NovelToon NovelToon

Untuk Pria Yang Telah Mematahkan Hatiku

1. Perkenalkan Namaku Kayra

Baby, thank you.

Thank you for falling for me, cause you’re fixing me unnoticely

Thank you for making me falling for you, cause it makes me feel brand new

With the love you gave, I can finally see what I already have

Just like crossing the broken bridge with a rope, you give me hope

Just like giving the short time life an extra length, you give me strength

I should’ve kiss you now, to tell you how much you make me go wow

I should kiss you 'til we’re old, instead of trying to say what can not be told

I think I should kiss you forever, for making me better

****

And, finally. You let me go. After all my effort on you, YOU are the one who is letting me go. You freed me ... from you. From us.

I think ... it is gonna be okay. Yes, I’m gonna be okay.

But, are you really okay, heart?

****

Aku masih tak percaya akhirnya aku memilih untuk menyerah. Menyerahkan kamu pada duniamu, menyerahkan asa yang sudah aku bangun selama ini pada liang sampah. Akan kucoba kubur, meski aku harus ikut terkubur bersamanya.

Gamang, memang, awalnya. Hingga terkadang kegamanganku membuat nyata dan fatamorgana tak bertepi, menghadirkan kau di sini padahal tak ada yang terjadi. Gila-kah aku? Untuk saat ini silakan saja. Namun, tak 'kan kubiarkan kegilaan ini menggila. Kau pikir ... siapa dirimu?

****

Menjadi seorang pejuang skripsi tidaklah mudah. Sama sekali tidak mudah. Sama halnya dengan menjadi seseorang yang dilanda patah hati. Kau bahkan akan membutuhkan kerja keras ekstra dan dedikasi tinggi unuk mengerjakan salah satunya, akan tetapi, kalau keduanya terjadi dalam waktu bersamaan?

Ah, sudahlah. Jangan ditanya beratnya seperti apa. Karena jikalau saja aku tahu, aku tentu akan menghadapinya dengan sangat mudah.

Yeah, that's me. Gadis yang tengah menjadi pejuang skripsi yang juga sedang mengalami sedang patah hati. What a great luck, huh?

And, please, I don’t want to talk about it. Not now, not ever.

Lupakan!

Akhirnya aku memilih untuk menyalakan musik melalui bluetooth di car audio system dan memutar playlist dengan acak. Suara petikan gitar familier dan vokal yang mengiringi seketika memenuhi kabin mobil. Oh, come on, Destiny. Like ... really?

Kenapa Danny O'Donoghue bertanya padaku bagaimana cara bertahan jika orang yang pergi meninggalkan kita merupakan bagian terbaik yang ada dalam hidup ini? Apa yang seharusnya dikatakan di saat tenggorokan kita sedang tersekat oleh bulir-bulir perasaan sementara orang yang pergi itu bersikap biasa saja? Apa yang harus dilakukan ketika tidak hanya hati yang patah, akan tetapi rasanya tubuh ini juga ikut-ikutan rebah?

Entahlah, Mr. O'Donoghue, I don't know the answers to those gazillion dollars questions either.

Hm. Sudah saatnya mengalihkan pembicaraan sebab aku merasa mataku mulai memanas. Aku tidak boleh membiarkan air mata itu menitik. Lagi.

Baiklah. Sebaiknya aku memperkenalkan diri saja. Halo, Semua. Perkenalkan, namaku Kayra Salim, saat ini tengah berusia dua puluh tahun. Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang juga masih menjadi ketua himpunan mahasiswa jurusan di sebuah Universitas yang ada di ibu kota provinsi Sumatera Barat. Terdengar tidak biasa, kan? I know, I know. Karena memang begitulah kenyataannya. Aku berhasil menyelesaikan mata kuliah dengan cepat sehingga aku bisa mulai mengerjakan skripsi di awal tahun keempat, di akhir masa jabatanku sebagai ketua organisasi.

It is what it is.

Aku terlahir sebagai satu-satunya putri dalam sebuah keluarga bahagia, dengan ayah seorang pejabat pemerintahan, ibu yang akan selalu ada untuk memanjakan keluarga di rumah dengan kasih sayang dan perhatiannya serta dua orang kakak laki-laki kembar yang selalu ada untuk menjadi penjagaku di luar rumah.

Sungguh terdengar sempurna, bukan?

Namun, tidak ada di dunia ini yang benar-benar sempurna. Meskipun aku patut bersyukur karena berada di tengah-tengah keluarga yang bahagian dan saling mencintai, aku tidak bisa untuk tidak menangisi hubungan yang sudah aku lalui.

Oh, damn. Enough is enough. Aku tidak mau membahas tentang that said relationship anymore.

****

Kak Raya : Dek

Me : Iya, kakaak

Kak Raya : Kamu di mana?

Kak Raya : Kita jalan yuk

Kak Raya : Aku lagi suntuk nih

Kak Raya : Kita ketemu di Plaza satu jam lagi, OK?

Raya Rosita, Kak Raya. Senior satu jurusanku di kampus. Aku yakin semua orang setuju bahwa segala urusan yang menyangkut senior dan kampus memang terdengar agak mistis, menakutkan. Semua yang padahal hanya permintaan biasa terdengar seperti command, tak terelakkan. Bukan karena Kak Raya adalah seorang senior yang galak, akan tetapi mungkin karena aku mengenalnya sebagai senior terlebih dahulu sebelum menjadi teman seperti sekarang. Maka dari itu lebih besarlah rasa segan.

Kak Raya, begitu panggilannya, merupakan mantan ketua himpunan mahasiswa jurusan kami yang kemudian kebetulan aku gantikan—maklum, jurusan kami didominasi oleh kaum hawa. Jadi, awalnya pertemuan kami hanyalah sebatas untuk membahas masalah-masalah organisasi, hubungan profesional seorang anggota dewan istimewa dan ketua himpunan yang sedang menjabat. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, intensitas pertemuan kami semakin meningkat. Bahasan yang tadinya hanya itu-itu saja merembes ke bahasan sehari-hari, belanjaan, dan perasaan. Ah, benar-benar memang. Perempuan.

“Jadi, kamu sama Harris sekarang gimana?”

Kak Raya, kenapa Kakak nanya hal itu sama aku ... sekarang? Aku hanya bisa bertanya di dalam hati. Aku sudah tidak bisa mengungkapkannya secara langsung karena ingatan ini kembali terpeleset ke kejadian di beberapa waktu yang lalu. Waktu yang sudah jauh pergi akan tetapi sesuatu itu masih terasa seperti kemarin ini terjadi.

....

“Siapa cewek ini, Ris?”

Pria itu hanya diam, bergeming. Saking terkejutnya dia, tindakannya hampir menyerupai patung. Bahkan helaan dan embusan napas yang dilakukan saja tidak jelas gerakannya. Dia pasti benar-benar tidak menyangka bahwa aku sekarang berada di depan dia, mereka.

Aku pun ikut terdiam. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tak menyangka bahwa aku akan pernah berada di dalam posisi seperti ini; berada di antara pria yang aku cintai dan seorang gadis yanb lain. Siapa dia? Apa yang dilakukannya di sini? Apa yang sebenarnya MEREKA lakukan di sini, BERSAMA?

“Harris, jadi sebenarnya siapa cewek ini?”

Pria yang sudah menjadi cintanya selama hampir dua tahun ini tetap tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan, rasanya, dunia di sekeliling kami turut tak mengeluarkan suara.

Tuhan, sebenarnya ada apa?

“Maaf, Kakak siapa?”

To be continued ....

2. Perangkap Senioritas

Aku mengalihkan pandangan dari pria di hadapanku kepada gadis yang berdiri di sampingnya dengan hampa. Bukan pertanyaan yang aku harapkan, akan tetapi pernyataan, jawaban. Dan jelas sekali bukan dari gadis belia itu. Namun, entah kenapa aku masih bisa berpikir seperti ini. Biarlah menjawab dahulu, mungkin bisa memancing jawaban dari pertanyaanku sendiri di kemudian. Di kalakian kuulurkan tangan. “Aku Kayra Salim, Kayra. Aku pacarnya Harris.”

Bukannya menyambut uluran tanganku, gadis yang terlihat baru mengecap rasa menjadi seorang mahasiswa itu lantas menjawab dengan ... pongah. “Pacar? Bang Harris bilang dia gak punya pacar.”

Ada petir-kah di malam cerah berbintang ini? Atau aku tengah tersentrum aliran listrik bertegangan tinggi? Sedang terjun bebaskah aku dari sebuah gedung pencakar langit?

Aku betul-betul berharap demikian, akan tetapi tidak begitu kenyataannya. Kenyataan yang, jujur saja, tidak ingin aku hadapi.

Kupulangkan tatapanku pada Harris yang kini juga menantang pandanganku seraya mengerutkan dahi. Bukan karena bingung, akan tetapi lebih kepada merasa ... kesal. Lalu aku melihat ke arah gadis yang sama saja dongkolnya.

Ah ....

Sesaat kemudian aku sadar, sepertinya kehadiranku di sana memang tidak diharapkan oleh siapa pun, bahkan oleh orang yang sangat aku harapkan.

Pedih mulai menyelinap lebih dalam lagi. Kini tak hanya hati, tulang-belulang pun terasa ikut ngilu.

Kukumpulkan kesadaran yang beberapa detik lalu menjadi debu. Kuhimpun perasaan yang berdarah-darah. Kugabungkan lagi kekuatan yang sejenak tadi berada dalam titik terendah. Lalu, aku mendongak. “Oh? Kalau begitu, baiklah. Aku rasa semuanya sudah jelas. Harris, terima kasih banyak, ya.” Tak lupa kupasang senyum terbaikku, sebelum berbalik dan berlalu.

....

“Kakak, kenapa nanyain itu lagi, sih? Aku gak mau bahas, ah. Malas.”

Akhirnya aku dapat mengungkapkan apa yang ingin aku ungkapkan karena aku tidak ingin mengulang adegan yang mengikuti kenangan itu. Aku tidak ingin mengingat bagaimana hancurnya aku setelahnya, sampai-sampai aku harus berhenti menyetir dan menepikan mobil di pinggir jalan sebab sedu dan sedan yang menguasai tubuh sehingga mengguncangnya dengan hebat. Aku tidak mau mengenang lagi betapa sepinya diriku saat itu. Meraung sendiri di dalam mobil dengan mulut yang kubekap erat agar dunia tidak bisa mengetahui ratapan hati ini. Aku tidak ingin ....

Banyak yang tidak ingin aku ingat, akan tetapi aku tidak pernah berhasil untuk melupakan semua itu.

Sudah menjadi kebiasaanku pada akhir-akhir ini memang, menghindari pertanyaan-pertanyaan yang akan memporak-porandakan perasaan sendiri. Dan sudah menjadi kebiasaan Kak Raya juga memang, bertanya soal hal-hal yang menyangkut perasaan. Kadang aku merasa apa yang dilakukannya serupa pemaksaan untuk curhat.

“Eits, kamu jangan salah sangka dulu. Aku bukannya mau bikin kamu galau lagi, lho. Aku mau ngajak move on malah. Masih banyak cowok, kan? Temannya Riko kan banyak tuh? Pilih aja salah satu. Gimana? Oke, ya?” Kemudian, kalimat-kalimatnya itu ditutup dengan gelak tawa yang terdengar tak berperasaan.

Bagiku.

Namun, aku juga sedang tidak terlalu ingin untuk mengkonfrontasi Kak Raya soal itu. Aku tidak ingin melakukan apa pun sekarang sebenarnya. “Iyaaaaaa,” ucapku tanpa perhatian sambil mengalihkan pandangan ke jendela yang ada di samping tempat duduk kami.

Apa susahnya cuma bilang iya, bukan?

****

Aku berlari-lari kecil menuju kumpulan beberapa wanita dewasa muda itu. Terlalu bersemangat untuk segera mendekap setelah sekian hari tak bertemu. Mereka-lah sahabat-sahabatku. Sosok yang sudah menemaniku hampir selama tiga tahun ini. Lulu, Anggre, Mimi, dan Wide. Lulu dan Anggre merupakan penduduk asli kota Padang. Hanya aku dan Mimi yang berasal dari luar kota dan menjadi anak kos di rumah yang sama. Meskipun memiliki jurusan yang berbeda-beda, secara ajaib kami bisa menjaga persahabatan yang terjalin sejak pertama kali kami bertemu di kegiatan orientasi mahasiswa yang diadakan oleh universitas.

Sebelumnya kami sudah membuat janji untuk bertemu di depan gerbang kampus. Hari ini akan kami habiskan dengan jalan-jalan seharian. Karena kesibukan yang menggunung untuk kelas masing-masing dan skripsiku—ya, mereka masih menyelesaikan mata kuliah mereka, kami jadi jarang sekali bertemu. Maka dari itu, wajar saja rasanya kalau aku lebih memilih jalan-jalan bersama mereka daripada mengurusi organisasi atau hal semacamnya. Dan, seperti sebelum-sebelumnya, kami menjadikan Bukittinggi sebagai kota pelarian. Orang-orang yang sudah jenuh dengan suasana Kota Padang yang panas dan sibuk mungkin akan setuju betul dengan kami.

****

....

Retak bumi kini kutempuh. Tatkala kekecewaan itu datang, semakin terasalah retakan itu merekah, sedikit lagi menenggelamkan asa. Apa yang harus aku lakukan?

“Aku menyayanginya, Sayang, maafkan aku.”

Aku hanya bisa diam saja, menatap mata pria di hadapanku, yang kucintai sepenuh isi dada.

“Sayang, aku mohon. Kamu ngomong, jangan diam aja. Aku jadi bingung kalau kamu diam terus kayak gini. Asal kamu tahu, aku juga masih sayang banget sama kamu. Aku tetap sayang kamu, Kay.”

Bumi yang retak itu kemudian bergetar dengan hebat. Menghancurkan asa dan rasa yang selama ini bersemayam di jiwa. Batinku seketika merintih, tak tahan akan perih.

Tanpa sepatah kata pun, aku berlalu (lagi).

....

****

“Kamu temenin aku belanja dulu, habis itu baru kita nongkrong. Oke?”

“Siap, laksanakan, Senior!”

Lagi. Hari ini terjadi seperti beberapa kesempatan sebelumnya, aku terjebak di dalam perangkap Kak Raya yang awalnya mengajak bertemu dengan alasan bosan, akan tetapi pada akhirnya dia mengaku, “Temenin aku belanja persiapan wisuda, ya?” Kalimatnya pun tidak lupa diakhiri oleh kekehan khas miliknya.

Jebakan macam apa ini?

Paling menyebalkan memang, menemani seorang wanita untuk berbelanja di saat kita tidak punya mentahan untuk dibelanjakan. Mentah yang kumaksudkan di sini adalah niat, ya, niat untuk ke luar dari kamar, niat untuk ke luar dari rumah. Dan itu yang sedang terjadi padaku. Kak Raya, yang notabene-nya juga wanita pasti mengetahui fakta ini, dan mungkin itulah sebabnya dia mengatur strategi untuk menjebakku seperti yang sudah dilakukan.

Duh. Sungguh menyebalkan. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Puas berlama-lama di satu toko, kami kemudian bergerak ke toko yang lain, dan yang lyang lain, lalu yang lain lagi hingga ... setelah tiga jam penjelajahan itu akhirnya selesai juga. Oh, terima kasih banyak, Tuhan.

“Terima kasih banget, ya, Dedek, kamu udah mau temenin Kakak seharian ini. Sepatu sama bajunya banyak yang lucu-lucu, kan, ya?" Dia kemudian terkekeh lagi. "Duh, haus. Capeknya juga baru kerasa. Kamu mau pesen apa? Aku yang traktir.”

Tiga kata terakhir, aku yang traktir. “Emang seharusnya Kakak yang traktir, kan?” Aku menyahut dengan setengah bercanda, akan tetapi lebih banyak seriusnya, sih. Dia yang seharusnya mentraktir karena dia sudah dengan sadar menjebakku ke dalam perangkap senioritas ini.

Huft.

To be continued ....

3. Budi is Che

Semua pesanan kami habiskan sembari bercerita apa saja. Hampir satu jam kami duduk, tiba-tiba Kak Raya melambaikan tangannya ke arah belakangku. Sepertinya dia melihat seseorang yang dikenalnya. Rasa ingin tahu pun membuat aku ikut menoleh.

Namun, ups! Ternyata dia melambai kepada bukan hanya orang yang dia kenal, akan tetapi sangat dikenal dan mengenalnya luar dan, uhuk, dalam, Bang Riko, sang pacar, beserta rombongan. Rombongan yang terdiri dari teman-teman satu jurusan Riko, yang juga merupakan personil lengkap dari band mereka. Dan yang jelas, semuanya adalah seniorku di kampus.

Ah, satu Kak Raya saja sudah lebih dari cukup untukku apalagi sekarang ada lima orang tambahannya? Ditambah lagi sekarang aku sedang tidak mau bersosialisasi dan berbasa-basi. Argh!

Dari ke lima senior yag ada di sana, selain Bang Riko, aku hanya mengenal satu orang lagi, Bang Che. Che? Yes, Che. Menurut cerita dari sumber yang terpercaya, Kak Raya—siapa lagi?, nama asli salah satu sahabat pacarnya itu adalah Budi. Budi doang, Budi ajah, atau hanya Budi. Tidak ada embel-embel lain. Karena menurut dia pribadi nama Budi sudah terlalu mainstream di dalam buku-buku pelajaran SD serta kecintaannya terhadap seorang tokoh bernama Che Guevara yang hebat di bidangnya itu—sorry, aku tidak bisa memberikan detail lebih banyak tentang tokoh tersebut karena aku juga tidak tahu siapa sebenarnya si Che Guevara ini. LOL—dia mengganti panggilannya dengan Che.

Bertemu sejak tahun pertama kuliah tidak lantas menjadikan kami dekat, hanya biasa saja. Sekadar saling lempar senyum saat bertemu, saling menyahut saat disapa, candaan-candaan ringan yang (selalu) dilemparkan oleh Bang Che dan aku akan membalasnya dengan tawa yang alakadarnya saat didukung oleh keadaan.

Aku waktu itu juga memutuskan untuk menambahkan dia sebagai teman di jejaring sosial Facebook, follow his twitter and Instagram accounts pun setelah Kak Raya meyakinkan aku—dengan paksaan tentu saja, kalau Bang Che adalah salah satu senior yang “berpengaruh” di fakultas kami. Entah apa pengaruh keberadaan terhadap hidupku. Yang jelas, di sana aku bisa menangkap maksud daei kata-kata itu. Kalau Bang Che adalah sosok yang berpengaruh bagi kelangsungan hubungannya dan Bang Riko.

Saat para senior sedang sibuk melempar pernyataan-pernyataan konyol mereka—Ya Tuhan, aku tak menyangka ternyata di luar kampus mereka bisa sekonyol dan segaring ini, aku, yang jujur saja tidak mengerti apa yang mereka bicarakan hanya berusaha untuk menyibukkan diri dengan e-book di Kindle-ku sambil bersikeras untuk menyembunyikan perasaan yang berkecamuk dalam hati.

Ah, hati lagi.

****

Scroll. Scroll. Scroll.

Aku sedang asyik membuang-buang waktu dengan melihat status yang diunggah oleh orang-orang di ponsel. Suka geleng-geleng tak habis pikir aku melihat kebiasaan teman-teman sendiri. Ada-ada saja kelakuannya. Berkata-

kata kotor, mengungkapkan perasaan kecewa pada sang pacar yang terlambat menjemput untuk pergi kuliah, menyayangkan nasib yang tak kunjung berubah, dan banyak keluhan-

keluhan lainnya. Ada yang hobinya memasang foto mesra-mesraan dengan pacar, foto selfie, foto yangb tidak jelas. Ada yang promosi barang dagangan, status bajakan, bermacam-macam.

Banyak hal yang terjadi di luar sana, akan tetapi kondisiku hanya begini-begini saja.

Risiko introvert yang patah hati.

Beep. Beep. Beep. Ponselku berdentang memberikan tanda bahwa ada sebuah pesan masuk.

Kak Raya : Kay, ini nomornya Che

Kak Raya : save ya

Kak Raya : 0812-6161-2332

Aku mengerang. Oh, my God! Apa lagi, sih, ini? Kenapa Kak Raya bersikap seperti ini, sih? Apa maksudnya? Apa dia tidak mengerti bahwa dengan begini dia telah menempatkan aku di posisi yang tidak enak? Sekarang, setelah membaca pesannya ini aku tidak mungkin untuk tidak menyimpan nomor yang dia berikan, dong? Iya, kan?

Argh! Inilah bagian tersulit dari menjadi seorang yang gak enakan. Mau menolak, ya, gak enak. Mau apa pun, gak enak. Sialan!

Namun, sekali lagi, tidak ada yang bisa kulakukan untuk ini. Mau tidak mau, aku akhirnya tetap menyimpan nomor baru itu.

Che is now a contact.

****

....

"Aku sudah mencoba bertahan, Geko. Berusaha menerima segala kemanusiaan kita sambil memperbaiki kerusakan-kerusakan di hati kamu yang mungkin sudah aku sebabkan. Tapi, dengan hati yang sedang diperbaiki, kamu masih saja bisa bermain hati. Aku harus apa lagi?” Aku mengutarakan keputusasaanku pada pria yang juga terlihat sama cemasnya.

“Kita bisa mencoba lagi dari awal, kan, Kay Sayang? Kita bisa anggap sebelumnya tidak terjadi apa-apa di antara kita. Kita bisa hapus apa yang pernah terjadi. Kita bisa mulai membangun hubungan kita dengan membuka lembaran baru lagi. Kita baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja kedepannya. Kita coba. Kita pasti bisa. Harus bisa. Ya?”

Bukannya semakin bahagia, hatiku malah mencelus. Terperosok semakin dalam ke dalam lubang hitam yang mengambang di luar angkasa sana. Bagaimana dia bisa mengatakan hal seperti itu? Bagaimana dia bisa meminta aku untuk melakukan semua itu? Bagaimana bisa aku melupakan pengkhianatan yang sudah dilakukannya beberapa waktu yang lalu. Dia sudah menjalin hubungan dengan cewek lain di belakangku sementara dia masih mengaku cinta pada diriku. Bagaimana bisa dia mengatakan semua hal itu?

Bagaimana cara menghapus apa yang sudah terjadi dari dalam kepala dan hati ini?

Lelaki itu di kalakian menggenggam tanganku dengan begitu erat, seperti enggan untuk melepaskan. Jelas betul bahwa dia sedang berusaha untuk mendapatkan hatiku lagi, wanita yang sudah dengan ikhlas mengasihinya selama ini.

Aku yakin bahwa dia akhirnya sadar, apa yang dilakukannya sebelum ini merupakan sebuah kesalahan besar. Harris sudah merasakan kehilangan aku semenjak aku pergi dari rumah kontrakannya waktu itu. Dia "sepertinya" tidak mau kehilangan orang yang sama, lagi. “Aku gak tahu, Ris. Aku gak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.”

Meskipun sudah hancur, hatiku tidak pernah bisa berbohong padanya. Perasaanku kacau, aku benar-benar bingung. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang seharusnya aku lakukan? Aku harus bilang apa?

Apakah mencoba mengulang semua dari awal dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa di antara mereka adalah sesuatu yang aku inginkan? Apakah akuyakin semuanya akan berjalan dengan baik-baik saja, seperti yang berulang kali dia katakan? Bagaimana dia bisa memastikan hal itu dan mencegah hal yang sama terjadi kembali di masa depan nanti?

Bagaimana bisa dia meminta itu dariku? Melupakan perselingkuhan yang telah terjadi? Di mana letak hatinya?

“Kamu gak harus melakukan apa-apa karena akusudah bilang kalau tidak terjadi apa-apa di antara kita, kan? Kita baik-baik saja. Iya, kan, Sayang? Apa lagi? Apa lagi yang kamu mau? Yang harus kita lakukan sekarang adalah bersikap seperti biasa. Aku sayang kamu dan kamu sayang aku. Kita adalah dua sejoli dimabuk asmara.”

Harris kemudian menarik aku untuk masuk ke dalam pelukannya, salah satu tempat favoriku di dunia. Dielusnya rambutku dengan pelan, dengan lembut. Diperlakukannya aku dengan penuh cinta. Aku tahu dia melakukan semua itu dengan harapan bahwa perlakuan lembut dan penuh kasihnya akan membawa aku kembali lagi pada dia, seperti yang sudah-sudah.

Dan seperti yang sudah-sudah, Harris benar.

....

To be continued ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!