"Huft.. Hari ini melelahkan sekali," ucap seorang pemuda dengan pupil mata ungu. Namanya adalah Rafa.
"Lagi pula, kenapa dia (guru) terlambat? Karena itu kita pulang lebih lama," keluh seorang pemuda di sampingnya. Namanya adalah Kevin.
"Kau protes saja langsung padanya," balas Rafa.
"Kau pikir aku berani? Tentu saja tidak!"
Titttt
Secara bersamaan, Rafa dan Kevin melihat ke arah jalan karena suara klakson mobil yang keras.
Tepat di penyebrangan jalan, seorang anak kecil berdiri diam sambil melihat mobil yang melaju ke arahnya. Ia tidak melakukan gerakan apapun. Bahkan tidak mencoba untuk menghindar.
"Itu berbahaya!"
"Duh," Wajah Kevin terpukul tas yang dilemparkan Rafa. Sementara temannya itu berlari ke tengah jalan. "Bodoh, apa yang kau lakukan?!" kagetnya.
Rafa menarik tangan anak kecil dengan kuat sampai dirinya dan anak itu jatuh bersamaan di trotoar jalan.
Busshh
Mobil pun melintas dengan cepat tanpa mengurangi kecepatannya. Ia seperti tak peduli bila nantinya akan menabrak anak kecil tadi.
Rafa melihat anak kecil yang terjatuh di atas tubuhnya. Ia sedikit meringis karena anak itu menimpa tubuhnya. Walau begitu, ia harus menanyakan keadaannya, "Kau baik baik saja?"
Anak itu segera bangun dan duduk di samping Rafa. Ia terlihat sedikit terkejut dengan hal yang baru saja terjadi. Untuk sesaat ia hanya terdiam. Hingga Rafa akhirnya kembali berbicara, "Sudah, kau sekarang aman. Bagaimana kondisimu?"
Anak itu menatap Rafa dan hanya mengangguk untuk membalasnya.
Rafa menghela nafas lega. Ia pun berdiri dan membantu anak itu juga untuk berdiri, "Kenapa kau berdiri di tengah jalan? Itu berbahaya. Jika saja aku tidak melihatmu ada di sana, kau mungkin sudah tertabrak oleh mobil."
Anak itu menggeleng sebagai jawaban. Tidak banyak ekspresi yang ditunjukkannya setelah ekspresi terkejut tadi.
"Orang tuanya sangat ceroboh sampai membiarkan anaknya hampir tertabrak di jalan," gumam Rafa sambil menatap anak kecil itu. Ia kini baru menyadari bila pakaian yang dikenakannya sangat besar untuk ukuran tubuhnya yang kecil. "Mereka bahkan memberikan baju yang besar untuk anaknya. Apa mereka berharap pakaian itu bisa digunakan sampai dia dewasa nanti?"
Anak di depan Rafa hanya memperhatikan dirinya yang terus bergumam dengan suara kecil.
"Rafa! Kau baik baik saja?!" teriak Kevin yang mulai menghampiri Rafa. Ia terlihat khawatir. Tindakan temannya itu sangat gegabah dan nekat.
"Aku baik baik saja. Dia juga sepertinya tidak terluka," balas Rafa sambil melirik Kevin sebentar. Pandangannya kembali teralihkan pada anak di depan, "Dimana orang tuamu? Kenapa kau sendirian di tempat ini? Ini sudah hampir malam."
Anak itu menggelengkan kepalanya, "Aku sendiri. Aku tidak tahu ini dimana. Sebelumnya aku terbangun di jalan kecil, lalu aku berniat untuk berjalan jalan. Lalu setelahnya, itu yang terjadi."
"Apa orang tuanya baru saja membuangnya? Kasihan sekali. Padahal dia masih kecil. Mereka tega sekali membiarkan anak seumurannya sendirian di sini," bisik Kevin di dekat telinga Rafa. Sesekali pandangannya melirik anak itu dengan tatapan kasihan.
Rafa mengangguki ucapan temannya itu, "Ehm.. Siapa namamu dik?"
"Leon," jawab anak itu.
Rafa sedikit menurunkan tubuhnya untuk mensejajarkan diri dengan Leon, "Bagaimana bila aku mengantarmu ke panti asuhan saja? Kau bisa makan dan mendapatkan tempat tinggak di sana. Kau juga akan mendapatkan banyak teman. Kau akan senang di sana, dibandingkan harus bepergian tanpa arah seperti ini."
Leon menggelengkan kepalanya, "Aku tidak mau."
Rafa mengerutkan keningnya dengan ekspresi heran, "Kenapa kau tidak mau? Padahal kau akan mendapatkan tempat tinggal dan makanan di sana. Kau juga bisa mendapatkan banyak teman."
"Jika aku bisa mendapatkan hal seperti itu, aku pasti harus membayarnya dengan sesuatu. Aku tidak memiliki apapun untuk itu."
Jawaban dari Leon membuat Kevin dan Rafa berkedip beberapa kali. Mereka pun tertawa karena jawabannya, "Hahaha.., Kau tidak harus membayar apapun untuk panti asuhan. Kau cukup menikmatinya saja," balas Kevin.
Leon menggelengkan kepala, "Aku tidak mau."
"Kalau begitu, apa kau mau bertemu dengan orang tuamu?" tanya Rafa.
"Aku tidak ingat apapun. Yang kuingat hanya namaku saja."
Kevin dan Rafa saling melemparkan tatapan satu sama lain. Jawaban itu sepertinya menjawab sebagian pertanyaan mereka, "Kau hilang ingatan? Bagaimana bisa?" tanya mereka secara serentak.
Leon membungkam mulutnya. Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya.
"Kau yakin tidak mau ke panti asuhan? Jika kau ke sana mungkin panti asuhan bisa membantu menemukan identitasmu. Kau juga bisa segera bertemu dengan orang tuamu," tanya Rafa untuk kedua kalinya.
Walau begitu, Leon tetap menggelengkan kepalanya dan menolak usulan dari Rafa.
Pada akhirnya setelah banyak memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah, Rafa membawa Leon ke rumahnya. Walaupun rumahnya tidak besar, tapi rumahnya nyaman ditinggali. Di tempatnya pun memiliki ruangan yang kumplit. Ada ruang tamu, dapur, kamar mandi, dan 2 kamar tidur yang letaknya berada di lantai 2.
"Untuk sementara kau bisa tinggal di rumahku sampai kau bertemu dengan orang tuamu. Mereka mungkin sedang mengkhawatirkanmu saat ini," ucap Rafa.
Leon yang terus menolak untuk masuk ke panti asuhan pada akhirnya menumpang di rumah Rafa karena orang itu yang terus membujuknya. Rafa mungkin tidak mau bila anak sepertinya sampai terluntang lantung di jalanan. Karena itu, dia sampai mau memberikan tempat untuknya.
"Sejak tadi dia terus diam saja. Biasanya anak seumurannya sering berisik. Apa mungkin sekarang dia sedang bingung? Jika dipikirkan, pertama dia baru saja hilang ingatan. Kedua, mobil hampir menabraknya. Ketiga, dia tiba tiba harus tinggal sementara di rumah asing," batin Rafa dengan mata yang terus memperhatikan Leon.
Anak laki laki itu terlihat berumur 10 tahun. Kehilangan ingatan pasti akan membuatnya sangat bingung. Bahkan mungkin takut dan panik. Ia khawatir bila Leon akan takut dan panik seperti itu. Karena ia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.
"Untuk sekarang sebaiknya istirahat dulu saja. Eumh.. Kalau dipikir pikir, bajumu terlalu besar. Aku akan mencarikan pakaian kecil yang mungkin bisa kau pakai. Tunggulah di sini."
Mendengar ucapan Rafa, Leon hanya mengangguk.
Beberapa saat kemudian, Leon sudah mengganti bajunya dengan pakaian yang diberikan Rafa. Pakaian kaos berwarna hitam dengan gambar super hero.
"Hehehe, tidak ada lagi selain baju itu," ucap Rafa dengan canggung. "Kita akan pergi membeli pakaian untukmu besok, karena kebetulan juga besok adalah hari minggu. Baiklah! Sekarang aku akan menunjukkan kamarmu sementara ini."
Leon memperhatikan setiap inci ruangan tidurnya setelah sampai. Cat dinding berwarna putih dengan garis coklat di bawah, tempat tidur yang cukup untuk 2-3 orang, lemari sedang berwarna kecoklatan, meja belajar dan kursi. Lalu jendela yang berada di dekat tempat tidur dengan hordeng coklat.
"Kenapa kau mau menolongku?" tanya Leon dengan tatapan yang masih terarah pada ruangan kamar.
"Em.. Kupikir tidak perlu alasan untuk membantu seseorang," jawab Rafa seadanya. "Sudahlah, itu tidak terlalu penting. Sekarang kau istirahat dulu di sini, aku akan membuatkan makanan."
Leon hanya diam tanpa membalas ucapan Rafa, hingga akhirnya pemuda itu pun pergi ke lantai bawah.
Keesokan harinya, seperti kata Rafa, ia mengajak Leon pergi ke toko pakaian dan membeli beberapa pakaian untuk anak itu.
Rafa memang belum bekerja, namun ia mendapatkan uang dari pamannya. Karena itu, ia bisa membelikan baju untuk Leon.
Setelah banyak membeli pakaian dan juga 2 pasang sandal, mereka pergi membeli es krim dan makan di kursi terdekat. Rafa memperhatikan Leon yang tidak juga memakan es krim nya, "Kenapa kau tidak memakannya? Apa kau tidak suka rasa es krim coklat?"
Leon menatap Rafa, "Apa ini bisa dimakan? Kurasa ini tidak baik bila dimakan. Suhunya terasa sangat dingin."
Rafa memiringkan kepalanya dan tertawa, "Hahaha, kau ini suka sekali bercanda ya? Tentu saja ini bisa dimakan. Eumh.. Apa mungkin kau tidak pernah memakannya?"
Leon mengangguk dengan polos.
"Baiklah, akan kuberitahu. Ini adalah es krim rasa coklat. Makanan yang memiliki rasa dingin dan juga manis. Kau pasti akan menyukainya. Karena itu cobalah. Jangan khawatir, makanan ini tidak berbahaya," jelas Rafa.
Leon memperhatikan es krim yang mulai meleleh mengenai tangannya. Walau sedikit ragu, ia akhirnya mencoba. Matanya terpejam dengan mulut yang terlihat mengemut.
Rafa tersenyum melihat reaksi dari anak itu. Padahal biasanya dia tidak menunjukkan banyak ekspresi. Namun sekarang dia terlihat berhati hati.
Leon membuka matanya kembali dengan mata yang berbinar. Tanpa mengucap sepatah kata pun, Rafa tahu bila dia menyukai es krim, "Sudah kukatakan kau akan menyukainya. Benar 'kan?"
Leon segera duduk membelakangi Rafa, "Aku tidak menyukainya. Hanya saja akan sangat disayangkan bila ini dibuang." Setelah mengatakan itu, ia kembali memakan es krim nya.
"Katakan saja bila kau menyukainya," Rafa menggelengkan kepalanya dengan raut heran.
Saat mereka sedang menikmati es krim itu, dari arah belakang seseorang menepuk bahu Rafa dengan keras. Sontak Rafa terkejut dan tanpa sengaja menjatuhkan es krim nya ke tanah. Sementara kepalanya menengok ke belakang.
"Hahaha, kau terkejut? Hmph! Sudah seharusnya begitu," ucap Kevin dengan tawa.
"Kau..!! Karenamu es krim ku jatuh!" kesal Rafa sambil berdiri menghadap temannya itu.
"Maaf, maaf, aku tidak sengaja. Lagi pula es krim mu sudah hampir habis, jadi ya.. Tidak apa. Ikhlaskan saja," ucap Kevin dengan enteng.
Leon menengokan kepalanya dengan cepat ke arah Kevin. Ekspresinya terlihat dingin. Es krim nya ikut terjatuh karena terkejut dengan kehadiran Kevin yang tiba tiba.
Kevin beralih menatap Leon saat merasa ada yang memperhatikan. Ia memiringkan kepalanya dengan heran, "Kenapa kau menatapku seperti itu?"
Rafa melihat Leon dan es krim yang dijatuhkan anak itu. Ia mengangguk angguk, "Kau bahkan membuat es krim nya terjatuh. Lihat, dia marah padamu."
"Maaf, maaf, aku tak sengaja. Kupikir hanya Rafa saja yang menjatuhkannya. Rupanya es krim mu juga terjatuh ya? Kalau begitu, aku akan menggantikannya dengan yang baru. Jangan marah padaku." Ucap Kevin dengan senyum memohon.
Leon turun dari kursi dan berjalan pergi tanpa mengucapkan apapun.
"Lihat~dia marah padamu, hahaha," Rafa mengambil barang barangnya dan segera menyusul Leon.
"Ya ampun, padahal aku sudah mengatakan minta maaf dan akan menggantinya. Tapi sepertinya dia tidak mau menerimanya," gumam Kevin. Ia melihat sekitar, lalu pergi tanpa mengejar Leon.
Saat Rafa sedang mengejar anak itu, seseorang tiba tiba berbicara padanya, "Permisi, apa kau tahu dimana toilet? Aku baru pertama kali kemari, jadi tidak tahu dimana letaknya."
Rafa berhenti dan menjawab dengan tergesa gesa, "Toilet lurus saja, lalu setelah ada persimpangan jalan, belok ke arah kiri. Kau harus membayar setelah menggunakannya."
Orang itu mengangguk angguk dan pergi setelah mengucap terimakasih. Rafa pun melihat ke tempat Leon berjalan sebelumnya. Namun ia tidak melihatnya. Anak itu menghilang di tengah kerumunan.
"Kemana dia pergi?" gumam Rafa sambil mencari. Setiap hari libur, taman ini pasti selalu dikunjungi banyak orang. Baik yang ingin berolah raga atau hanya bersantai. Karena itu, Rafa jadi sulit untuk menemukan Leon. Apalagi dengan barang barang yang sedang dibawanya saat ini.
Disisi lain, Leon sudah sampai di tempat penjual es krim yang dikunjungi sebelumnya. Matanya berbinar sesaat, "Aku ingin es krim coklat."
Penjual itu segera menyiapkan pesanan Leon. Setelah selesai, ia memberikannya pada anak itu. Dengan senang hati Leon menerimanya dan segera pergi dari sana.
Penjual itu segera menghentikan Leon dengan berdiri di depannya, "Kau tidak bisa memakannya bila kau belum membayarnya."
"Ini milikku," Leon segera menyembunyikan es krim ke belakang tubuhnya. Ia tidak suka bila apa yang sudah menjadi miliknya diambil oleh orang lain.
"Anak ini.. Apa kau tidak diajari oleh orang tuamu untuk tidak mengambil makanan yang bukan milikmu?" ucap penjual itu dengan ekspresi menahan amarah.
Leon menggelengkan kepalanya, "Ini milikku."
"Leon? Ada apa ini? Kenapa kau di sini?"
Leon melirik ke samping. Seorang pemuda tinggi berdiri di sebelahnya. Wajah yang ia kenal.
"Dia membeli es krim padaku, tapi tidak membayarnya. Lalu dia mengaku es krim itu miliknya, padahal dia belum membayar itu," protes penjual pada Kevin.
Kevin menatap Leon yang sedang memegang es krim di belakang punggungnya. Lalu beralih menatap penjual, "Aku akan membayarnya. Jadi tidak perlu meributkannya lagi."
Kevin kemudian memberikan uang pada penjual dengan harga 2x lipat. Penjual pun kembali ke lapak dagangnya setelah berterimakasih.
Kevin menggelengkan kepala saat melihat Leon mulai memakan es krim di tangannya. Ia heran mengapa anak itu bisa berada di sini, "Kenapa kau mengambilnya dan tidak membayarnya? Kau tahu, itu adalah tindakan yang salah."
"Aku tidak salah, dia yang meributkannya. Padahal ini sudah menjadi milikku," jawab Leon.
"Kau belum membayarnya, jadi itu belum menjadi milikmu. Kau mengerti? Jangan melakukannya lagi atau kau akan berada dalam masalah seperti tadi. Jika aku tidak kemari, masalahmu mungkin akan membesar," Kevin menggelengkan kepalanya.
Leon diam tanpa menjawab. Mungkin apa yang dikatakan Kevin ada benarnya. Bila ia tidak melakukan hal salah, mungkin orang lain pun tidak akan bersikap seperti itu padanya.
Leon menyodorkan es krim yang dipegangnya pada Kevin, "Kau sudah menolongku. Kau bisa mencobanya sedikit. Jangan banyak."
"Tidak, kau saja yang makan. Aku sudah kenyang. Daripada itu, kenapa kau sendirian di sini? Dimana Rafa? Kenapa kau tidak bersamanya?"
Leon melihat sekitar dan baru menyadari bila ia hanya sendirian. Ia menatap Kevin dan menggelengkan kepalanya.
Kevin membuang nafas dengan kasar. Ia mengambil ponsel di saku dan langsung menelepon Rafa.
Disisi lain, Rafa yang sedang mencari Leon dibuat berhenti oleh getaran dari hp nya. Ia segera mengeceknya dan melihat bila Kevin menelepon. Saat akan mengangkatnya, seseorang dengan cepat mengambil ponselnya hingga membuat Rafa tidak bereaksi untuk sesaat.
"A-Ponsel ku! Pencuri! Pencuri! Kembalikan ponsel ku!" teriak Rafa. Beberapa orang mencoba membantu Rafa untuk mengejar pencuri itu. Namun, mereka kehilangan jejaknya.
Orang orang yang mencoba menolongnya, kini hanya bisa menyemangati Rafa dan meminta maaf karena tidak bisa melakukan apapun atas pencuri yang menghilang itu.
"Ck, sialan!" Ucap Rafa dengan penuh kekesalan.
Panggilan dari Kevin pun tak bisa diangkat oleh Rafa karena ponselnya yang sudah dicuri.
Panggilan yang tidak juga diangkat oleh Rafa membuat Kevin pergi berkeliling mencarinya bersama dengan Leon yang sudah menghabiskan es krim.
Selama berjalan, hanya ada keheningan. Tidak ada yang memulai pembicaraan diantara mereka. Kevin pun bingung bagaimana menanggapinya. Ia dan Leon bisa dikatakan tidak saling kenal. Mereka hanya kebetulan bertemu saat kejadian kemarin dan itu pun hanya sebentar.
"Kenapa kau bisa ada di sana tadi?"
Kevin sedikit terkejut karena mendengar Leon berbicara padanya, "Itu hanya kebetulan. Tempat ini luas, aku berkeliling untuk berolah raga." Sementara dalam hatinya, "Tadi aku ingin mengganti es krim milikmu yang jatuh. Tapi karena kau tidak mau, aku berniat untuk membelikannya sendiri."
Kevin tidak mungkin mengatakan kebenaran itu pada Leon. Jadi ia hanya bisa menjawab dengan seadaanya, karena ia kemari memang untuk berolah raga.
"Bagaimana denganmu? Kenapa kau malah pergi membeli es krim? Kau saja tidak memiliki uang untuk itu," ucap Kevin.
Leon hanya diam. Ia hanya ingin memakan es krim dan tidak berpikir jika ia harus membayarnya.
Saat keduanya kembali terdiam, seorang pria berlari dengan cepat dan langsung mengambil ponsel yang dipegang oleh Kevin. Pemuda itu langsung bereaksi dengan menarik ponselnya kembali dan menendang perut pencuri hingga terjatuh keras di tanah.
Leon sedikit terkejut, namun ia tidak mengekpresikannya.
"Hampir saja ponselku dicuri," gumam Kevin.
Pencuri memegangi perutnya dan segera berdiri sambil merintih kesakitan. Ponsel lain yang sebelumnya diambil jatuh ke tanah karena terjatuh dari saku jaket.
"Itu.. Seperti milik Rafa," Kevin berniat untuk mengambilnya. Namun pencuri dengan sigap memukul pemuda itu hingga membuatnya sedikit terhuyung ke belakang.
"Aku lengah," Kevin menegakkan kepalanya kembali dengan sorot mata tajam. Di sekolah, ia adalah orang yang paling hebat dalam bertarung. Ia juga selalu memenangkan juara 1 dalam banyak kompetisi yang berhubungan dengan pertarungan. Mendapatkan pukulan seperti ini membuatnya merasa dirinya melemah. Dan ia tidak suka dengan hal itu. Karena itu, ia harus membalasnya.
Tangannya terkepal kuat dan langsung memukul pencuri secara bertubi tubi, lalu ia memberikan seragan terakhir dengan tendangan hingga pencuri itu terkapar di tanah.
Orang orang pun mulai banyak berkerumun karena melihat keributan yang terjadi. Mereka penasaran, namun juga ingin menyaksikan apa yang dilakukan Kevin pada pencuri.
Pencuri itu terbatuk batuk. Tubuhnya terasa lemas.
Kevin langsung mengambil ponsel milik Rafa yang tergeletak di tanah. Ia pun memeriksanya dan yakin bila itu memang milik temannya, "Pantas saja dia tidak menjawab telepon."
Pencuri memegangi perutnya yang terus terkena pukulan. Melihat banyaknya orang berkerumun membuatnya takut bila orang orang itu akan menangkap dan membawanya ke polisi.
Ia segera bangkit. Lalu tangannya mengambil sebuah pisau dari saku jaket dan berlari ke arah Leon dengan ekspresi panik.
Saat mata pisau hampir menusuk tubuh anak itu, Kevin segera menahannya. Namun cerobohnya, ia malah memegang besi pada pisau.
Leon tidak sempat bereaksi. Ia hanya bisa terdiam di tempat menyaksikan lengan Kevin yang berlumuran darah.
Pencuri itu segera kabur setelah menarik pisau dari tangan Kevin. Ia berlari memecah kerumunan. Dengan sendirinya, orang orang menjauh dari sekitarnya sambil berteriak takut.
Kevin meringis kesakitan. Leon pun segera mendekati pemuda itu. Ia sebenarnya sedikit khawatir. Kevin terluka karena melindunginya. Namun ia hanya bisa berekspresi datar dan menyembunyikan rasa khawatir itu, "Tanganmu.."
Kevin menggertakkan giginya menahan sakit. Ia menggelengkan kepala, "Aku baik baik saja. Kau tidak perlu memikirkan ini."
"Dik, gunakan ini untuk mengobati lukamu," ucap seorang wanita sambil menyodorkan obat merah.
Leon segera mengambilnya dan meneteskan itu ke luka tangan Kevin dengan cepat.
Kevin sedikit berteriak karena rasa sakit yang bertambah. Padahal ia belum mengatakan apapun, namun Leon langsung meneteskan obat itu padanya, "Sakit, jangan terlalu banyak," desirnya.
Leon berhenti saat mendengar ucapan Kevin.
"Maaf, tolong tunjukkan tanganmu," Wanita yang memberikan obat itu segera melilitkan perban pada telapak tangan Kevin setelahnya. Ia melakukannya dengan cukup hati hati.
"Sudah, mungkin ini tidak bisa membantu mu sepenuhnya. Tapi semoga kau bisa merasa lebih baik," ucap wanita itu.
"Ah tidak, aku sangat berterimakasih," balas Kevin sambil menahan sakit.
Disisi lain, Rafa akhirnya memilih untuk beristirahat di dekat pintu keluar utama. Ia merasa kesal karena kehilangan keberadaan Leon dan juga ponselnya.
Saat ia sedang termenung menahan amarahnya, seruan dari kejauhan yang memanggil namanya, membuat Rafa segera berdiri. Dilihatnya Kevin yang berjalan bersama Leon mulai menghampirinya.
Rafa sedikit terkejut. Namun ada perasaan lega dalam hatinya saat melihat Leon bersama dengan temannya, "Kenapa kau bisa bersama dengan Leon? Kau tahu sejak tadi aku lelah mencarinya!" ucap Rafa dengan nada kesal.
Kevin memutar bola matanya, "Aku berusaha menghubungimu jika aku bertemu dengannya di dekat lapak es krim. Tapi kau tidak juga mengangkatnya. Ini pun hanya kebetulan aku bertemu dengannya."
Rafa mengacak rambutnya, "Akh, tadi ponselku dicuri oleh orang dan aku tidak bisa menemukannya."
"Maksudmu ponsel ini? Aku mengambilkannya untukmu. Sudah kuduga ini memang milikmu," Kevin menyodorkan ponsel berwarna merah pada Rafa.
"Benar, bagaimana kau–" Rafa menghentikan ucapannya. Ia baru menyadari bila telapak tangan Kevin diperban. Ia mengambil ponselnya dari tangan Kevin lebih dulu, lalu ia menarik lengannya, "Kenapa kau terluka seperti ini? Apa yang terjadi?"
"Banyak hal yang terjadi, akan sulit menjelaskannya. Tapi aku baik baik saja. Untuk sekarang, lebih baik kau segera pulang. Kau pasti lelah karena sudah mengelilingi taman ini," balas Kevin tanpa menjawab pertanyaan temannya.
"Kau benar baik baik saja?"
"Iya, lebih baik kau segera pulang dengan Leon bila kau tidak ingin kehilangan dirinya lagi."
"Baiklah kalau begitu, aku akan pulang lebih dulu. Jika kau ingin bermain, mampir saja ke rumahku dan terimakasih tentang ponsel ini," dengan segera Rafa pergi bersama Leon.
Sejak perjalanan hingga sampai di rumah, Leon tidak mengatakan apapun. Ia hanya diam tanpa memperlihatkan ekspresi apapun. Rafa pun memilih untuk menanyakan tentang apa yang terjadi saat di rumah saja.
"Ini.. Kenapa berantakan sekali? Apa yang terjadi?" Sesaat setelah sampai rumah, Rafa menyimpan barang belanjaannya dan pergi menelusuri setiap sudut rumah.
Padahal ia baru sampai, namun sudah disambut oleh hal semacam ini. Taplak meja yang berserakan, gelas kaca kosong dimana mana, sampah sampai ada di bawah meja. Rumah yang sebelumnya sudah bersih, kini kembali berantakan.
Saat sampai di dapur, ia melihat kulkasnya terbuka dengan kepala seseorang yang masuk ke dalamnya.
"Siapa kau?" Rafa mengerutkan keningnya dengan perasaan kesal sekaligus cemas.
Orang itu langsung mengeluarkan kepalanya dari kulkas dan menunjukkan wajahnya. Mulutnya menggigit sebuah apel merah, "Kwau kwau kwau khawaung kuwau?"
Rafa mengernyitkan dahinya. Ia sekarang tahu siapa orang itu. Namun ia tidak mengerti dengan setiap kata darinya, "Muntahkan apel itu dan bicara dengan benar."
Pemuda di depannya segera mengambil apel di mulutnya, "Kau sekarang mengenaliku?"
"Yah.. Aku tidak melihat wajahmu tadi, jadi aku pikir kau adalah pencuri," balas Rafa.
"Ish, saudara sendiri kau sebut seperti pencuri," ucap pemuda itu dengan kesal. Ia memiliki pupil mata berwarna biru terang, namanya Nevan. Ia adalah anak dari paman Rafa yang tinggal di luar kota ini.
Saat mereka sedang mengobrol, Leon muncul. Ia juga penasaran dengan apa yang sudah terjadi.
"Eh? Kenapa ada anak kecil di sini? Bagaimana dia bisa masuk kemari?" ucap Nevan dengan kaget.
"Dia adalah–"
"J-jangan bilang dia adalah anakmu? Gila, ternyata itu alasanmu ingin tinggal sendiri saja di rumah, agar kau bisa membuatnya–Ugh.."
Nevan dipukul dengan keras oleh Rafa hingga kepalanya benjol. Nampak bila pemuda itu sangat geram dengan ucapan yang dikatakan saudaranya, "Bagaimana aku bisa melakukan itu?! Aku saja baru 17 tahun! Dan dia 10 tahunan! Bagaimana bisa aku memiliki anak sebesar dia?! Dasar gila!" Rafa menendang nendang tubuh Nevan tanpa peduli dengan rintihannya.
Leon hanya menonton pemandangan itu tanpa berniat untuk menghentikannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!