Yana Ayunda, wanita 38 tahun tengah menjemputmu kedua putranya sekolah. Saat ini ia tengah menunggu kedua putranya tersebut di depan gerbang, karena suaminya tidak bisa menjemput sehingga mengharuskan dirinya untuk berangkat.
Setelah memasuki usia 10 tahun pernikahan, ada yang berbeda dari suaminya. Yang biasanya ceria, dalam tiga Minggu terakhir sang lebih banyak diam dan sangat jarang bercanda dengan putranya.
Yana sangat menyadari hal itu, sering ia bertanya ada masalah apa dengan suaminya yang tiba-tiba berubah tak seperti biasanya. Namun, sang suami tidak mengatakan apapun.
“Mama,” panggil kedua putranya.”
“Hei, Sayang. Ayo masuk, kita harus segera pulang, karena mobilnya mau di pakai Papa bekerja.”
Karena mereka hanya mempunyai satu mobil saja di rumah, jadi bergantian dengan suaminya yang akan bekerja siang ini ke kantor.
Sebenarnya, Yana biasa menjemput kedua putranya menggunakan motor. Namun, di luar hujan deras, membuatnya memakai mobil milik suaminya untuk menjemputnya.
Suaminya hanya pekerja di kantor biasa, namun gajih yang di terima oleh suaminya lumayan untuk menghidupi mereka dan juga membayar cicilan mobil.
“Ma, Deva mau es krim.” Menunjuk toko es krim di pinggir jalan.
“Sayang, hujan-hujan kok makan es krim sih!” tolak Yana dengan lembut.
Bukan tidak ingin membelikannya, hanya saja antrenya cukup panjang. Sedangkan mobil yang ia kendarai akan di bawa oleh suaminya untuk pergi ke kantor.
“Ma, Deva belum pernah makan es krim itu. Ma, beli ya.” Dengan suara bergetar menggoyangkan pelan lengan ibunya.
Yana tampak menghela napas berat, ia tidak bisa menolak permintaan putranya tersebut.
“Baiklah. Diki mau juga?” tanyanya pada putranya yang satunya, jarak usia antara Deva dan Diki hanya satu tahun saja.
“Tidak, Ma. Diki sudah kenyang, untuk Deva saja,” tolaknya sembari melihat buku yang ia pelajari tadi.
“Oke, tunggu di mobil. Mama akan membelikannya untukmu,” ucap ibunya mengeluarkan uang dari dalam dompetnya.
Hampir setengah jam Yana mengantre es krim tersebut, akhirnya tiba juga giliran mereka.
“Ini Deva, kita harus cepat pulang. Pasti Papa sudah menunggu kita,” ujarnya pada putranya, karena mereka sudah terlambat pulang 10 menit.
Yana membawa mobil dengan cukup cepat, agar tiba di rumah tepat waktu. Walau tidak mungkin, karena sudah terlambat.
Setiba di rumah, benar saja sang suami menatapnya dengan tajam di teras rumah.
“Kalian masuklah ke kamar dan ganti baju,” ujar Yana pada kedua putranya.
Mereka mengangguk.
“Pa, Deva beli es krim,” ujar Deva dengan polosnya memperlihatkan es krim di tangannya, Yana menutup matanya bahwa dirinya dalam bahaya.
Karena kesal ia sudah terlambat pergi ke kantor, suami mengambil es krim di tangan putranya dengan kasar lalu melemparnya ke wajah istrinya
Pluk!
Es krim itu berhamburan.
“Apa kamu tidak tahu, kalau aku harus berangkat bekerja siang ini! Ini sudah lewat jam istirahat!” bentaknya pada istrinya.
Yana tampak terdiam menatap suaminya yang membentaknya, karena ini juga untuk pertama kalinya.
“Dasar bodoh!” sentaknya lagi mengambil paksa kunci mobil di tangan Yana.
Sedangkan Deva sangat ketakutan melihat papanya begitu marah, Diki sebagai abangnya membawa Deva untuk masuk ke kamar. Walaupun usia baru 8 tahun, ia sangat mengerti jika papanya saat ini sedang marah.
Yana mematung melihat sikap suaminya yang berubah 180° dari sejak tiga Minggu ini, bahkan lebih mudah marah.
Tanpa berpamitan padanya atau kedua putranya, suaminya langsung melaju pergi.
Ia berpikir positif, mungkin banyak pekerjaan yang menantinya hingga, kesalahan juga ada pada dirinya karena terlambat pulang.
Yana hanya bisa menghela napas kasar, lalu masuk untuk membersihkan tubuhnya dan wajahnya yang penuh dengan es krim.
Saat melintasi kamar kedua putranya, Yana mendengar Isak tangis Deva. Diki pun berusaha menenangkan adiknya tersebut.
“Dek, besok kita bisa beli lagi. Jangan menangis lagi ya,” ujar Diki penuh perhatian.
“Deva, Mama akan membelikannya untukmu. Mama ganti baju dulu,” ujar Yana membujuk putranya agar berhenti menangis.
Deva menggelengkan kepalanya.
“Deva tidak mau es krim lagi, Ma. Maafkan Deva, Ma. Papa marah sama Mama,” ujarnya menghampiri ibunya lalu memeluk ibunya.
Hati Yana teriris mendengar ucapan putranya, karena Deva pertama kali melihat papanya semarah itu.
“Sayang, maafkan Papa ya. Papa cape karena banyak pekerjaan,” ujar Yana lembut.
Deva tampak mengangguk.
“Baiklah, sekarang kalian ganti baju dulu. Setelah itu, Mama akan memasak makanan kesukaan kalian.”
Deva tampak kembali sumringah, anak kecil begitu mudah tertawa padahal ia baru saja menangis.
Malam harinya, seperti wanita biasa pada umumnya. Ia menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya.
Namun, sudah waktunya jam pulang kerja. Namun, ia tidak mendapati suaminya pulang.
“Apa Mas Dian lembur?” gumamnya dalam hati.
Deva dan Diki tampak makan lebih dulu, karena setalah makan mereka harus belajar.
Dengan hati yang was-was, Yana mengambil ponsel miliknya berniat menghubungi suaminya. Namun, suara dering ponsel tersebut terdengar di ruang tamu dan tergeletak di meja.
“Mas Dian tidak membawa ponselnya,” gumamnya mengambil ponsel tersebut.
Terbesit di pikirannya ingin melihat isi ponsel tersebut, apakah suaminya menyembunyikan sesuatu hingga membuatnya langsung berubah.
Yana memberanikan diri untuk membukanya, dengan tangan bergetar memeriksa isi ponsel tersebut. Karena ini juga untuk pertama kalinya ia membuka ponsel milik suaminya.
Tidak ada yang aneh di ponsel tersebut, ia meletakkannya kembali di meja.
Terdengar suara deru mobil yang berhenti di depan rumah, sudah di pastikan jika itu adalah suaminya.
Yana segera membuka pintu untuk menyambut kedatangan suaminya seperti biasanya.
“Mas, kok pulangnya telat? Banyak pekerjaan?” tanya Yana langsung, karena memang dirinya biasa seperti itu.
“Iya, semua ini karena dirimu! Aku mendapatkan surat peringatan karena terlambat masuk kantor!” kesalnya langsung masuk ke dalam rumah tanpa peduli pada Yana.
Lagi-lagi Yana menghela napas kasar, Yana tidak mau tinggal diam. Ia mengikuti langkah suaminya yang langsung masuk ke kamar, sebelum itu ia melirik meja makan kedua putranya sudah mengakhiri makan malamnya.
“Mas, kamu kenapa sih marah-marah seperti ini?” tanya Yana masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintunya.
“Kamu masih bertanya, Yana? Sudah aku katakan tadi!” sentaknya.
“Bukan itu, Mas.”
“Lalu apa?!” tanya suaminya menatapnya dengan tajam.
“Kenapa Mas berubah? padahal kita baru saja merayakan usia pernikahan kita! Apa ada yang salah pas diri aku? Katakan, jangan berubah seperti ini,” ujar Yana mulai terisak.
“Berhenti membuang air matamu itu,” ujarnya melemah, lalu menarik istrinya ke dalam pelukannya.
“Maaf, aku hanya banyak pekerjaan. Ada sedikit masalah di kantor,” ujarnya masih memeluk istrinya yang tampak terisak dalam pelukannya.
Yana mengangguk, ia sangat percaya pada suaminya. Tidak mungkin suaminya melakukan hal yang aneh di luar sana, Karena sudah sepuluh tahun menjalani rumah tangga tanpa ada godaan yang datang menghampiri, pikir Yana.
***
Yana tengah menemani suaminya makan, suaminya tampak lahap makan seperti kelaparan. karena yang di masak oleh Yana adalah makanan kesukaan suaminya.
“Anak-anak sudah makan?” tanya suaminya di sela makan.
“Sudah,” sahutnya.
“Mm ... Mas. Bagaimana kalau aku kembali jualan lagi? uangnya lumayan untuk biaya sekolah Diki dan Deva. Selain itu, aku bisa membantumu juga.” Yana sangat berhati-hati berbicara, karena takut menyinggung perasaan suaminya.
Sebelumnya Yana berjualan di kantin sekolah, sembari menunggu putranya pulang sekolah, ia juga bisa berjualan makanan.
“Apa kamu bilang? Coba katakan sekali lagi!” ujarnya menatap istrinya dengan tajam.
“Kenapa diam? Kamu ingin membuatku malu?! Apa kurang gajih yang setiap bulan aku berikan padamu?!” sentak Dian.
Baru saja beberapa jam dirinya minta maaf pada istrinya, kini kembali lagi marah-marah.
“Mas, tidak perlu membentak! Anak-anak belum tidur,” ujar Yana mengingatkan suaminya.
“Aku tidak peduli! Itu salah dirimu, aku lelah pulang bekerja! Tapi kamu memancingku, sudah jelas aku melarangmu! Jika uang bualan tidak cukup, itu kamu yang tidak becus mengelolanya!” sentak suaminya.
“Aku tidak berselera lagi untuk makan!” kesalnya mendorong kasar piring yang masih berisi makanan tersebut, hingga nasi tersebut berhamburan ke meja makan.
Yana hanya bisa menghela napas kasar.
Yana mengusap air matanya yang mengalir tanpa permisi.
Suaminya Dian keluar dari kamar lalu menutup pintu kamar dengan kasar, tampak ia memakai jaketnya dengan terburu-buru.
“Mas, mau kemana? Ini sudah malam, Mas.” Elena beranjak dari tempat duduknya.
“Bukan urusanmu! Minggir!” mendorong tubuh istrinya dengan kuat hingga tersungkur ke lantai, karena menghalangi jalannya.
“Aw ...” pekik Yana kesakitan.
Dian hanya meliriknya sekilas, lalu melanjutkan langkahnya tanpa berniat membantu istrinya.
Terdengar suara mesin mobil suaminya, yang perlahan menjauh.
Yana perlahan duduk, lalu melihat sikunya terlihat mengeluarkan darah akibat terkena sudut kaki meja.
“Mama,” panggil Diki putranya.
Ia tampak histeris melihat Yana yang terluka.
“Sayang, Mama baik-baik saja. Tolong ambil kotak obat, Sayang.” Yana berusaha menahan sakit, di sikunya.
Diki mengangguk, masih terisak dirinya beranjak dan setengah berlari mengambil kotak obat.
Di usia 9 tahun, Diki sudah pintar membantu ibunya.
Diki perlahan mengusap luka ibunya dengan kapas, lalu mengoleskan obat merah.
“Shh ... sayang, pelan-pelan Nak.”
Diki mengangguk, ia sama sekali tidak takut atau merasa jijik dengan luka ibunya.
“Ma, Papa kemana?” tanyanya melihat papanya pergi.
“Mungkin Papa ada urusan di luar, sekarang Diki bawa Adek tidur ya. Besok sekolah,” ujar Yana lembut.
Diki mengangguk.
Yana mengambil ponsel miliknya, berusaha menghubungi nomor suaminya. Namun, ponsel Dian malah tidak aktif.
“Kenapa kamu semarah itu, Mas. Aku hanya ingin membantumu, jika kamu tidak memperbolehkan akupun tidak mau,” gumamnya dalam hati, sembari mengusap foto mereka berdua di layar ponsel miliknya.
“Apa ada yang salah pada diriku, Mas? Sepertinya aku selalu salah di matamu!” berulang kali Yana mengusap air matanya yang hampir saja jatuh.
Keesokan paginya, Yana terbangun. Ternyata dirinya masih di sofa tertidur, sambil menunggu suaminya pulang.
Yana duduk dan mengintip dari jendela, ternyata tidak mendapati mobil suaminya di teras. Itu artinya, Dian suaminya tidak pulang.
“Apa mas Dian pulang ke rumah orang tuanya?” tanyanya dalam hati.
Ia mencoba menghubungi kembali nomor suaminya, namun sama seperti semalam tidak aktif.
Yana sudah pasrah, saat ini ia fokus dengan kedua putranya yang akan berangkat ke sekolah.
Setelah selesai bersiap dan menyiapkan bekal untuk kedua putranya. Yana langsung mengeluarkan motornya, setelah memastikan kedua putranya duduk dengan benar, ia melaju menuju sekolahnya.
Namun, di tengah jalan, mereka kehujanan.
“Astaga, Mama lupa bawa jas hujan, Sayang.”
Mereka berteduh di halte bus, sembari menunggu hujan reda.
“Ma, Deva telat masuk deh.”
“Mama pesan taksi ya, nak.”
Mereka berdua mengangguk.
Namun, ada sebuah mobil yang tidak mereka kenali berhenti tepat di depan mereka.
“Diki,” panggil seorang anak pria yang berpakaian seragam sekolah sama seperti putranya.
“Tante, biarkan Diki sama Deva ikut bersama aku dan Ayahku.”
“Tante ingin memesan taksi saja, nak. Tante tidak ingin merepotkan kalian,” tolak Yana secara halus.
“Aduh, Tante. Nanti telat, aku sudah bicara sama Ayah, Tante.”
Tampak Yana berpikir sejenak.
“Biarkan mereka ikut bersama kami, Nona. Putraku mengatakan, jika Diki adalah sahabatnya.”
Yana menatap putranya, Diki mengangguk. Karena sebelumnya, Diki sangat jarang berbicara padanya tentang dengan siapa ia berteman di sekolahnya.
“Terima kasih banyak, Tuan. Maafkan saya, jika merepotkan kalian.”
“Tidak sama sekali,” sahut ayah dari anak bocah tersebut.
Setelah melihat kepergian kedua putranya, Yana menunggu hingga hujan reda. Sembari memikirkan, kemana suaminya semalam.
Ia berniat ke rumah mertuanya, tapi ia takut jika dirinya di salahkan lagi. Ia juga ingin ke kantor dimana suaminya bekerja, takut jika suaminya malu dengan kedatangannya. Karena sebelumnya, suaminya tidak memperbolehkan dirinya untuk datang ke kantor tempat dirinya bekerja.
Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah saja dan membiarkan suaminya yang entah kemana perginya.
***
Hari Minggu, Yana mengajak kedua putranya untuk mengunjungi rumah mertuanya dan berharap suaminya juga ada disana.
Karena sudah tiga hari, sang suami tidak pulang ke rumah.
“Oma,” panggil Deva pada ibu mertuanya.
Wanita paruh baya itu menoleh, karena sedang menyiram bunga di teras.
“Eh, ada cucu Oma. Hanya kalian, dimana Papa kalian?” tanya mertuanya melihat mereka hanya datang bertiga.
Deg!
Hati Yana mulai gusar, itu tandanya suaminya tidak pulang ke rumah orang tuanya.
“Papa tidak pulang, Oma. Entah kemana,” sahut Deva polos.
Diki dan Deva langsung masuk ke dalam rumah, bermain dengan Opanya di dalam.
“Yana, apa suamimu tidak pulang?” tanya ibu mertuanya, menatapnya dengan tajam.
Terpaksa Yana mengangguk, karena Deva sudah terlanjur mengatakannya.
“Apa kalian bertengkar? Kamu ini bagaimana sih?! Jadi istri kok tidak becus! Seharusnya, kamu sebagai Istri itu harus patuh pada suami!” sindir ibunya terlihat kesal.
Yana hanya bisa menghela napas berat, dirinya sudah terbiasa dengan mulut pedas ibu mertuanya. Karena setiap ada pertengkaran antara dirinya dan suaminya, pasti ibu mertuanya selalu ikut campur dan menyalahkan dirinya.
“Jangan salahkan Suami kamu, jika ia mempunyai wanita lain di luar sana! Lihat, dandananmu itu! Seperti Ibu-Ibu yang sudah berusia 70 tahun!” celetuk ibu mertuanya.
“Maaf, Bu.” Yana hanya bisa berkata seperti itu, karena setiap ingin menjawab perkataan Ibu mertuanya. Dirinya selalu di anggap melawan perkataannya dan di katakan menantu kurang ajar.
“Cari suamimu itu! Awas saja jika terjadi pada putraku, kamu yang akan menanggung akibatnya!” kesalnya.
Yana bingung, harus mencari kemana lagi keberadaan suaminya. Karena dirinya sama sekali tidak mempunyai kontak teman suaminya.
Yana berpikir akan ke kantor suaminya besok, berharap bertemu dengan Dian suaminya.
***
Setelah mengantar kedua putranya untuk berangkat ke sekolah pagi ini, Yana langsung menuju ke kantor tempat dimana suaminya bekerja.
Ia berusaha berdandan cantik agar tidak mempermalukan suaminya di kantor, ia juga memasak untuk makan siang suaminya.
Sesampainya disana, Yana bertanya pada resepsionis apakah suaminya ada di kantor.
Mereka meminta Yana menunggu di kursi, karena suaminya akan segera menemuinya.
“Kamu kenapa kemari?” tanya Dian suaminya menarik paksa tangan istrinya dan membawanya ke parkiran mobil.
“Mas, aku tuh khawatir. Sudah berapa hari mas tidak pulang, bukan gini caranya mengatasi masalah!” seru Yana sambil menangis, karena sudah tidak bisa lagi menahan sesak didadanya.
“Diam, kamu! Pelankan suara mu bodoh! Apa kamu ingin semua orang tahu,” kesalnya menunjuk wajah Yana.
“Mas, aku ini istrimu! Bukan orang lain!” Yana tidak mau kalah.
Dian tampak mengusap wajah kasar.
“Tunggu aku di rumah. Selesai pekerjaanku aku akan pulang,” ujarnya berlalu meninggalkan istrinya.
“Mas,” panggilnya setengah berteriak.
“Jangan berteriak! Ini bukan rumahmu, ini di kantor!” kembali menatap istrinya dengan tajam.
“Maaf, aku hanya membawamu bekal makan siang.” Menyerahkan kotak makan tersebut.
Dian melirik kotak makan tersebut.
“Aku sudah makan, bawa pulang saja.” Tanpa peduli lagi, Dian melangkah kembali masuk ke dalam kantor.
Yana mematung melihat kepergian suaminya tersebut.
Sembari mengusap air matanya, Yana duduk di atas motor miliknya. Suaminya benar-benar tidak memikirkan perasaannya lagi, entah apa yang membuat suaminya berubah seperti ini.
“Butuh tisu,” ujar seorang pria memberikan dua lembar tisu padanya.
Yana menatap tisu tersebut, lalu melihat wajah pria itu.
Alangkah terkejutnya, Yana mengenali pria itu. Pria yang menolong dirinya waktu hujan deras untuk mengantar putranya ke sekolah menggunakan mobilnya. Ayah dari sahabat putranya.
“Tuan. Terima kasih,” ujarnya mengambil tisu tersebut.
“Kita bertemu lagi disini. Apa itu tadi suamimu?” tanyanya, karena sebelumnya ia melihat ada percekcokan antara mereka berdua.
Yana mengangguk pelan.
“Oh.” Pria itu tampak mengangguk.
“Maaf Tuan, saya harus pulang. Karena menjemput putra saya pulang dari sekolah,” pamit Yana.
Netra pria itu tertuju pada kotak makan.
“Oh iya silahkan. Tapi sebelumnya, apa aku boleh meminta bekal makanan itu. Aku sangat lapar, kebetulan uangku habis untuk membeli makanan,” ucapnya berbohong.
Tanpa pikir panjang, Yana memberikan kotak makan tersebut. Karena tidak tega mendengarnya.
“Terima kasih banyak Nona, maaf kalau boleh tahu, dengan Nona siapa?” tanya pria itu.
“Panggil saja, Yana.”
“Baiklah Yana, terima kasih atas makanannya. Tempat makannya akan aku titipkan pada putraku besok,” ucap pria tampak sumringah setelah mendapatkan makan siang.
Yana pun berpamitan pergi dengan mengendarai motor miliknya.
“Dia sangat cantik jika di poles sedikit saja, sangat sulit mencari wanita seperti dia. Namun, kenapa suaminya begitu kasar dan menyia-nyiakan wanita seperti dia?” gumamnya dalam hati melihat punggung Yana yang sudah menjauh.
***
Di dalam ruangan, Dian di panggil oleh bos besar untuk masuk ke ruangannya.
“Tuan memanggil saya?” tanya Dian dengan sopan.
“Iya. Silahkan duduk,” sahutnya pria itu.
“Kamu sudah berapa lama bekerja denganku?” tanyanya.
“Sudah hampir lima tahun,” sahut Dian.
Tapi netranya tidak sengaja melihat kotak makan di atas meja, ia seperti mengenali kotak makan tersebut.
“Cukup lama, ya. Baiklah mulai besok kamu tidak perlu kembali ke ruangan mu itu,” ujarnya sembari mengambil kotak makan tersebut.
“Maksudnya Tuan? Saya di pecat?” tanya Dian terlihat mulai panik.
Pria itu membuka tutup bekal makanan tersebut, lalu menyendokkannya ke dalam mulutnya.
Dian sangat mengenali aroma masakan tersebut, ini adalah masakan istrinya.
“Kapan aku memecatmu? Aku hanya bilang kalau kamu tidak perlu masuk ke ruanganmu tadi, tapi pindah ke sebelah ruangan ini. Kamu naik jabatan mulai besok dan menjadi asistenku.”
Raut wajah Dian semula bingung, kini tampak sumringah mendengarnya.
“Benarkah Tuan? Astaga, mimpi apa aku semalam?”
“Ya, sekarang kamu boleh pulang dan untuk hari ini kamu boleh pulang cepat! Mulai besok kamu sudah bekerja di ruangan itu,” ujarnya sembari menikmati makanan tersebut, terlihat dari wajahnya jika makanan tersebut sangat enak.
“Terima kasih banyak Tuan, aku permisi dulu.”
Bosnya mengangguk.
“Oh ya, Dian. Katakan pada Istrimu, masakannya sangat enak sekali. Aku menyukainya,” ujarnya pada Dian yang hendak membuka pintu ruangan.
Deg!
Benar apa yang ada di pikiran Dian, jika bekal tersebut adalah dari istrinya.
Dian mengangguk pelan, lalu pamit keluar.
Bosnya itu menyeringai jahat, menatap kepergian Dian.
“Nikmati masa indahmu saat ini, kamu akan hancur sendiri atas perbuatanmu sendiri,” gumamnya kembali menikmati makanan tersebut.
Dengan perasaan yang sangat senang, ia mengendarai mobil miliknya menuju pulang ke rumah.
Deva menyambut kedatangan papanya karena sudah tiga hari tidak bertemu, membuatnya rindu berat.
“Papa, kemana aja? Deva merindukan Papa,” ujarnya menggendeng tangan Dian masuk ke dalam rumah.
“Papa kerja, Sayang. Maaf ya,” ucapnya lembut.
Tak dapat di pungkiri jika dirinya juga sangat merindukan putranya tersebut.
“Dimana Mama?” tanya Dian, karena tidak melihat istrinya sejak tadi. Biasanya, Yana selalu keluar jika mobilnya sudah di depan teras.
“Ada di kamar. Pa, Deva dan Abang mau ke rumah teman ada kerja kelompok.”
Dian mengangguk, Diki dan Deva berpamitan pergi.
Dian mengunci pintu rumah, lalu menyusul istrinya ke kamar.
Tampak Yana berdiri di depan jendela, melipat tangannya sembari menatap ke luar jendela.
“Kenapa tidak menyambutku? Apa kamu sudah lupa jika punya suami?” tanya Dian meletakkan tas kerjanya.
“Apa Mas juga lupa? Jika Mas juga punya Istri dan anak dengan menunggumu di rumah. Pergi tanpa pesan dan baru kembali sekarang!” balas Yana tidak mau kalah.
“Aku ada pekerjaan, itu sangat dadakan.”
“Dengan menghilang, bahkan nomor ponselmu saja tidak bisa di hubungi. Apa begitu tidak berartinya kami bagimu? Sehingga tidak memberi kabar sama sekali!”
“Dayanya habis. Aku minta maaf, lain kali kamu jangan datang ke kantor! Aku sudah pernah mengingatkanmu bukan?” memeluk istrinya dari belakang, tapi tangannya juga mulai tidak bisa di kondisikan.
“Apa begini ya kalau pria menginginkan sesuatu, ia bersikap manis,” gumam Yana dalam hati.
“Tutup pintu jendelanya, aku sedang ingin,” bisiknya dengan suara yang tidak bisa menahannya lagi.
Karena menolak itu dosa, dengan terpaksa Yana mengangguk untuk melayani suaminya.
Ia menuruti apa yang suaminya katakan, menutup jendela lalu mengunci pintu kamar.
Dian langsung menggiring istrinya ke tempat tidur, lalu memulai aksinya.
Yana hanya mengikuti permainan suaminya saja, karena saat ini ia tidak terlalu bernafsu setelah apa yang telah suaminya lakukan padanya.
“Yana,” panggilnya dengan tatapan sendu, karena meminta Yana untuk melakukan permainan favoritnya.
Yana menurutinya, kini Yana sudah berada di atas tubuh suaminya dan mulai bermain diatas sama.
Dian memang tidak bisa menahan dengan apa yang telah Yana lakukan.
Desah*n Yana dan Dian mulai memenuhi kamar tersebut, bahkan saling bersahutan, beruntung kamar tersebut kedap suara.
“Yana, aku sudah tidak kuat lagi.” Yana semakin mempercepat gerakannya hingga mereka saling melepaskannya satu sama lain.
Yana langsung berpindah dari atas tubuh suaminya, berbaring di sampingnya dengan membelakanginya. Perlahan juga ia menutupi tubuh polosnya dengan selimut.
“Yana, kamu masih marah padaku? Aku sadar, sikapku memang tidak pantas. Tapi, kamu harusnya mengerti dong, aku cape bekerja!” serunya sembari memeluk istrinya dari belakang.
Yana tidak banyak bicara, ia hanya mengangguk lalu berpura-pura tidur.
Dian perlahan beranjak dari tempat tidur, setelah melihat istrinya tidur. Ia membersihkan dirinya ke dalam kamar mandi.
Yana mendengar suara dering ponsel, namun suara tersebut begitu asing baginya.
“Ponsel siapa yang berbunyi?” tanyanya dalam hati, karena melihat ponsel dirinya dan suaminya berada di meja. Tapi, salah satu ponsel mereka tidak ada yang berdering, bahkan layarnya pun mati.
Yana semakin penasaran dari mana arah suara dering ponsel tersebut.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!