NovelToon NovelToon

Romansa Bumi Dan Biru

Prolog

“Cepat kesini! Kalian tahu jam berapa? Hah! Jawab!”

Mendengar teriakan demi teriakan yang membumbung itu, membuat langkah sepatu yang berlarian menjadi semakin berisik. Mereka seolah mendengar suara gendering perang yang mau tak mau membuat mereka maju. Itu adalah hal yang aneh. Dan disinilah aku, menjadi salah satu manusia yang berlarian memasuki aula dengan sepatu heelsku yang membuat betisku penat.

“Hei kamu! Berhenti.”

Langkahku terhenti saat seorang perempuan berjas hijau itu menatapku selayaknya tokoh antagonis cerita. Aku langsung berhenti sambil mencoba menstabilkan napasku yang naik turun tak beraturan.

“Iya kak?” tanyaku.

Namun ia malas menampilkan wajah yang semakin marah. “Kamu pura-pura nggak tahu ya?” sinisnya.

Aku yang sudah sangat kesal hanya menatapnya dengan lurus.

“Siapa yang bilang kalau kamu boleh pakai heels? Ini juga, rambutmu coklat. Mau sok jadi jagoan?” ucapnya memarahiku di depan ribuan orang.

Aku justru memandangnya dengan heran.

Kuperhatikan ia dari bawah hingga atas. Heels yang tingginya 7 cm, rok span ketat yang menampilkan lekuk tubuh, kemeja yang sama saja dengan rok span miliknya. Lalu rambut panjangnya yang bergelombang dengan warna coklat cerah. Bahkan ia memakai riasan yang cukup bold. Dan sekarang perempuan tak punya cermin ini bahkan memarahiku hanya karena aku adalah mahasiswa baru? Yang benar saja.

“Apa itu tertera di peraturan OSPEK?” tanyaku menantangnya.

Mendengar itu ia menggigit bibirnya untuk melampiaskan kekesalannya. Ia melirik kepada pria yang sedang memegang mic dan memartung. Pria itu hanya menatapnya tanpa kata.

Aku sama sekali tak takut padanya. Ia hanya sok senior disini. Padahal aku yakin umurku dengannya sama. Aku gapyear selama setahun karena satu dan lain hal.

“Apa kamu gak pernah belajar yang namanya peraturan tak tertulis?” jawabnya masih gentar.

Tentu saja ia masish bisa berdiri dengan begitu teguhnya. Ini adalah pertarungan sengit untuk sebuah harga diri.

“Tidak tahu. Karena peraturan yang harus ditepati adalah peraturan tertulis.”

Ia semakin marah. “Keluar! bergabung dengan para pembangkang lainnya di lapangan!” serunya.

Aku mengangguk. “Oke. Harusnya kakak bercermin terlebih dahulu sebelum membuat peraturan. Bukankah sebagai anggota BEM menjadi contoh bagi para mahasiswa baru dalam berpenampilan? Dan bagi saya, penampilan kakak sekarang sudah oke. Coba makeup kakak ganti lebih fresh sedikit. Make up seperti itu membuat kakak terlihat seperti berumur 30 tahun,” ucapku sembari keluar dari aula.

Dapat kudengar soraian dari angkatanku yang tampaknya setuju dengan apa yang kukatakan. Aku tersenyum puas.

Namun sneyumku langsung hilang melihat betapa teriknya pagi hari ini. Beberapa orang sudah berbaris sambil menundukkan kepala. Keringat mereka mengucur dengar.

Aku mengehela napas kasar dan berjalan ke barisan paling ujung. Aku menjatuhkan ranselku dan berdiri tegak menghadap matahari untuk menyambut hukumanku.

“Ssst namamu siapa?” tanya perempuan di sebelahku berbisik. Ia memandang lurus ke depan seolah-olah sedang tidak berbicara. Tampaknya ia sangat takut jika ketahuan mengobrol.

“Namaku Bumi, namamu siapa?” tanyaku sambil mengulurkan tangan.

Namun ia menatapku dengan panik dan langsung menutup uluran tanganku. “Kamu gila ya? Nanti kita ketahuan,” gerutunya.

Aku terkekeh. Ternyata ia benar-benar sepenakut itu.

“Ah, baiklah maaf.” Kali ini aku mengikuti permainan ketakutannya itu.

“Namamu Bumi?” tanyanya mengulang yang stelah kesebut sebelumnya.

Dapat kulihat kerutan di dahinya yang berkeringat itu. “Bumi saja?”

Aku menggeleng. “Archava Bumi Nusantara.”

“Wow itu adalah nama yang sangat unik,” komentarnya. Aku tersenyum tipis.

“Namamu?” aku balik bertanya.

Ia menoleh sekilas dengan senyum lebarnya. “Taruna.”

“Emm maaf sebelumnya tetapi itu seperti-“

“Nama laki-laki kan?” ia bisa menebaknya dengan akurat. “Dipanggil Runa. Kali ini baru girly. Aku juga nggak tahu kenapa ayah kasih nama aku seperti itu. Taruna Wijaya Putri. Nama basic yang umum.”

“Itu nama yang bagus,” ucapku tersenyum.

“Kamu dari jurusan apa?” tanyanya kemudian.

“Hukum.”

“Kita sama!” lagi-lagi Runa bersemangat.

Pemikiran dan emosinya benar-benar mudah tertebak. Pandangan mata miliknya tak pernah bohong. Bagaimana cara mata itu bersinar membuatnya terlihat sangat antusias.

“Kalau begitu tampaknya kita bisa menjadi teman baik mulai sekarang.”

Lagi-lagi ia mengangguk dengan senyumannya yang sangat khas. Ah, rasanya aku seperti melihat diriku yang dulu.

Kami kali ini benar-benar diam karena beberapa anggota BEM mulai berjaga.

“Bumi, apa kamu kenal kakak itu? dia daritadi lihatin kamu terus,” ucapnya dengan dahi mengkerut.

Aku mengikuti arah pandangnya dengan bingung. “Yang mana?”

“Kakak yang lagi nyender tiang bendera.”

Aku langsung mengarahkan pandanganku menuju arah yang disebutkan oleh Runa. Jantungku langsung berdegup dengan kencang. Tatapan mata kami bertemu. Saat itu kurasa tubuhku seperti terseret ombak.

“Bumi,” panggil Runa membuatku langsung tersadar dan menanggalkan pandangan kami. “kamu kenal?” tanyanya.

Aku menggeleng.

“Hei yang disana! Kalian berani-beraninya mengobrol! Hukuman kalian ditambah satu jam!” kami ketahuan. Dan sialnya oleh orang yang sama yang sudah membuatku menjalani hukuman.

Aku hendak protes, namun Runa menahanku. Ia menunduk dalam dengan takut. Baiklah, karena aku tak ingin ikut membahayakan Runa, aku memilih untuk diam.

Semuanya sedang beristirahat. Namun kami tetap dipajang di tengah terik. Benar-benar mengesalkan.

Hingga satu jam berlalu akhirnya kami terbebas dari hukuman. Runa langsung terduduk. Kakinya bergetar hebat. “Capek,” ucapnya dengan suara bergetar.

Aku mengangguk-angguk dan duduk di sebelahnya sembari meluruskan kaki. Untung saja sejak beberapa saat yang lalu langit menjadi mendung sehingga tidak seberat sebelumnya. Runa sudah mengeluarkan air mineral dari dalam tasnya dan langsung meneguknya. Aku juga meraih ransel milikku.

Sialnya aku tak bisa menemukan air mineral yang kubawa dari asrama. Ini benar-benar gila. Apakah aku meninggalkannya? Oh ya ampun.

Aku mencoba melihat sekeliling. Sayangnya kantin cukup jauh dari sini dan aku sudah tak punya tenaga untuk berjalan lebih jauh.

“Kamu gak minum?” tanya Runa bingung.

“Aku lupa bawa air,” jawabku.

Runa terlihat kaget. “Emm aku tahu kita baru kenal. Kalau kamu mau kamu bisa habisin punyaku,” ucapnya.

Sebenarnya aku sama sekali tidak masalah. Akan tetapi aku yakin bahwa Runa masih kehausan.

Pipiku terasa sangat dingin. Aku menengok dan melihat sekaleng minuman dingin yang ditempelkan di pipiku. “Nih, minum. Nanti dehidrasi.” Itu adalah suara yang amat sangat kukenal. Aku mengambil minuman itu dan terlihatnya wajahnya yang menatapku dengan tatapan yang tak terbaca.

Angkasa Biru.

Name tag yang dikalungkan di lehernya itu menjadi penanda bahwa ia adalah anggota BEM. Nama yang juga sangat kukenal diluar kepala.

“Gak usah, aku-“

“Bumi, jangan keras kepala,” ucapnya dengan rendah. “ini buat temenmu juga.”

Ia meletakkan kantung kresek berwarna putih. Di dalamnya ada beberapa kaleng minuman, satu air mineral, dan beberapa jenis roti. Tanpa menungguku, ia langsung berjalan menjauh begitu saja seolah-olah tak terjadi apapun dan membiarkanku mematung.

“Itu siapa? Kakak yang tadi kan? Kamu kenal?” tanya Runa dengan begitu polosnya.

Suaraku tercekat. “Dia mantanku.” Akhirnya kalimat itu keluar dengan seiring memori yang pernah kami rangkai bersama-sama kala itu.

BAGIAN 1 – Awal Kisah

“Bumi, ayah gak bisa jemput kamu. Tunggu abang sebentar ya.”

Aku hanya menghela napas setelah mendengar informasi itu. mau tak mau aku hanya bisa menyetujui semua yang ibu katakan dalam sambungan telepon. Suara hujan semakin nyaring saja membuatku menyenderkan bahu di bangku kayu ini. Jendela besar di hadapanku benar-benar membuat moodku tidak karuan.

“Bumi belum dijemput?” tanya kak Ares, tentor kimiaku.

Aku menoleh dan menggeleng. “Belum kak. Nunggu abang,” jawabku memberikan informasi.

“Oh ya sudah. Tunggu disini aja. Kakak ngajar dulu ya,” pamitnya kemudian memasuki ruang kelas kembali meninggalkan aku sendirian.

Ini hari Sabtu. Hari menuju libur yang harusnya bisa kulalui dengan sangat menyenangkan. Akan tetapi sejak kecil, ayah dan ibu selalu bersemangat mengikutkanku dalam kegiatan kursus di semua mata pelajaran. Aku tahu bahwa harusnya aku bersyukur karena ada jutaan anak yang menginginkan hal ini tetapi terkendala biaya. Oh ayolah, aku sudah muak dengan semua kalimat itu.

Aku hanya lelah. Sesekali aku ingin bermain dengan teman-temanku. Tetapi karena lingkunganku ini, teman-teman yang kupunya hanyalah manusia-manusia ambis yang tak mementingkan untuk bersenang-senang. Aku berharap teman-teman yang kutemui di SMA jauh lebih menyenangkan. Sejauh ini belum terlalu terlihat karena baru satu bulan sejak dimulainya masa putih abu-abu.

Abang akhirnya datang. Namun si menyebalkan itu ternyata menggunakan motor tinggi kesayangannya yang membuat dudukku tak nyaman. Ia bahkan sama sekali tak berniat untuk turun.

Aku berlari kecil menghampirinya. “Abang bawa jas hujan gak?” tanyaku.

Kulihat ia yang kebasahan dengan jaket kulitnya yang antiair itu. “Enggak. Cepet naik,” gerutunya.

Aku menaiki motor dengan kesulitan dan kakak kandungku ini sama sekali tak berniat membantu. Seragam pramuka milikku langsung basah kuyup menyambut hujan.

Tanpa aba-aba, abang langsung melajukan motornya membuatku nyaris terjatuh. “Ih, yang bener bisa gak sih? Adek laporin ayah ya,” ancamku. Namun ia seperti tuli.

Abang selalu menaiki motor dengan ugal-ugalan. Pria yang baru saja menjadi mahasiswa itu berpikiran bahwa hal seperti ini adalah keren.

“Abang, pelan-pelan!” omelku saat ia melanggar lampu lalu lintas. Pukulan demi pukulan yang kulayangkan di bahunya seperti tak berfungsi apapun.

“Berisik,” balasnya.

Aku akhirnya diam karena sudah benar-benar lelah. Di persimpangan jalan, ada truk yang tiba-tiba melintas dengan kecepatan tinggi menuju ke arah kami. Itu adalah kali pertama bagiku melihat kengerian seperti itu.

“Abang, awas!” seruku.

Namun abang tak siap untuk membelokkan motornya. Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi, hanya saja badanku terpental jauh. Kepalaku sakit terkena aspal. Suara tabrakan yang keras dan keributan dari orang-orang sekitar. Sedangkan pengelihatanku semakin memburam.

Saat terbangun, aku berada di bangsal rumah sakit. Dapat kulihat ayah yang sedang berbincang dengan dokter. “Ayah,” panggilku dengan susah payah. Tenggorokaanku sangat kering.

Ayah langsung menoleh dan memelukku. “Kamu gak apa-apa? Apa yang sakit. Kasih tau ayah,” ucapnya dengan beruntun. Aku menggeleng. Tidak ada yang sakit. Hanya saja kakiku.

Pikiranku sudah terlalu berlebihan. Apakah aku diamputasi? Buru-buru aku membuka selimut dan menemukan kakiku baik-baik saja. Hanya ada memar lebar yang keunguan.

“Kenapa dek? Kakinya sakit? Dokter bilang itu kena benturan, butuh waktu buat sembuh,” ucap ayah yang diiringi anggukan dari dokter yang kemudian memeriksaku.

Syukurlah bahwa dokter mengatakan aku baik-baik saja meskipun harus menggunakan tongkat untuk berjalan sementara waktu. Dokter juga mengatakan bahwa aku tidak boleh melakukan kegiatan fisik yang melelahkan. Itu artinya aku harus mengucapkan selamat tinggal untuk pertandingan basketku. Ini semua karena abang.

Aku menangis setelah dokter berpamitan untuk keluar. ayah semakin panik melihatku begini. “Aku mau sembuh ayah. Aku sudah latihan dari jauh-jauh hari,” ucapku mengeluarkan semua yang ada dipikiranku.

Ayah hanya mengelus-ngelus bahuku. “Nanti kalau sudah sembuh ya,” ucap ayah menenangkan.

“Ini semua karena abang!” seruku menyalahkan. Aku benar-benar kesal dengannya. Kami tidak terlalu dekat. Ia selalu ketus padaku bahkan saat aku mencoba berbuat baik. lihatlah, ini semua salahnya.

“Adek gak mau lihat keadaan abang?” tanya ayah tiba-tiba.

Aku menggeleng dengan kuat membuat ayah menghela napas dalam. “Kok gitu. Adek gak penasaran?”

Aku terdiam dan mencoba berpikir. Saat kejadian aku tidak melihat abang karena badanku yang terpental terlebih dahulu. Akhirnya aku mengangguk.

Ayah membantuku turun dari bangsal dan berjalan menapaki Lorong dengan aroma yang khas. Kami sampai di ruang ICU. Dapat kulihat ibu yang sedang menangis dan ditenangkan oleh nenek. Di jendela, dapat kulihat abang yang terbaring dengan begritu lemah. Ada banyak kabel yang dihubungkan ke tubuhnya. Perban di berbagai bagian tubuhnya membuatku sadar bahwa kondisi abang benar-benar parah.

“Abang-“ ucapku serak. Aku merasa bersalah telah menyalahkannya.

Mendengar suaraku ibu mengangkat kepalanya. “Bumi, anakku,” ucapnya dan langsung memberikan pelukan hangatnya itu. Ibu meraung dalam tangisannya. “syukurlah kamu baik-baik saja. Syukurlah tidak seperti abangmu.”

Aku hanya bergeming.

Begitulah awal dari rasa bersalahku. Aku pulang bersama nenek. Sedangkan ayah menemani ibu menjaga abang. Sekitar seminggu aku belum bisa kembali menuju sekolah karena kesulitan berjalan. Selama itu pula abang belum juga sadar. Ia sedang dalam masa koma yang entah sampai kapan.

Hari ini akhirnya aku bisa kembali ke sekolah tanpa tongkatku. Aku sudah bisa berjalan walaupun sedikit tertatih. “Sudah siap?” tanya ayah yang melihatku sudah rapi.

Aku mengangguk.

Kami memasuki mobil sedan tua milik ayah. Kulihat ayah yang semakin kurus. Kantung matanya terlihat dengan jelas. Ayah dan ibu pasti sangat lelah. “Kalau kakinya sakit, telfon ayah. Gak usah dipaksain,” ucap ayah kembali menasehati.

“Iya ayah,” jawabku.

Kami akhirnya sampai di sekolah. Ayah bahkan mengantarkan hingga lapangan. “Sampai sini saja. Adek bisa sendiri,” ucapku saat pandangan banyak orang mengarah kepadaku.

Ayah tampak ragu namun akhirnya mengangguk. “Oke, inget pesan ayah.”

Aku mengangguk. Setelah melihat ayah berjalan menjauh, aku langsung menyusuri koridor dan menuju kelasku. Sepertinya aku terlambat. Aku harusnya berangkat lebih awal untuk sesi kelas tambahan khusus satu jam lebih awal dari jam pelajaran.

“Bumi!” aku yang sedang kesulitan menoleh. Di kelas X IPS 1 kulihat sosok pria yang tersenyum lebar ke arahku. “Kenapa kakimu?” tanyanya.

Aku hanya menggeleng.

“Ini temenku mau kenalan sama kamu,” ucapnya lagi membuatku kesal. Aku tak berniat menoleh lagi ke arahnya. Apakah ia tidak tahu yang namanya tata krama atau semacamnya? Ia tidak bisa lihat aku yang sedang kesulitan berjalan ini? Dan bisa-bisanya ia malah melakukan sesi perkenalan untuk temannya.

Yah, dia memang pria yang menyebalkan. Padahal ia juga anak IPA, bisa-bisanya di jam pelajaran justru bermain di area IPS.

Namanya adalah Bima. Teman satu kelompok saat MOS. Dan ia adalah pria paling menyebalkan di dunia.

BAGIAN 2 – Namanya Angkasa Biru

Sejak hari itu, entah kenapa selalu ada pertemuan yang tak sengaja antara aku dan Bima. Lebih mengesalkannya lagi, pria itu selalu menyapanya dengan sumringah dan lambaian tangan yang khas.

Seperti saat di kantin. “Bumi!” serunya.

Di koridor.

Lapangan upacara.

Bahkan halte tempatku menunggu ayah menjemput.

“Bu-"

“Berisik!” gerutuku kepadanya. Ia hanya cengengesan dan menghampiriku. Oh ayolah bahkan di perpustakaan juga? Ini adalah tempat dimana semua orang mendapatkan kedamaian.

Dari sudut mata dapat kulihat pria itu yang menggeser bangku hingga duduk di sebelahku. Wajahnya sok serius dengan buku paket yang terbuka tepat di depannya. “Sst, Bumi,” panggilnya lagi.

Aku menoleh sembari memasang wajah yang kesal.

“Temenku mau kenalan,” ucapnya lagi.

Aku sudah muak dengan itu. “Terus? Aku peduli gitu?” tanyaku sinis. Aku menutup novel yang kubaca dan buru-buru keluar dari perpustakaan untuk meninggalkannya.

Untungnya ia tak mengikutiku.

Di malam harinya aku kembali sendirian. Sebenarnya ada rasa kesepian yang begitu besar. Sempat aku merasa bahwa kedua orangtuaku hanya mencurahkan perhatian sepenuhnya pada abang. Padahal dirinya tetap manusia biasa di masa remaja yang juga butuh curahan perhatihan.

Aku melihat jam weker yang menunjukkan pukul 10 malam. Mataku sama sekali tidak mengantuk setelah belajar matematika untuk ulangan harian besok. Kuputuskan untuk meraih laptop tuaku yang warnanya sudah memudar.

Aku memilih untuk berselancar di media sosial focobook yang sudah lama tak kubuka. Di beranda dapat langsung kulihat postingan teman-teman semasa SMPku. Sekarang aku rindu mereka. Masa SMA yang kukira menyenangkan ternyata tidak sesuai dugaan. Aku lumayan dikucilkan di kelas hanya karena pertanyaan yang kuajukan di beberapa pelajaran untuk guru. Mereka menganggapku sok pintar kemudian mulai memberikan jarak.

Padahal aku sama sekali tidak berpikir seperti itu. aku bertanya karena aku ingin tahu lebih lanjut. Itu saja.

Aku menerima semua permintaan pertemanan yang berbaris di akunku.

Ting.

Suara notifikasi membuatku cukup terheran. Tidak biasanya ada yang mengirimkanku pesan. Aku mencoba membuka pesan yang masuk dari akun bersama Angkasa Biru. Nama yang cukup unik.

“Hai Bumi, apa kamu kenal Bima?” tanyanya dengan tak terduga.

Aku mencoba menekan profilnya dan tak melihat satupun foto pribadinya. Aku tidak mengenal orang ini dan ia bisa-bisanya langsung mengajukan pertanyaan yang menurutku tidak penting.

Karena sedang dilanda kebosanan, aku memutuskan untuk menanggapi percakapan aneh itu.

“Kenal,” jawabku.

“Kamu adik Laut ya.”

Membacanya saja hatiku sesak. Aku mencoba memastikan bahwa orang itu menyebut tentang abang. Padahal aku dan abang tidak terlalu akrab dan teman-temanku pun banyak yang tak tahu bahwa aku bukanlah anak tunggal.

“Aku tahu dari namamu. Nusantara. Nama yang khas untuk tag keluarga,” lanjutnya.

Itu cukup masuk akal.

“Kamu siapa?” serangku. Rasa penasaranku terhadapnya kini meningkat. Pertama ia kenal Bima, kedua ia mengenal abangku.

“Aku Biru. Bukannya sudah jelas ya di nama akunku.”

Hahh mulai lagi satu orang menyebalkan.

“Ok.” Jawabku singkat.

Ia mengirim emoticon tertawa atas jawabanku itu. “Lain kali kalau orang ngajak kenalan jangan dicuekin terus ya. Good night.”

Angkasa Biru is offline.

Pikiranku langsung berkelana. Kalau tebakanku benar, ia pasti adalah orang yang ingin dikenalkan Bima kepadaku. Itu cukup masuk akal karena yang ia sebut pertama kali memang Bima.

Esoknya aku dengan niat yang menggebu-gebu mendatangi kelas Bima. Namun pria itu belum datang. Menyebalkan sekali.

“Oh jadi sekarang selain caper sama guru, caper sama anak kelas sebelah juga,” sindir Tania, teman sekelasku. Beberapa teman yang sedang bersamanya juga ikut tertawa seakan itu adalah hal yang paling lucu di dunia.

Aku hanya menunduk dan mengencangkan peganganku pada totebag putih yang kubawa. Sesuai dugaanku, jika tak menanggapinya mereka akan pergi dengan sendirinya. Namun tetap saja, aku merasa sedih.

“Gak usah di dengerin.”

Aku menoleh dan menemukan perempuan dengan rambut twintailnya. Ia duduk di sebelahku tanpa basa-basi. “Mereka emang gitu. Cuekin aja. Kamu anak IPA 1 kan?” tanyanya kini melabuhkan sepenuhnya tatapannya kepadaku.

Aku mengangguk dengan canggung. Ia mengulurkan tangannya tepat di hadapanku. “Halo, namaku Echa. Anak IPA 3. Kamu?”

Rupanya perempuan ramah ini merupakan teman sekelas Bima. Sungguh takdir yang luarbiasa.

“Bumi,” jawabku pelan.

Tatapan mata Echa berbinar. “Bumi? Earth?” ulangnya.

Aku terkekeh melihat keantusiannya itu. “Iya, earth.”

“Itu nama yang bener-bener unik. Aku baru pertama kali denger nama seunik itu. Kalau nama panjang?” kali ini tanyanya.

Baru saja hendak menjawab. Seseorang sudah mengambil alihnya.

“Archava Bumi Nusantara.”

Aku menoleh dan menemukan pria yang kutunggu akhirnya datang juga.

“Bima, aku kan nanya sama Bumi.”

“Ya aku bantu jawab,” jawab Bima dengan santai. Echa mengerucutkan bibirnya karena merasa kesal. Aku hanya terkekeh melihat mereka berdua.

“Kamu nunggu aku kan?” tanya Bima langsung, Tebakan yang akurat.

Aku mengangguk-anggukkan kepala.

“Yok, sekalian ke kantin aku belum sarapan,” ucapnya justru memberikan perintah. Oke, sabar Bumi. Kali ini aku membutuhkan informasi darinya.

“Oke.” Aku beranjak dari dudukku dan menoleh pada Echa. “Echa, nanti kita ngobrol-ngobrol lagi ya,” ucapku sekaligus berpamitan kepadanya.

Perempuan itu mengangguk.

Kini aku dan Bima berjalan berdampingan menuju kantin. Cukup sulit bagiku mengimbangi kakinya yang jenjang itu.

“Jadi mau ngomong apa?” tanyanya setelah kami menemukan satu meja kosong.

Aku masih berpikir dan mencoba menimbang-nimbang mana yang harus ku bicarakan dengannya dan mana yang tidak.

“Angkasa Biru,” aku melirik ekspresi wajahnya. “itu temenmu kan?”

Bima tampak biasa saja saat aku menyebut nama itu. Ia mengangguk dengan enteng sembari menyantap batagor di hadapannya. “Iya, dia temen yang mau kenalan sama kamu,” jawabnya.

“Terus kamu ngasih nama focobookku?” tebakku.

Ia menggeleng. “Aku aja gak tahu,” jawabnya. Tampaknya ia memang jujur karena kami tidak berteman disana.

“Terus dia tahu dari mana?”

Bima mengangat bahu. “Kamu meragukan cowok yang pengen PDKT?"

“Hah?”

“Lupain.”

Aku membutuhkan pemikiran ekstra untuk itu. “Dia temenmu dari kapan?” tanyaku mencoba menggali lebih lanjut.

“Baru kenal pas SMA kok. Aku sama dia sama-sama basket,” jawabnya.

Itu masuk akal.

“Terus kenapa dia tiba-tiba pengen kenalan sama aku?”

Makanan miliknya sudah tandas. Ia menjauhkan mangkok kosong lalu menatapku lurus. “Ya mana ku tahu.”

Hah, sebagian besar jawabannya tidak berguna.

“Kamu tertarik juga sama dia? Bagus. Nanti kalau udah jadian, jangan lupa komisi,” ucapnya mengejekku.

Aku melempar gulungan tisu ke arahnya yang disambut dengan tawanya yang menguar bebas. Oh ya ampun kenapa bisa-bisanya aku terjebak dengan orang ini.

“Udah? Gak ada yang bikin penasaran lagi? Udah mau bel ini.”

Aku berpikir keras.

“Kenapa dia bisa kenal Laut?”

Akhirnya pertanyaan itu lolos juga dari lidahku yang kelu.

“Hah? Emang ada manusia yang gak tahu laut? Aku aja dari bayi-“

Oke. Kami beda pemikiran. Dari percakapan anehnya itu aku sudah tahu bahwa ia tidak mengenal abangku. Hanya Angkasa Biru saja yang mengenalnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!