Siswa siswi SMA Galaksi 9 tengah bergembira menyambut hari kelulusan mereka. Para siswi mengenakan kebaya modern dan siswa lainnya mengenakan setelan kemeja, sebagian murid membopong buket bunga untuk mereka berikan kepada kakak kelas mereka yang hendak merayakan kelulusannya.
"Selamat atas kelulusannya, Kak." Selepas memberikan buket siswi kelas 10 itu meninggalkan kakak kelas mereka.
"Belum sempet bilang makasih, udah pada kabur aja tu anak." Andika menatap temannya dengan tatapan jengah.
Mungkin yang lain asyik bergembira, tapi ada satu murid tengah termenung menatap keluar jendela. Tatapan sendunya menyapu halaman belakang sekolah, sesungguhnya di sana tidak ada pemandangan bagus ataupun pemandangan yang estetik seperti di laman internet.
Namun, entah kenapa dia begitu menikmati kesunyian dan embusan angin di pagi ini.
Lamunan gadis itu buyar tatkala temannya yang bernama Laras menepuk bahunya sambil berbisik sangat lirih.
“Aku ada di belakangmu, hi-hi-hi ....” Selepas berbisik horor gadis itu tertawa terbahak-bahak sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Muezza yang menyandarkan tubuhnya di Railing void langsung berbalik menatap datar Laras yang jahilnya minta ampun.
“Bisa kagak sih, kamu rubah cara menatap orang!” tunjuk Laras dengan mata yang menyorot tajam.
“Mau mu, aku seperti ini?” tanya Muezza sambil menjulingkan matanya.
Laras yang sedari tadi menatap Muezza langsung menunduk dengan kepala yang menggeleng takut.
“Enggak kayak gitu juga kali Mue ...,” desis Laras sambil menakupkan kedua tangannya di sebagian wajah Muezza.
“Ribet amat dah!” decak Muezza seraya duduk di sebelah Laras.
“Ngomong-ngomong ... kamu mau kuliah di mana, Mue?” tanya Laras sembari melirik teman cantiknya.
Alih-alih bersuara gadis yang memiliki tahilalat di ujung hidung itu menggeleng pelan dan menyanggah dagunya dengan kedua tangannya.
"Kamu mau berhenti di sini aja?” Menatap penuh keseriusan.
“Entahlah?” ucap Muezza bingung.
Hening, tidak ada percakapan setelah kalimat itu. Dua gadis berparas imut tersebut menatap korden jendela kelasnya yang melambai-lambai akibat tertiup angin.
“Ngapain juga kita bengong di sini? Yuk, gabung sama anak-anak yang lain!” ajak Laras sembari merapikan tatanan rambutnya.
Derap langkah kaki mereka menggema memenuhi kelas yang kosong, tampak senyum gembira di setiap wajah teman-temannya. Tentu saja Muezza dan Laras ikut menyunggingkan senyuman termanis mereka.
Para murid mengucapkan selamat atas kelulusan mereka satu sama lain dan tidak lupa mereka mengabadikan momen bahagia ini dengan bersua foto bersama. Ketika Muezza berfoto dengan Andika ada sebuah tangan terjulur dan menarik lengan gadis itu hingga menciptakan jarak antaranya dengan Andika si ketua kelas.
Bisa dibilang, Andika—cowok terpopuler seantero sekolah. Banyak murid perempuan yang mengidolakannya, bahkan ada yang menginginkan cowok itu jadi pacar mereka. Ya, masa SMA memanglah menyenangkan.
“Eh ...,” pekik Muezza sambil menatap orang yang telah lancang menariknya dengan paksa.
Mata Muezza terbelalak ketika mengetahui siapa orang yang menariknya barusan.
“Ke mana Ayas, Mue?” tanya pria itu lembut sambil celingukan mencari keberadaan Laras.
Ingin rasanya Muezza menjawab dan menghambur pelukan, tapi lidahnya terasa keluh dan tubuhnya kaku tidak dapat bergerak.
Kenapa seperti ini? Bukankah aku harus menyapanya dengan lembut dan ramah-tamah. Sialan! Kata Muezza dalam hati yang terus-menerus merutuki dirinya sendiri.
“Hei!” cetus pria yang memiliki gaya rambut daddy.
Alun selalu memotong rambutnya dengan gaya rambut daddy, kesannya sama seperti model rambut curtain haircut. Bedanya hanya terletak pada potongan rambut yang mengikuti garis kepala. Aksen poni di bagian depan yang dibentuk menyamping juga menambah kesan lebih daddy pada tampilan formal Alun—kakak Laras.
Model rambut Alun sama persis dengan potongan rambut D.O EXO. Jangan tanya kenapa! Karena itu dilarang, bukan dilarang sih. Lebih tepatnya aku lagi sibuk mengulas kisah Mue dari pada kisah rambut Alun, ha-ha-ha.
“Emm, Ayas tadi p-pergi ke toilet ... ya dia ke toilet Mas," jawab Muezza gugup dengan jari telunjuk mengacung ke atas.
Jantung gadis itu berdegup kencang, rasa-rasanya organ tubuh yang memompa darah itu tersendat saat netranya menatap lekat wajah tampan Alun.
Kening Alun mengerut melihat kegugupan tercetak jelas di wajah gadis manis yang seusia dengan adik kesayangannya.
“Ayas di mana?” Alun kembali mengulang pertanyaan yang sama.
Lagi dan lagi, suara Muezza tidak dapat keluar dengan sempurna. Dia tetap gugup dan suaranya semakin terbata-bata, sungguh memalukan dan kejadian ini semakin membuatnya malu di depan Alun sang pujaan hati.
“Di t-toilet.”
Alun—cowok dingin dan kaku itu menggelengkan kepalanya pelan dan hanya meninggalkan Muezza yang memutar kepala mengikuti setiap langkah Alun hingga hilang.
“Ah ... tidak berguna!” pekiknya pelan, Muezza benar-benar tidak terima dengan tubuhnya yang tidak sinkron dengan isi hatinya.
“Apa yang tidak berguna, Mue?” sahut Andika yang sedari tadi memandangi cewek cantik tersebut.
Gadis yang memiliki tahilalat di ujung hidung itu memiringkan kepala demi menatap intens wajah Andika yang lumayan cakep, tapi tidak menarik menurut Muezza.
“Hmm, tidak ada. Aku hanya menggerutu tidak jelas saja,” jawabnya setelah sekian lama bungkam.
Dari kejauhan Vita memekikkan nama temannya sambil melambai.
“Mue, sini!”
“Oke, aku ke sana!” sahut Muezza dengan intonasi yang tinggi, “aku ke sana, ya.” Muezza menunjuk arah Vita berada.
Andika melempar senyum semringah sambil mengangguk pelan ketika melihat tingkah lucu Muezza.
***
Acara wisuda pun selesai tanpa ada suatu halangan. Dewan guru meminta para murid untuk berkumpul di depan sekolah, semua siswa siswi berdiri berdampingan dan tibalah saatnya toga yang mereka kenakan dilempar secara bersamaan.
Fotografer memotret dengan angel yang cukup tepat.
Fotografer berkacamata itu mengacungkan jempol ke atas menandakan foto yang beliau ambil sangat bagus.
Selepas sesi foto berlalu semua murid berhamburan ke sembarang arah. Ada yang pergi ke taman dan ada pula yang langsung pulang bersama orang tua mereka, ketika gadis bernama Muezza Irabela melangkah menuju pintu gerbang ada seorang pemuda berkulit putih menghentikan gerak kakinya.
“Mue!” panggil Andika dari ujung barisan.
“Emm,” sahut Muezza dengan ekspresi datarnya.
“Kamu mau pulang bareng aku?” tawar Andika antusias.
Muezza menggigit bibir bawahnya seraya melirik ke sana kemari mencari alasan untuk menolak tawaran tersebut.
“Gimana? Bareng aku atau enggak?” katanya memastikan keputusan Muezza.
“Gimana, ya ....” Gadis itu menggaruk pelan pelipisnya yang tidak terasa gatal, lalu dia mengangkat tangan kirinya seakan sedang melambai orang lain di belakang Andika.
“Kamu ada janji, ya?” cakap Andika sembari memalingkan pandangan untuk melihat siapa yang dipanggil Muezza.
Kepalanya bergerak maju dan alisnya hampir bertaut ketika mendapati siapa yang dipanggil Muezza.
Yang bener aje ni cewek? Kagak nyaka aku dengan seleranya, gerutu Andika yang mulai tidak puas dengan apa yang dia lihat.
Andika mengusap kasar wajahnya.
“Aku duluan, ya.” Dengan rasa kecewa pemuda itu pergi sembari menepuk bahu kiri Muezza.
Tercetak jelas gurat kekecewaan di wajah pemuda itu. Memalukan sekali baginya, mengajak pacar orang lain pulang. Tanpa menunggu besok atau lusa, tutur bahasa Andika seketika berubah melihat Muezza memanggil guru olahraga yang notabene-nya masih sangat muda.
Wajah yang maskulin dan kulit sawo matangnya membuat guru olahraga tersebut semakin manis dan tampan, apa lagi jika dia tersenyum. Sungguh keindahan makhluk Tuhan yang hampir sempurna, tapi jangan salah hati Muezza Irabela hanya memiliki ruang untuk manusia bernama Alun Erasmus.
Benar, Muezza sangat menyukai kakak sahabatnya. Namun, dia tidak dapat mengutarakan isi hatinya. Menurutnya ‘seorang wanita hanya bisa menerima cinta' itu kata Muezza dan dia juga berpikir ‘seorang wanita tidak pantas mengutarakan isi hati'.
Kalian bertanya kenapa? Aku saja sebagai penciptanya juga tidak paham dengan jalan pikir si Mue minim akhlak ini.
“Kenapa tu cowok?” tanya Laras dengan dagu yang digunakan untuk menunjuk Andika.
“Kamu nanyak aku?” kata Muezza dengan telunjuk mengarah ke wajahnya sendiri.
“Kamu pikir aku nanyak sama nyamuk yang gigit jidat kamu?” ucap Laras kesal, gadis itu melayangkan tangannya dan mendarat sempurna di jidat Muezza.
Sontak gadis itu malang kerik dan sorot matanya menukik.
“Ampun Mue!” ujar Laras yang mengangkat kedua tangan yang menyatu.
Muezza merangkul erat leher Laras, lalu dia menyeret sahabatnya tersebut ke pinggir taman.
“Kamu tahu cewek idamannya?” tutur Muezza kalem.
Laras mengikuti pandangan mata sahabatnya itu.
“Kamu masih waraskan, Mue?” Gadis itu menatap lekat-lekat manik hitam milik Muezza.
Segera Muezza menepis kedua tangan Laras, “Emang kamu pikir aku gila!”
Bahu Laras terangkat lalu berkata, “Siapa tahu? ‘Kan kamu sama kayak kotak kado, banyak kejutan.”
Kelopak mata gadis itu terkatup rapat dan terdengar dengusan lirih.
“Aku serius Ayas ... cepat jawab pertanyaan ku!” desak Meuzza dengan wajah yang dibuat memelas.
“Nyerah aja deh, Mue! Abang ku tu manusia eror,” jawab Laras cepat.
Gadis berparas imut itu langsung menyandarkan tubuhnya di kursi taman, hatinya sakit mendengar kata ‘menyerah’ dari Laras. Dia benar-benar jatuh hati sejak melihat Alun di lapangan basket tiga tahun lalu, tapi dia baru mengatakan hal ini setahun setelah pertemuan itu kepada Laras.
“Dih dia sedih.” Sebelah alis Laras terangkat melihat wajah kusut Muezza.
“Diem lo!” sentak Muezza seraya mendorong pelan tubuh sahabatnya tersebut.
“Nih aku kasih tahu.” Penuturan Laras membuat Muezza bersemangat kembali.
Gadis imut yang mengenakan kebayang pastel green itu mendekat, lalu tangan kanannya menyangga dagu.
“Ini hanya asumsi aku aja, ya. Lebih detailnya gimana aku kurang paham,” jelas Laras pelan.
“Kayaknya sih, abang ku tu suka cewek yang tegas kagak kemayu. Tapi ... kelihatannya dia suka cewek yang anggun,” imbuh Laras panjang lebar.
“Astaga ... paket lengkap itu mah namanya. Aku ini gadis yang slengean mana bisa kayak gitu,” keluh Muezza selepas mendengar kriteria wanita idaman Alun.
“Tadi ‘kan sudah aku bilang, kalau itu hanya asumsi aku aja. Bagaimana jelasnya lebih baik kamu tanya sendiri, gih!” perintah Laras yang sudah tidak tahan melihat Muezza terus-terusan menekuk wajahnya.
"Aku bukan cewek genit, Ayas!" rengek Muezza dengan wajah cemberut.
Jika sudah pusing memikirkan sesuatu gadis itu langsung menggeliat tidak jelas sambil merintih kecil. Laras yang sudah hafal betul dengan tingkah laku Muezza hanya bisa diam dan menunggu di sampai gadis itu sampai dia puas melakukan hal tidak penting tersebut.
Sekian lama menunggu kebiasaan buruk Muezza tak kunjung usai membuat Laras bosan menunggu dan pada akhirnya gadis itu mengeluarkan ponsel dari saku rok tutu yang membalut bagian tubuh bawahnya. Entah kebetulan atau memang sengaja Alun menelepon Laras—gadis kesayangan seluruh keluarga Roberto Carlos.
“Ya Bang,” sahut Laras malas.
Mendengar kata 'bang' Muezza membungkam mulutnya serta melirik pelan ke arah Laras, segera gadis itu mengelus keningnya yang tiba-tiba berkeringat.
“Ayas, ajak Mue pulang bareng, ya?” Tersenyum jahat setelah melihat wajah blushing Muezza.
“Alright, thanks my brother.” Rayuan maut Laras agar kakaknya tidak menolak ataupun protes.
Karena setiap kali Laras mengajak Muezza, Alun akan segera menolak dengan seribu alasan yang menurut Laras tidak masuk akal. Entah apalah yang membuat pria itu tidak ingin membawa Muezza pulang bersamanya.
“Yuk, pulang!” ajak Laras penuh semangat.
“Kita pulang bareng nih?” Di saat-saat begini Muezza selalu bersikap bodoh dan tidak peka.
Laras mengembuskan napasnya secara kasar lalu menarik paksa tangan sahabatnya.
“Eh, tunggu-tunggu!” pekik Muezza seraya meraih topi toganya yang tergeletak di bangku taman sekolah.
Jantung Muezza mulai berdegup sangat kencang dia tidak dapat menyembunyikan kegugupannya, dari kejauhan manik hitam itu menangkap sosok pria yang sangat dia cintai.
Pria berbaju batik coklat berdiri tepat di depan mobil Mercedes Benz dengan jam tangan mahal yang melingkar menghiasi pergelangan tangan pria itu. Potongan rambut deddy membuat penampilan pria itu semakin menawan, senyumnya yang menampilkan lesung pipit membuatnya semakin manis.
Gadis mana yang tidak akan tergoda dan terpesona dengan aura positif yang dipancarkan pria itu. Muezza paham betul ada dinding pemisah di antara mereka dan ada jarak lautan yang sangat luas, meskipun dia mengetahui hal itu dia tetap jatuh cinta dan sayang kepada pria tersebut.
Kalian nanyak apa dinding pemisahnya? Besok deh aku kasih tahu.
“Kenapa kamu bengong Mue?” tanya Laras sambil menggerak-gerakan pergelangan tangan Muezza.
“Pe'ak, aku lagi gugup ini!” kata Muezza panik.
“Astaga ... Baru lihat dia aja Kamu sudah gugup bagaimana jika kamu dipeluk atau dicium? Mungkin kamu akan pingsan selama tujuh hari tujuh malam, ha-ha-ha ...,” ejek Laras sambil menyentuh pipi Muezza.
“Udah deh Ayas, jangan cengin aku terus!” pinta Muezza dengan kepala tertunduk malu.
“Ya Tuhan, kamu benaran malu Mue? Baru kali ini aku lihat Muezza Irabela si ratu slengean malu.” Alih-alih berhenti Laras semakin ngecengin Muezza.
Gelak tawa gadis berkebaya biru langit tersebut terdengar sangat jelas diujung taman, semua mata tertuju padanya. Sontak Laras menghentikan tawanya dan langsung berlari ke arah mobil hitam milik Alun yang disusul Muezza di belakangnya.
“Abang tahu enggak? Bocah ini ....” Laras menggantung ucapannya dan mata sipit itu melirik sekilas wajah Khawatir sahabatnya tersebut.
Ya Allah ... ni anak mau bikin aku maninggoy saat ini juga deh, protes Muezza dalam hatinya.
Gadis itu benar-benar khawatir jika sahabatnya nekat bilang kalau dia jatuh cinta kepada Alun, ditambah lirikan mata dan senyuman Laras semakin membuat kecemasan di hati Muezza.
Alun yang tidak mengerti akan arah ucapan adiknya memilih memutus pembicaraan tidak penting tersebut.
“Jangan banyak bicara! Kalian berdua cukup duduk anteng,” kata Alun yang sudah tidak tahan mendengar ocehan adik manjanya.
“Kagak Asyik lo, Bang!” cemooh Laras dengan kedua tangan yang di lipat di depan dada.
Alun melihat raut wajah adiknya yang cemberut dan yang membuat pemuda itu makin gemes adalah bibir Laras yang mengerucut. Andaikan dia berada di dekat adiknya sudah pasti bibir itu dia ikat dengan karet gelang, lain halnya dengan Muezza—gadis yang memiliki tahilalat di ujung hidung itu memandang penuh binar pantulan wajah Alun di kaca spion tengah.
Tanpa sepatah kata apa pun, Alun sedikit mendorong kaca spion tengah agar menyerong ke kiri. Bahu Muezza berkedik saat Alun mengetahui bahwa dia sejak tadi memperhatikan pemuda tampan yang memiliki aura positif yang sangat kuat.
Untuk menghilangkan kecanggungan Muezza mengalah dengan keegoisannya.
“Emm ... saya turun di lampu merah ke dua Bang,” ucap Muezza sambil *******-***** baju yang dia kenakan.
“Sudah kayak sopir angkot gue hari ini,” cebik Alun lirih.
Mendengar sahabatnya meminta diturunkan, Laras menoleh dengan mata yang memicing.
“Kamu masih waraskan, Mue?”
“Tentu.” Muezza memungut satu per satu barang bawaannya.
“Rumah mu masih jauh, pe’ak!” tukas Laras sambil menyerongkan tubuhnya agar bisa menatap dengan sempurna wajah Muezza.
“Lalu kenapa?” tanya Muezza santai, meski dalam hatinya menginginkan Laras mencegah lebih lagi.
“Yakin?” ujar Laras memastikan lagi.
Muezza mengangguk kecil dengan wajah yang menatap jendela.
“Baiklah kalau gitu.” Laras menyandarkan tubuhnya.
Eh, kenapa nih anak kagak kayak biasanya. Dih, nyebelin si Laras ini, gerutu Muezza dalam hati.
Kenyataan memang menyakitkan. Dia berpikir Laras akan mencegah niatnya, tapi nyataannya Laras malah menyetujui itu tanpa basa-basi lagi.
***
“Assalamualaikum.” Muezza membuka sepatu tingginya lalu membuka pintu.
Kening gadis itu mengernyit, kesunyian siang ini membuat hatinya cemas dan Khawatir.
“Pada ke mana penghuni rumah ini?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Ketika dia hendak membuka pintu kamar, suara terompet dan party popper membuatnya terkejut bukan main. Beruntung gadis itu memiliki jantung yang kuat, jika tidak dia akan tiada karena serangan jantung.
Senyum termanis terbingkai di bibir gadis imut itu, pelukan hangat disambut dengan mesra oleh kedua orang tuanya dan adik laki-laki yang terpaut usia 9 tahun dengannya.
“Selamat ya, Kak atas kelulusannya.” Suara ibu terdengar melambai di gendang telinga Muezza.
“Makasih Bunda,” sahut Muezza yang terus mengulas senyum.
“Tetaplah jadi anak yang bijak,” pesan Azmi kepada anak perempuannya.
“Insyaallah, Yah.”
“Maafkan ayah dan bunda, ya Sayang. Seharusnya Bunda ke sana menemanimu saat prosesi wisuda,” ucap Rahma dengan suara bergetar, terlihat mata bening itu berkaca-kaca.
Muezza menyekat air mata ibunya yang hendak berlinang.
“Bunda jangan merasa bersalah gitu dong! Lagi pula Bunda dan Ayah ‘kan memiliki urusan yang sangat penting,” putus Muezza sambil memeluk sang Bunda.
Di tengah keharuan Alif meloncat-loncat dengan jari telunjuk mengacung ke atas, demi mendapat perhatian sang kakak. Muezza mengedipkan sebelah matanya untuk mengerjai adik semata wayang.
“Astagfirullah!” ucap Alif sembari melempar party popper yang dia bopong sedari tadi.
Gelak tawa memenuhi ruang tengah, Muezza sangat senang melihat adiknya marah. Namun, gadis itu begitu sayang kepada Alif, tidak pernah sekalipun dia melupakan adiknya itu.
“Maafin kakak, ya.” Muezza mencubit pipi tembam Alif.
“Emoh!” ketus Alif dengan kaki yang bergerak ke depan ke belakang, karena posisi anak itu duduk di kursi.
“Ya sudah, hadiahnya enggak jadi.”
Mendengar kata ‘hadiah’ Alif memberhentikan gerak kakinya. Lantas anak itu turun dari tempat duduknya dan berbalik dengan senyum lebar.
“Ya sudah, Alif maafkan. Tapi hadiahnya jadikan Kak?” Menadahkan tangan dengan mata berbinar.
Muezza tersenyum dan mengeluarkan sebuah amplop merah jambu dari saku jaket kardigan.
“Yeay, dapet ampau.” Sorak gembira Alif menular ke seluruh anggota keluarga.
Tingkah lucu anak itu selalu sukses membuat ibu, ayah dan kakaknya tertawa.
“Bolehkah Alif minta ampau lagi?” ujar Alif malu-malu.
“Nah, dia minta lagi.” Muezza berkacak pinggang menatap tajam adiknya.
“Hu, pelit!” Anak laki-laki tersebut menjulurkan lidahnya sambil bergoyang mengejek.
“Mulai berani ya, sekarang.” Muezza meletakan buket bunga dan toganya di meja, lantas gadis itu berlari kecil mengejar Alif yang sudah tertawa-tawa.
Azmi dan Rahma hanya bisa tersenyum melihat tingkah kedua anaknya. Hidup kedua orang itu terbilang harmonis, meski perekonomiannya tidak begitu bagus.
“Kamu sudah bertanya?” kata Azmi membuyarkan tawa Rahma.
“Soal apa?” Menatap sekilas wajah datar sang suami.
“Dia mau kuliah di mana?” jawab Azmi melepas dekapan tangannya dari bahu sang istri.
“Belum,” sahut Rahma meraih buket bunga anak gadisnya, “memangnya, Mas sudah ada uang untuk mendaftarkan Mue ke perguruan tinggi?” Rahma duduk di sebelah Azmi.
Terdengar suara napas berat pria paru baya tersebut.
“Jangan dipaksakan Mas! Lebih baik kita bicarakan ini pelan-pelan siapa tahu Mue punya pendapat lain,” ujar Rahma sembari mengelus punggung Azmi.
“Pendapat apa? Aku tidak mau mengabaikan kecerdasan anak kita,” tegas Azmi.
“Orang tua mana yang mau melihat anaknya tidak sukses. Semua orang tua akan berpendapat sama dengan kamu, Mas. Tapi 'kan ... keadaan kita seperti ini,” jelas Rahma yang tidak terima dengan penuturan suaminya.
“Menurut kamu bagaimana baiknya?” tanya Azmi yang terlihat putus asa.
“Lebih baik kita musyawarah dengan Mue, kita dengarkan pendapatnya. Apa yang dia mau?” usul Rahma sambil meletakkan tabung dan plakat wisuda.
“Habis Maghrib nanti, aku akan bertanya pada anak kita.” Azmi beranjak keluar meninggalkan Rahma sendiri dengan kepala yang berputar mengikuti gerak langkah suaminya yang berakhir dengan suara debamam pintu yang ditutup.
Rahma paham akan maksud Azmi, suaminya itu cemas akan masa depan kedua anaknya. Namun, keadaan mereka saat ini membuat hati Rahma sangat gusar. Di pikirannya selalu ada kata 'bisakah mereka memenuhi kebutuhan finansial putra putrinya'.
Waktu terus berputar sang surya kini telah menyembunyikan diri, cakrawala menyuguhkan pemandangan alam yang sangat luar biasa yang diikuti dengan suara adzan berkumandang.
Azmi sudah berdiri tegap di barisan pertama dan kedua wanita di rumah itu berdiri tepat di belakangnya. Kewajiban seorang muslim telah mereka lakukan dan ketika Muezza hendak berdiri ditahan oleh ibunya.
Tatapan serius kedua orang tuanya membuat hati Muezza bergetar, pasalnya bunda dan ayahnya sangat jarang terlihat seserius ini. Meski takut Muezza memberanikan diri untuk bertanya.
“Ada apa Bun? Apa Mue membuat kesalahan?” Menatap wajah ayah dan bundanya secara bergantian.
“Tidak, kamu tidak melakukan kesalahan apa pun. Hanya saja kami ingin berbicara serius,” kata Rahma sambil menggenggam erat jemari anaknya.
Kecemasan membuat telapak tangan Muezza berkeringat dan degup jantungnya tidak berirama membuat dada gadis itu sedikit sesak.
“Ada apa sih, Bun? Mue takut melihat kalian saling menatap seperti ini,” tutur Muezza meminta penjelasan.
“Ayah dan bunda hanya ingin membicarakan tentang pendidikan mu selanjutnya, Nduk. Tidak ada hal lain selain itu,” jelas Rahma kalem.
Layaknya tuan putri sungguhan, Rahma selalu bertutur kata lembut dan selalu bijak dalam bertindak. Bukan Rahma saja yang seperti itu, Azmi—suaminya pun sama persis dengannya hanya beberapa hal saja yang membuat mereka berdua berbeda.
“Kamu mau masuk ke universitas mana? Dan apa yang ingin kamu lakukan sebelum kuliah?” todong Azmi yang sudah meletakan pecinya di atas lemari kecil.
“Mue enggak mau kuliah, Yah. Mue mau kerja saja.” Muezza mengutarakan isi hatinya yang lain.
“Kenapa?” tanya Rahma terkejut.
Wanita itu tidak habis pikir dengan jawaban cepat putrinya.
“Mue bosan sekolah Bun,” sahut Muezza enteng.
“Astagfirullah hal Adzim ...!” seru Azmi seraya memegang dadanya.
Seketika suasana rumah senyap, aura positif yang biasa dirasakan kini lenyap tanpa aba-aba. Kesunyian membawa kemurkaan dan tanpa ampun aura itu telah merambat di seluruh hati gadis berusia 18 tahun tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!