“Aku ... aku mencintaimu, Vean.”
Ini, entah yang ke berapa kalinya Dhea mengungkapkan perasaannya pada pria di hadapannya ini. Vean, pria tampan yang banyak disukai oleh perempuan, termasuk Dheara.
“Maaf Dhea, tapi aku hanya menganggap kamu teman, tidak lebih.” Dan selalu kata-kata yang sama juga, yang Dhea dengar.
Penolakan demi penolakan. Sudah tidak bisa dijelaskan lagi bagaimana kebalnya hati itu mendengar kata tidak, dari orang yang sama selama bertahun-tahun.
“Kamu juga tahu kan, bagaimana hubunganku dengan Fio?” Dhea mengangguk.
Tentu saja Dhea sangat tahu, karena Foto adalah sahabat Dhea.
Cinta segitiga!
Dhea mencintai pria yang menjadi kekasih sahabatnya sendiri. Bukannya Dhea itu sahabat yang jahat, tapi hati ... siapa yang bisa mengatur? Dhea sudah menyukai Gean jauh sebelum dia tahu hubungan Fio dengan Vean.
Vean lalu meninggalkan Dhea, tanpa memandang wajah gadis itu. Berusaha ditahan, namun akhirnya air mata itu luluh juga. Selama ini, Dhea sudah mengesampingkan harga dirinya.
Perempuan mana yang berkali-kali menyatakan cinta pada pria yang sama, dan selalu ditolak? Itu adalah dia. Bukan satu tahun dua tahun dia sudah menyukai Gean, tapi lima tahun. Lima tahun tetap mencintai pria yang sama, tidak berpaling untuk pria lain mungkin ada yang lebih baik. Memilih tetap bertahan dengan cinta pertama yang tidak yang tidak pernah memandangnya sedikit pun.
Ghea kembali ke kosannya. Kosan yang dia tempati sejak hampir tiga tahun yang lalu. Ghea memandang fotonya bersama Fio. Apa Fio tahu perasaannya pada Vean? Ya, Fio tahu, tapi sahabatnya itu tidak marah padanya, tidak memusuhi apalagi menjauhinya.
Fio bilang, perasaan seseorang siapa yang bisa mencegah? Yang penting, Vean tetap setia dengannya, dan itu membuat Dhea semakin malu. Bukannya Dhea tidak tahu kalau orang-orang mencibirnya di belakang. Mengatainya tidak tahu malu, teman makan teman, terlalu banyak mimpi, dan lain sebagainya.
Ghea kembali melihat foto mereka. Ada juga fotonya bersama Fio dan Vean, di mana Vean yang merangkul pundak Fio, atau Fio yang menggandeng lengan Vean. Dan Ghea? Dia sedikit tersisih di antara mereka. Dhea menghela nafas, lalu mengembalikan foto-foto itu ke dalam kotak.
🌼🌼🌼
“Kamu dari mana?” tanya Fio pada Vean.
“Habis bertemu teman.”
Fio mengangguk, tidak lagi banyak bertanya.
“Oya, mama tanya, kapan kamu bisa makan malam di rumah?”
“Nanti, ya. Sekarang aku masih sibuk.”
“Iya, aku mengerti.”
“Oya, ini aku bawakan makan siang dari mama. Liburan kali ini aku sering masak dengan mama.”
Vean diam saja. Seperti itulah Vean, tidak banyak bicara, termasuk dengan Fio. Vean tidak sengaja menjatuhkan tas Fio, dan melihat fotonya bertiga bersama Fio dan Dhea. Vean segera memasukkan foto itu dan meletakkan tas Fio ke atas meja.
“Oya, hari Senin nanti kan tanggal merah, bagaimana kalau dari Jumat malam, kita dan Dhea pergi berlibur bersama Juna?”
“Juna?”
“Iya, Juna. Ajak dia sekalian. Juna itu belum punya pacar, kan? Bagaimana kalau kita menjodohkan Dhea dengan Juna?”
“Juna lagi sibuk. Lagi pula, jangan sembarangan menjodohkan orang. Nanti kalau hubungan mereka jadi tidak baik, atau salah satu dari mereka jadi berharap, bagaimana?”
“Ya namanya juga usaha, siapa tahu saja ‘kan berjodoh. Lagi pula, daripada Dhea selalu berharap padamu!”
Vean terdiam, mengingat Dhea yang selama lima tahun ini terus menyatakan perasaannya. Ingatan Vean kembali ke lima tahun yang lalu.
Flashback On
“Kak Vean, aku suka kakak ....”
Vean terdiam, memandang gadis berseragam SMP itu. Saat itu Dhea masih kelas satu SMP.
“Maaf ya, Dhe, tapi aku hanya menganggap kamu adik.” Tanpa basa-basi, Vean langsung menolaknya. Menangis? Tidak, Dhea masih tetap tersenyum.
“Tidak apa. Sekarang, Kakak boleh menganggap aku adik, tapi nanti bisa lebih. Besok mungkin menjadikan aku sahabat, dan seterusnya.”
Vean masih saja diam, memandang wajah imut Dhea yang rambutnya diikat dua.
“Oya, ini coklat untuk kak Vean. Jangan ditolak juga. Aku tidak bisa memakannya, karena wajahku sudah mengandung banyak gula.”
Vean masih tetap diam, Dia pikir Dhea akan menangis dan pergi begitu saja, atau memohon padanya untuk memberikan dia kesempatan.
Sejak saat itu, Dhea sering menyatakan perasaannya, dan memberikan Vean coklat.
“Vean!”
Vean tersadar dari lamunannya saat mendengar suara Fio.
“Ayo makan.”
Vean mengangguk, lalu mulai mengambil makanan yang sudah disiapkan oleh Fio.
Keesokannya
“Hai Juna, kamu sibuk, enggak?” tanya Fio. Saat ini, Fio, Vean dan Juna sedang bersama di kafe langganan mereka.
“Memangnya kenapa?”
“Kita jalan-jalan, yuk. Aku, Vean, kamu dan Dhea.”
“Dhea?”
“Iya. Nah, itu Dhea datang.”
Juna melihat Dhea yang datang dan menyambutnya dengan senyuman, sedangkan Vean tetap seperti biasanya, diam saja dengan wajah datarnya.
“Dhe, kita liburan, yuk. Ke pantai sama Juna dan Vean.” Tanpa menunggu persetujuan dari Vean dan Juna lebih dulu, Fio sudah mengambil keputusan sendiri.
“Maaf ya, Fi, aku enggak bisa ikut. Aku mau belajar untuk ujian akhir dan masuk universitas.”
Dhea dan Fio saat ini memang masih kelas tiga SMA.
“Nah, karena itu, kita refreshing dulu, biar nanti belajarnya enak.”
“Tapi ....”
“Kalau Dhea enggak mau, jangan dipaksa, Fi.”
Padahal dalam hati Dhea, gadis itu berharap Vean akan ikut membujuknya, tapi mana mungkin. Juna melirik Dhea, gadis manis yang sudah bertahun-tahun menyukai sahabatnya itu. Juna dan Vean juga sebenarnya masih memiliki hubungan kerabat.
Juna tahu? Tentu saja dia tahu. Bukan hanya Juna, bahkan keluarga Fio, Vean dan Juna saja tahu.
“Itu buku kedokteran?” tanya Juna yang melihat buku uang Dhea bawa di dalam paper bag.
“Iya, tadi aku beli buku. Habis kalau pinjam, nanti saat butuh lagi malah jadi ribet.”
“Kamu mau jadi dokter?”
“Oya, tapi enggak tahu juga deh, bisa atau enggak. Kuliah kedokteran kan, mahal. Jadi aku hanya bisa mengandalkan beasiswa.”
Vean ikut melirik buku yang dibeli oleh Dhea. Bukan buku baru, tapi buku bekas yang bagian sampulnya sudah sangat jelek.
“Harus optimis, dong. Harus yakin kalau kamu bisa jadi dokter,” ucap Juna.
Dhea mengangguk, karena dia memang harus optimis bisa menjadi dokter dengan segala keterbatasan yang dia miliki.
“Kamu kalau butuh buku kedokteran, bilang saja sama aku. Aku punya komplit,” lanjutnya.
“Boleh, Kak?”
“Boleh, dong. Kamu tinggal bilang saja kapan kamu membutuhkan buku-buku itu. Oya, mana sini nomor ponsel kamu.”
Dhea langsung memberikan nomor ponselnya untuk Juna.
“Jadi gimana, Dhe. Mau, kan?” tanya Fio setelah melihat interaksi antara Dhea dan Juna.
“Aku ....”
“Mau, dong. Mau ya ya ya?”
“Iya, deh.”
“Nah, gitu dong.”
Jumat malamnya, Fio, Vean, dan Juna menjemput Dhea ke kosannya. Kosan Dhea tidak besar, dan cukup jauh juga dari sekolahannya. Fio duduk di depan bersama Vean yang menyupir. Sedangkan Juna duduk di belakang bersama Dhea. Karena perginya malam hari, mereka tidak terlalu merasakan macet, meskipun begitu, jalanan tetap ramai karena banyak yang ingin berlibur juga.
“Kita makan malam dulu, ya. Aku belum makan malam,” ajak Juna. Mereka berhenti di warung sate, dan duduk berhadapan dengan Juna yang tentu saja ada di sebelah Dhea.
“Makan yang banyak, Dhe, biar gemuk.” Juna menambahkan sate ke piring Dhea. Fio yang melihat itu tentu saja merasa sangat senang. Dia ingin Dhea dekat dengan pria lain, jadi bisa melupakan Vean.
Mereka tiba di vila larut malam. Ini adalah vila milik keluarga Fio. Fio memang anak orang kaya, tidak aneh bagi Dhea kalau keluarganya punya vila di sini.
“Ada banyak kamar di sini, kalian bisa pilih mana yang kalian suka. Dhe, kamu mau tidur sama aku atau di kamar sendiri?”
“Hmm ... aku sendiri saja deh, Fi. Enggak apa-apa, kan?”
“Oke, enggak apa.”
Mereka mulai melihat beberapa pintu. Tangan Dhea dan Vean memegang handle pintu yang sama.
“Aku cari kamar lain,” ucap mereka bersamaan.
Akhirnya Vean yang pergi lebih dulu, membiarkan Dhea yang menempati kamar itu, sedangkan dia memilih kamar di sebelahnya. Dhea memasuki kamar yang bernuansa putih itu, dan meletakkan tasnya di atas kasur, kemudian membersihkan diri.
Pagi-pagi sekali, Dhea sudah duduk di halaman vila.
“Ya ampun, Dhe. Jauh-jauh kamu ke sini, tetap saja belajar.”
“Kan aku sudah bilang, Fi, kalau aku mau belajar. Apalagi masih lagi dan udara sangat sejuk, ditambah pemandangan yang bagus. Belajar di pagi hari lebih mudah diserap oleh otak.”
“Ya ya ya, terserah kamu saja, lah.”
“Oya, kalau nanti kalian mau jalan-jalan, ya jalan-jalan saja. Aku enggak apa kok, di sini.”
“Iya, deh.” Fio tidak akan memaksa Dhea kalau gadis itu sudah memegang buku. Mau diajak liburan ke sini saja sudah bersyukur.
Setelah sarapan bersama, Dhea kembali ke kamarnya.
“Kita jalan-jalan, yuk.”
“Kalian berdua saja, lah. Kalau nanti aku ikut, paling jadi obat nyamuk.”
“Ayo, Vean.”
Vean mengikuti langkah Fio, akhirnya hanya mereka berdua saja yang pergi jalan-jalan. Pintu kamar Dhea diketuk, Dhea langsung beranjak dari kasurnya untuk membukakan pintu.
“Kak Juna?”
“Aku punya sesuatu untuk kamu.”
Juna mengajak Dhea ke balkon, di sana sudah ada beberapa buku kedokteran. Dhea tersenyum melihat buku-buku itu yang memang sangat dia butuhkan.
“Ini semua untuk kamu, jadi tidak perlu kamu kembalikan. Oya, ayo ikut aku. Bawa juga buku-buku itu.” Juna mengajak Dhea ke suatu tempat.
“Di sini tempatnya nyaman, pemandangannya juga bagus, jadi enak belajar di sini.”
Dhea mengangguk, lalu duduk begitu saja di atas bebatuan. Dhea sibuk membaca buku, begitu juga dengan Juna yang sibuk membaca buku. Tanpa terasa waktu sudah berlalu cukup lama. Keduanya langsung pulang ke vila dengan berjalan kaki.
“Yadi katanya enggak mau jalan-jalan. Eh, malah jalan berdua, cieee ...,” goda Fio.
“Apaan sih, Fi. Orang kak Juna meminjamkan aku buku, terus belajar bareng.” Fio dan Vean melihat buku-buku yang Dhea bawa. Jelas itu buku memang dari Juna.
“Pokoknya besok kita jalan-jalan. Masa liburan tapi masing-masing, sih.”
Mengikuti kemauan Fio, akhirnya keesokan harinya mereka jalan-jalan bersama. Dhea melirik Vean dan Fio yang bergandengan tangan.
Andai saja dia dan Vean yang bergandengan tangan.
Andai saja dia yang membuat Vean tersenyum.
Andai saja dia yang dicintai oleh Vean.
Andai saja dia, dia dan dia ....
Tapi itu bukan dia.
Dia hanyalah gadis biasa yang tidak memiliki apa-apa.
Malam itu, mereka menonton film yang sudah didownload oleh Fio, disambungkan ke layar televisi.
Kisah cinta segitiga. Di mana salah satu tokohnya menangis dan berjanji akan memisahkan pasangan kekasih itu dengan cara apa pun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!