NovelToon NovelToon

Menikahi Wanita Mantan Napi

Adiat yang Bikin Muak

Retania Arundaya, wanita berusia dua puluh enam tahun dan merupakan seorang narapidana kasus penganiayaan kelas berat tersebut, lagi-lagi harus dibuat kesal oleh kedatangan seorang pria. Adalah Adiat Kusuma Jati yang sepantaran sekaligus teman SMA yang tak terlalu akrab dengannya, memang kerap datang berkunjung ke rutan perempuan di mana Retania dihukum selama hampir delapan tahun. Sejak datang lima bulan yang lalu dan terhitung sampai sekarang mungkin sudah lima belas kali mampir, permintaan pria itu masih sama saja.

Permintaan tersebut merujuk pada sebuah lamaran tak masuk akal yang cukup membuat Retania kesal, alih-alih senang. Karena baginya keinginan pria itu untuk menikah dengannya malah jatuhnya wajib dicurigai. Bagaimana tidak, secara kasat mata pun, Adiat tahu bahwa Retania adalah wanita narapidana yang meski sebentar lagi akan bebas tetaplah seorang kriminal. Sementara Adiat sendiri merupakan anak Gunawan Kurjati, seorang pengusaha kuliner yang sudah memiliki beberapa cabang restoran maupun kuliner dengan sistem franchise.

Kehidupan Retania tentu saja sangat jauh berbeda dari kehidupan Adiat yang nyaris seperti pangeran dari universal lain. Dan mana mungkin Retania tidak curiga!

“Ayolah, Reta! Setelah bebas, menikahlah denganku. Aku akan memberimu kehidupan yang layak sekaligus mewah. Lagi pula, kau tidak punya tujuan lain, bukan? Kudengar kau dipenjara gara-gara menganiaya pacar ibumu, di saat ayahmu sakit keras. Dan maaf, tapi sekarang ayahmu juga sudah tiada. Meskipun kau masih punya ibu, tampaknya kehadiranmu tak bisa diterima olehnya. Jadi, menikah saja denganku!” ucap Adiat cenderung memaksa.

Retania menggertakkan gigi. Tempat keberadaannya saat ini adalah tempat pertemuan tanpa sekat yang mengharuskannya tetap tenang. Ia tidak mau sampai kelepasan memukul wajah pria di hadapannya itu, karena sebentar lagi dirinya akan bebas. Apalagi, kalau tidak salah Adiat ini memiliki fisik yang lemah dan seorang pengidap asma, karena seingat Retania, Adiat sering tidak mengikuti pelajaran praktik olahraga karena alasan kesehatan. Bahaya jika bogem mentah dari Retania yang pandai bela diri malah membuat pria itu pingsan, bisa-bisa dirinya akan kembali dihukum dengan vonis dua kali lipat dari masa hukuman pertamanya.

Melihat reaksi diam tetapi tampak marah dari wajah Retania, Adiat merasa harus berusaha lebih keras. Dan detik berikutnya, ia kembali berkata, “Lagi pula, kau kan sudah mengenal aku. Aku bukan pria sembarangan, latar belakangku jelas. Dan meskipun aku punya tiga orang kakak dari istri kedua ayahku, aku tetaplah anak pertama dari istri pertama sekaligus pernikahan yang sah! Dan ... aku sangat tampan, bukan? Kau tidak perlu khawatir, Reta, aku pasti—”

“Diamlah, Adiat. Dan segera pergi dari hadapanku. Atau aku yang pergi duluan. Aku pikir jawabanku sudah sangat jelas, bahwa aku tidak mau!” potong Retania dengan tegas. ”Lagi pula, meski kau bukan orang sembarangan dan berlatar belakang jelas, di sini akulah yang orang sembarangan! Aku narapidana dan latar belakangku buruk! Kita pun masih sangat muda, masih dua puluh enam tahun! Selama delapan tahun sejak aku baru lulus SMA, aku belum menikmati kehidupanku sama sekali. Masa iya, ketika sudah keluar dari penjara, aku malah menjadi istri orang! Jangan gila!”

“Kau bebas menikmati hidupmu. Lagi pula, jika nanti kau keluar, dengan latar belakangmu yang merupakan seorang mantan napi, kau pasti akan kesulitan mencari pekerjaan. Kau hanya akan berakhir menjadi gelandangan! Ayolah, jangan sok jual mahal dan menikah saja denganku, Nona Napi!”

”Ugh ... sebenarnya apa sih yang kau inginkan?!” balas Retania bertanya dengan jauh lebih tegas, bahkan diiringi dengan gebrakan tangannya di meja yang membatasi dirinya dengan Adiat. ”Kau tak mungkin mendadak ingin menikah denganku jika tanpa sesuatu. Karena meskipun kita teman satu SMA, nyatanya kita tidak terlalu akrab, Tuan Asma!”

Disebut sebagai Tuan Asma sungguh membuat Adiat terkesiap, dan juga cukup sakit hati. Yah, memangnya siapa yang tidak ingat tentang Adiat yang bertubuh lemah dan jarang mengikuti pelajaran olahraga ketika masih SMA? Bahkan, untuk Retania yang jelas-jelas tak akrab dengannya saja sampai tahu.

Pun sebaliknya, semua siswa pada saat itu juga tahu jika Retania adalah gadis kasar meskipun juga seru. Meski tidak sampai mengikuti pelatnas sebagai atlet profesional karena harus mendekam di penjara setelah lulus, Retania sempat mengikuti beberapa kompetisi karate tingkat provinsi bahkan nasional.

Menurut informasi yang Adiat dengar pun, Retania masih terlibat perkelahian sesama narapidana di dalam rumah tahanan tersebut. Jadi, meskipun tak lagi berlatih, kerasnya dunia penjara tetap membuat Retania menjadi wanita kuat dan pandai bertarung. Bahkan kabarnya, Retania bisa dianggap sebagai tahanan yang paling ditakuti oleh tahanan-tahanan lainnya.

Dan kemampuan Retania itulah yang saat ini ingin Adiat manfaatkan.

“Aku tidak bisa mengatakan alasannya di sini, tapi aku akan menjelasnnya nanti jika kau bebas dan kita bertemu lagi,” ucap Adiat. “Tapi yang pasti aku akan selalu membutuhkanmu selama dua puluh empat jam, Reta. Aku harap kau berkenan menjadi istriku, dan aku akan memenuhi apa pun yang kau inginkan. Kendati saat ini aku hanyalah sebatas manager di salah satu cabang restoran milik ayahku, aku masih punya banyak uang.”

”Aku tidak butuh uangmu, oke? Dan kita tidak akan pernah bertemu lagi. Aku rasa ini sudah jelas, Adiat. Aku menolak lamaranmu, dan kau tidak harus datang kemari lagi. Tempatmu adalah istana, sementara tempat ini adalah sebuah neraka dunia.” Retania memutuskan untuk bangkit dari duduknya.

Retania ingin kembali ke tempatnya, tepat ketika sang penjaga mengatakan waktu kunjung telah habis. Ia digiring untuk kembali ke kurungan yang membuat hidupnya seperti neraka selama hampir delapan tahun sejak ia berusia delapan belas tahun. Kalau saja pada saat itu, Retania tidak terbawa emosi ketika melihat ibunya sedang bercumbu dengan pria lain, padahal ayahnya sedang berjuang dari penyakit kanker hati, mungkin saat ini Retania sudah lulus kuliah dan bekerja di perusahaan besar, atau mungkin ia akan melanjutkan bakatnya di bidang olahraga bela diri yang sudah ia tekuni sejak SMP.

Penderitaan Retania semakin bertambah besar, saat baru dua tahun mendekam di penjara, ayahnya mengembuskan napas terakhir. Dan pada saat itu dunianya seolah-olah telah berhenti. Hidup segan mati tak mau. Semua impian yang sudah ia rancang dengan baik tentu sudah berantakan.

Dan sekarang, meski satu bulan lagi dirinya bisa keluar, ia yakin dirinya hanya akan berakhir menjadi gelandangan. Bahkan mungkin saja, jika terpaksa, Retania bisa mencuri dompet orang. Namun dengan situasi seburuk itu, ia sama sekali tidak berkenan untuk menerima tawaran dari Adiat yang tetap mencurigakan.

Di sisi lain, Adiat hanya bisa menundukkan kepala sembari berjalan dengan langkah yang amat gontai. Lima belas kali dirinya datang ke rutan itu, tetapi usahanya selalu gagal. Retania sama sekali tidak bisa dirayu dengan uang dan macam-macam berlian. Wanita itu malah menaruh curiga dari lamaran yang selalu ia lontarkan ketika datang.

Memang benar, bahwa keinginan Adiat untuk menikahi Retania bukan karena dirinya mencintai wanita itu. Melainkan karena adanya sesuatu dari diri Retania yang ingin ia manfaatkan. Sebagai anak pertama dari istri pertama ayahnya dengan pernikahan yang sah, posisi Adiat sebagai kandidat penerus usaha terhitung sangat kuat. Dan hal itulah yang membuat ketiga kakaknya dari pernikahan kedua ayahnya menjadi marah, termasuk juga ibu tirinya.

Adiat kecil yang sudah memiliki fisik lemah kerap dikirimi teror berbahaya. Makanannya tak jarang disisipi racun yang nyaris membuatnya sekarat. Bahkan sampai usianya menginjak dua puluh enam tahun, masih saja banyak serangan-serangan tak terduga. Namun sampai saat ini Adiat tidak tahu siapa pelaku yang sesungguhnya. Ia hanya menebak pelaku tersebut adalah kedua kakak laki-laki kembar dan kakak perempuan tirinya, termasuk juga sang ibu tiri. Memangnya jika bukan mereka, lantas siapa lagi?

Beberapa surat misterius yang diterimanya sejak masih kecil dan berisikan kalimat, 'Jika kau melapor, kau akan benar-benar mati. Bahkan juga ayah dan ibumu!' membuat otak Adiat terus tersugesti. Ia benar-benar takut dan merasa tak berguna sama sekali. Beberapa pengawal yang sudah ia pekerjakan pun banyak yang telah mengkhianatinya. Ada salah satu dari mereka yang sampai menaruh dupa di bawah tempat tidurnya, sampai membuatnya kesulitan bernapas. Namun ia tetap tak bisa melakukan apa-apa. Kondisi ibunya juga sama lemahnya dan terhitung sejak melahirkan dirinya di usia yang tak lagi muda.

“Retania, mau bagaimanapun aku harus menjadikanmu pelindungku, karena aku yakin kau lebih bisa aku percayai kendati kita tidak pernah dekat sama sekali,” gumam Adiat sesaat setelah melesakkan diri ke dalam mobilnya. ”Aku sudah memperhatikanmu sejak dulu, dan kau jauh lebih kuat daripada dugaanku. Kau harus menikah denganku!”

***

Rupanya Adiat Tetap Tak Menyerah

Bunyi gembok yang dibuka oleh seorang petugas terdengar di tengah kesenyapan. Gerbang utama dari rumah tahanan telah melebar bagi wanita yang terkurung di dalam tempat itu selama delapan tahun. Yakni Retania, yang tidak pernah menikmati dunia kerja maupun ketegangan sebuah kompetisi karate tingkat tinggi. Hanya gara-gara terlalu emosi dan nyaris menghabisi selingkuhan ibunya, Retania berakhir menjadi narapidana. Keterbatasan ekonomi sungguh membuatnya tidak mampu menyewa pengacara andal. Belum lagi ketika di dalam rutan, Retania malah kerap terlibat perkelahian. Sehingga tuntutan atas kasus penganiayaan berat yang ia lakukan terhadap pria selingkuhan ibunya itu tidak bisa berkurang.

Yah, sudah nasib, mau bagaimana lagi. Namun sejujurnya, Retania tidak pernah merasa menyesal ketika memutuskan untuk melukai pria bernama Sasongko, selaku pria selingkuhan tersebut. Kalau saja sempat, mungkin Retania juga akan menampar pipi Mangesti—ibu kandungnya sendiri. Retania yang kerap ke sana kemari untuk menjaga ayahnya di rumah sakit, bahkan sampai harus bekerja paruh waktu selepas latihan, memang sulit meredam emosinya pada saat kejadian perkara. Baginya, baik Mangesti maupun Sasongko, keduanya adalah manusia paling kotor yang pernah ia kenal. Bahkan, gara-gara mereka juga, Retania sampai dipenjara hingga tidak mampu lagi menjaga ayahnya yang kini sudah tiada.

Retania menghela napas, lalu menatap birunya angkasa. Ia mengangkat salah satu tangannya untuk menutupi matanya yang tengah menyipit karena sinar matahari. Hanya berkisar beberapa detik saja, sebuah senyum masygul lantas terulas di bibirnya. Hatinya terasa nyeri ketika ia teringat pada ucapan Adiat mengenai mantan narapidana yang pastinya akan sulit mencari pekerjaan.

“Boro-boro memikirkan soal kerja, sekarang aku sudah tidak punya tempat untuk tinggal.” Retania kembali menghela napas begitu dalam sembari menurunkan arah pandang. “Tuan Asma itu, dia tak pernah menemuiku lagi sejak terakhir kali dia datang. Dia sudah menyerah ya?”

“Ah, tidak, bukan maksudku untuk mengharapkan lamarannya lagi. Aku hanya merasa penasaran,” ralat Retania untuk ucapannya sendiri. Detik berikutnya, ia meringis sembari mengusap tengkuk bagian belakangnya. “Sudahlah, aku harus cari makan dulu. Masih ada sedikit uang dari Nyonya Rose. Ah, masih satu tahun lagi dia bisa bebas. Penipu itu, ... aku tak menyangka dia begitu baik padaku. Mungkinkah aku akan dijadikan sebagai anak buahnya nanti? Entahlah. Tapi aku tidak mau.”

Retania memutuskan untuk angkat kaki. Entah di mana dirinya akan tidur malam ini. Kalau sedang memikirkan tempat tinggal dan pekerjaan, rasanya penjara jauh lebih baik. Namun secara cepat akal sehatnya juga bergerak. Ia masih muda. Dan meskipun terlambat, ia harus mencari secercah kebahagiaan di sisa hidupnya. Ia memiliki fisik yang kuat, menjadi kuli bangunan pun tak apa. Tinggal di kolong jembatan dalam beberapa minggu tak masalah juga. Meskipun ia akan terlihat sangat sengsara. Namun apa mau dikata. Ibunya sudah pasti tak akan menerima keberadaannya, pun dengan dua kerabatnya. Sebab kerabat mendiang ayahnya juga jauh di perkampungan bagian timur.

“Reta!”

Seseorang menyerukan nama Retania. Adalah Adiat yang terlihat baru keluar dari sebuah mobil hitam yang sangat mengkilap. Pria itu kini sudah berlari ke arah Retania, tanpa sedikit pun memedulikan tatapan mata tajam Retania yang sudah menghentikan langkah gara-gara dirinya.

“Hei, Tuan Asma! Pelan-pelan saja! Aku tidak ingin jika kau sampai pingsan di sini dan membuatku dituduh sudah melukaimu!” omel Retania. Di sisi lain hatinya, ia sungguh tidak menyangka. Pria yang merupakan teman sekelas di masa SMA-nya itu ternyata tidak menyerah. Selama satu bulan tak lagi berkunjung, rupanya Adiat memang memiliki rencana.

Adiat menghentikan langkah di hadapan Retania. Ia menekan kedua lututnya ketika napasnya sudah terengah-engah.

“Dasar pria lemah! Awas saja jika kau sampai pingsan!” Retania mendengkus kesal, lalu berangsur melipat kedua tangannya. “Kau tak berniat untuk melamarku lagi, ‘kan?”

Adiat menelan saliva lalu berusaha untuk menegakkan tubuhnya. Ia tersenyum sembari menatap wanita kuat yang sebenarnya lebih pendek beberapa centimeter darinya itu. “Ikut aku ke mobil!”

Tanpa memedulikan persetujuan dari Retania, Adiat langsung menarik paksa tangan wanita itu.

“Hei, lepaskan aku! Kalau tidak, kuhabisi kau, Adiat!” omel Retania, tetapi terus mengikuti langkah pria asma tersebut.

“Lakukan saja jika kau ingin kembali dibui, Wahai Calon istri!”

“Heh!” Retania memelototkan matanya. “Jangan bicara sembarangan!”

“Tenanglah dan mari kita bicara, Nona Napi!”

“K-kau ....!”

Adiat menghentikan langkah yang otomatis membuat Retania turut berhenti. Detik berikutnya, ia membuka pintu mobil bagian penumpang depan, kemudian berkata, “Masuklah. Mari kita cari tahu putih.”

“Hah? Untuk apa?”

“Untuk membersihkan dosamu.”

“Apa hubungannya?!”

“Di Korea, narapidana yang baru keluar harus memakan tahu putih, tahu! Kalau aku tidak salah, hal itu melambangkan si napi yang makan, ingin menjadi orang baru dan tidak akan lagi melakukan kesalahan yang sama.”

“Cih, ini kan bukan Korea!”

“Ah, sudahlah, masuklah dan mari mencari makan, Nona Napi!”

“Aku tidak mau!”

Adiat tidak memedulikan penolakan Retania, dan terus mendorong wanita itu untuk memasuki mobilnya. Retania yang sudah sangat lapar dan masih bingung untuk menentukan rencana hidup, akhirnya memilih menyerah. Menjadi tukang bangunan pun, kalau tidak memiliki koneksi, tampaknya ia akan sulit bergabung. Meski terkesan plin-plan, Retania berpikir bahwa mungkin setelah mengikuti Adiat, ia bisa dipekerjakan sebagai bagian dari kuli di salah satu gedung baru milik Tuan Asma tersebut.

Perjalanan pun dimulai, ketika Adiat sudah mengemudikan mobilnya. Di dalam mobil itu, Retania sibuk menatap ke sekeliling yang sudah lama sulit ia nikmati. Kebebasan seperti ini, menjadi sebuah impian selama dirinya hidup di penjara. Namun sayang, ketika ia sudah keluar, Eko Gunanto—mendiang ayah kandungnya—tak lagi ada.

“Hei,” ucap Adiat memecahkan keheningan antara dirinya dan Retania. Tepat ketika lampu merah menyala, dan saat mobilnya berhenti, ia menatap wajah ayu tanpa polesan make-up milik wanita itu. “Sebagai seorang narapidana, kau terbilang awet muda ya?”

Retania langsung membalas tatapan Adiat, lalu menghela napas. “Aku bukan orang lemah seperti dirimu. Meskipun hidup di kerangkeng besi, aku masih rajin melatih fisik. Jadi, jangan heran jika wajahku masih sama seperti saat aku masih SMA.”

“Hmm, apa berkelahi juga membuat kau awet muda? Apa sama sekali tak ada luka di tubuhmu?”

“Kau ingin melihatnya?” Retania memberikan gesture seolah hendak membuka pakaiannya.

Detik itu juga, Adiat langsung mengerjap-ngerjapkan mata lalu membuang muka. “Ti-tidak perlu!” Ia pun bergegas melajukan mobilnya karena lampu hijau sudah menyala.

“Dasar penakut! Lagi pula, aku juga tidak akan seceroboh itu untuk membuka pakaianku. Asal kau tahu saja, meski kerap berkelahi, aku tidak sampai memiliki banyak luka. Yah, mungkin tiga sampai lima luka bekas sayatan hehe.”

“Bi-bisa-bisanya kau masih tertawa setelah membicarakan hal mengerikan itu, Reta?”

Retania agak menghadapkan dirinya pada Adiat. “Inilah diriku, Adiat. Wanita yang sudah kau lamar sampai beberapa kali, wanita kasar dan juga mantan napi. Tubuhku pun tak semulus model atau artis. Tanganku dipenuhi kapalan, di punggungku ada luka bekas sabetan. Dan aku pernah membuat seorang pria di ambang kematian. Dan kau masih ingin menjadikanku sebagai istrimu? Oh, astaga, Tuan Asma, sadarlah. Kau berada di jalan yang salah!”

Adiat menelan saliva, kemudian berkata, “Diamlah dan tak usah mendorongku untuk mundur, Nona Napi. Kita bicarakan nanti sambil makan, biarkan aku fokus dengan mobilku dulu.”

“Ah, terserah kau saja!”

Retania memutuskan untuk diam. Ia sampai menyandarkan kepalanya, tetapi masih sibuk menatap lingkungan yang dilewati. Meski sudah berencana untuk menolak lamaran Adiat, sejujurnya, Retania malah mulai penasaran. Ia sudah mengatakan semua keburukannya, tetapi pria itu tetap bersikeras untuk menikahinya. Sebenarnya apa yang Adiat rencanakan? Sederhananya, apa yang ingin Adiat manfaatkan dari diri Retania yang benar-benar miskin?

***

Alasan Adiat

Beberapa makanan yang begitu asing bagi mata Retania sudah tersaji dan hampir memenuhi meja. Ia yang kerap menyantap hidangan penjara, tentu saja cukup takjub. Saat masih menjadi gadis belia di masa SMA pun, ia tidak melihat makanan yang disusun begitu cantik. Kecantikan makanan-makanan tersebut sampai membuat Retania tidak tega untuk menyentuh.

“Kenapa kau diam saja? Cepat makan,” celetuk Adiat yang sebenarnya sudah tahu keterpanaan Retania pada makanan-makanan yang telah ia sajikan dengan bantuan beberapa pelayan di salah satu restoran milik ayahnya. Bahkan, Adiat adalah manajer yang mengurus salah satu cabang restoran mewah tersebut.

Retania menggigit bibir kemudian mengangguk dengan malu-malu. ”O-oke! Aku akan memakan semuanya! Tapi kau yang bayar, 'kan?”

”Iya, Calon Istri. Semua gratis untukmu. Dan kau bisa menyantap hidangan ini dengan gratis di setiap harinya, jika kau berkenan untuk menikah denganku.”

Retania yang hampir mengambil salah satu jenis makanan, sampai menghentikan rencananya tersebut. Ia tahu Adiat membawanya datang ke tempat makan mewah, memang bukan tanpa tujuan. Dan hal itu membuat Retania mendadak segan sekaligus enggan untuk mulai memasukkan setiap makanan ke dalam mulutnya. Setidaknya ia harus tahu apa rencana di balik kegigihan Adiat untuk menikahinya.

Adiat mengernyitkan dahi, kemudian berkata, ”Kenapa tak jadi?”

“Katakan padaku, Tuan Asma, apa yang sebenarnya kau inginkan dariku? Aku hanya tidak mau diracun olehmu, lalu mendadak kau sekap untuk kau jadikan pengantinmu,” sahut Retania.

”Apa katamu?” Adiat sempat melongo, tetapi tak lama berselang ia justru tertawa keras. ”Yang benar saja! Mana mungkin aku berani meracuni wanita sekuat dirimu, Nona Napi?”

“Kalau begitu, bisakah kau jelaskan padaku semuanya, Adiat Kusuma Jati?! Aku sudah mulai muak mendengar celotehanmu mengenai calon istri.”

Adiat melihat rasa kesal yang mendalam dari mimik wajah cantik milik Retania. Yah, seharusnya Adiat mulai memberikan kejelasan, agar wanita itu mulai mempertimbangkan. Akan fatal jadinya jika Retania pergi dan menjadi sulit ia temukan. Saat ini hanya pada wanita itu ia berharap besar.

Sesaat setelah menghela napas, Adiat berkata, ”Kau tentu tahu bahwa aku pengidap asma bawaan lahir. Ibuku adalah istri sah pertama ayahku, yang menunggu kehadiranku selama bertahun-tahun, hingga akhirnya ibuku hamil di saat usianya sudah di usia tiga puluh lima tahun dengan kondisi tubuh yang lemah. Aku punya dua kakak laki-laki kembar, satu kakak perempuan, yang lahir dari istri kedua ayahku. Bisa dikatakan bahwa aku ini adalah anak pertama sekaligus anak bungsu dari ayahku.”

Retania masih agak mumet dengan silsilah keluarga Adiat. Namun ia tetap mengangguk sembari terus mencerna setiap kata yang baru saja Adiat katakan. Mau bagaimana lagi, Retania hanya pandai berkelahi, dan cukup bodoh jika ada sesuatu yang jelimet.

”Intinya aku ini anak pertama dari pernikahan yang sah, dan aku punya tiga kakak tiri dari pernikahan terbaru ayah yang belum sah, Retaaa!” celetuk Adiat ketika menangkap raut bingung dari wajah Retania.

Retania mengangguk mantap. ”I-iya, aku sudah mengerti kok! Serius! Lalu selanjutnya bagaimana?”

“Dulu, ketika aku masih kecil, sempat beredar kabar bahwa akulah yang akan mewarisi usaha sukses di bidang kuliner yang ditekuni oleh ayahku selama ini. Tapi, sejak kabar itu muncul, aku mulai mendapatkan teror dan ancaman. Bahkan, makananku sempat diracuni oleh seseorang. Aku hampir mati jika ibuku tidak segera membawaku ke rumah sakit.”

”Apa? Teror?” sahut Retania. ”Apa jangan-jangan yang melakukan itu adalah kakak tirimu?”

Adiat menggelengkan kepala. ”Aku tidak tahu, aku tak pernah memiliki bukti apa pun. Ibuku juga sudah terlalu lemah sejak melahirkanku. Ayahku tidak percaya, dan menganggap bahwa asmaku hanya sedang kambuh. Ayah memang lebih sibuk pada saat itu. Ada pula surat ancaman yang membuatku ketakutan sampai sekarang.”

“Adiat, kau kan seorang pria!”

”Memangnya kenapa jika aku seorang pria? Nyatanya aku hanyalah pria bodoh dan penyakitan. Berdiri di bawah sinar matahari dalam beberapa menit saja aku sudah ngos-ngosan. Sampai semua orang terus meremehkanku. Ayahku, kakak-kakak tiriku, ibu tiriku, semuanya. Aku tidak memiliki satu pun orang yang bisa aku percaya. Di mataku mereka adalah tersangka, Reta!”

Jawaban Adiat membuat Retania langsung terdiam. Ia sungguh tak mengerti dengan kehidupan orang kaya. Bahkan si bapak malah memiliki dua istri sekaligus. Adiat yang seharusnya kehadirannya diidam-idamkan tampaknya malah kerap diabaikan. Adiat yang Retania pikir adalah pangeran bergelimang harta dan kebahagiaan, saat ini justru menjelma menjadi pria yang dipenuhi banyak luka. Perihal makanan diracuni tentu hal itu sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Ketakutan Adiat muncul sejak pria itu masih belia, hingga memberikan rasa trauma dan sulit percaya pada orang lain. Penyakit mental pada dasarnya memang sulit disembuhkan daripada luka serius bekas sayatan. Ah mengerikan.

“Kasihan sekali,” gumam Retania.

”Nah, iya, 'kan?!” sahut Adiat ketika mendengar ucapan Retania. ”Oleh sebab itu menikahlah denganku, Reta. Kau adalah wanita yang kuat!”

Mata Retania memicing di detik itu juga. ”Jadi maksudmu, kau ingin menikahiku, karena aku orang yang bisa melindungimu? Semacam pengawal begitu? Kalau memang begitu, kenapa tak cari pengawal yang lebih gagah saja, Tuan Asma?”

”Sudah kulakukan. Tapi sebagian besar dari mereka malah terus mengkhianatiku. Mereka menuruti permintaan si Pelaku Teror yang tak kuketahui siapa orangnya. Bahkan ada satu orang yang sampai menciptakan asap di kamarku. Dengan asma yang aku derita, memangnya aku bisa bernapas dengan baik di keadaan seperti itu? Ada pula yang sengaja meninggalkanku di tempat sepi dan asing. Aaaah ... banyak sekali hal mengerikan, Reta!”

”Kau kan bisa lapor polisi!”

”Sudah! Tapi, lagi-lagi aku tak punya bukti. Bahkan, ketika si pembuat asap yang tak bisa kabur, malah merelakan dirinya dihukum bui. Entah apa yang telah dilakukan si Pelaku Teror sampai membuat pembuat asap itu langsung tunduk!”

Retania menghela napas. “Aneh sekali, kau kan anak orang kaya. Biasanya dan sesuai pengalamanku di penjara, orang yang punya banyak uang itu bisa cepat bebas, dan juga mudah menjebloskan seseorang ke penjara.”

”Ayolah, aku ini hanya orang lemah. Aku dipercaya mengurus restoran ini saja, belum lama ini, Reta. Belum ada satu tahun. Ayah tak percaya padaku, dia juga melarangku melapor macam-macam, dengan ancaman aku akan dipersulit dalam mengurus restoran jika tak menurut. Mungkin Ayah memang khawatir jika salah satu anaknya adalah si Pelaku Teror. Yah, aku sendiri juga bingung. Diriku yang sudah kerap diabaikan, seharusnya bisa membuat rumor bahwa aku akan menjadi pewaris itu menjadi tak masuk akal. Mana ada ayah yang abai malah memberikan usaha suksesnya pada anak berpenyakitan. Tapi dengan kenyataan itu, tetap saja, teror terus berlanjut sampai sekarang.”

Retania manggut-manggut dan mencoba menelaah situasi Adiat. Kalau memang pria itu menginginkan dirinya sebagai seorang pelindung, tentu ia bisa menghindarkan diri dari sebuah pernikahan. Sekarang, daripada menjadi kuli bangunan, mungkin akan lebih baik menjadi seorang pengawal, bukan?

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!