NovelToon NovelToon

Luka Di Ujung Asa

Bab 1

Derap langkah penuh semangat terdengar nyaring, ketika sepatu berhak 3cm itu membentur lantai marmer di sebuah hotel berbintang 5, di Istanbul Turki.

Senyum manis dari bibir tebal berwarna peach itu, terus terkembang dari seorang wanita berusia 25 tahun bernama Ebbelina Karleen.

Wanita Nusantara yang melangkah jauh ke negeri dua benua, mengadu nasib untuk hidup yang lebih baik.

"Pagii ...." Sapanya pada seorang housekeeping yang ia temui.

Eby, begitu ia biasa dipanggil adalah wanita manis yang ramah. Ia bukan hanya berteman dengan sesama terapis di hotel itu, tapi di departemen yang berbeda pun, ia mengenal satu dengan yang lain.

Baginya dengan bersosialisasi memudahkan seseorang dalam menjalani kehidupan.

"Pagi Eby ... Semangat ya semoga tamunya rame," dengan mengerlingkan sebelah mata, housekeeper itu membalas sapaan Eby.

"Semoga banyak tips hari ini, itu yang terpenting." Sahut Eby terkekeh kecil, sambil melanjutkan langkahnya dengan santai.

Sudah tiga tahun wanita itu bekerja sebagai terapis spa di hotel tersebut. Meski banyak pandangan miring masyarakat mengenai pekerjaan itu, namun bagi Eby, pekerjaan itu adalah jalannya untuk merubah nasib.

Memperbaiki ekonomi keluarga, serta mewujudkan mimpinya di masa depan.

Menurutnya, apapun pekerjaannya pasti memiliki resiko. Baik atau buruk diri kita, itu ditentukan oleh masing-masing pribadi, bukan oleh pekerjaan.

Meskipun tidak bisa dipungkiri, pekerjaan yang ia jalani saat ini memiliki resiko lebih besar, karena tempat serta keintiman yang terjalin antara customer dengan sang terapis.

"Cieee yang mukanya berseri bagai melati di malam hari ...." Goda salah seorang teman kerjanya, ketika ia baru memasuki ruangan khusus pegawai.

"Iih serem donk ...." Ia yang begitu masuk, sudah disambut godaan oleh temannya, membalas dengan wajah pura-pura takut.

"Hahaha muka mu nggak cocok, nggak ada unsur takutnya sama sekali ituu ...." Ucap wanita bernama Ratih itu.

"Eby takut? Yang ada setan takut sama dia ...." sahut temannya yang lain lagi bernama Mahira.

Mereka berdua kompak tertawa, sementara Eby memajukan bibirnya membentuk kerucut.

Waktu 10jam perhari yang mereka lewati bersama, tentu membuat kedekatan satu dengan yang lain sudah seperti saudara. Meski ada beberapa diantara mereka yang tidak cocok atau bahkan tidak saling bertegur sapa, tapi itu adalah hal biasa dalam sebuah pekerjaan.

Itulah hidup, acap kali kita akan dibenturkan oleh keadaan, bertemu dengan orang yang tidak kita suka, atau yang tidak satu pemikiran dengan kita.

Sebagai manusia, belajar menjaga lisan dan perbuatan, hanya itu yang bisa kita lakukan.

Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah dua jam Eby tiba di tempatnya bekerja, namun belum ada satu tamu pun yang datang.

"Bosen bangeeet ...." Ia yang memang tidak bisa diam, justru merasa lelah ketika waktunya ia habiskan untuk bermain ponsel.

"Sok banget! Giliran ada tamu juga, paling minta digantikan sama yang lain. Seringnya kan begitu. Munafik!"

Wanita yang berasal dari pulau yang sama dengannya, tanpa diduga menanggapi keluhannya dengan nyinyiran pedas.

"Eehh," Eby yang terkejut sontak menoleh dan bereaksi.

Matanya menatap aneh pada wanita bernama Siska tersebut.

"Aku nggak ngomong sama kamu ya ... Ngapain nyahut?"

"Kalau ngomong di ruangan ini, siapa aja bisa dengar dan berkomentar. Kalau nggak mau ada yang komen, tuh di kuburan sana kamu ngomong! Sekalian masuk liang juga nggak apa-apa."

Dengan santai wanita berambut pirang itu menyahut, namun matanya tetap fokus dengan layar pipih di depannya.

Sementara yang lain, menyaksikan perdebatan itu dengan mata menoleh silih berganti ke kiri dan ke kanan.

Sebab antara sofa yang Eby duduki dengan tempat duduk Siska terhalang meja kaca.

"Kamu duluan aja, nanti aku nyekar di atas gundukan tanah kuburmu. Nggak tanggung-tanggung, aku penuhin kuburan kamu pake tulip pink, biar meriah."

Sahut Eby enteng tanpa beban.

"By ... Kok tulip pink sih?" Tanya Ratih, berbisik di telinga Eby.

"Iya ... Soalnya aku bahagia kalau dia udah dikubur." Sahut Eby lintang, membalas bisikan tannya.

Jawaban Eby tentu membuat wajah wanita yang mendebatnya memerah penuh amarah.

Sementara yang lain hanya bisa menahan tawa dengan melipat bibir mereka.

Tidak lama setelah itu, satu persatu tamu berdatangan.

Mungkin doa housekeeper didengar pemilik langit, hingga tanpa diduga hari yang Eby kira sepi, justru kini tak henti kedatangan tamu.

Wanita itu tersenyum. Lelah yang ia rasa, setimpal dengan hasil yang ia bawa pulang hari ini.

🌟🌟🌟

"By ... Cari makan di luar yuk ...."

Ratih berusaha mengejar wanita yang langkahnya selalu lebar itu.

"Nggak ah ... Aku masih ada roti di unit." Tolaknya terang-terangan.

"Ayolah By ... Sesekali boleh kok menikmati hidup. Jangan terlalu keras pada diri sendiri ...." Ucap Ratih merayu. Ia tahu perjuangan sahabatnya itu. Semua Eby lakukan untuk keluarganya dan masa depannya.

Ia pun begitu, tapi bukan berarti mereka tidak boleh menikmati hasil kerja keras mereka bukan?

"Coba tanya pacar kamu, dalam seminggu, berapa kali dia menjalankan hobinya? Tanya adik kamu, dalam sebulan berapa kali dia ikut teman-temannya hangout? Mereka yang kamu perjuangkan kehidupannya, bisa menikmati hasil kerja keras kamu, lalu kenapa kamu nggak bisa?"

Ratih memang sahabat Eby sejak awal mereka tiba di sini. Sama-sama berjuang dari nol. Sama-sama menangis saat awal-awal mempelajari kebiasaan orang-orang di sini. Sama-sama menerima bully dari para senior, yang sialnya berasal dari daerah yang sama dengan mereka.

Eby menatap Ratih dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ayoo kita mau makan di mana sekarang?" Sahut wanita itu akhirnya.

Jawaban Eby tentu menciptakan senyum di bibir sang sahabat.

"Kita wisata kuliner sekarang ...!" Teriaknya girang.

Mereka pun menghabiskan malam dengan mengelilingi kota Istanbul yang bisa mereka jangkau dengan berjalan kaki.

Tempat kerja yang terletak di tengah kota, memudahkan mereka untuk menjangkau tempat-tempat yang sekiranya ingin mereka kunjungi.

"Rat ... Udah ... Penuh banget perut aku ...." Keluh Eby sembari mengelus perutnya, ketika sang sahabat kembali menariknya, untuk mencari menu makanan lain.

"Baru juga makan dua jenis By, perut Nusantara belum makan kalau belum ada nasi ...."

"Kita udah tiga tahun di sini, perut kita udah menyesuaikan ..." Bantah Eby. Ia benar-benar merasa kenyang saat ini.

Baklava dan Borek yang mereka nikmati dengan teh khas Turki, cukup membuat cacing-cacing di perutnya bersorak sorai malam ini.

"Udah ya ... Aku nggak kuat. Takut nanti keluar lagi ...." Ia yang memang jarang makan banyak, menampilkan wajah memelasnya demi menghentikan niat sahabatnya untuk membeli makanan lagi.

"Ya udah ... Tapi besok kemari lagi ya ...."

"Jangan besok donk ... Minggu depan deh ... Kalau dapet banyak tip seperti tadi." Ucapnya tersenyum kuda.

"Janji ya ...."

Eby mengangguk menyanggupi permintaan Ratih.

Akhirnya mereka kembali ke unit apartemen mereka masing-masing, yang dipisah satu kamar diantaranya.

Baik Eby maupun Ratih, sama-sama mengistirahatkan tubuh mereka, sebelum besok kembali melakukan pekerjaan rutin mereka lagi.

Bab 2

Setiap hari, setiap kali ia membuka mata, hal pertama yang Eby lakukan adalah mengambil spidol hitam, lalu melingkari kalender duduk yang ada di meja samping tempat tidurnya.

Senyumnya merekah, setiap kali menyadari ia sudah berhasil melewati hari kemarin dengan baik, dan hari dimana ia akan pulang sudah semakin dekat.

Tiga tahun di Turki, Eby sama sekali belum pernah pulang.

Komunikasi yang terjalin dengan orang-orang terkasih hanya melalui panggilan telepon atau video.

Ia menahan rindu dan kesepian seorang diri, menampilkan senyum ceria agar orang-orang tidak melihat kelemahannya.

Pintu apartemennya diketuk dari luar, hal itu menyadarkannya dari lamunan tentang keluarga yang ia tinggalkan.

"Ratih," gumamnya saat mengintip dari lubang kecil di dekat pintu.

Segera ia membuka pintu apartemennya, saat menyadari keadaan sang sahabat tidak baik-baik saja.

"Ratih, kamu kenapa?"

"By ...." Wanita itu langsung membenamkan dirinya ke dalam pelukan Eby, dengan tangis yang menyayat hati.

"Rat ... Kita masuk dulu ya ... Nggak enak diliat orang." Ucap Eby, setelah beberapa menit membiarkan dirinya menjadi sandaran tubuh sang sahabat, yang tengah bersedih.

Ia menuntun Ratih agar duduk di sofa, lalu mengambilkan air minum untuk sahabatnya itu.

"Minum dulu biar tenang." Ucapnya sembari mengulurkan gelas berisi air putih.

"Makasih, By."

Eby membiarkan suasana hening menyelimuti keduanya. Memberi ruang untuk sang sahabat menenangkan diri. Setelah Ratih terlihat tenang, barulah wanita itu menanyakan apa yang membuat sang sahabat menangis.

"Yoga putusin aku, By. Dia bilang nggak kuat menjalani hubungan jarak jauh kayak gini. Dia kasih aku pilihan, mau tetap nerusin kontrak tapi kami pisah, atau kami bersama tapi aku nggak boleh perpanjang kontrak lagi."

"Trus kamu jawabnya apa?"

"Untuk saat ini, aku nggak bisa berhenti kerja By ... Masih banyak tanggungan aku di kampung. Adik-adik aku masih sekolah, mereka perlu biaya yang banyak. Sementara orang tua aku, kamu tau sendiri mereka nggak bisa diandalkan." Keluh wanita yang kini tengah patah hati tersebut.

Ratih adalah anak pertama dari empat bersaudara. Tiga adiknya masih duduk di bangku SMA, SMP, juga SD. Sementara kedua orang tuanya sudah berpisah, beberapa tahun lalu karena alasan ekonomi. Ketiga adiknya saat ini tinggal bersama nenek dari sang ayah, yang hanya memiliki penghasilan sebagai pedagang kripik singkong keliling.

"Aku harus gimana, By? Aku sayang banget sama Yoga, tapi aku nggak bisa lepasin tanggung jawab aku sebagai kakak tertua." Ucap Ratih putus asa.

"Kamu kan bisa kerja di sana. Masa nggak ada yang mau nerima kamu sih? Apalagi dengan pengalaman kerja kamu saat ini, aku yakin banyak hotel yang mau rekrut kamu."

"Masalahnya, Yoga minta aku fokus sama keluarga kecil kami, nanti. Aku nggak dibolehin kerja."

"Aduuuh, kalau gitu susah juga ya ...." Eby menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. Ikut pusing memikirkan kisah asmara sang sahabat.

Ia jadi berfikir, dirinya cukup beruntung memiliki kekasih seperti William yang pengertian, dan selalu bisa menerima juga mendukung setiap keputusan yang diambilnya.

"Rat, aku nggak bisa kasih kamu saran untuk tetap di sini atau kembali demi Yoga. Aku cuman bisa kasih kamu pandangan, jika seseorang hanya mementingkan keinginannya sendiri, tanpa perduli kepentingan dan perasaan orang lain, itu berarti dia adalah seorang yang egois. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri, maunya menang sendiri. Apa kamu akan kuat bertahan hidup dengan laki-laki seperti itu?" Ratih menggeleng lemah.

"Tapi aku sangat menyayanginya, By ...."

"Apakah sayangmu itu melebihi rasa sayang ke adik dan nenekmu?" Tanya Eby lagi. Ratih tidak mampu menjawab, jelas sekali terlihat dari sorot matanya, jika wanita itu merasa tertekan.

"Keputusan ada di tangan kamu, Rat ... Ini hanya pemndapat aku secara pribadi. Yang menjalani semuanya itu kamu. Tapi, kalau aku ada di posisi itu, aku lebih baik kehilangan dia, daripada mengorbankan keluarga aku. Sebab prinsip aku, dia yang mencintaiku juga harus mencintai keluargaku. Jika hanya menginginkan diriku seorang, aku akan lepaskannya."

Ucap Eby gamblang.

🌟🌟🌟

Setelah menjadi pendengar bagi keluhan sang sahabat, kini Eby bersiap kembali melakukan aktifitas hariannya.

Berangkat bersama Ratih dan juga Mahira, yang tinggal satu unit dengan Ratih. Mereka bertiga berangkat dengan menggunakan bus, menuju halte dekat hotel tempat mereka bekerja.

Seperti biasa, sapaan hangat selalu menyambut Eby. Ia yang selalu tersenyum ramah, mampu menularkan kebahagiaan bagi mereka yang melihatnya.

"Berasa jalan sama seleb kita ya, kalo kerjanya barengan Eby." Ucap Mahira, yang dibalas anggukan oleh Ratih. Meski suasana hatinya sedang tidak baik, namun wanita itu bisa menutupinya di depan orang lain.

"Maksudmu?" Tanya Eby yang tidak paham dengan ucapan temannya.

"Iya, kalau kita jalan sama kamu, banyak yang nyapa, yang senyum, padahal kita nggak kenal sama mereka."

"Nggak perlu kenal, kalau hanya untuk sekadar menyapa, bukan? Kadang kita nggak tau, sikap kita yang mana, yang berhasil membuat orang bahagia. Tapi yang jelas, senyum adalah cara yang paling mudah. Anggap lagi cari pahala." Ucap Eby santai.

"Iya sih ... Tapi itu juga nggak menjamin orang bakal suka sama kita, kan? Buktinya geng sebelah, mereka kayak kesel aja tiap kali liat kamu." Sahut Namira lagi.

"Biarin aja, aku nggak perduli. Yang penting aku nggak merugikan mereka. Aku nggak mau menambah beban hidup dengan terus memikirkan gimana caranya biar mereka suka sama aku. Toh, bukan tugasku untuk menyenangkan hati semua orang."

"Iya sih ... Tapi bukankah berarti ada yang salah sama kita, jika orang lain nggak suka sama kehadiran kita?" Mahira masih terus mendebat Eby.

"Ck, udaah ... Kamu nggak mungkin menang lawan Eby, Ra ... Dia itu pengacara yang salah jurusan. Ilmu berdebatnya ngalahin mahasiswa hukum." Sela Ratih, yang bosan mendengar obrolan mereka.

"Nggak gitu Rat, aku mau tau aja jalan pikiran Eby." Kembali Mahira menyahut.

Mereka sudah hampir tiba di ruangan tempat mereka biasanya menunggu pelanggan, untuk melakukan treatment.

Eby menghentikan langkah, menatap dua wanita yang berdiri di belakangnya.

"Denger ya, kita hidup di dunia di mana setiap orang memiliki cara pandang dan kepentingan yang berbeda. Kita nggak bisa maksain orang untuk suka sama kita, tapi bukan berarti kita harus menjadi seperti apa yang mereka mau. Kalau ada yang nggak suka sama aku karena aku ramah, karena aku berbuat baik, itu bukan masalahku, tapi masalah mereka. Mereka yang nggak bisa melihat seorang Ebbelina Karleen dengan segala pesonanya." Ucap Eby dengan senyum penuh percaya dirinya, menghentikan perdebatan pagi itu.

Dua temannya hanya bisa memutar bola matanya malas, mendengar kalimat terakhir Eby.

Wanita berkulit kuning langsat itu, selalu punya jawaban untuk setiap sindiran ataupun nyinyiran yang disampaikan teman-temannya.

Benar kata Eby, kita tidak bisa memaksa orang untuk suka sama kita. Kita juga tidak bisa menyenangkan hati semua orang. Yang bisa kita lakukan, hanyalah menjalani hidup sebaik mungkin, memberi manfaat sebanyak mungkin. Tapi jika hal itu membuat orang lain terganggu, bukan salah kita yang menebar kebaikan, tapi salah mereka karena hidup penuh kedengkian.

Bab 3

Eby asyik menggeser foto-foto yang baru dikirim oleh sang kekasih, dari tanah air. Senyumnya merekah melihat tampilan rumah minimalis yang sudah hampir selesai pengerjaannya.

Rumah impian, yang menjadi salah satu alasan wanita itu merantau sampai sejauh ini. Rumah yang kelak akan menjadi tempatnya menghabiskan sisa hidup bersama laki-laki yang dicintainya.

"Udah selesai, By?" Tanya Mahira, yang ternyata ikut melihat foto-foto di layar ponselnya.

Eby mengangguk dengan senyum cerahnya.

"Ini tinggal bikin taman di depan, sama kebun kecil di belakang rumah." Sahutnya sembari menunjukkan tempat dimana sekiranya taman itu dibuat.

"Hebat kamu ya, By. Kelihatan banget hasil kerja keras kamu. Beda sama aku, susaaah banget ngumpulin duitnya." Keluh Mahira.

"Ck nggak gitu juga, Ra ... Prioritas kita beda. Aku memang punya rumah, tapi aku nggak punya barang-barang mahal lainnya. Sementara kamu, berapa set perhiasan sudah kamu miliki sekarang?" Sahut Eby, sambil sesekali menoleh ke arah temannya itu.

"Sementara aku, cuman punya kalung ini. Ini pun pemberian William, pas aku mau berangkat. Kalau nggak, nggak mungkin aku memiliki benda berharga." Kekehnya sembari mengangkat kalung kecil yang menggantung di lehernya.

"Iya juga sih ... Tapi rumah sebagus itu, dibanding perhiasan yang aku beli nggak ada apa-apanya lah, By ...."

"Ck itu kan aku sama William yang beli Ra, bukan aku sendiri. Lagian juga baru beres rumahnya doang, isinya belum ada. Masih kosong." Ucap Eby ambil terkekeh.

"Yaaa kan pelan-pelan pasti terisi, By. Semangat kerja ...." Mahira mengangkat tangan dengan jari mengepal, memberi semangat pada temannya.

Mereka tengah duduk santai di sofa, sembari menunggu tamu. Sementara yang lain masih melayani customer yang datang saat itu.

Tidak menunggu lama, Ratih ikut bergabung sebab dirinya sudah selesai melakukan tugasnya.

"Udah selesai?" Tanya Mahira yang dibalas anggukan kepala oleh Ratih.

"Kenapa mukanya kusut begitu?" Kini giliran Eby yang bertanya, setelah beberapa saat lalu sempat melirik sang sahabat yang wajahnya terlihat kesal.

"Paling kesel sama tamu nggak tau diri. Udah nggak kasih tips, maunya banyak, mana badannya besar kaya gorila." Keluh Ratih, menghempaskan tubuhnya di samping Eby.

"Sabaaar ... Orang sabar pantatnya lebar ...." Kekeh Eby menggoda sang sahabat.

Mahira pun ikut tertawa mendengarnya. Sementara Ratih hanya mencebikkan bibir, saat mendengar godaan itu.

"Awas nanti kamu dapet tamu yang lebih nyebelin dari yang tadi, aku orang pertama yang bakal ketawain kamu." Sungut Ratih semakin membuat dua temannya terbahak.

Begitulah di tempat kerja, mereka biasa saling goda satu dengan yang lain. Jika mendapatkan tamu yang baik, memberi tips yang banyak, semua minta ditraktir, jika bertemu tamu yang menyebalkan maka akan jadi bahan tertawaan.

Hidup jauh dari keluarga, wajar jika mereka menjadikan teman kerja, sebagai saudara. Meski tidak semua punya pemikiran yang sama, baik Eby maupun yang lain harus memilah juga, mana orang tepat dijadikan sudara dan mana yang tidak.

🌟🌟🌟

Tubuh Eby rasanya remuk, melayani customer yang memiliki postur tubuh dua kali lipat lebih besar dari dirinya.

Sepertinya langit mendengar doa Ratih, sehingga ucapan wanita itu terwujud. Eby mendapat tamu yang sama seperti sahabatnya itu. Bertubuh besar, dan banyak maunya. Namun yang berbeda, tamu yang Eby dapat cukup royal memberikan tips untuknya.

"Terimakasih sudah membuatku merasa lebih baik. Ini untuk kamu, semoga kita bertemu lagi nanti." Ucap laki-laki paruh baya tersebut, mengulurkan lima lembar uang Lira kepada Eby.

Senyum Eby merekah. Mengucapkan terimakasih dengan bahasa Turki yang sudah ia kuasai, membuat tamu tersebut semakin senang.

Setelah tamunya meninggalkan tempat perawatan, Eby membersihkan segala peralatan, dan juga ruangan tersebut agar nanti saat ada tamu kembali, semua sudah siap digunakan.

"Ha ha ha mangkanya jangan suka ketawain derita orang ... Tuhan maha adil tau ...." Ratih begitu bahagia melihat sahabatnya yang baru keluar, bercucuran keringat.

"Ya seenggaknya, dia kasih aku ini ...." Eby menunjukkan beberapa lembar uang Lira di depan Ratih.

"Iihh curang ... Tadi aku nggak dapet ... Bagi donk ...." Wajah Ratih memelas.

Eby tersenyum kecut. Menyerahkan selembar uang 100an pada wanita itu.

"Jangan bilang sama yang lain ya ...."

"Iya ... Makasih ya ...." Sahut Ratih sumringah.

"Eh ... Kita jadi wisata kuliner lagi kan? Ajak Mahira juga nanti sekalian." Usul Ratih, mengingat janji Eby Minggu lalu.

"Ck, kamu ini galau, patah hati, tapi teteeeep aja nggak lupa sama makanan. Heran aku," keluh Eby, mengingat curhatan Ratih beberapa waktu lalu.

"Aku udah coba ikhlas, By. Benar kata kamu, Yoga hanya suka sama aku bukan sama keluargaku. Banyak banget perbedaan antara aku sama dia. Baik pola pikir, maupun status sosial. Aku rasa, sebaiknya memang aku menyerah dengan hubungan ini." Ucap Ratih pelan. Senyum cerianya menghilang seketika, berganti sendu yang tersirat di raut wajahnya.

Diingatkan kembali akan cintanya yang baru saja kandas, membuat wanita itu kembali merasakan sesak di dadanya.

"Sabar, Rat ... Suatu saat Tuhan pasti akan hadirkan orang yang tepat untuk kamu. Yang bisa menghargai kamu juga keluargamu."

"Semoga aja, By. Udah ah, nggak usah bahas itu. Jadi gimana? Kita malam ini berburu makanan lagi kan?" Tanya Ratih mengalihkan topik pembicaraan.

Wanita itu tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan.

"Minggu depan aja gimana? Aku harus transfer uang ke Willi soalnya. Mau beli bathtub." Sahut Eby pelan.

Ratih hanya bisa memanyunkan bibirnya, mendengar penolakan Eby.

Ia tahu, saat ini Eby tengah membangun rumah impian bersama sang kekasih. Rumah yang kelak menjadi tempat dimana Eby dan William akan menghabiskan sisa hidupnya bersama.

"Uang kamu cukup nggak? Nih." Ratih mengulurkan kembali uang yang tadi sempat ia minta pada Eby.

"Cukup ... Itu buat kamu aja. Aku ikhlas kok." Tolak Eby.

Ratih memasukkan kembali uang yang Eby berikan untuknya itu. Dalam hati ia bersyukur memiliki teman seperti Eby, yang meskipun ucapannya sering kali membuat orang lain kesal karena ceplas-ceplos, namun hati Eby sangat baik, sangat lembut, tidak bisa melihat orang lain kesusahan.

"Makasih ya By, semoga rejeki kamu selalu dilancarkan sama Tuhan. Semoga apa yang menjadi mimpi kamu juga dikabulkan olehNya." Doa Ratih tulus untuk sahabatnya.

"Makasih doanya ya ... Kamu juga semoga selalu kuat menghadapi semuanya." Sahut Eby dengan tersenyum.

Begitulah Eby. Selain keluarga, ia juga memiliki tanggungan bersama dengan William, yaitu rumah yang mereka bangun berdua.

Willi tidak akan segan meminta Eby untuk mengirimkan uang, bila dirasa uangnya tidak cukup untuk membeli segala kebutuhan pembangunan rumah mereka.

Hal itulah yang membuat Eby harus berhemat. Demi memenuhi mimpinya memiliki rumah idaman bersama William.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!