NovelToon NovelToon

SEBATAS TEMAN TIDUR

1. Tidak punya pilihan

Di emperan jalan, saat traffic light berwarna merah, aku menjajakan beberapa dagangan. Aku menjual surat kabar dan majalah apa saja yang sedang trending.

Hari ini, jualanku hampir habis. Hanya menyisakan beberapa lagi. Setelah daganganku benar-benar tak bersisa, aku memutuskan untuk segera pulang agar kegiatan berjualanku hari ini tidak diketahui oleh Liam–Kakakku.

"Elin!!!"

Tiba-tiba saja, teriakan dari seorang pria terdengar meneriaki namaku dari balik kaca jendela mobil yang sengaja dibuka.

Mendengar namaku dipanggil, aku segera sadar jika itu adalah suara Liam yang berada tak jauh dari posisiku saat ini.

Aku berjalan mundur kemudian berlarian ke arah yang berlawanan agar tidak dikejar oleh Liam, karena aku sempat melirik jika Liam hampir membuka pintu mobilnya saat itu juga, sepertinya dia ingin mengejar langkahku.

Untung saja traffic light didepan sudah berubah menjadi hijau, sehingga mau tak mau, Liam pun segera menutup kembali pintu dan mulai mengendarai mobilnya lagi–sebab suara klakson kendaraan lain mulai terdengar menderu, seolah tak sabar ingin segera melalui jalan tersebut.

...*****...

Liam tiba di rumah pada sore hari. Aku mendengar suara mobilnya dan mengintip sedikit lewat celah jendela. Aku bisa melihat jika Liam keluar dari mobil dengan rahang yang mengeras. Apalagi tujuannya kalau bukan menemuiku, yang juga ku tebak pasti dia akan memarahiku.

Aku segera beringsut untuk mencari tempat persembunyian.

Suara pintu rumah yang dibuka secara kasar pun terdengar, disusul dengan suara Liam yang sudah ku duga akan marah-marah.

"Elin!"

"Elin! Dimana kau?"

"Elin! Jika kau tidak keluar, maka jangan salahkan aku kalau semua benda dirumah ini akan ku hancurkan!"

Aku yang sebenarnya tak ingin bertemu dengan Liam, mau tak mau akhirnya keluar juga dari tempat persembunyianku.

Aku tau jika aku tidak bisa mengelak sebab bagaimanapun aku bersembunyi dirumah ini, Liam pasti akan menemukanku dan tetap mencaciku habis-habisan.

"A-ada apa?" Aku tau pasti jika saat ini wajahku sudah berubah pias.

Aku juga dapat melihat jika kini Liam menyeringai, dia mendekatiku yang berdiri diambang pintu kamar.

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Liam justru mencengkram leherku sampai aku merasa kesakitan.

"Masih berani kau menanyakan 'ada apa', hah?"

"Ma--af, Kak." Aku sebenarnya paling malas memanggil Liam dengan sebutan Kakak. Karena sebenarnya dia hanyalah kakak tiriku.

Aku bicara dengan susah payah. Bagaimana tidak, Liam kini mencekikku, bahkan tubuhku yang kurus ikut terangkat naik, disertai punggungku yang juga dibenturkan ke dinding.

"Kau tau apa kesalahanmu, hah?"

Aku mengingat momen dimana Liam mendapatiku sedang berjualan surat kabar dipinggir jalan siang tadi.

"I--iya, Kak ... lep--as!" kataku mencoba melawan kekuatan tangan Liam di leherku.

Melihat wajahku yang merah padam dan tersiksa karena ulahnya, bukan membuat Liam menghentikan aktifitas kejinya itu. Liam justru menyeringai puas ke arahku.

"Katakan kau tidak akan mengulanginya lagi."

"I-iya."

Aku merasakan jika cengkraman tangan Liam di leherku mulai mengendur.

"Kau janji?"

Aku mengangguk cepat. Dan disaat itulah Liam benar-benar melepaskan tangannya dari leherku. Sesudahnya, aku spontan terbatuk-batuk sambil memegangi leher yang terasa panas dan sakit akibat tercekik.

"Elin, Elin ... berapa kali ku katakan, jika kau butuh uang, maka ikuti aturan ku!"

Aku hanya bisa diam mere mas jari jemarinku yang saling bertautaan satu sama lain. Mana mungkin aku mengikuti aturan Liam, sementara aturannya itu pasti sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan hati kecilku yang selalu menolak. Bukan apa-apa, aku dapat menebak jika aturan yang dibuat Liam tidaklah baik untukku.

"Aku tidak mau melihatmu berjualan lagi di emperan seperti hari ini. Kau dengar itu?"

Aku tak menyahut, tetap bergeming dengan mulut yang terkatup.

"Kau dengar, kan, Elin?"

Mau tak mau aku mengangguk. Tapi, aku memberanikan diri untuk bersuara. Sekali ini saja, barangkali Liam akan terbuka mata hati dan nuraninya.

"Bagaimana aku tidak berjualan di emperan, Kak. Sedangkan kau tidak memberiku uang? Kita juga tetap butuh makan."

"Apa aku harus peduli?" Liam hendak beranjak dari tempat itu. Tapi sebelum itu, dia menyempatkan untuk meminta sesuatu padaku.

"Siapkan makan malamku! Aku mau makan sup iga sapi untuk malam ini."

Lagi, permintaan makanan Liam selalu yang diluar batas keuangan yang ku punya. Kalau saja lelaki itu memberiku uang bulanan, tak mengapa. Tapi nyatanya, Liam tidak memberiku uang belanja padahal seharusntga dia yang bertanggung jawab atas hidupku–jika dia tidak membiarkan aku bekerja.

Sepertinya Liam memang sengaja, meminta hal yang diluar batas wajar ataupun hal aneh yang tidak bisa ku sanggupi, agar aku mengikuti aturan konyol dari pria yang berstatus kakak tiriku itu.

Setelah puas memberiku pelajaran, Liam pun berlalu dari hadapanku. Meninggalkan aku dengan peliknya pemikiran mengenai kebutuhan rumah yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabku.

"Dia tidak memberiku uang, tapi dia memintaku memasak makanan yang lumayan mahal. Aku berjualan, dia tidak mengizinkan. Lalu aku dapat uang darimana untuk memenuhi keinginannya?" gumamku dengan nada putus asa.

Menjelang malam, aku harap-harap cemas menanti kehadiran Liam di meja makan.

Saat Liam hadir dan melihat lauk yang tersaji disana, aku sudah dapat menebak jika dia akan kembali marah-marah karena makanan yang ku masak tidak sesuai dengan ekspektasinya.

"Makanan apa yang kau sajikan ini, hah? Ini semua sampah! Kau pikir aku mau memakannya? Kau lupa aku ingin makan apa?"

Aku menggenggam sendok dengan erat. Selera makanku turut hilang karena ucapan Liam.

Nyatanya, meski didepan makanan–yang kata orang adalah rezeki–Liam kembali tega membentakku.

Seketika itu juga aku berdiri dari duduk. Bahkan kursi yang ku duduki sampai terseret mundur kebelakang dan jatuh menimpa lantai, sangking kesalnya aku pada Liam.

Cukup sudah aku bersabar menghadapi sikap kakak tiriku ini.

Aku selalu bertekad akan bertahan di rumah ini selama Liam tidak main tangan atau melakukan kekerasan fisik. Nyatanya hari ini, Liam memperlakukanku dengan sangat kasar, bahkan sore tadi Liam juga sempat mencekikku.

"Dengar, Kak! Kau tidak memberiku uang, kau juga tidak mengizinkan aku berjualan. Tapi, selera makananmu sangat tinggi. Kau pikir aku dapat uang belanja dari mana? Kau pikir daun bisa dibelanjakan!" pungkasku dengan emosi yang meledak-ledak.

Liam tampak terperangah saat melihatku bisa melawannya seperti ini. Sepertinya dia tak menyangka sama sekali jika aku mampu menentangnya.

"Kau berani melawanku, hah?" Liam memukul meja, menyebabkan piring yang berisi lauk-lauk diatas meja itu seketika terangkat, lalu terhempas kembali ketempat semula.

Aku menciut, kemarahan Liam memang bukan sesuatu yang seimbang untuk ku lawan. Rupanya melawan kekerasan Liam dengan kekerasan yang sama adalah suatu tindakan yang gegabah. Aku salah, aku terlalu terbawa emosi.

"Kau mau ku hukum? Kau sudah mulai berani rupanya!"

Liam beranjak, menghampiri posisiku. Dia menarik lenganku dengan sangat emosional.

"Aku hanya mengatakan isi kepalaku, Kak. Apakah pantas perlakuan mu seperti ini padaku? Kau bahkan tidak memberi uang dan akulah yang harus bertanggung jawab atas isi perutmu! Bukankah itu tidak semestinya? Kau yang kakakku, bukan sebaliknya!"

"Omong kosong! Itulah gunanya kau menjadi adikku. Kau memang harus bertanggung jawab atas keinginanku, apalagi ayahku sudah meninggal dalam kebangkrutan. Kau dan ibumu itu hanya menyusahkan ku saja!"

Liam menarikku sampai memasuki kamarnya. Disana dia mengambil sebuah sabuk yang biasa dia gunakan di pinggang. Liam tampak menyiapkan itu dan tiba-tiba menghujaminya ke punggungku.

Plak! Satu.

Plak! Dua kali.

Aku meringis kesakitan. Liam benar-benar memukulku tanpa menggunakan hati nuraninya.

"Ampuni aku, Kak …" lirihku. Airmataku keluar begitu saja. Ini memang pertama kalinya aku melawan Liam. Biasanya jika dia mengomel, aku lebih memilih untuk pergi dan menghindar. Tapi belakangan hari, Liam semakin menyebalkan, aku bahkan tidak diizinkan untuk bekerja. Dia menguasai hidupku.

Ini juga menjadi momen pertamaku dihadiahi Liam dengan cambukan sabuk.

Saat aku merintih menahan kesakitan, tiba-tiba aku tak merasakan cambukan lagi. Liam tak melanjutkan pukulan ketiganya. Namun, dia masih menatap marah pada wajahku.

"Jika aku diperlakukan seperti ini terus, maka lebih baik kau biarkan aku pergi, aku tidak akan menyusahkanmu lagi!" kataku dengan derai airmata.

Mendengar ucapanku itu, Liam malah terkekeh kencang, seolah tengah mengolokku.

"Kau yakin mau pergi? Apa kau siap apapun konsekuensinya? Lalu, bagaimana dengan kehidupan Ibumu? Apa kau tega semua alat yang menyokong kehidupannya diatas ranjang pesakitan itu dilepaskan?"

Aku semakin terengah-engah dengan isak tangis. Sedari awal aku bertahan dengan kehidupan bersama Liam pun, bukan karena aku takut untuk pergi, melainkan karena aku membutuhkan biaya untuk tetap melanjutkan pengobatan ibuku.

"Kau tidak bisa menjawab, huh?" Liam menyeringai penuh ejekan.

Aku berusaha menekan rasa luka di hati dan sakit yang ada di tubuhku. Sampai kapan aku harus berada didalam kehidupan toxic seperti ini?

Seharusnya, ini adalah masa yang ku lalui dengan indah. Berkuliah dengan teman-teman seusiaku. menikmati bagaimana rasanya menjadi mahasiswi. Ternyata, setahun ini harus aku lalui dengan rasa penyesalan, isak tangis, luka batin dan ditambah pula dengan luka fisik yang sengaja ditorehkan Liam kepadaku.

Mendadak aku menyesal kenapa dulu ibuku harus menikah dengan Ayah Liam yang pada akhirnya setelah beliau meninggal, putranya ini malah menyiksaku–yang sudah berstatus adiknya–dikala ibuku pun sedang diranjang pesakitan.

"Sudah ku bilang, seharusnya kau menuruti semua aturanku. Kau bisa dapat uang, aku juga dapat uang, Elin. Dengan begitu, kita bisa sama-sama senang."

Aku mengusap airmataku. Liam memang tak pernah menghargaiku.

"Apa dengan mengikuti aturan yang kau bilang itu, maka aku bisa terlepas darimu dan membuatmu berhenti menyiksaku, Kak?"

"Tentu saja."

"Baiklah, aku tidak punya pilihan lain, kan?" ujarku pasrah.

Awalnya aku sempat ingin kabur saja dari Liam apabila terus seperti ini, tapi lagi-lagi kondisi ibu yang berada di Rumah Sakit justru menahanku agar tetap berada disisi baj*ngann ini.

Apalagi, belakangan hari Liam selalu membicarakan soal 'mengikuti aturannya' yang entah apa.

Saat mendengar hal itu, justru membuat perasaanku jadi sangat tidak suka.

Tapi, mau bagaimana? Apapun perbuatan Liam kepadaku, biaya pengobatan ibuku yang tidak murah, masihlah ditanggung penuh oleh pria itu.

"Ya, kau tidak punya pilihan lain, Elin. Besok, ikut aku! Aku akan menunjukkan padamu bagaimana caranya mencari uang yang benar. Kau tidak perlu membuatku malu dengan berjualan di emperan. Kau juga tidak akan ku buat terpapar cahaya matahari yang akan merusak kulitmu. Kita akan sama-sama diuntungkan."

Liam pun menyeringai tipis diujung kalimatnya.

...Bersambung …...

2. Pekerjaan baru

Bagaimana mungkin hal seperti ini yang Liam katakan sebagai pekerjaan?

Inikah pekerjaan yang sesuai dengan aturan Liam?

Inikah pekerjaan yang tidak membuat pria itu malu?

Aku menatap wajah Liam dan ekspresi pria itu tampak menyeringai puas, seolah baru saja memperkenalkan dunia baru kepadaku.

"Ayo, Elin. Kenalkan dirimu pada Tuan Aro."

Aku mengepalkan tanganku. Memang benar, pekerjaan yang Liam maksud tidak akan membuat kulitku terpapar cahaya matahari. Jelas saja, pekerjaan ini dilakukan pada waktu sore sampai dini hari.

Bagaimana mungkin pekerjaan ini tidak membuat Liam malu? Sedangkan aku saja merasa sangat malu berada ditempat seperti ini.

Kakak macam apa yang membawa adiknya untuk ditempatkan bekerja disebuah kasino alias tempat berjudi?

Tapi, aku segera meyadarkan diri jika hanya aku yang menganggap Liam sebagai kakak, sedangkan dia tidak demikian. Buktinya, dia selalu memperlakukanku dengan buruk setahun belakangan ini. Yang akhirnya itu justru membuatku enggan untuk memanggilnya dengan sebutan Kakak–lagi. Ya, meski didepannya aku masih menyebutnya 'Kak', nyatanya dalam hati aku selalu mengumpatnya berkali-kali.

"Elin!" Liam menyenggol lenganku dengan sengaja. Seolah memberi kode agar aku memperkenalkan diri pada pemilik tempat hiburan ini.

"Maaf, Tuan. Elin memang sedikit pemalu." Liam berkata pada pria dihadapannya yang bernama Tuan Aro.

"Hai, Elin. Ternyata Liam tidak berbohong, kau memang sangat cantik," kata Tuan Aro yang menatapku dengan tatapan genit.

Belum apa-apa, aku sudah merasa jengah berada ditempat ini.

"Y-ya… Aku, Elin." Mau tak mau, aku pun menyambut uluran tangan pria paruh baya itu, karena Liam terus memelototiku.

"Baiklah, mulai sekarang kau bekerja disini. Nanti akan ada pekerja lain yang akan memberitahumu bagaimana mekanisme disini."

Aku menatap pada Liam sebagai isyarat permohonan agar tidak mempekerjakanku di tempat semacam ini. Sayangnya, Liam justru mengiyakan ucapan Tuan Aro.

"Permisi, Tuan. Bolehkah aku bicara empat mata dengan Kak Liam, sebentar?" kataku takut-takut.

Tuan Aro mengangguk dan mempersilahkan.

Aku menarik lengan berotot milik Liam, membawa itu kearah yang tak terlalu jauh.

"Kau apa-apa-an, Kak? Kau mau aku menjual diri disini? Apa ini pekerjaan yang membuatmu tidak merasa malu? Justru aku sangat malu berada disini, Kak."

Liam malah terkekeh seperti meledek. Tak berselang lama, pria itu memberi sebuah jawaban.

"Yang menyuruhmu untuk jual diri, siapa? Kau memang berada disini, tapi bukan berarti kau harus menjual dirimu, Medeline!"

"Lalu apa? Ini tempat judi, Kak!"

"Astaga, Elin. Kecilkan suaramu. Kau mau, Tuan Aro mendengar ucapanmu itu, lalu kau diseret hidup-hidup saat ini juga?"

Aku spontan mengatupkan mulut. Entahlah, semua ini terasa tak masuk akal bagiku. Apa ada seorang kakak yang menjerumuskan adiknya seperti yang dilakukan Liam? Aku pikir, semua itu hanya ada di film-film atau drama, nyatanya itu justru menimpa diriku sendiri.

Tapi setelah ku sadari, memang tidak ada ikatan darah diantara kami jadi jelas saja Liam tidak berat hati saat merencanakan semua ini.

"Elin, Adikku, kau hanya perlu menemani tamu-tamu yang ada disini. Dampingi mereka berjudi. Tuangkan minuman untuk mereka. Itu saja! Kau tidak harus tidur dengan mereka!"

Apa Liam pikir aku akan menyetujui hal ini begitu saja? Aku segera menggeleng keras-keras.

"Aku tidak mau, Kak!"

"Itu terserahmu." Liam mengendikkan bahu cuek. "Jika kau menolak, maka ku pastikan ibumu hanya akan tinggal nama."

"Liam!!!" geramku tak tertahankan.

Liam benar-benar keterlaluan. Ingin sekali rasanya aku menampar pipi pria itu, atau jika bisa aku ingin menyumpal mulut Liam dengan kaos kaki.

"Hahaha, kau tidak bisa berkutik, kan?"

Lagi, aku hanya bisa menggeram dalam hati. Mengumpat pria ini sejadi-jadinya, namun tak bisa menyuarakan itu terang-terangan dihadapan Liam.

"Kau pikir biaya pengobatan ibumu itu murah? Biarpun aku bekerja, semuanya tidak murah, Elin! Kau bantu sedikit saja, ini demi ibumu juga. Gaji disini lumayan besar dan tidak sebanding dengan dagangan emperanmu itu. Kita juga bisa makan enak setiap hari."

"Daganganku masih lebih beradab dan baik ketimbang ditempat ini," ketusku.

Liam tersenyum miring. "Tidak usah membicarakan adab atau baik tidaknya sesuatu. Kau lupa, jika ibumu sendiri menggadaikan tubuh demi dirimu?"

"Maksudmu apa, Kak?"

"Elin, Elin ... kau lupa jika dulu ibumu mau menikah dengan Ayahku hanya karena uang? Ya, memang Ayahku saja yang bodoh karena mau dengan ibumu itu, padahal saat Ayahku kaya, dia bisa saja mendapat yang lebih baik dari ibumu!" tukasnya menohok.

Mendengar itu, entah kenapa aku tidak bisa lagi mengontrol emosi. Sejak tadi aku sudah mencobanya, tapi ucapan Liam yang sekali ini terdengar sangat menjatuhkan harga diri ibuku.

Plak!

Akhirnya pukulan tanganku mendarat juga di pipi Liam. Membuat pria itu menatapku dengan ekspresi mengerikan.

Bahkan, karena kejadian tersebut, membuat hampir semua orang yang berada dalam lingkup ruang perjudian itu jadi terfokus pada kami berdua.

Begitupun atensi Tuan Aro, dia menjadi menatap kearah ku dan Liam. Pria paruh baya itu mendekat dan mencoba menengahi disaat Liam ingin membalas perbuatanku.

"Sudahlah, Liam. Kenapa kau harus memperpanjang masalah ini? Kalian sudah membuat keributan di tempatku."

Wajah Liam tampak sungkan pada Tuan Aro.

Liam langsung menarik diri, padahal tadinya Liam hampir saja melayangkan pukulan balasan ke wajahku.

"Maaf, Tuan. Ini semua hanya kesalahpahaman saja," kata Liam yang masih bisa ku dengar pembicaraan nya dengan Tuan Aro.

"Jadi, bagaimana? Apa Elin sudah siap bekerja?"

Aku ingin menyahut, tapi Liam segera menjawab secepat kilat.

"Tentu saja, Tuan. Elin akan bekerja mulai malam ini juga."

Mendengar itu, otot-otot ditubuhku terasa melemas seketika. Tega sekali Liam memperlakukannya seperti ini.

Setelah mengatakan itu, aku melihat Liam keluar dari kasino dengan sebuah amplop yang diterimanya dari Tuan Aro.

"Elin?"

Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya menyahuti panggilan lelaki tambun itu.

"Ya … Tuan." Kendati aku mencoba bersikap biasa. Tapi tetap saja aku gugup luar biasa.

Bagaimana tidak. Aku melihat berbagai macam wajah dan orang baru ditempat ini. Karakter mereka pasti berbeda-beda. Meski tadi Liam mengatakan jika aku tidak menjual diri disini tapi tetap saja atmosfer ditempat ini sangatlah berbeda. Tentu disini akan minim orang baik.

Membayangkan hal itu, sekujur tubuhku langsung meremang.

"Disini ada beberapa bagian." Tuan Aro memulai penjelasannya saat aku menghampirinya.

"Golongan 1, 2 dan 3. Ada di lantai dasar dan lantai 2. Golongan VIP di lantai 3 dan 4. Untuk super VIP ada di lantai 5," terangnya kemudian.

Aku mengangguk. Mencoba memahami meski sebenarnya penjelasan Tuan Aro tidak masuk ke dalam otakku, mungkin perkataannya hanya lewat sebentar lalu besok aku akan lupa lagi.

Kemudian Tuan Aro mendekat, memangkas jarak diantara kami. Jantungku terasa berdentum keras. Bukan karena gugup tapi karena takut bercampur jijik, aku mendadak kalut, panik jika dia akan melakukan hal yang akan mempermalukan ku disini.

Rupanya tuan Aro menarik daguku, membuat kepalaku mendongak. Lantas, dia seperti memindai wajahku.

"Kau akan ku tempatkan di super VIP." Dia tersenyum miring. "Tapi, sebagai pelajaran pekerja baru, tempati dulu lantai dasar dalam dua hari ini. Jika kau cepat membaur dan pandai membawa diri, kau akan segera naik ke lantai 5."

Aku diam tak menyahut, sebenarnya aku menelan ludah dengan susah payah karena pernyataannya.

"Kau paham, kan, Elin?" Rupanya tuan Aro menuntut jawabanku.

"Ya-ya, Tuan." Aku menundukkan wajah dalam-dalam. Jangan kira aku akan pasrah saja menerima pekerjaan yang diberi Liam ini. Aku akan membuat ulah, agar Tuan Aro tidak sudi mempekerjakanku disini, kalau perlu dia sendiri yang nanti akan memulangkan aku pada Liam karena tidak patut dipekerjakan. Lihat saja nanti.

...Bersambung …...

3. Pertemuan

Aku pikir setelah itu aku diperbolehkan untuk pulang dan akan bekerja mulai besok sesuai perkataan Tuan Aro. Nyatanya, aku diminta tinggal di kamar yang masih berada dalam lingkup gedung yang sama.

"Ini kamarmu! Kau boleh beristirahat, tapi ingat, besok kau harus bekerja dengan baik karena biaya hidup dan makanan disini tidak gratis!" ujar Gwen, salah seorang wanita yang baru diperkenalkan tuan Aro padaku. Sepertinya dia juga bekerja di Kasino ini sebagai pendamping seperti yang akan ku jalani mulai besok.

Aku mengangguk sebagai respon atas ucapan Gwen yang terdengar ketus dan tegas.

Sebuah kamar berukuran tiga kali tiga meter telah menjadi ruangan yang akan ku tempati mulai sekarang. Padahal aku berharap masih bisa bebas kemana-mana tapi setelah aku tau jika aku harus tinggal disini, itu berarti kebebasanku pun sudah terampas.

Aku tidak akan melupakan momen ini dimana aku harus ditempatkan disebuah tempat seperti ini oleh Liam. Suatu saat, aku berharap aku bisa kembali bangkit dan membalas segala perbuatannya padaku.

...***...

Keesokan harinya, tepatnya menjelang malam, aku dikenalkan Gwen pada para pekerja lainnya. Kayra, Ghania dan Sharen. Kebetulan mereka menetap dikamar yang berada di lantai yang sama dengan kamar yang saat ini ku tempati.

Aku tidak tau apa alasan mereka semua memilih bekerja ditempat ini. Mungkin saja mereka sama sepertiku ataupun menyerahkan diri atas keinginan sendiri.

"Kalian bantulah dia menyiapkan diri. Hanya malam ini, karena besok dia harus sudah bisa bersiap sendiri." Gwen memberi perintah, agaknya dia yang paling senior diantara mereka semua.

Setelah mengucapkan hal itu dan melihat ketiga rekannya yang lain mengiyakan, Gwen segera pergi dari sana.

Ghania yang paling ramah padaku, dia bahkan menggandeng lenganku dengan akrab untuk menuju ke sebuah ruangan yang belum ku ketahui apa isinya.

"Elin, silahkan kau pilih gaunnya. Nanti biar kita bertiga yang membantumu menggunakan make-up."

"Gaun? Make-up?" Aku membeo.

Ghania mengangguk. "Iya, kau pikir Tuan Aro akan membiarkan kau dengan piyama itu untuk bekerja?" ujarnya disertai kekehan kecil.

Aku melihat sebuah lemari besar yang ada dihadapanku, disana ada banyak pilihan gaun dengan berbagai variasi model dan warna.

Hanya saja, setelah ku perhatikan satu persatu tidak ada yang bisa ku katakan layak. Semuanya tampak kekurangan bahan.

"Apa pilihannya hanya ini?" tanyaku polos.

Suara kekehan ketiga wanita itu terdengar, terutama suara Sharen yang paling kencang, seolah perkataanku barusan adalah lelucon paling lucu yang baru saja didengarnya.

"Elin, kenapa kau bertanya begitu? Apa semua baju itu tidak cukup menjadi pilihanmu? Apa itu kurang banyak?" Kayra bersuara.

"Bukan begitu, Kak. Aku menanyakan hal itu bukan karena merasa semua baju ini kurang. Ini memang sangat banyak tapi tak satupun pakaian yang cocok untuk ku kenakan."

"Why?" lirih Ghania menimpali.

"Ini terlalu ... terbuka."

Mereka bertiga lantas tertawa lagi. Tak berapa lama Sharen mendekat ke arah lemari dan mengambil satu buah gaun warna hitam berikut dengan hanger-nya.

"Ini ... pakai ini saja, aku pilihkan untukmu."

Aku menerima pakaian yang dipilihkan oleh Sharen, itu sebuah gaun dengan kerah sabrina. Memang tidak begitu terbuka tapi panjangnya tetap saja diatas lutut.

"Pakailah, Elin. Kita tidak punya banyak waktu. Kita akan bekerja sebentar lagi," celetuk Ghania.

Aku mengangguk dan lekas mengganti pakaianku di ruang ganti yang ada disana. Setelah itu, lanjut mereka memakaikan make-up padaku.

"Elin terlalu babyface, sepertinya make-up untuknya harus lebih bold," kata Kayra yang mengusapkan kuas ke pipiku.

"Ya, itu lebih baik." Sharen menjawab. "Berapa usiamu, Elin?" tanyanya kemudian.

"Sembilan belas."

"Wah, kau memang masih terlalu muda," cicit Ghania.

Aku hanya diam, pun karena Kayra masih sibuk memoles wajahku.

Sharen yang sedang membuka catokan rambutku ikut berusaha kembali. "Kenapa kau bisa disini, Elin? Aku pikir ini bukan tempatmu."

"A-aku terpaksa, Kak. Ini karena ulah kakak tiriku."

Kayra manggut-manggut. "Kau dijual?" tanyanya kemudian.

Tentu saja pertanyaan Kayra membuatku sedikit terperanjat. "Tidak, Kak. Kak Liam hanya memintaku bekerja disini."

"Kau terlalu naif, Elin. Semua pekerja disini tidak akan bisa keluar karena biasanya semuanya bermula karena adanya transaksi jual beli."

"Apa?" Mataku terbelalak. Benarkah Liam sudah menjual ku ke tempat ini?

"Seperti kami. Kau pikir kami bertiga mau bekerja ditempat ini karena keinginan sendiri?" Sharen mengendikkan bahunya acuh tak acuh.

"Aku disini karena ayahku sendiri. Dia memiliki hutang dan mau tak mau melemparkan ke tempat seperti ini. Tuan Aro membeliku. Itu kenyataannya." Ghania angkat suara.

"Dan aku ... aku juga ditempatkan disini karena ulah suamiku sendiri. Dia kalah judi, dan menjadikanku bahan taruhan." Kayra menimpali.

"Benarkah?" Rasa-rasanya aku tak percaya saat mendengar kekejaman itu diterima mereka oleh keluarga sendiri.

"Ya, dan sekarang kau pun bernasib sama, Elin." Sharen menepuk-nepuk pundak ku.

"Kakak sendiri? Apa dijual juga?" tanyaku pada Sharen.

Sharen mengembuskan nafas panjang. "Apa kau percaya jika aku disini karena kebodohanku sendiri?" ujarnya bertanya.

"Kakak tidak dijual tapi memang mau bekerja disini?"

"Tidak juga. Tapi aku terjebak," jawab Sharen. Dia tersenyum penuh ironi. "Dulunya aku dan Aro memiliki hubungan, tapi setelah kami putus dia sukses membuka usaha judi ini. Dia memintaku untuk kembali padanya, tapi aku tidak mau dan ... dia mengancam ku karena dia memiliki video masa lalu kami dimana aku pernah menghabiskan malam-malam bersamanya. Dia mengancam akan menyebar video itu jika aku tidak ikut membantunya mengelola dan bekerja ditempat ini."

"Astaga ..." Aku tidak menyangka akan mendengar kisah-kisah miris mereka semua. Bahkan mengenai Sharen. Ternyata dia adalah mantan kekasih Tuan Aro!

"Kalau Kak Gwen?" Aku bertanya pada merekap mengenai wanita yang tampak lebih tegas dan selalu ketus itu, bahkan dia hanya bersikap untuk memerintah saja.

"Gwen itu ..." Kayra tampak ragu-ragu mengucapkannya. "Dia sebenarnya adik tiri Tuan Aro. Ku pikir posisinya sama sepertimu, Elin. Wanita pertama yang dijadikan Tuan Aro sebagai pendamping disini justru adiknya sendiri."

Aku hanya bisa menghela nafas dalam saat mendengarnya. Ternyata masih banyak yang hidupnya lebih miris dariku. Tapi mengingat perkataan mereka, benarkah kalau ternyata Liam sudah menjual ku ke tempat ini?

...***...

Malam sudah semakin larut, aku yang tidak berpengalaman hanya berdiri kaku diantara para penjudi yang terus memutar kartu. Permainan itu seakan tidak ada habisnya. Padahal jika boleh jujur aku sudah sangat mengantuk.

Soal perlakuan para penjudi disana, aku merasa sangat jengah. Meski mereka tidak berani memegang tubuhku barang sesentipun, tapi mata mereka menatapku dengan tatapan menjijikkan.

Syukurlah aku masih ditempatkan dilantai dasar dimana para penjudi tidak boleh menyentuh pendamping wanitanya. Mereka hanya boleh menerima perlakuan dariku, misal menuangkan minuman, juga memberi saran soal kartu mana yang harus mereka keluarkan.

"Mana kartu yang harus ku keluarkan, cantik?" tanya seorang penjudi yang ada disisi kiriku. Aku yang tidak tau apapun mengenai permainan kartu hanya bisa menunjuk secara random.

"Ini?" pria itu menunjuk sebuah king di barisan kartunya. "Baiklah, aku akan mengeluarkannya sesuai saranmu."

Lalu entah bagaimana permainan itu berlangsung, rupanya pria itu menang. Dia menganggap jika itu semua berkat diriku. Dia berjanji akan mentraktirku nanti dan akan meminta izin pada Tuan Aro.

Bersamaan dengan itu, semua sorak-sorai yang ada di beberapa meja bundar itu--mendadak hening saat seorang pria tinggi memasuki ruangan tersebut.

Tampak Tuan Aro tergopoh-gopoh untuk menghampiri dan menyambut kedatangan pria yang tampak mengenakan jaket kulit hitam, berikut memegang sebuah helm full face berkilat ditangannya.

"Selamat datang, Tuan Gladwin."

Pria itu hanya berdehem, aku dapat mendengarnya dari posisiku, karena mendadak suasana menjadi senyap sejak kemunculannya.

"Anda mau ke lantai 5, kan? Biar Gwen yang mengantarkan anda."

Pria itu menggeleng, matanya memindai seluruh ruangan yang secara impulsif semua orang disana--menghentikan perjudian mereka--hanya karena datangnya sosok pria ini.

Entahlah siapa dia, tapi yang ku tebak dia mungkin orang yang berpengaruh terutama untuk Kasino ini.

"Dia?!"

Entah kenapa pria itu justru menunjukku. Aku menegakkan tubuh secara refleks karena apa yang baru saja ku dengar.

"Apa dia orang baru?" tanya pria itu merujuk pada diriku. Matanya bahkan memicing padaku, seperti menyiratkan sesuatu. Tapi, entahlah ... aku tidak berani membalas tatapnya.

Aku sontak menundukkan wajah, entah kenapa aku enggan untuk bertatapan dengan pria pemilik sorot mata tajam itu.

"Iya, Tuan. Dia ... baru hari ini disini. Ini hari pertamanya." Tuan Aro menjelaskan.

Pria itu mengangguk, aku bisa melihat pergerakannya dari sudut mataku.

"Baiklah, dia saja yang menemaniku!"

Seketika itu juga, aku mengangkat wajah, hingga tatapan mataku dan pria itu bersirobok satu sama lain, tapi buru-buru aku membuang pandangan ke arah lainnya demi menghindari kontak mata diantara kami.

"Tapi dia ... belum menguasai pekerjaannya yang masih baru disini. Akan lebih baik jika anda bersama Gwen atau Sharen yang lebih berpengalaman," jelas Tuan Aro sekaligus membujuk.

Dalam hati, aku berharap pria itu berubah pikiran dan menyetujui ucapan Tuan Aro. Nyatanya, suaranya yang bernada serak justru membuat Tuan Aro pasrah tak berkutik.

"Ku bilang aku mau dia!" ujarnya tegas dan penuh penekanan.

Entah kenapa, seketika itu juga tubuhku mendadak lembek seperti jelly. Bukan apa-apa, jika pria ini akan menuju lantai 5, itu artinya aku harus pasrah jika nantinya dia akan menyentuhku.

...Bersambung ......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!