"Embun, udah dong mandi hujannya, Sayang," panggil Ratna yang berdiri di ambang pintu seraya membawa handuk dalam genggamannya.
Gadis kecil bermata bulat itu terus saja asyik bermain, terkadang ia melompat-lompat kegirangan. Tawa cerianya menjadi kebahagiaan tersendiri untuk Ahmad. Pasalnya, ia begitu menyayangi putri semata wayangnya.
Ia yang sedang mencuci mobil pun tampak tersenyum tanpa meminta sang putri untuk menyudahi acara mandinya. "Biarin aja, Ma. Mumpung masih kecil," jawab Ahmad sambil terus menggosok mobil sedan tuanya.
"Papa sama anak sama aja! Memang benar ya, buah itu jatuh nggak jauh dari pohonnya," ucap Ratna yang kini sudah tampak sebal dengan kelakuan suami dan anaknya.
Ratna pergi dari sana, jelas ia tidak khawatir dengan sang putri. Sebab Ahmad berada tidak jauh dari Embun. Gadis berumur lima tahun itu kini tengah nyengir kuda kala Ahmad menggodanya, Embun bermain perosotan di samping Ahmad.
Ya, meski rumah mereka tidak terlalu besar, Ahmad memiliki kolam renang kecil di dekat garasi. Lengkap dengan perosotan juga ayunan. Semua itu ia buat untuk Embun.
Ahmad yang sudah selesai mencuci mobil lalu berjongkok ke arah Embun yang sedang asyik melompat di atas kubangan.
"Sayang, udah ya mandi hujannya. Papa udah siap nyuci mobil, nih. Nanti Mama kamu marah loh."
Embun mengangguk, lalu mereka bergandengan tangan masuk ke rumah. Ratna tengah duduk melipat tangan di depan dada melihat keduanya yang berdiri mengharap Ratna membawakan handuk untuk mereka.
Bukannya datang dengan handuk untuk mereka, Ratna justru melengos pada dua orang yang amat ia cintai itu. Melihat sikap Ratna yang merajuk, Ahmad berinisiatif untuk menyuruh Embun merayunya.
Ia membungkuk lalu berbisik, "Embun, kamu samperin Mama gih. Peluk terus cium, ya. Setelah itu, minta bawakan handuk kemari untuk Papa. Oke, Sayang?"
Embun yang sangat mudah dikompaki langsung mengacungkan jari jempolnya. Benar-benar anak papa si Embun ini, pikir Ahmad yang sudah senyum penuh kemenangan saat Embun mulai melangkah.
Jika dia sendiri yang masuk ke sana, jelas Ratna akan marah besar. Tetesan air yang mengucur dari baju mereka akan membuat keramik lantai licin dan basah, itu artinya Ratna harus mengepel lagi.
Sekarang, Embun sudah membujuk Ratna dengan mencium pipinya. "Ma, Embun kedinginan. Peluk Embun," kata gadis itu yang membuat mata Ratna menyorot hangat pada buah hatinya.
Dengan segera ia memeluk Embun, lalu mengambil handuk yang memang sudah disiapkannya tadi di bahu sofa jepara. Embun sudah berada dalam gendongan Ratna dan akan membawanya ke kamar mandi.
Ratna bangkit dan akan melangkah ke kamar mandi. Tidak lupa Embun menyampaikan pesan Ahmad. Meski masih bersungut, Ratna menyodorkan bathrobe pada Ahmad.
"Kalau bukan karena Embun, kamu tetap kedinginan di situ, Mas!"
"Mama, jangan marah sama Papa."
Sontak Ratna tertawa cengoh mendengar penuturan Embun yang begitu membela sang ayah. Ahmad lagi-lagi senyum lalu mengedipkan matanya pada Embun.
"Bagus, Sayang. Kamu memang benar-benar anak Papa," batin Ahmad bersorak kegirangan dalam hati.
"Mama nggak marah sama Papa, Sayang. Yuk, sekarang kita mandi."
Ahmad hanya tersenyum memandangi Ratna. Punggung kecil Ratna membuatnya ingin segera bergabung dengan mereka. Merangkul bahu Ratna, lalu mencium pucuk kepalanya sekilas.
Tidak lupa ia mengecup pipi Embun gemas. Tidak bisa dipungkiri, hal kecil begitu membuat Ratna tersenyum simpul.
Sudah selesai dengan acara mandi hujan tadi, sekarang mereka tengah makan malam. Hanya lauk sederhana yang dimasak oleh Ratna. Sayur asem, sambal terasi dan ikan goreng tersaji di meja makan.
Embun yang tidak suka pedas hanya makan ikan goreng dan sayur. Ahmad juga sama seperti Embun, bukan yang tahan dengan rasa pedas. Sambal hanya pelengkap hidangan saja, untuk mempercantik tampilan agar tidak pucat.
"Mas, besok ke rumah Ibu, ya."
"Besok?" Ahmad tampak berpikir, dia ingat ada pekerjaan yang masih belum selesai. Manager Keuangan di bank ternama di Indonesia ini membuatnya banyak mendapat tekanan, meski di akhir pekan begini.
"Ya, Pa. Embun udah lama nggak ketemu nenek."
"Em, besok Papa cuma bisa nganter aja, ya. Ada kerjaan sedikit yang belum selesai di kantor. Nggak apa-apa 'kan, Sayang?"
Ahmad beralih pandang pada Ratna yang masih diam. "Gimana, Ma? Aku cuma bisa anterin kalian. Tapi, begitu kerjaannya selesai, aku bakal ke sana."
"Oke. Tapi jangan lama ya, Mas."
"Aku usahain, ya. Sayang, Papa besok nggak akan lama. Kamu baik-baik di rumah nenek, ya. Jangan bikin repot Mama."
"Ya, Pa," jawab Embun yang kini mulai mengunyah makanan di hadapannya. Ahmad mengelus pucuk kepala Embun lembut diiringi senyum.
Ratna tampak muram, sudah lama dia dan Ahmad tidak berkunjung ke Bogor. Itu juga yang membuatnya meminta Ahmad untuk ikut serta. Namun, sekali lagi Ratna harus memahami Ahmad yang tidak bisa rehat dari tanggung jawabnya.
Seperti sekarang, ponsel Ahmad terus berdering. Besok pagi-pagi sekali ia harus berangkat ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan kemarin, juga mungkin ada kaitannya dengan telepon yang masuk sekarang.
Di tempat lain, Marni. Ibu Ratna tengah merapikan tanaman yang mengelilingi rumahnya. Rumput hijau yang sudah tinggi itu, ia pangkas rata. Sedangkan Roy, kakeknya tengah membaca koran di teras.
Rumah yang memiliki halaman luas ini, tampak asri. Bangunan dengan atap condong ini menampakan khas suku mereka. Belum lagi pajangan di rumah itu, lukisan pantai laut selatan ada di sana. Hiasan keramik berbentuk gajah berwarna cokelat ada di sisi pintu masuk.
Pajangan itu dulu sering digunakan Embun untuk mendaratkan bokongnya kala Roy menyeruput kopi pagi-pagi.
"Pak, Ibu kok kangen sama Embun, ya."
"Ya, udah lama memang mereka nggak kemari," timpal Roy yang melipat korannya. Marni menghampiri suaminya. Ia meminta Roy untuk menelepon cucu satu-satunya.
Roy masuk ke dalam dan mengambil ponsel yang berada di lemari TV. Arjuna, adik Ratna baru saja keluar dari kamar dengan menguap lebar seraya merentangkan tangannya ke atas.
"Kamu itu, bukannya bantu Ibumu malah baru bangun," omel Roy pada pria dewasa yang masih menggaruk-garuk rambut ikalnya yang gondrong.
"Sekali-kali, Pak. Mumpung libur."
"Ya, justru karena libur itu kamu bantuin Ibu sama Bapak. Bukannya malah molor aja!"
Bukannya marah atau tersinggung, Arjuna justru cengengesan. Roy sibuk mengambil ponsel dan menscroll layar. Juna masih kuliah semester dua saat ini.
"Mau telepon siapa, Pak?" tanya Juna, panggilan akrabnya begitu. Kecuali satu orang yang memanggil namanya dengan lengkap, Ratna. Juna mengintip ke arah tangan Roy yang tampak sibuk.
"Embun."
"Ya, tuh bocah udah lama kayaknya nggak ke sini ya, Pak. Rindu juga sama pipi bulatnya." Ya, pipi Embun adalah pusat yang menarik bagi Juna. Dia selalu menciumi pipi gemas Embun hingga gadis kecil itu menangis baru dia menghentikan aktivitasnya.
"Itu, makanya Bapak mau telepon mereka sekarang. Tapi kok susah banget ini layar disentuhnya."
Memang, layar ponsel Roy sering susah untuk disentuh. Para orangtua sering kali tidak peduli dengan barang elektronik, saat ponselnya jatuh tempo hari Roy membiarkannya begitu saja. Dengan alasan, masih bisa dipakai.
"Ya Allah, Pak. Layar udah begitu jelas susah disentuh. Sini, biar Juna aja yang telepon." Ada sedikit retakan di ujung layar ponsel Roy.
Juna kembali ke kamar dan mengambil ponselnya yang terletak di kasur. Langsung saja dia menyentuh gambar telepon di aplikasi hijau. Juna langsung menggunakan panggilan video.
Dering pertama langsung diangkat.
"Om Juna ...!" teriak gadis itu dari seberang telepon. Bocah itu tengah diikat rambutnya oleh Ratna sembari bermain ponsel agar betah didandani oleh sang bunda.
"Halo, Embul."
"Om, namaku itu Embun!" tegasnya dengan bersungut. Ratna tengah mengepang sebelah rambut Embun yang sudah dibagi dua.
"Ya, maafin Om ya, Embul," goda Juna lagi yang membuat bocah itu melipat tangan di dada dan wajah yang ditekuk.
"Kamu di mana?" tanya Ratna sesaat melirik ke arah ponsel dan masih terus sibuk dengan karet ikatan rambut Embun.
"Di rumah. Ada yang kangen sama Embun," jawabnya yang langsung menyerahkan benda pipihnya pada Roy, Marni langsung bergabung memenuhi layar ponsel Embun.
"Ibu sama Bapak sehat, kan?"
"Alhamdulillah, kalian kapan ke sini?"
"Rencananya besok, Pak." Roy mengangguk-angguk.
"Embun, Nenek kangen banget sama Embun. Kamu lagi ngapain, Sayang?"
"Embun lagi kesel sama Om Juna!"
"Biarin kesel, malah Om untung kamu nggak minta beliin es krim sama Om," balas Juna lagi yang membuat Embun semakin menjembikkan bibirnya.
"Ma, Om Juna." Embun mengadu seraya menunjuk Juna di sana. Ratna hanya tersenyum menanggapi Embun.
"Nenek pukul Om Juna ya, Sayang. Dia suka isengin kamu, kan?" Marni langsung memukul bahu Juna yang berada di sampingnya.
"Aw, Bu. Sakit, Bu. Ibu kok lebih sayang cucu daripada anak sendiri," ucap Juna yang tidak terima diperlakukan begitu.
"Memang. Ibu lebih sayang Embun."
"Cih, Ibu. Dulu belum ada Embun aku yang selalu diutamakan."
"Ya, itu dulu. Waktu kamu sama menggemaskannya dengan Embun. Sekarang malah Ibu bosan setiap hari lihat kamu." Marni kembali menggodanya. Marni juga sangat menyayangi Juna, hanya saja kadang tingkah Juna membuatnya sakit kepala.
"Ya Allah, Bu. Aku gini-gini juga anak Ibu."
"Bukan, kamu anak Bapak kamu tuh." Roy sontak menoleh dan memiringkan badannya sedikit.
"Nggak. Anak Bapak cuma Ratna."
"Ck! Jadi, aku anak siapa sih sebenarnya? Kok nggak ada yang mau ngakui aku."
"Anak hilang," sahut Marni yang mengundang tawa semua orang. Termasuk Embun yang ada di balik layar. Ia terkekeh dengan menutup mulutnya dan bahu yang sudah naik. Matanya hilang dibalik senyumnya.
"Embul, kamu ketawain Om, ya. Awas aja kamu kalau kemari!" ancam Juna yang usil menganggu Embun. Padahal, kalau sudah ketemu dengan keponakannya, Juna terus menempel pada Embun. Bermain dan membawa Embun berjalan-jalan dengan motornya.
Ratna sudah selesai mengepang rambut Embun. Ponsel itu kini beralih ke tangannya.
"Bu, besok masakin asinan, ya. Ratna pengen makan asinan buatan Ibu."
"Ya. Nanti Ibu belanja, ya."
"Kak, kamu kok nyusahin Ibu? Ujung-ujungnya aku yang disuruh belanja," gerutu Juna sembari menarik-narik daun telinganya pelan.
"Ya, nggak apa-apa dong, Arjuna. Mbak lagi pengen. Siapa tahu, itu permintaan terakhir Mbak."
"Hush! Kamu ngomong apa sih, Ratna." Marni yang mendengar perkataan Ratna begitu tidak suka. Firasat seorang ibu itu pasti benar, dan kini perasaan Marni memang sedang tidak bisa berhenti khawatir terhadap Ratna.
"Tau, nih! Ngomong seenak jidat." Juna juga sama marahnya dengan perkataan Ratna barusan. Ratna hanya menanggapi dengan senyuman.
"Arjuna, Ibu, kalau Ratna udah nggak ada, kalian jaga Embun, ya."
"Ogah...!" jawab Juna cepat dan memutar bola matas malas. Lagi, Ratna tidak marah, justru tersenyum. Hanya mulut Juna saja yang berkata begitu, hatinya sangatlah sayang pada Embun. Jelas, ia akan menjaga Embun tanpa diminta Ratna sekalipun.
"Emang kamu mau ke mana?" tanya Marni lagi, meski dalam hatinya ia sudah menangis mendengar penuturan putrinya. "Mending kamu buat anak lagi. Biar Embun ada temennya."
"Bener tuh, Kak. Biar rame ini rumah kalau pas lagi kumpul," timpal Juna dengan semangat empat lima.
"Insya Allah, Bu. Kalau Allah kasih, pasti Ratna hamil lagi." Hati Marni dan Juna sama-sama tidak enak. Pikiran mereka melanglang buana entah ke mana-mana. Mereka takut, jika ucapan Ratna menjadi wasiat untuk mereka.
"Udah dulu, ya, Bu. Ratna mau beberes dulu."
Ratna sebenarnya sudah mengidap penyakit leukimia saat melahirkan Embun. Namun, sebisa mungkin dia menutupinya dari semua orang. Bahkan, obatnya pun ia simpan di sela-sela lemari mainan Embun dan menyelipkannya cukup dalam.
Hanya dia yang tahu persis letaknya. Ratna mengakhiri panggilan itu. Embun menatap lekat ibunya. Rambut yang sudah rapi, membuat sang bunda tersenyum bahagia.
"Ma, asinan bogor emang enak, ya?"
"Emmm, enak pake banget, Sayang. Apalagi, kalau nenek yang buat."
"Hehe, jadi nggak sabar pengen nyobain, Ma."
"Besok ya, Sayang. Kamu main di ruang tamu dulu, gih. Mama mau beberes, nih."
Embun mengangguk lalu mengambil boneka beruang kecil yang kini sudah dipeluknya. Ratna mulai aksinya dengan menyapu dan pekerjaan lainnya. Sedangkan Arjuna tengah diuber Marni untuk mengantarkannya ke pasar.
"Ayo, antar Ibu," ajak Marni yang sudah rapi. Dompet berukuran sedang sudah diapit di bawah ketiak.
"Sama Bapak aja, Bu."
"Percuma ada kamu, kalau Bapak juga turun tangan untuk nganterin Ibu."
"Tapi Juna belum apa-apa, Bu. Cuci muka aja belum!" kilahnya yang sekarang tengan mengorek mata membuang kotoran yang tertinggal di sana.
"Ya udah, Ibu tungguin."
Meski bersungut, Juna berjalan menuju kamar mandi. Marni duduk di kursi teras sebelah Roy.
"Gimana, Bu? Mau Juna?"
"Ibu paksa, Pak. Tapi, Pak kok Ibu ngerasa ada yang aneh sama Ratna, ya. Ibu khawatir sama apa yang dia bilang barusan."
"Kita doakan saja yang baik-baik, ya. Semoga firasat Ibu nggak bener."
"Ya, Pak. Semoga aja."
Juna berdiri di ambang pintu menggunakan hoodie berwarna abu-abu, lalu berjalan ke samping untuk mengambil motor. Ia mulai menstater sepeda motor maticnya.
Ibu berjalan mendekat untuk naik, saat Juna sudah duduk di sana dan bersiap akan berkendara. Helm tidak lupa ia kenakan.
"Ibu berangkat dulu ya, Pak."
"Ya, hati-hati, Bu. Kamu juga jangan ngebut bawa motornya, ya."
"Ya Allah, Pak. Nggak percaya amat sama anak sendiri."
Roy terkekeh, lalu kendaraan roda dua itu pun melaju meninggalkan Roy sendiri. Di tengah perjalanan Juna dan Marni terus saja bercerita.
Juna selalu menggoda Marni dengan banyolan-banyolan konyol sehingga wanita paruh baya itu terkadang memukul bahu anaknya pelan. Juna hanya tertawa, betapa indahnya kebersamaan mereka.
Seorang gadis melintas, Juna yang usil menggodanya. Maklum, darah muda. Jadi selalu iseng saat melihat yang bening.
"Kamu tuh, kalau nggak mau serius sama perempuan jangan kasih harapan. Apalagi sampe godain anak orang."
"Cuma iseng doang, Bu. Lagian, Juna juga nggak ngapa-ngapain mereka. Dekat sama mereka juga nggak, sekadar mulut yang bersiul."
"Ya, tapi secara nggak langsung kamu tuh nunjukin betapa murahannya kamu untuk ditaklukin sama mereka."
"Em, Juna paling sulit jatuh cinta kok, Bu. Buktinya, sampe sekarang Ibu nggak pernah kedatangan menantu perempuan, kan?"
"Ya. Tapi ingat, jangan pernah mainin perasaannya mereka."
"Ya, Bu."
Benar memang, Juna selalu saja menghindar jika ada gadis yang datang mendekatinya. Belum mau pacaran katanya, atau memang prinsipnya yang teguh. Tidak akan mendekati seorang gadis jika tidak benar-benar memiliki tantangan untuk didapatkan.
Juna memang sangat suka dengan tantangan. Merangsang otaknya untuk lebih kreatif memenangkan sesuatu, begitu sifatnya. Kini, mereka sudah tiba di pasar. Juna lebih memilih untuk menunggu di atas motornya, sedangkan Marni sibuk masuk menyisir pasar untuk membeli yang ia butuhkan.
Meninggalkan Marni yang tengah belanja, Ratna justru sibuk memasak untuk makan malam mereka. Gadis kecil mata bulat itu masih asyik bermain, sesekali Ratna melihatnya dan mengajak ngobrol sebentar sambil memotong sayuran.
"Assalamualaikum..."
"Papa?" Embun langsung berhambur ke pelukan Ahmad.
"Papa dari mana?"
"Papa ada kerjaan sedikit tadi, Sayang."
"Papa nggak pamit sama Embun. Papa 'kan tahu kalau Embun nggak suka orang yang pergi tanpa pamit," protesnya yang membuat Ratna menarik bibir ke dalam dan mengembuskan napas pelan.
Ahmad terkekeh pelan melihat anak semata wayangnya yang sudah berada digendongannya.
"Maaf, Sayang. Papa buru-buru. Papa janji, lain kali akan pamitan sebelum pergi. Oke?"
"Oke."
"Sekarang, Papa mau ke kamar mandi dulu. Kamu lanjut, main lagi, ya."
Benar, karena buru-buru Ahmad sampai lupa berpamitan sama keluarga kecilnya. Ahmad melintasi Ratna, tangannya yang jail mencolek bokong Ratna. Perempuan usia awal tiga puluhan ini menoleh ke arah Embun, takut jika ia melihat aksi Ahmad.
"Kamu, Mas. Kalau Embun lihat gimana? Genit amat, sih."
"Hehe. Udah lama juga 'kan kita nggak begitu," ucap Ahmad nyengir kuda menampakkan barisan gigi rapinya. Ratna hanya mengulum senyum, benar yang dikatakan Ahmad. Mereka sudah lama tidak melakukannya.
"Nanti malam, ya," bisik Ahmad lagi seraya merangkul bahu Ratna. Ratna pun mengangguk pelan diringi lengkungan senyum yang terbit di wajahnya.
Sama seperti Ratna, Ahmad pun tersenyum mengingat aksinya barusan. Lalu tanpa ada drama, Ratna dengan suka rela mengiyakan ajakan Ahmad. Ahmad tengah bermain bersama Embun.
Dia mengajak bocah manis ini bermain sepeda di sekitar halaman depan. Tawa riang terus menghiasi keluarga Ahmad. Mereka hidup dengan bahagia. Hanya pekerjaan Ahmad kadang menjadi kendala mereka untuk melakukan family time.
Petang ini, senja berpendar di langit jingga. Ahmad dan Embun sudah lelah tertawa, mereka berdua merebahkan diri di karpet ruang TV. Ratna muncul di atas mereka.
"Gimana? Udah mainnya?" tanyanya yang membuat ayah dan anak ini kompak saling tatap. Lalu tersenyum mengangguk.
"Sekarang, waktunya mandi ya, Sayang."
"Biar aku aja yang mandiin Embun."
"Hore, mandi sama Papa."
Embun langsung bangkit dan tanganku segera membuka baju Embun. Aku mengosokkan hidungku pada hidung runcingnya.
"Segitu senengnya bisa dimandiin sama Papa."
"Ya, dong, Ma. Papa jarang-jarang mandiin Embun. Kemarin-kemarin, Papa selalu pulang malam."
"Ya, Papa 'kan sibuk. Papa kerja juga buat kita. Ya, kan Pa?"
Ahmad mengusap pucuk kepala Embun. "Benar, Sayang. Maafin Papa, ya. Sekarang kalau Papa ada waktu, Papa pasti mandiin Embun. Oke?"
MAlam pun tiba, kami makan bersama. Selalu dengan suasana hangat begini. Tawa bahagia menghiasi meja bundar yang terdapat empat kursi berhadapan.
Selesai makan, Ratna memilih menonton TV. Sedangkan Ahmad, menemani putri kesayangannya belajar. Ahmad dan Ratna memang belum memasukkan Embun bersekolah, takut gadis itu bosan.
Setidaknya butuh lima belas tahun sampai ia tamat pendidikan perguruan tinggi. Embun memang selalu manja pada Ahmad. Tadi ia meminta Ahmad membacakan buku dogengn untuknya, biasanya itu tugas Ratna.
Tapi hari ini, kehadiran Ratna seolah tidak berlaku padanya. Embun seperti ingin menikmati waktu yang hilang dari ayahnya. Padahal, hanya satu hari ini saja Ahmad pergi tanpa pamit.
Sudah cukup lama memang Ahmad berada di kamar Embun yang mereka hias dengan berbagai furniture kuda poni, juga beruang.
Ratna membuka daun pintu pelan lalu melongok dari sana dengan suara yang berbisik-bisik, Ahmad berbaring di samping Embun seraya menepu-nepuk pelan punggung gadis itu. Sebelah tangannya memegang buku dongeng cinderella.
"Embun sudah dari tadi tidurnya, Mas?"
"Belum. Tunggu sebentar lagi, sampai dia benar-benar nyenyak, nanti Mas menyusul ke kamar, ya."
"Oke."
Ratna kembali menutup pintu pelan sekali. Embun sudah terlelap dengan nyenyak bahkan gadis itu sudah bermimpi bertemu dengan kuda poni kesayangannya kala menonton kartun barbie.
Ratna masuk ke kamarnya membersihkan wajah. Juga, sudah berganti pakaian dengan dinas malam. Sesuai yang mereka sepakatin tadi sore, sekarang waktunya untuk memberi Embun adik.
Ratna memakai make up tipis di wajah ayunya, merias diri saat akan melakukan ritual suami istri seolah penting baginya. Bahkan, ia menyempatkan mandi tadi. Baginya, kenyamanan suami di atas ranjang harus tetap dijaga dan menjadi prioritas dalam rumah tangganya meski mereka jarang melakukannya.
Itu juga sebabnya, Ratna ingin melakukan full service pada suaminya. Masih duduk di depan kaca, Ahmad berdiri di belakang Ratna. Kedua bahunya disapu lembut Ahmad.
Ahmad mencium pipinya sekilas. "Kamu wangi, Sayang," ucapnya yang melihat Ratna dari kaca bening besar di hadapannya, sontak Ratna berbalik dan menatap Ahmad lekat.
"Mas."
"Hem."
Ahmad meminta tangan Ratna, ia menggenggamnya lalu perlahan membawa Ratna bangkit dari duduknya. Pinggang ramping Ratna sudah ditarik oleh Ahmad untuk lebih dekat.
Jemari Ahmad mengangkat dagu Ratna, tatapan mereka semakin lekat dan dalam. Ahmad mengecup ranum bibir Ratna.
Perlahan tapi pasti, Ahmad menumbangkan diri bersama Ratna di pembaringan. Pergulatan sengit mereka pun dimulai.
"Stamina kamu masih oke, ya, Mas," puji Ratna seraya menggigit bibir bawah bagian dalam diiringi wajah yang sudah horney.
"Harus dong, walau sudah punya Embun Mas juga nggak mau kalah saat begini," jawab Ahmad yang sudah selesai menuntaskan nalurinya.
Mereka tersenyum mengulang kembali memori enam tahun lalu saat malam pertama. Membiarkan Ahmad dan Ratna mengenang masa silam, Juna justru tengah sibuk menarikan pena di atas kertas.
"Aishh! Kenapa masih semester dua begini sudah susah sih ujiannya," gerutunya kesal lalu mengacak rambut kasar.
Ah, salahnya sendiri yang memilih jurusan kedokteran. Roy padahal sudah memperingatkan kalau fakultas yang dia pilih akan memeras otak juga tenaga, tapi Juna tetap ngeyel.
Roy yang pensiunan perkebunan memiliki cukup uang untuk biaya kuliah Juna hingga selesai. Jabatannya dulu saat duduk di perkebunan milik pemerintah adalah kepala bagian.
Tidak heran, kalau sudah tya begini ia sudah saat berleha setelah perjuangan keras waktu muda dulu. Roy masuk ke kamar Juna tanpa mengetuk. Juna sontak mengarahkan pandangannya ke pintu.
"Kamu nggak makan?"
"Bentar lagi, Pak."
"Oh, yowes. Itu muka asem banget, sama kayak buah-buahan yang dibeli Ibumu tadi."
"Lagi pusing, Pak. Udah ah, nanti aja aku makannya."
Rasa pusing tak kunjung hilang dari kepala Juna. Ia merasa otaknya hampir meledak. Ia membanting pulpen dan pergi dari kamar. Meski kertas sudah berantakan, tidak membuatnya risih.
Juna berjalan ke arah dapur yang disekat gorden rumbai sebagai pembatas. Wajahnya begitu ditekuk, tidak ada semangat atau selera dalam dirinya.
"Kamu kenapa? Muka kok ya sama, sama ini," tunjuk Marni ke arah kedondong yang dibelinya tadi. Sekarang wanita umur lima puluhan ini sudah selesai dengan mencuci buahnya.
"Lagi pusing, Bu."
"Hem, ya udah. Makan dulu aja."
"Sebenarnya nggak selera sih, Bu. Tapi cacing di perut nggak bisa diam."
"Kamu tuh mau jadi dokter, ya kesehatan harus dijaga," ucap Roy yang sudah duduk bergabung dengan mereka.
**
Mentari sudah menyingsing menampakkan sinarnya. Embun, Ratna juga Ahmad tengah bersiap-siap untuk ke Bogor.
Embun memakai dress sebatas lutut motif kotak-kotak, lengkap dengan rambut diikat dua, juga bando sudah bertengger di kepalanya. Tidak lupa, bonek beruang kecil dalam gendongannya.
Ahmad, memakai pakaian formal. Ya, dia hanya akan mengantar istri dan anaknya saja. Setelah urusannya selesai, ia akan menginap di sana. Ratna tengah berbunga-bunga mengingat kisah tadi malam.
Memang, mereka termasuk jarang melakukannya. Jadi, memadu kasih tadi malam seperti asupan gizi untuknya ditengah stresnya mengurus rumah.
Koper kecil sudah masuk di bagasi mobil sedan tua ini. Ratna mengenakan tunik full kancing berwarna cream. Dia membuka pintu mobil untuk Embun.
Ahmad, melakukan hal yang sama untuk Ratna. "Makasih, Mas."
"Sama-sama, Sayang," bisik Ahmad. Malu kalau didengar Embun, takutnya bocah kecil itu menuntut atau cemburu.
Mereka melakukan perjalanan santai dengan terus bercanda tawa. Benar-benar keluarga kecil bahagia. Kurang lebih satu jam, mereka pun tiba di rumah Marni.
Mobil berhenti di halaman hijau yang terbentang luas. Marni dan Roy merentangkan tangan ingin memeluk Embun.
"Nenek, Kakek," serunya berlari begitu keluar dari mobil. Ratna dan Ahmad baru saja menapaki rumput segar di sana.
Embun berhambut ke pelukan Marni. Roy, bersungut. Juna yang baru saja bergabung setelah berolahraga, langsung memeluk Roy. Roy, berdecih berusaha melepaskan diri dari Juna.
"Cih! Ngapain kamu peluk Bapak?"
"Masa' dipeluk anak sendiri nggak mau, Pak."
"Bapak maunya tuh peluk Embun, bukan kamu."
Marni, Ratna, Ahmad, juga Embun tertawa terbahak-bahak melihat kedua pria ini saling berpelukan. Meski Roy terus memberontak.
"Pak, Bu, saya nggak bisa lama-lama. Cuma anterin mereka aja, ada pekerjaan harus dihandle."
"Ya, nggak apa-apa." Ahmad mencium tangan mertuanya takzim. Lalu pamitan pada Embun juga semua orang.
Embun dan Ratna melambaikan tangan pada Ahmad yang sudah duduk dibalik kemudi.
Mereka semua masuk bersama dan terus saja bercanda dengan Embun juga Ratna. Ratna jelas menagih asinan khas kota hujan ini.
"Pesanan Ratna udah ada 'kan, Bu?"
"Udah dong, Sayang. Entar siang ya, baru dimakan."
Embun kini tengah berada dalam pangkuan Juna. Jelas pipinya tidak dilepas pria bermata elang ini dengan cepat. Terus saja dia menjaili keponakannya itu.
"Om, ampun," mohon Embun yang sudah terkulai lemas seraya menghindar geli.
"Nggak Om kasih ampun!" seru Juna yang semakin menggelitik perut Embun. Hingga gadis itu memanggil Ratna minta tolong.
"Kamu tuh, udah ah. Gangguin Embun terus," ucap Marni yang memukul bahu Juna.
"Ibu!" pekiknya tidak terima. "Kak," panggilnya berharap Ratna membantu. Ratna hanya senyum, Embun sudah menangis menggosok-gosok matanya dengan lengannya.
Ratna sontak memeluk gadis kecilnya. Rambutnya sudah berantakan akibat ulah Juna tadi.
"Sudah ya, Sayang. Om Juna 'kan memang begitu. Nanti, kalau Mama nggak ada, kamu nggak boleh cengeng, ya."
"Apaan sih, Kak. Ngomongnya gitu mulu!" Juna sudah berjalan ke dapur mengambil minum, Embun yang sudah tenang, duduk di depan Ratna untuk dirapikan rambutnya.
"Bapak mana, Bu?"
"Palingan juga di belakang."
"Mau apa?"
"Mau minta Bapak ceramahi Kakak. Ngomongnya suka serem."
Ratna hanya terkekeh sebentar. Sedangkan Embun masih setia.menggendong bonekanya, matanya sudah sembab akibat menangis. Juna mencubit pipi Embun gemas.
"Udah, kamu jangan ganggu dia dulu. Kakak mau tidurkan dia."
Juna pun menuruti kata-kata Ratna. Ia beralih ke halaman belakang. Roy terlihat menatap sang surya yang sudah mulai tinggi. Kebiasaannya berjemur, di sana. Kedua tangan di belakang pinggang.
"Pak, lagi ngapain?"
"Lagi jalan-jalan ke mall. Kamu mau dibeliin apa?" jawab Roy yang menoleh ke arah Juna yang melangkah mendekat seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Bapak, bercandanya kebangetan, sih. Lagi berjemur bilangnya jalan-jalan ke Mall."
"Ya, kamu udah tahu malam tanya."
Juna nyengir dan terus menemani Roy. Sedangkan Ahmad yang sudah duduk di kursi kantornya tampak sibuk menatap monitor komputernya.
Mengenakan pakaian santai dan celana kain membuatnya menampakkan dada bidangnya.
Ahmad tidak sendiri, ia ditemani beberapa karyawan yang ikut membantu.
Silvi, salah satu teller bank yang sejak dulu mengincar Ahmad. Sering kali ia menggoda Ahmad dengan sikap manja, berbicara dengan lembut dan terkadang membusungkan dadanya saat tengah meeting. Berharap Ahmad akan meliriknya. Namun, pria berwajah tampan ini tidak pernah menghiraukan Silvi.
Bagi Ahmad, bertanggung jawab dan setia itu prinsip hidupnya. Seperti saat sekarang, di tengah kesibuak Ahmad dengan pena juga laya monitor, Silvi datang membawa secangkir teh untuk manager kesayangannya itu.
"Pak, ini saya buatkan teh untuk Bapak," ucapnya yang jemarinya sudah menyapu meja kerja Ahmad.
Ahmada tetap fokus dan tidak melirik barang sedetik ke arah Silvi. Silvi yang tidak kehabisan akal justru duduk di meja dengan sebelah kakinya bertumpu pada lantai. Ia sengaja menampakkan paha putih mulusnya. Rok yang memiliki belah samping itu, tersibak jatuh ke arah Ahmad.
"Pak," goda Silvi yang kini sudah menarik rambut gelombangnya ke samping untuk menampakkan leher jenjangnya.
Tangan Silvi bergerilya ke arah jemari Ahmad yang sibuk dengan mouse. Ahmad mengeraskan rahang, menutup mata sejenak. Silvi kini sudah mendekatkan wajahnya.
Ahmad mendorong tubuh Silvi kuat hingga gadis berlipstik merah terang itu tersungkur di lantai, tangan bertumpu di sana. Menatap Ahmad penuh benci dan rasa kecewa.
"Cukup, Silvi! Kamu sudah kelewatan! Saya tidak akan pernah tergoda olehmu. Barang murah tidak akan pernah saya ambil dan nikmati. Mengerti?!" Ahmad marah besar, ia sontak meninggalkan pekerjaannya yang masih menggantung. Ahmad sudah tidak peduli lagi akan dipecat atau dimutasi.
Silvi merasa geram dan harga dirinya diinjak-injak oleh Ahmad. Ia menatap punggung Ahmad dengan penuh kebencian. Rasanya ia ingin membunuh Ahmad juga istrinya, sehingga tidak seorang pun yang bisa memiliki pria idamannya.
Silvi menelepon seseorang, ia menyuruhnya untuk memberi pelajaran pada Ahmad. Setelah mendapat perintah itu, kedua pria berbadan tegap dan seram langsung membuntuti Ahmad.
Ahmad tidak menaruh curiga, sebab pikirannya masih kacau mengingat tingkah Silvi tadi yang begitu berani mengganggunya. Padahal ada karyawan lain di sana, meski hanya satu orang dan itu pun tengah pergi ke toilet.
Cukup lelah pikiran Ahmad mengingat sikap Silvi tadi. Kini, mobilnya telah tiba di rumah mertuanya. Embun langsung semringah begitu melihat roda empat itu terparkir di halaman.
Belum juga Ahmad turun dari mobil, Embun sudah berlari ke depan. Memanggil Ahmad girang.
"Papa ...!" teriaknya yang kini sudah berada dalam gendongan Ahmad.
"Kamu kok lari-lari sih, Sayang."
"Embun 'kan pengen jadi orang pertama yang nyambut Papa."
"Oke, deh. Princess Papa ini berhasil," ucap Ahmad yang sudah menurunkan Embun dan langsung mencium punggung tangan Marni takzim. Ratna juga melakukan hal yang sama pada Ahmad.
"Mas, Ibu bikin asinan Bogor. Yuk, aku siapin untuk kamu."
"Sebentar, ya Na. Mas mau mandi dulu, gerah soalnya."
"Oh, ya udah. Aku siapin baju kamu dulu ya, Mas." Ahmad mengangguk lalu duduk di sofa ruang tamu bersama Embun juga Marni. Roy entah pergi ke mana tadi. Tidak pamit pada semua orang.
Mungkin Roy tengah mengecek kebun miliknya yang tidak jauh dari rumah mereka. Juna ikut gabung bersama dengan Marni.
"Gimana kabar kamu, Mas?" tanya Juna yang sudah duduk di samping Marni.
"Alhamdulillah. Kamu gimana?"
"Baik. Cuma lagi pusing ini sama tugas kuliah."
"Ya, namanya kamu calon dokter. Harus begitu, dong."
"Hem."
"Kamu mau Ibu buatkan teh?"
"Nggak usah, Bu. Biar Ratna aja. Saya juga mau mandi dulu." Embun masih saja setia di pangkuan Ahmad, bocah itu seperti tidak ingin lepas dari sang ayah.
"Embul, main sama Om yuk!"
"Enggak, ah. Mau sama Papa aja!"
"Kamu tuh kalau ada Papamu sombong amat," ucap Juna sedikit kesal karena ditolak Embun.
"Kok kamu sih, Jun. Kakak aja nggak berlaku sama Embun."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!