Setelah lulus sekolah dari SMA Taruna Bakti Maya harus merantau ke kota Jakarta untuk mencari nafkah, mengingat Ayahnya yang tak mampu lagi bekerja Maya harus bisa mencari uang untuk membantu sang Ibu dan kedua adiknya, Rana dan Rani.
“Dangukeun taliti Indung, Neng! Jaga diri di Jakarta engke. Nalika anjeun sumping, tang hilap nelepon ka Indung deui,” ujar bu Salimah memberi pesan.
“Iya, Indung. Ya sudah, Neng berangkat sekarang saja lah. Takut telat nanti, jaga Bapak sama adik-adik di rumah. Maya pasti kangen sama Indung.” Maya memeluk Salimah, sang Ibu.
“Iya, Neng. Hati-hati di jalan!”
Salimah melerai pelukannya, lalu membawa tas ransel yang sudah diisi dengan beberapa pakaian milik Maya, putrinya yang hendak merantau ke Jakarta itu. Dengan segala doa yang sudah dipanjatkan Salimah membiarkan Maya mencri nafkah di kota seberang.
“Uluh-uluh Neng Maya teh mau kemana? Mening gelis pisan?” tanya seorang tetangga yang usianya hampir setara dengan Maya.
“Lastri aku mau merantau ke Jakarta. Mau cari kerja di sana buat bantu Bapak sama Indung di kampung. Minta doa nya ya, Lastri... biar aku bisa sukses di Jakarta nanti.” Maya mengulas senyum kepada Lastri.
“Iya atuh Neng Maya, Lastri doa ken semoga saja sukses di Jakarta nanti. Kalau sukses Lastri mau ikut juga kesana.” Lastri pun membalas dengan tawa.
Dan tawa Lastrienular ke Maya, tawa yang begitu khas dari sang kembang desa di desa Citarum, Jawa Barat. Setelah canda tawa sesaat menemani Maya dan Lestari kini perpisahan harus terjadi di antara mereka. Maya harus masuk ke sebuah mobil travel jurusan Jakarta dan menuju agen yang akan membantu Maya setelah tiba di Jakarta nanti.
“Maya berangkat dulu, Indung. Dada Rani, Rana dan kamu Lastri.” Maya melambaikan tangannya.
Ketiga orang yang di sapa Maya itupun membalas dengan lambaian tangan mereka. Dan mobil pun dilajukan dengan kecepatan sedang.
Saat dalam perjalanan menuju ke desa lainnya dengan tujuan yang sama seperti Maya, di dalam mobil itu pun tak ada suara satupun yang mampu terdengar. Karena Maya menikmati setiap perjalanan dengan pemandangan sekitar yang ada. Jelas jika di desa masih begitu asri, banyak pepohonan yang masih tumbuh dan dibiarkan hingga membesar agar memberikan kesejukan di pagi hari hingga sore di kala cuaca panas tengah menerpa desa tersebut. Dan biasanya saat mala. hati akan terasa dingin karena banyaknya pohon yang tumbuh di sana.
‘Akan ku tunggu kamu kembali bersama janjimu itu. Dan selama waktu itu terus berjalan hingga waktunya tiba, aku akan merantau dulu mencari pekerjaan yang layak untuk dikumpulkan menjadi modal kita menikah nanti.’ Maya bermonolog dalam hati.
Selembar foto tak berbingkai itu terus Maya pegang dalam genggaman tangannya. Dan ada juga surat yang menjadi lambang cinta antara Maya dengan sang kekasih. Namun, karena keadaan keduanya harus berpisah untuk sementara waktu. Dan hingga waktunya tiba keduanya telah berjanji untuk saling bertemu lagi, bahkan memenuhi janji yang pernah diucapkan oleh sang kekasih.
“Kita berhenti dulu ya, Mbak! Ada salah satu seorang wanita yang akan merantau lagi ke Jakarta.” Sopir pun meghentikan mobilnya.
“Ah iya-iya, Pak.” Maya memasukkan kembali foto dan selembar surat itu ke dalam tasnya.
Tidak lama kemudian seorang wanita yang usianya sekitar empat puluh tahun telah masuk. ke dalam mobil, lalu duduk dibagian jok penumpang di baris ke dua tak lain itu disebelah Maya.
Maya pun mengulas senyum untuk menyapa wanita tersebut. Begitu juga dengan wanita yang bernama Rahimah, membalas senyum ramah dari Maya. Dan obrolan pun telah bergulir menemani keduanya.
Setelah beberapa jam kemudian akhirnya mereka sampai juga di sebuah agen yang melayani mereka untuk ditempatkan kepada majikan yang memang mencari asisten rumah tangga.
“Semoga saja kita bisa mendapatkan majikan yang baik yo, Maya.” Doa semacam itu tak pernah surut dilantunkan oleh Rahimah dan Maya.
“Iyo, bu Rahimah. Semoga saja majikannya nanti baik hati sama kita.” Harapan seorang Maya pun sama dengan Rahimah.
Sembari menunggu namanya dipanggil Maya sesekali membuka layar slide ponselnya dan melihat di sana jika saja ada pesan masuk. Akan tetapi tidak ada satupun pesan masuk, termasuk dari adik maupun ibunya.
‘Ya Allah, semoga saja dipermudahkan segala urusanku ini.’ Maya berdoa di dalam hatinya.
Nama Maya pun telah dipanggil, semakin membuat hati Maya berdegup kencang bahkan tak beraturan. Namun Maya selalu mengatur napasnya sembari berdzikir di dalam hati.
“Mbak Maya nanti ikut kerjanya sama Pak Hadi dan Nyonya Zaskia. Kebetulan mereka sedang mencari baby suster untuk anak mereka.” Terang seorang wanita yang berprofesi sebagai penyalur.
“Iya, Mbak. Saya mau, InsyaAllah... saya bisa menjaga anak mereka.”
Tukang ojek online oun mengantarkan Maya ke alamat yang dituju, di mana alamat itu kediaman Pak Hadi dan Nyonya Zaskia. Kedatangan Maya disambut dengan ramah oleh Hadi dan Zaskia.
“Kami harap kamu betah bekerja disini. Jangan lupa selalu awasi dan jaga anak kami dengan telaten.”
“Iya, Tuan dan Nyonya. Saya akan berusaha untuk menjaga anak Tuan dan Nyonya 24 jam.”
Setelah satu minggu bekerja Maya mendapatkan pujian bertubi-tubi dari majikannya itu. Karena Maya yang cukup mahir dalam menjaga balita yang berusia lima tahun itu membuat Hadi dan Zaskia merasa puas dengan hasil kerja Maya. Bahkan satu bulan telah berlalu, tepat Maya mendapatkan upahnya selama satu bulan kerja di sana. Maya mendapatkan upah lebih dari hasil kerjanya tersebut, hingga membuat Maya tak hentinya mengucapkan rasa syukur dan banyak terimakasih terhadap Hadi dan Zaskia atas kebaikan mereka.
“Ambilah upahmu itu, Maya. Di dalam amplop itu ada uang sebesar tiga juta lima ratus.” Hadi menyodorkan amplop berwarna coklat kepada Maya.
“Terimakasih banyak, Tuan dan Nyonya. Semoga saja kebaikan yang Tuan dan Nyonya berikan kepada saya, Allah SWT mampu membalasnya dengan kebaikan pula,” ujar Maya.
Maya menyalami punggung tangan Hadi dan Zaskia karena terlalu senang. Setelah menerima upah pertama Maya mengirimkan sebagian uang tersebut ke kampung untuk membantu sang Ibu.
“Bagaimana Indung, apa sudah Indung terima uang yang Maya kirim tadi?”
“Alhamdulillah sudah, Neng. Tapi Bapakmu...” Salimah menggantungkan ucapannya.
“Bapak kenapa Indung? Bapak kambuh lagi sakitnya?”
“Bapak kamu, Neng. Hiks... Hiks... Hiks... sudah tidak ada.”
Deg...
Tubuh Maya seketika serasa membeku ditempat. Maya masih tidak mempercayai ucapan Ibunya dan kembali meminta keterangan tentang kondisi Bapaknya di kampung. Dan dari seberang ada Rani yang menjelaskan kondisi Dadang, sang Bapak.
“Tidak. Tidak mungkin...” Maya terus menggelengkan kepalanya sembari menangis.
Bersambung...
Mungkin ini memang sebuah kebenaran yang ada. Di mana masa putih abu-abu adalah masa yang amat menyenangkan untuk dijalani seperti saat ini... masa ku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Banyak siswa dan siswi yang belajar dengan rasa semangat yang membuncah di SMA Taruna Bakti, salah satu siswi yang sangat dicintai oleh guru bahkan kepala sekolah pun selalu mengistimewakan nya, tak lain siswi itu bernama Maya Lestari.
Maya Lestari mendapatkan beasiswa saat mendaftar di sekolah SMA Taruna Bakti. Saat di bangku kelas sebelas Maya selalu mendapatkan juara satu dalam beberapa mata pelajaran yang diikut sertakan lomba. Dan beberapa minggu lalu Maya medapatkan juara satu dalam lomba Fisika, tetapi itu adalah lomba terakhir yang diikutinya. Karena setelah libur panjang Maya memasuki bangku kelas XII MIPA 2.
“May, akhirnya kita sudah berada di kelas dua belas. Dan setelah lulus nanti kamu mau melanjutkan kuliah dimana?” tanya Safira.
“Entahlah! Aku masih bingung, Safira. Meskipun nanti bisa masuk kuliah dan mendapatkan beasiswa, tapi tidak sepenuhnya gratis, kan? Sedangkan kamu tahu bagaimana kondisi keluargaku saat ini.” Maya menjawab dengan nada yang lesu.
“Sabar, May. Aku doa kan yang terbaik saja buat kamu. Tetap semangat!” Ujar Safira yang mengundang tawa.
Meskipun Maya ikut tertawa bersama yang lain tetapi hatinya merasa pedih, mengingat keinginannya tak bisa tercapai apalagi cita-cita, hanya sekedar impian saja. Dan Maya harus menerima jika diminta untuk membantu masalah keuangan keluarganya.
“Eh, tuh lihat! Ayang beb kamu datang, May. Kita pamit dulu ya, dada...”Ke tiga teman Maya pergi meninggalkan Maya sendiri.
Terlihat dari ujung lorong sekolah seorang lelaki berhidung mancung, berkulit putih, tinggi badan sekitar seratus delapan puluh sembilan dan ditambah lagi memiliki rahang bak orang dewasa. Dan Maya seketika melengkungkan kedua ujung bibirnya dengan sempurna saat menatap ke arah lelaki itu berjalan dengan gagahnya.
“Hai! Lagi apa disini, hmm?”
“Lagi merenungkan nasib, hehe...” Maya tertawa kecil.
Keinandra pun ikut tertawa sembari mengusap puncak kepala Maya. Hal itu membuat Maya merasa senang, karena seolah Keinandra benar-benar menyayanginya sebagai seorang kekasih.
“Kenapa nasib dipikirin? Lebih baik... banyak berdoa saja, siapa tahu nasibnya bisa berubah menjadi lebih baik. Iya, kan?”
“Aku tahu kita sebagai manusia hanya bisa berdoa, berusaha dan menerima. Tapi mustahil saja bagiku itu, Kei. Kamu tahu benar bagaimana kondisi keluargaku. Dan kemungkinan... aku tidak akan kuliah, palingan juga kerja.” Maya mengungkapkan rasa sedihnya.
Nada suara yang murung itupun sukses membuat Keinandra merasa iba dengan nasib sang kekasih. Tapi tak ada pilihan lain selain memberikan semangat untuk Maya meskipun harus putus dari dunia pendidikan.
“Tenang saja. Allah sudah mengatur bagaimana kehidupan kita di masa depan. Jika harus mencari uang di usia saat ini, bukankah itu sebuah kegiatan kerja keras? Selain kita bekerja pasti akan ada rasa bahagia dari hasil kerjamu itu, keluargamu.”
“Bukankah itu tujuanmu, May? Membahagiakan keluargamu,”
Sejenak Maya menghela napas panjang, lalu menatap Keinandra yang berdiri di sampingnya. Terlihat betapa tampannya Keinandra dengan senyuman yang memukau.
Maya beruntung menjadi gadis yang dipilih Keinandra, lelaki yang sama-sama berada di bangku kelas dua belas tetapi berbeda dalam bidang jurusan. Maya berada di jurusan MIPA, sedangkan Keinandra ada di jurusan IPS.
“Kamu benar, Kei. Terimakasih, karena kamu sudah memberiku semangat.” Maya mengulas senyum.
Dan senyum itupun nular ke Keinandra. Dengan penuh kelembutan Keinandra mengusap puncak kepala Maya, hal itupun sukses membuat Maya merasa bahagia. Keberadaan Keinandra benar-benar memberikan imun tersendiri bagi seorang gadis remaja bernama Maya itu.
Bel tanda masuk sudah berbunyi, Keinandra dan Maya memasuki kelas masing-masing_yang lokasinya cukup jauh. Kelas Keinandra ada di lantai dua, karena Keinandra berada di kelas unggulan. Sedangkan Maya_kelasnya di lantai bawah, kelas yang tergolong standart tentang masalah biaya nya.
Jam pelajaran baru saja dimulai dengan mata pelajaran matematika di awal. Kebanyakan dari anak-anak SMA Taruna Bakti tak menyukai mata pelajaran tersebut, hanya beberapa di antara mereka yang masih menekuni bidang itu_anak yang cerdas saja. Sedangkan yang lain, mayoritas akan tertidur atau mencari alasan lainnya untuk menghindari mata pelajaran itu.
“Kei, ke kantin yuk!” ajak Raja.
Raja sudah tidak sabar ingin segera memberi amunisi perutnya yang sudah keroncongan setelah bel istirahat telah berbunyi. Tetapi sayangnya, Keinandra menolak ajakan Raja secara percuma, karena Keinandra ingin menghabiskan waktu istirahatnya untuk menemui kekasihnya, wanita yang menjadi pujaannya itu.
“Ok! Fine, gue terima jika lo nolak gue. Karena gue maklum saja, namanya juga lagi... bucin.” Raja terkekeh geli.
Keinandra tidak merespon sama sekali apa yang diucapkan Raja_yang sudah meledeknya. Acuh, itu yang dilakukan Keinandra dan membiarkan teman-temannya berkata apapun yang mereka suka.
Langsung saja, Keinandra menuruni anak tangga dan menuju ke kelas Maya, di sana Maya teekiaht menyambut kedatangan Keinandra dengan senyuman yang menghangat. Bukan hanya senyuman seorang Maya saja, tetapi tatapan dari netra teduh itu mampu menghangatkan tatapan netra elang Keinandra yang selalu menajam.
“Hai, May! Jam istirahat mau kemana? Mau ke kantin atau... perpustakan?” tanya Keinandra.
Dua tempat itulah yang kerap dikunjungi keduanya saat jam istirahat berlangsung, kalau tidak ke perpustakaan ya... ke kantin mengisi perut walau hanya sekedar minum es jeruk dari warung pak Joko.
“Emm... sepertinya aku mau ke perpustakaan saja, Kei. Aku mau mencari buku tentang... Angkasa.” Itulah tempat yang menjadi pilihan nongkrong Maya saat jam istirahat.
“Okay. Kalau begitu aku temani kamu, ya, May.” Keinandra merengkuh ruas jemari Maya hingga sampai di perpustakaan.
Setiba di sana Maya sibuk berjalan menelusuri buku-buku yang berjejer di rak kayu. Sesekali berhenti untuk memastikan buku yang akan dijadikan bacaan olehnya. Bukan hanya buku tentang angkasa saja tetapi, ada juga beberapa buku novel tentang cinta dan lainnya juga yang diambil oleh Maya. Sedangkan Keinandra sendiri, ia ikut menelusuri buku-buku dan berhenti pada satu buku saja yaitu, dunia kedokteran.
Setelah mengambil beberapa buku keduanya duduk berdampingan di kursi yang sudah disediakan. Tidak banyak obrolan yang menemani mereka, karena jelas di larang keras untuk berisik saat berada di dalam ruang perpustakaan. Dan mereka hanya fokus dengan buku bacaan mereka masing-masing.
Tidak langsung lama, lima belas menit pun telah berlalu dan bel kembali berbunyi_menandakan jika waktu masuk telah kembali tiba. Keinandra dan Maya berjalan beriringan saat keluar dari ruang perpustakaan lalu, mereka berjalan menelusuri koridor sekolah untuk menuju ke kelas masing-masing.
“Tunggu aku di gerbang sekolah pas pulang nanti, sayang.” Keinandra mendekatkan bibirnya dan berbisik ditelinga perempuan bermata lentik itu.
Seketika Maya membulatkan kedua bola matanya dan sesekali mengerjapkan nya, seolah bibirnya ingin bertanya kepada lelaki yang menjadi pujaan hatinya itu tetapi, lelaki itu sudah pergi begitu saja.
‘Dasar, suka modus. Buat apa juga coba harus nungguin Dia di gerbang sekolah?' ujar Maya dalam hati.
Maya masuk ke dalam kelasnya, mengambil duduk di sebelah Safira. Dan gadis itu tak hentinya tersenyum setelah perjumpaannya dengan Keinandra. Bahkan sempat menghabiskan waktu di perpustakaan bersama.
‘Konyol sekali ini namanya! Cinta pertama ... awalnya tidak aku percayai jika akan bertahan lama. Tapi kali ini... aku percaya, nyatanya Keinandra dan aku masih so sweet begini.’ Monolog Maya.
Safira yang merasa aneh dengan tingkah Maya, ia pun menyentuh tangan Maya dengan sikunya. Tetapi perempuan pemilik netra lentik itu tidak bergeming dan masih membayangkan masa indah bersama Keinandra. Dari pertama bertemu hingga kini sudah memasuki kelas XIIXII, bayangkan itu seolah memutar di otaknya berulang kali, bagaikan film yang terus diputar dan hanya Maya sendrilah yang menonton film itu.
Ya, begitulah kisah cinta ala anak remaja di masa SMA. Kisah putih abu-abu, memang sangat sulit untuk dilupakan begitu saja. Kisah yang tidak akan pernah terulang, apalagi saat ini Maya dan Keinandra serta teman-teman yang lain sudah memasuki bangku kelas XII dan sebentar lagi akan keluar dari sekolah Taruna Bakti untuk selamanya.
“Eh, apa, Ra? Kamu ngomong apa tadi? Sorry, aku tidak dengar soalnya,” kata Maya setelah tersedar dari lamunannya.
“Nggak jadi, May. Jangan berisik dulu deh kayaknya, tuh lihat! Bu Widya sudah datang.” Safira menunjuk pintu kelas itu.
Benar saja, Bu Widya yang mengajar mata pelajaran matematika telah tiba di kelas XII MIPA 2. Seketika semua anak-anak terdiam, mulai mendengarkan suara khas dari guru cantik yang masih muda itu.
Bu Widya menjelaskan di depan semua anak-anak, begitu juga dengan anak-anak yang mendengarkan bagaimana cara Bu Widya menjelaskan rumus dalam menyelesaikan soal matematika saat ujian nanti. Dan ada juga beberapa anak yang sengaja tidur di kelas pada jam kelas itu bahkan, tiga anak laki-laki justru memilih bolos kemana saja yang mereka inginkan.
Dua jam telah berlalu, bel dibunyikan lagi sebagai tanda pulang sekolah. Kebanyakan siswa sangat senang mendengar bel terakhir yang dibunyikan, suara dalam kelas pun berubah menjadi begitu ramai. Teriakan yang terdengar begitu memekik telinga.
“May, lo pulang bareng siapa? Bareng ayang lo, ya?” tebak Safira asal.
Lebih tepatnya sih bukan asal, tapi memang Keinandra dan Maya sudah janjian saling menunggu di depan gerbang sekolah. Dan Maya hanya menanggapi ucapan Safira dengan senyuman saja, karena Maya tidak mau jika ketiga temannya nanti akan menggodanya.
”Ra, Lin, Yu, aku pulang duluan ya!” pamit Maya yang keluar mendahului mereka.
Setelah Maya tiba di gerbang Keinandra belum terlihat di sana, Maya harus menunggu sesuai dengan intruksi dari Keinandra tadi. Hampir lima belas menit baru lah Keinandra menghampiri Maya.
”May, sorry! Kamu sudah nungguin lama ya?”
Dengan napas terengah Keinandra menghampiri Maya yang berdiri di depan gerbang. Melihat napas itu dari Keinandra, Maya merasa kasihan lalu menyodorkan sebotol air mineral kepada Keinandra.
“Nih buat kamu, Kei. Lagian kenapa harus lari seperti itu sih? Aku juga setia kok nungguin kamu di sini.” Maya terkekeh geli.
Keinandra mengusap kepala Maya, lalu meneguk air mineral yang memang saat ini sangat diperlukan untuk menyegarkan tenggorokannya. Setelah usai minum sebotol air itu Keinandra ke parkiran hendak mengambil motornya.
Keinandra menghampiri Maya dengan motor Ninja 250 FI miliknya yang bermotif hitam dengan paduan warna orange.
“Naik, May. Aku akan antar kamu pulang,” pinta Keinandra lembut.
Maya pun naik di bagian jok belakang, tidak lupa tangannya melingkar ke perut Keinandra. Lalu, motor dijalankan dan membelah ramainya jalan raya siang itu. Meskipun ramai tetapi bagi anak muda yang sedang merajut kasih tidak akan dipermasalahkan lagi. Bahkan hal semacam itu bisa membuat mereka bisa berlama-lama dalam menikmati waktu berdua.
...****************...
Tidak semua apa yang kita harapkan dan cita-cita kan itu selamanya akan terwujud. Terkadang, itu semua hanya harapan semu yang kala itu menjadi sebuah mimpi, tapi saat mimpi itu tidak bisa digapai maka, hanya satu kata yang pasti... pasrah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Motor Ninja 250 FI masih membelah jalan raya, kedua pengemudi muda dan kudu itu masih menikmati suasana siang yang hampir sore itu. Mereka bukan untuk menelusuri jalan pulang ke rumah, melainkan memilih untuk pergi ke pantai sejenak dan melepas rasa penat yang beberapa jam lalu membebani otak mereka.
Saat perjalanan Maya memegang ponselnya dan mendengarkan musik yang mengakun melalui headset yang dimasukkan ke telinganya. Alunan lagu mendendangkan musik yang romantis, pas banget dengan pasangan seperti mereka.
“Kamu lagi dengar lagu apa, May? Sepertinya asik begitu,” kata Keinandra ditengah suara deru motor yang melaju.
“Memang asik kok, Kei. Kamu mau ikut dengar juga?” tanya Maya memastikan.
Keinandra hanya mengangguk saja, lalu Maya seketika memberikan salah satu headset nya dan memasukkan ke telinga Keinandra yang tertutupi dengan helm fullface miliknya.
Dan kau hadir merubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku merasa sempurna
Dan membuatku utuh tuk menjalani hidup
Berdua denganmu selama-lamanya
Kaulah yang terbaik untukku
Lagu Adera dengan judul lebih indah telah menemani sepanjang jalan mereka. Hingga tanpa mereka sadari motor telah memasuki area pantai. Dan setelah menuruni motor Ninja 250 FI milik Keinandra, keduanya berjalan bersisihan sembari Keinandra yang menggenggam tangan Maya lalu menuju ke bibir pantai.
“Lihatlah senja di sana, May. Indah, bukan.” Keinandra menunjuk ke arah langit tepat di atas lautan yang membiru dengan cahaya senja yang memantul.
“Iya, Kei. Kamu benar, senja itu memang indah. Terimakasih, karena kamu sudah menunjukkan hal terindah ciptaan Tuhan sore ini.” Maya mengulas senyum dengan puas.
“Sama-sama, May. Oh iya, kata orang... menikmati senja itu lebih enak saat mata kita terpejam. Ada rasa dan suasana yang tidak bisa kita artikan saat itu,”
“Apa kamu mau mencobanya, May?”
Maya menoleh ke arah Keinandra, lalu mengangguk dengan yakin. Dan keduanya pun memejamkan mata dan membiarkan wajah mereka diterpa oleh angin laut sore hari yang bercampur dengan cahaya senja.
Benar saja apa yang dikatakan Keinandra, saat mata terpejam Maya merasakan ketenangan dan kedamaian. Dan hal itu mereka lakukan selama kurang lebih lima belas menit, senja itu pun hampir tenggelam.
“Kei, pulang yuk! Sudah hampir maghrib loh,” ajak Maya.
Hati Maya sudah mulai merasa tidak tenang lagi saat sekelabat bayangan sosok lelaki paru baya melintas dalam pikirannya.
Keinandra mengiyakan ajakan Maya, karena ia juga harus pulang sebelum kakek maupun neneknya akan merasa khawatir karena tak kunjung pulang.
Motor Ninja 250 FI kembali dilakukan dan membelah jalan raya yang tidak terlalu ramai. Obrolan pun bergulir menemani mereka dalam setiap perjalanan. Hingga tidak ada kata bosan maupun lelah yang akan mereka rasakan seoulang sekolah. Maklum saja, namanya juga remaja yang lagi bucin bucin nya.
Dua puluh menit dalam perjalanan, motor itupun memasuki pelataran rumah Maya yang tidak terlalu megah, hanya sederhana saja. Asalkan bisa menampung keluarga, maka rumah itu layak untuk dijadikan tempat berlindung bagi kedua orang tua Maya.
“Terimakasih ya, Kei! Maaf ya, rumahku kayak gini. Pasti... kamu akan jijik ya sama aku setelah ini?” tanya Maya dengan hati-hati.
“Tidak perlu kamu pikirkan hal semacam itu, May. Kamu tahu aku, kan? Meskipun baru pertama kali aku mengantarkan kamu sampai rumah, tapi itu bukan hal yang akan aku tanyakan.”
“Dengerin aku baik-baik! Rumah itu memang dijadikan tempat untuk kita pulang, tapi jika di dalamnya sepi maka rumah itu hanya akan sia-sia saja untuk ditempati.”
Memang benar begitu, kan? Keinandra saat ini memang tinggal dengan kakek dan neneknya, bukan papa nya yang sudah lama menduda. dan adiknya... Arles. Anak laki-laki yang terpaut usia dua tahun lebih muda daripada Keinandra.
Maya menatap lekat wajah lelaki yang berbadan tegap, tinggi, berkulit putih, berhidung mancung dan memiliki tahu lalat tepat di atas bibirnya. Bayangkan saja, betapa kerennya laki-laki muda itu. Dan tidak salah jika Maya yang cantik dengan bulu mata lentiknya bisa mendapatkan laki-laki sepertinya.
“Ya sudah! Aku pulang dulu ya! Sampai jumpa besok, sayang.” Keinandra mengusap kepala Maya dengan begitu lembut.
“Iya. Hati-hati di jalan.”
“Jangan ngebut-ngebut!”
Keinandra mengulas senyumnya sembari mengangguk pelan, lalu menutup helm fullface nya. Motor pun siap untuk melakukan dengan kecepatan rata-rata, karena pada dasarnya Keinandra tidak suka jika mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.
Maya terus melihat ke arah depan, hingga motor Ninja 250 FI dan pemiliknya tidak mampu dilihat oleh matanya lagi. Setelah itu baru lah Maya menuju ke rumah dan membuka pintu.
“Assalamu'alaikum,” ucap salam Maya.
Dari dalam rumah terdengar ada sahutan dari dua pemilik suara. Satu suara Bapak nya Maya dan satu nya lagi Indungnya. Sedangkan kedua adik Maya masih sibuk dengan kegiatan di sore hari, mengaji di mushola dekat rumahnya.
“Kakara nepi ka imah, Neng?” tanya Salimah, ibu dari Maya.
“Iya, Indung.”
Maya menghampiri Salimah dan Dadang yang duduk di ruang tamu, lalu menyalaminya.
“Saha eta, Neng? Mana ganteng pisan,” ungkap Salimah penasaran.
Deg...
‘Apa Bapak sama Indung tadi lihat aku sama Keinandra, ya? Terus... kenapa Bapak sekarang diam saja? Mana tidak seperti biasanya juga,’ ucap Maya dalam hati.
“Itu tadi teman saja kok, Indung. Teman sekolah.” Maya memberikan jawaban alibinya.
Bukan berarti Maya adalah seorang anak yang selalu berbohong, tetapi Maya melakukan hal itu karena ia tidak ingin pisah dengan Keinandra dan Maya juga tidak mau jika Bapak nya akan marah jika tahu anak gadisnya sudah memiliki pacar. Sedangkan tren jaman sekarang anak remaja kebanyakan memang seperti itu, kan?
“Neng, abdi hoyong ngobrol. Tapi ganti baju heula.” Bapak Maya pun bersuara.
Tatapan Bapak Maya menajam, mencoba mencerna dan menelaah apa yang dikatakan anak gadisnya itu benar atau tidak. Hal itu membuat Maya merasa takut, tangannya pun dingin sebelum terkena air yang membasahinya.
“Iya, Bapak. Maya permisi dulu, mau mandi.”
Maya beranjak ke kamarnya, tas yang tergantung di pundaknya ia letakkan di atas kursi, tempatnya belajar. Setelah itu langkah kembali dilakukan hingga Maya berhenti setelah masuk kamar mandi yang ada di sisi belakang dapur.
Rumah sederhana itu tidak bayak memiliki ruang, dua ruang untuk kamar, satu ruang untuk sholat, ruang depan untuk ruang tamu, belakang bagian dapur dan paling ujung ada kamar mandi.
‘Huft! Kira-kira Bapak mau ngomong apa, ya? Jangan-jangan...?’ ujar Maya di hati.
Lima belas menit Maya keluar dari dalam kamar mandi, lalu bergerak menuju almari yang ada di delam kamarnya. Kaos polos berwana army dan dipadukan dengan celana levis panjang berwarna biru tua. Dan setelah menyisir rapi rambutnya yang basah Maya menemui kembali Bapak nya yang masih duduk di ruang tamu bersama Indungnya.
“Bapak mau ngomong apa sama, Maya?” tanya Maya.
Setelah mengambil duduk di samping Indungnya, tatapan Bapak menajam. Menelisik setiap gerak gerik anak gadisnya itu. Gelagat yang begitu mencurigakan setelah Bapak mengamati Maya dengan tajamnya.
“Bapak mau bilang satu hal saja sama kamu, Neng. Jagalah apa yang sudah Bapak percayakan kepadamu. Dan Bapak harap kamu bisa menjaga diri dari seorang lelaki, termasuk... lelaki yang tadi.” Pengucapan yang terdengar amat tegas.
“Tapi lelaki muda tadi baik, kok, Pak. Juga tidak neko-neko di sekolah, masa iya Maya tidak boleh berteman dengannya?”
“Kamu hapal dengan Bapak, Neng. Bapak tidak mau ada penolakan sama sekali. Bapak juga tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kamu, Neng, dengan lelaki tadi.”
Deg...!
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!