemar biasa, jika waktu itu kau tidak memposting foto dan caption dengan sembarangan!” ungkit Kent.
Simon mendelik karena kembali mendengar protes Kent. Dia berdiri, dan beranjak meninggalkan ruangan itu. “Aku pergi, bye bye!”
“Kau mau kemana?” tanya Kent yang masih terus mencoba menghubungi Emi. “Aku sudah membuatkan janji dengan chef Qin. Latihan menggunakan pisau akan dimulai sore ini,” kata Kent memberi informasi dadakan.
Di drama terbaru yang proses syutingnya akan dimulai bulan depan, Simon berperan sebagai ahli memasak di drama terbarunya.
“Ok, aku akan latihan besok,” jawab Simon sekehendak hatinya, dan menghilang di balik pintu.
Rasa sesal merasuki diri Kent, “harusnya kemarin aku mengundurkan diri menjadi manajer anak itu,” gerutunya sembari berjalan menuju pintu keluar.
Simon kembali membuka pintu, dan mengagetkan Kent yang hendak meraih gagang pintu. “Jangan mengikutiku, aku memberimu cuti seminggu.”
“Cuti kepalamu!” balas Kent menatap sengit ke arah Simon, “kau pikir aku bisa cuti selama kau dalam masa kontrak?”
Simon berdecak. “Terserah kau saja lah,” katanya dengan nada tak semangat, dan melanjutkan perjalanannya meninggalkan gedung apartemen tempat tinggalnya.
***
Di tempat lain, di sebuah kamar perawatan rumah sakit. Terlihat dua gadis cantik berwajah oriental sedang terlibat pembahasan serius.
“Liu Yumei, apakah kau sudah melihatnya?” tanya seorang gadis sambil menahan tawanya.
“Simon gege ternyata sudah menikah diam diam.”
“Ssstt… kecilkan suaramu Lizhu.” Gadis yang dipanggil Liu Yumei menutup mulut Lizhu, “nanti kakek mendengarnya,” bisiknya kemudian.
Yumei melepaskan tangannya setelah Lizhu mengangguk mengerti.
Mereka tengah berada di kamar perawatan kakek mereka. Sudah seminggu lamanya Sang kakek terbaring koma. Meskipun ada perawat yang menjaga kakek, Yumei tetap selalu datang menjenguk kakeknya.
Kedua gadis itu adalah saudari sepupu Simon. Mereka selalu tahu berita terkini mengenai Simon Liu. Karena mereka adalah penggemar setia yang selalu mengikuti drama yang dibintangi Simon dan mereka juga aktif membicarakan sepupu mereka itu.
"Lizhu, mengapa kau ke sini?" tanya Yumei, karena penampakan Lizhu yang betah berlama-lama di kamar kakek adalah sesuatu hal yang aneh.
"Aku ingin membeli sebuah mobil baru...,"
"Eh... kau harusnya pergi ke dealer," potong Yumei
"Yumei, saat ini aku tidak akan pulang sampai ayahku membelinya," kata Lizhu melanjutkan kalimatnya.
Yumei mencerna pernyataan Lizhu. "Aha... aku mengerti," katanya mengangguk paham.
"Lizhu, mobil apa yang kau inginkan?"
"Ah... itu aku ingin," Lizhu menghentikan ucapannya dan menatap Yumei heran, "siapa yang bertanya?" tanya kemudian memiringkan badannya untuk melihat ke belakang sepupunya itu, dan Yumei berbalik kebelakan melihat apa yang dilihat Lizhu.
"Kakek!" Mereka berteriak kaget melihat kakek telah sadar.
"Kakek baik baik saja?" tanya Yumei dan segera memanggil dokter.
"Syukur lah kakek akhirnya bangun," ucap Lizhu menangis haru.
"Aku lupa kalau sedang koma," gumam kakek, dan kembali berbaring menutup mata.
"Kakek!!" teriak Yumei dan Lizhu marah. Ternyata selama ini kakek mereka berpura-pura sakit.
Setelah drama yang lumayan panjang, ditambah dengan kehadiran dokter yang ternyata juga bersekongkol, akhirnya kakek mau tak mau tidak bisa mengelak lagi dari kedua cucunya.
"Lizhu, kakek akan membelikan mobil itu untukmu," kata Kakek Liu.
Lizhu tersenyum bahagia mendengar pernyataan kakek yang tidak main main. Dia segera memeluk kakeknya. "Terima Kasih, Kek. Aku cinta Kakek."
"Yumei, apa yang kau inginkan?" Kakek beralih ke Yumei. Dia berhasil membujuk cucunya agar jangan memberitahukan kebohongannya kepada orang tua mereka.
Yumei hanya menggeleng, "sekarang belum ada, Kek."
Kakek mengangguk mengerti, "jika ada yang kau inginkan, katakan saja kepada kakek. Kakek tidak bisa melihat cucu kakek tidak bahagia," katanya kemudian dan tersadar akan sesuatu. "Apakah benar Simon sudah menikah?"tanyanya dengan antusias, karena kakek juga penggemar Simon Liu.
"Itu tidak benar, Kek. Hanya penggemar wanita yang halu, dan entah mengapa bisa jadi rumor," elak Yumei.
"Eii... bukan halu, mereka benar-benar pernah berpacaran," bantah Lizhu.
Sementara Yumei dan Lizhu saling berargumen, kakek memilih untuk membaca layar gawainya. Mencari tahu sendiri di internet apa yang terjadi dengan cucunya.
"Berhentilah bertengkar!" teriak kakek menghentikan debat pendapat kedua cucunya. "Kakek tahu apa yang terjadi," katanya kemudian.
"Apa?" tanya kedua gadis itu.
"Paman kalian, tidak. Semua anakku tidak mengerti apa itu arti kebahagiaan," kata kakek yang mungkin akan berkhutbah. Kakek hanya memiliki dua putra, satu putri. Ketiganya tidak ada yang mengerti dengan keinginannya, hingga akhirnya dia memutuskan untuk berpura-pura sakit.
Yumei dan Lizhu memasang pendengaran mereka baik- baik.
"Aku akan membuat mereka bisa bersatu. Semua cucuku harus bahagia," kata kakek membuat keputusan.
"Hah? apa? mengapa? bagaimana? apanya?" tanya kedua gadis seumuran itu tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"Paman kalian pasti menentang hubungan mereka, dan pada akhirnya mereka harus merahasiakannya. Ternyata selama ini mereka telah menikah. Mereka harus segera meresmikan pernikahan mereka. Aku tidak ingin keturunanku terlahir tanpa status," jelas kakek yang telah terhasut oleh opini media.
Yumei dan Lizhu, hanya bisa mengangguk setuju. Kakek mereka telah lama hidup di dunia dan menjalani pahit manisnya kehidupan, tentulah lebih ahli dalam membaca keadaan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!