"Woooi! Bangun!"
Tok
Tok
Tok
Yuvi dan Axel terlonjak mendengar gedoran pintu yang terasa mengganggu istirahatnya usai pergulatan pan4s semalam.
Yuvi dan Axel, adalah pengantin baru yang baru menikah dua pekan yang lalu, usai menjalani kisah cinta secara virtual, selama empat tahun. Yuvi bekerja sebagai TKW di Hong Kong demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Sementara itu, Axel adalah seorang pengacara sekaligus CEO dari dua perusahaan yang bernaung dalam bidang teknologi.
Semenjak awal, Axel sudah meminta Yuvi untuk mengakhiri kontrak dengan perusahaan yang membawanya bekerja sebagai TKW. Akan tetapi, Yuvi tidak bisa begitu saja mundur dalam tengah kontrak bekerja lima tahun, hanya karena seorang Axel. Sebelumnya ia tidak tahu bahwa Axel sekaya raya itu hingga tidak mau mengambil resiko menghentikan kontrak kerja sama.
Ia baru mengetahui, Axel Anggara Kusuma adalah pria kaya raya, ketika suaminya itu memboyong dirinya pulang ke rumah orang tuanya. Ketika kontrak kerja berakhir, Yuvi kembali ke kampung halamannya. Tak lama setelah itu, Axel pun langsung berkunjung melamarnya.
"Jika kamu hanya sekedar melamar, maka lebih baik kamu mencari yang lain!"
"Tapi saya sangat mencintainya, Pak. Kami saling mencintai semenjak empat tahun terakhir. Oleh sebab itu, saya datang ke sini untuk segera melamarnya, sebelum ia kembali bekerja ke luar negeri," ucap Axel meyakinkan ayah Yuvi.
"Jika kamu benar-benar mencintainya, jangan biarkan dia pergi lagi!" ucap pria paruh baya itu.
"Maksudnya?" tanya Axel tampak bingung.
"Nikahi dia, sekarang!"
Axel tertegun sejenak. Akhirnya ia menganggukan kepala dan menyanggupi permintaan ayah Yuvi meskipun, kedua orang tuanya tidak tahu sama sekali dengan apa yang direncanakannya ini. Satu jam kemudian, janji suci itu begitu lancar diucapkan oleh Axel Anggara Kusuma.
Beberapa waktu kemudian, Yuvi dalam tangisan memeluk sang ibu, meminta restu dan doa mengikuti suaminya yang tinggal di kota yang berbeda dengan dirinya. Namun, ternyata suami dadakannya itu tidak langsung membawanya pulang. Dengan wajah usil, Axel melirik gadis yang terlihat malu-malu di sampingnya ini.
Ia membawa sang istri ke hotel berbintang membuat Yuvi menegang. "Aaah, kok ke sini? Bukan kah kita harus menemui orang tuamu? Mereka belum tahu kita sudah menikah."
"Biarkan saja. Kamu tahu, aku begitu lama menahan buncahan rindu. Saat berjumpa, ternyata ada kisah halal yang lebih indah untuk kita jalani." Axel menarik istrinya berjalan memasuki lobi hotel.
Axel menyewa kamar mewah, untuk dua malam. "Meskipun bukan ke Bali, kita bulan madu di sini dulu selama dua malam, Sayang." Axel mengecup istrinya yang terlihat malu dan salah tingkah.
Dua malam di kamar hotel itu, mereka melebur menjadi satu melepas asmara yang mereka pendam selama empat tahun saling mencinta lewat udara.
Setelah dua hari merasakan hangatnya melebur tanpa gangguan, mereka keluar dari hotel tersebut dan melanjutkan pulang menuju rumah yang ditempati oleh keluarganya.
"Maaf ya, Sayang. Karena pernikahan kita mendadak, aku belum sempat membeli rumah untuk kita berdua. Apa kamu keberatan, untuk sementara tinggal bersama keluargaku?"
"Aku istrimu, ke mana pun kamu membawaku, akan menjadi surga untukku." Yuvi menggenggam tangan suamimya dan menyandarkan diri dengan manja.
*
*
*
"A-apa? Kalian sudah menikah? Kapan kalian menikah? Jadi, kamu menghilang selama dua hari ini untuk menikahi dia?" Gelegar suara Nana, ibu Axel, terdengar hingga penjuru rumah mewah keluarga ini.
"Kamu jangan bercanda Axel! Mama ini sedang tidak main-main! Apalagi kau mengatakan wanita yang tidak sederajat denganmu ini menjadi istrimu?" Nana melirik wanita yang duduk di samping anaknya.
"Kenapa dengannya, Ma? Dia cantik dan baik, yang pasti dia ini setia."
"Tapi, Mama sudah menyiapkan seseorang yang lebih layak untukmu!"
Mendengar hal demikian, Yuvi menjadi sedih dan tertunduk. Axel bisa merasakan tubuh istrinya ini bergetar. Axel merangkulnya dengan penuh cinta.
"Baik lah, jika Mama memang tidak menginginkan kami bersama, mulai hari ini aku akan angkat kaki dari rumah ini!" Axel menarik istrinya.
Akan tetapi, Nana mencegahnya dengan wajah memohon. "Baik lah, kalau begitu Mama akan menerimanya di sini sebagai istrimu."
*
*
*
Tidak seperti ucapannya kepada Axel, ternyata arti kata 'menerima' bukan seperti yang diharapkan oleh Yuvi. Setiap Axel berangkat bekerja, Nana menyuruh Yuvi melakukan segala hal layaknya pembantu. Mulai menyapu rumah, sampai memperbaiki bagian-bagian rumah yang rusak.
"Saya dengar, kamu itu TKW kan? Kau pasti bisa mengerjakan segalanya." Nana membelakangi menantunya itu, hanya sekedar melirik dengan muka masam.
Tak lama kemudian, Nana sengaja memberikan liburan kepada seluruh asisten keluarganya yang lain. Dengan sengaja, ia mengundang tamu sosialita yang sangat ramai. Sehingga, membuat Yuvi kelimpungan mengerjakan semuanya sendirian. Ketika jadwal suaminya pulang, jamuan itu diselesaikan.
Yuvi dipaksa harus membersihkan semuanya tanpa sisa sebelum ayah mertua dan suaminya sampai. Hasilnya, tubuh Yuvi yang cukup kecil, menjadi semakin kurus beberapa hari tinggal di rumah itu.
Setelah dua minggu menjadi menantu keluarga ini, Yuvi mulai banyak merenung. Semua pekerjaan ini memang sangat biasa ia lakukan di rumah majikannya di Hong Kong. Akan tetapi, perilaku mertua dan majikannya ini sangat lah berbeda. Majikan di Hong Kong begitu baik padanya. Bahkan, ia diperlakukan layaknya anak sendiri karena anak ia tinggal sendirian saja.
Namun, mertuanya ini, selalu bersikap ramah di hadapan ayah mertua dan suaminya. Ia diperlakukan bagaikan ratu, hingga meminta asisten rumah lainnya untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi, tidak ada yang tahu perilaku Nana terhadap Yuvi. Para asisten pun tentu bungkam, menyembunyikan sifat asli ibu mertuanya ini.
Axel menyadari tingkah istrinya yang semakin hari semakin berubah. Yuvi yang ia kenal selama menjalani cinta virtual adalah gadis blak-blakan yang sangat ceria. Namun, akhir-akhir ini, istrinya ini terlihat semakin murung.
"Sayaang, kamu kenapa?" Axel memeriksa kening istrinya ini dengan punggung tangannya.
Yuvi hanya bisa memberikan senyuman getir, menggelengkan kepala, dan mata berkaca. "Udah selesai ngobrol dengan papamu?"
"Ya, karena itu lah aku masuk ke kamar. Aku tidak menemukan istriku di luar. Ternyata istri yang aku cintai tampak murung begini." Axel merangkul istrinya dengan penuh kehangatan.
Yuvi kembali memaksakan dirinya untuk tersenyum. Ia menyandarkan kepalanya dalam pelukan suaminya. Di sana lah tempat ternyaman baginya dari seluruh tempat yang ada di rumah ini.
"Mas, kapan berencana memiliki rumah sendiri? Kalau belum ada dana membeli rumah, ayo kita sewa sebuah rumah kecil untuk sementara sebelum memiliki rumah sendiri."
Axel mengerutkan keningnya. Ia mendorong tubuh istrinya ini menatap mata istrinya dengan dalam. "Apa terjadi sesuatu yang tidak aku ketahui selama kamu tinggal di sini?"
Yuvi membuang mukanya.
"Sudah lah, aku lelah." Yuvi beringsut menuju posisi bantal sudah tertata di atas kasur empuk yang menjadi alas tidur mereka.
Axel memandang istrinya dalam diam. Ia memikirkan apa yang telah terjadi. Ia pun keluar mencari sang ibu.
Keesokan hari di mana tak ada lagi siapa pun berada di rumah itu, Nana juga menyuruh para pekerja yang ada di rumah ini menghilang hingga pukul tiga sore, sang Nyonya Besar menarik rambut Yuvi dengan kuat.
"Kau sudah mengadukan aku kepada anak dan suamiku? Ooh, berani sekali kau!" Yuvi didorong dengan sangat keras hingga terbentur pada kursi-kursi yang berdiri kokoh sebagai teman meja makan.
"Kau itu harus tahu diri, kau itu tidak pantas berada dalam keluarga Kusuma Negara ini!" bentaknya lagi.
Yuvi merasakan sakit yang sangat hebat, apalagi di bagian perutnya. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadinya padanya.
Nana melemparkan sebuah amplop kepada Yuvi. "Semenjak seminggu yang lalu, aku sudah mendaftarkanmu pada agen TKI yang aku kenal. Kau sudah diterima, dan itu tiket untuk kepergianmu hari ini pukul tiga belas ini. Kali ini kau harus menjadi pembantu di Taiwan! Bawa uang yang banyak! Jika tidak memiliki uang, jangan berani pulang ke sini lagi!"
Yuvi bagai disambar petir di pagi yang cerah ini. Ia tidak menyangka sang mertua dengan kej4mnya memisahkan dirinya dengan suami yang baru menyatu dalam beberapa hari.
Sang mertua menarik Yuvi untuk kembali berdiri dengan tegak. Wanita paruh baya itu juga membuka lemari di kamar, menarik travel bag seadanya. Pakaian Yuvi dimasukan dengan paksa ke dalam tas tersebut. Yuvi hanya kaku membisu tidak tahu harus berbuat apa. Ini sungguh terlalu tiba-tiba baginya.
Setelah itu, dengan pakaian yang ada ditubuhnya, Yuvi didorong masuk ke dalam taksi menuju bandara yang telah ia pesankan. "Kau tidak boleh mengatakan apa pun kepada anakku!" ucap Nana lagi.
Dengan rasa sakit tak berhingga, Yuvi dibawa oleh taksi tersebut. "Baik lah, aku tidak akan mengatakan apa pun." Yuvi melemparkan ponselnya keluar jendela, masih di pelataran rumah mewah keluarga Kusuma Negara.
Ia tidak tahu apa yang salah pada dirinya. Bahkan, di tanah kelahirannya, rumah orang tuanya berdiri dengan sangat megah oleh hasil keringatnya sebagai TKW. Desa tempat ia berasal, begitu banyak wanita yang bekerja sebagai TKW. Tak heran, rumah mewah berjejer berdiri di sana. Banyak yang berlomba bekerja keluar negeri, termasuk dirinya. Dia termasuk orang yang dikagumi, karena berhasil mengangkat derajat keluarga. Namun, kenapa ibu dari suaminya ini malah membencinya seperti ini?
Yuvi berjalan menyusuri bandara menggenggam travel bag dengan pakaian seadanya. Ia menoleh ke belakang, berharap suaminya tiba-tiba hadir mengejar dan menghentikan langkahnya.
Namun, itu hanya sebuah harapan belaka. Tak ada siapa pun kali ini yang melepasnya pergi. Wajahnya mengernyit, ia merasakan sakit di bagian perut yang ia sendiri tidak mengerti kenapa. Namun, Yuvi menggeleng pelan. Ia berusaha untuk teguh, melangkah meskipun hatinya terasa berat.
"Mungkin setelah ini tak akan ada lagi Mas Axel dalam hidupku. Mungkin dia akan melupakanku, menerima wanita yang diberikan ibunya. Aku pun juga harus begitu," tekadnya.
*
*
*
Axel membawa satu buket bunga indah yang akan dijadikan sebagai kejutan kepada istrinya. Tidak hanya itu, ia membawakan brosur rumah impian yang ingin diserahkan kepada istrinya. Axel ingin Yuvi sendiri memilih rumah yang ia sukai.
Axel memasuki rumah dan membuat sang ibu melongo. "Kenapa kamu pulang secepat ini?" tanya ibunya. Ia melirik benda cantik yang berada dalam pelukan putra sulungnya ini. "Apakah ini buat Mama?"
Axel tidak menjawab pertanyaan ibunya, memilih mencari sang istri ke dalam kamar. Suasana rumah kali ini sungguh terasa sangat sepi. Namun, ketika pintu kamar terbuka, alangkah terkejutnya ia mendapati kamar mereka berantakan. Pintu lemari dalam keadaan terbuka dan sebagian pakaian Yuvi menghilang.
Axel melempar buket bunga yang akan ia berikan kepada istri tercinta. Ia melangkah cepat mendekati sang ibu. Kedua tangannya memegang pundak ibunya.
"Mah, katakan padaku, ke mana istriku?" Wajah Axel merah padam. Amarahnya meledak sampai ke ubun-ubun.
"Di-dia tadi pergi. Dia pergi meninggalkan rumah ini. Katanya sudah tidak betah lagi tinggal di sini." Nana tidak berani memandang wajah putranya ini.
Tanpa berkata apa-apa, Axel masuk ke dalam kamar orang tuanya. Ia membongkar barang-barang penyimpanan milik ibunya. Ketika berada di lemari rias, dari dalam laci Axel menemukan selembaran brosur untuk bekerja sebagai TKI di Taiwan. Atas nama Yuvita Antarina.
Axel meremat kasar brousur tersebut. Ia kembali pada ibunya yang telah mematung ketakutan karena kelakuannya telah diketahui oleh sang putra sulung.
"Katakan padaku, Ma. Kenapa Mama melakukan ini?"
Nana menggelengkan kepala. "Mama tidak melakukan apa-apa!"
Axel berlari keluar menuju kendaraannya kembali. Kali ini tujuannya adalah bandara. Namun, sebelum keluar gerbang, security menghalangi laju kendaraannya.
Axel menurunkan jendela. "Apa lagi?" bentaknya.
Security itu menjadi ketakutan karena suara keras Axel. "I-ini Tuan Muda. Tadi kami pikir milik siapa, tetapi ada foto Nona dan Anda, makanya kami serahkan."
Axel menggaruk rambutnya kasar hingga acak-acakan. Ia melirik ke arah rumahnya lagi. Rasa kesal menjadi semakin besar terhadap ibunya. Namun, ia hanya bisa melampiaskan dengan memukul setir mobil yang tidak bersalah. Axel segera tancap gas membawa mobil sport yang ia kendarai secepat kilat.
Yuvi telah berada di dalam pesawat yang akan membawanya pergi kenegeri Formosa yang terkenal sangat indah. Air mata tak berhenti mengalir di pipinya, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Dari bagian operator, sudah terdengar himbauan agar semua penumpang menggunakan sabuk dengan benar. Yuvi mematuhi dan menatap ke arah luar jendela.
"Maafkan aku, Mas. Mungkin Tuhan memang tidak mengizinkan kita untuk bersama. Kamu, turuti lah permintaan mamamu. Aku akan pergi dari hidupmu," lirihnya menyeka air mata yang telah memenuhi pipi.
Pesawat sudah mulai bergerak, dan tidak lama alat transportasi udara itu lepas landas dan mulai mengudara. Setelah kendaraan itu melayang cukup tinggi, terdengar letupan dari arah sayap sebelah kiri.
Terdengar peringatan supaya semua penumpang jangan melepas sabuk yang tadinya terpasang. Karena, ada sedikit masalah, pesawat harus kembali turun ke bandara.
Namun, gerakan pesawat semakin lama semakin rendah. Mereka sudah berada di atas lautan.
"Bagi semua penumpah Asia Line, agar segera menggunakan pelampung yang akan keluar dari kabin bagian atas. Saya harap semuanya untuk tetap tenang, karena kita akan melakukan pendaratan darurat di atas laut ini," ucap kapten yang menjadi pengendali pesawat tersebut.
Alat yang disebutkan jatuh begitu saja di hadapan Yuvi. Dengan segera ia memasang dan meniup sesuai arahan. Pesawat terbang semakin rendah dan semuanya berpegangan dengan sangat erat.
Braaaaak
Splaaas
Benturan hebat tak bisa dielakkan. Tubuh pesawat tersebut pecah terbelah dua.
Pada sebuah pulau kecil yang berpasir putih dengan pantai biru kehijauan, sebuah kapal pesiar menepi pada sebuah dermaga. Di dalam kapal itu, banyak terlihat pria berwajah menyeramkan, dengan tato-tato yang mencuat di antara pakaian yang menutupi tubuh.
Namun, tampak sosok anak kecil bermata coklat yang sangat tampan tak sabar ingin melompat keluar dari kapal pesiar pribadi ini. Para pria itu tampak khawatir melihat sang Tuan Muda terlalu lincah menuruni kapal tersebut.
Seorang pria yang paling bebas dari tato, mengikuti anak tersebut dalam wajah dinginnya. Sang pangeran cilik itu tampak berlarian menyisir pantai pada pulau pribadi milik seorang mafia yang merupakan ayahnya.
Para mafia ini, sedang berlibur melepaskan penat dari aktivitas hitam yang mereka geluti semenjak beberapa tahun ini.
Pria yang mengikuti bocah tampan itu, tak lain adalah ayahnya. Ia sengaja mengajak putra semata wayangnya ke pulau ini, karena hari ini adalah hari kelahiran sang putra, yang tepat berusia lima tahun, dan hari kem4tian istrinya kala melahirkan sang buah hati.
Arsen, nama pria itu, menatap jauh ke tengah laut. Ia begitu ingat bahwa istrinya sangat menyukai tempat ini. Namun, kala itu ia belum memiliki uang untuk membeli pulau ini. Berbeda dengan sekarang, pulau ini adalah miliknya, setelah menjadi mafia organ, di balik jas putih yang ia kenakan.
"Papaaaa, Papaaaa!" Anaknya baru saja melihat sesuatu berteriak dengan keras berlari ke arahnya.
Arsen, menatap bocah itu dengan wajah datar. "Kau kenapa?"
Anak kecil berusia lima tahun itu manarik Arsen menunjuk sesuatu yang sangat mirip dengan orang yang tidur. Pria itu mengikuti langkah sang putra.
"Apa itu?" gumamnya.
"Hah?" Ia cukup tersentak melihat wajah seorang wanita di antara deburan ombak. Tanpa berpikir panjang ia mengecek denyut nadi dan menempelkan telinganya di dada wanita tersebut.
"Masih hidup."
Lalu ia melakukan pertolongan pertama pada korban tenggelam, hingga membuat wanita itu tersedak mengeluarkan air asin yang sempat tertelan masuk ke dalam paru-paru.
Anak kecil yang ada di dekatnya duduk berjongkok memperhatikan apa yang dilakukan ayahnya ini. Ia melihat kepala wanita itu tampak memar biru sedikit menghitam, seperti mendapat benturan yang cukup keras.
Arsen memperhatikan tubuh wanita itu. Pada tubuhnya terpasang pelampung yang telah mengempes. Dengan senyum dingin, ia mengangkat tubuh wanita itu dengan otot kekarnya menuju kapal pesiar yang ia naiki bersama putra kecilnya tadi.
*
*
*
Di tempat lain, tepatnya di bandara tampak banyak orang yang sedang menunggu informasi hilang kontak pesawat yang membawa penumpang menuju negara Taiwan. Salah satunya, tampak Axel yang memburu informasi pada pihak bandara.
Wajah pria tampan itu terlihat risau. Istri yang baru saja bersatu dengannya selama dua minggu, kini pergi lagi. Namun, kini statusnya hilang tak tau ke mana.
"Sayang, kenapa? Kenapa kamu pergi tanpa mengatakan apa-apa kepadaku?" Axel mengacak rambutnya bagai orang frustrasi.
Axek mulai bangkit mencari informasi kecelakaan pesawat itu bagai orang kesurupan. Perasaannya kacau, bercampur aduk, dan kini benar-benar tidak menentu.
"Sayang, kamu di mana? Aku harap semua baik-baik saja."
Di tempat lain, sebuah kendaraan mewah beriringan dengan kendaraan hitam lainnya, memasuki area sebuah rumah sakit swasta. Beberapa perawat telah siap dengan brangkar menyambut wanita yang tadi ditemukan oleh Arsen. Sementara itu, anggota lainnya menuju area belakang yang memang khusus dibuat untuk mereka.
Rumah sakit ini adalah miliknya. Saat memasuki koridor, seorang perawat telah menyiapkan jas berwarna putih mengikuti brangkar yang yang berisi wanita yang ia temukan bersama putranya.
Sementara itu, putranya bernama Aziel, langsung disambut oleh perawat yang biasa mengasuh anaknya di rumah sakit ini. Aziel belum bersekolah, Arsen sengaja tidak menyekolahkan putranya terlalu cepat karena sudah menjadi amanat mendiang istrinya, Jovita.
"Dok, kami telah menyiapkan ruangan pemeriksaan seperti yang Anda pinta."
Arsen menganggukkan kepala dan menarik stetoskop yang telah disiapkan. Tidak hanya itu, ia juga memeriksa tekanan darah dan hal lain yang dirasa perlu.
Setelah semua usai, Arsenio Wijaya keluar ruangan. "Jangan lupa ganti pakaiannya dan bersihkan tubuhnya dari sisa pasir yang melekat."
"Dia kenapa, Dok?"
Arsen masih memasang muka datarnya. "Apa kalian tidak bisa bekerja tanpa banyak bertanya?"
Dari kerumunan karyawan berpakaian serba putih, muncul kaki tangan kepercayaannya. Arsen melihat sosok tersebut menggelengkan kepala menatap dengan tajam. Pria itu menganggukkan kepala dan pergi menjauh. Para perawat yang mengetahui siapa pria itu, seolah tak terganggu dan berlaku biasa.
Arsen adalah pimpinan rumah sakit ini. Namun, ada beberapa usaha hitam yang ia lakukan di rumah sakit ini.
Setelah membalut luka wanita tersebut, Arsen memandangi wajah wanita yang ia temukan ini. Ia tidak mengenal siapa wanita ini. Namun, ia tidak mau berurusan dengan pihak kepolisian.
Aku tidak mau mengambil risiko jika mengabarkan bahwa menemukan satu wanita hanyut entah kenapa. Mungkin ada kapal karam, atau kemungkinan lain yang tidak ia ketahui.
Setidaknya, aku sudah berbesar hati menyelamatkan nyawanya. Jika tidak, mungkin dia akan mati membusuk di pulau tak berpenghuni itu.
Setelah merasa semua urusannya beres, Arsen keluar dari ruangan tersebut dan membiarkan perawat yang mengurus wanita yang ia temukan. Ia menuju pria yang tadi ingin menemuinya.
Arsen sudah tahu di mana pria itu menunggu, yakni di ruang direktur utama miliknya. Arsen langsung menuju ke ruang kerja dan mencari keberadaan pria tadi.
Saat ia membuka pintu, pria tersebut telah melepas jas yang tadi terpasang di tubuhnya. Ia menyabut Arsen berdiri dan menundukkan kepala.
"Bagaimana? Apa kau berhasil mendapatkan mangsa yang baru?" tanya Arsen dengan wajah dinginnya.
"Belum, Boss. Padahal sudah banyak yang meminta kita untuk menyiapkan jantung, hati, mata, ginjal, dan sebagainya. Akan tetapi, kita belum menemukan gembel yang bisa kita hilangkan saat ini."
Arsen melipat kedua tangannya memandang ke arah luar jendela. "Malam ini harus dapat! Jika tidak, tubuh kau yang akan aku cincang!"
Pria yang berpakaian hitam itu tersentak dan menunduk. "Ba-baik, Boss." Ia segera menarik jas hitam yang tergeletak lemas di atas sofa. Sementara itu, Arsen sama sekali tidak menatap kepergian kaki tangannya itu.
*
*
*
Saat ini Axel telah berada di sebuah dermaga. Ia memandangi riak ombak yang menepi menghempaskan diri pada beton yang menyangga dermaga.
"Sayang, kenapa harus begini?" tertegun menatapi ombak yang terus berlari seolah mengejar dirinya.
Axel kembali merenung, dalam kepalanya terlintas masa sesaat bersama. Ia mengusap wajahnya kasar dan akhirnya ia bangkit.
"Yuviii ... Kamu harus selamat! Aku mencintaimu!"
*
*
*
Jemari wanita yang ditemukan Arsen terlihat bergerak. Matanya perlahan terbuka sedikit demi sedikit. Beberapa waktu kemudian, ia menatap langit-langit ruangan tempat ia dirawat.
Matanya mulai liar menatap kiri kanan atas bawah. Ia bangkit dan duduk. Namun, tangannya terasa sakit, dan ia melihat penyebab rasa sakit itu. Sebuah selang kecil tampak terikat di tangannya.
Tanpa pikir panjang, ia melepaskan benda yang mengganggu keleluasaannya itu. Namun, d4rah segar mengalir dengan sangat deras. Melihat pekatnya cairan itu keluar dari tangannya, dengan seketika wajahnya berubah menjadi pucat.
"Aaaaaahhh!"
"Aaaaahhhh!"
"Aaaaahhhh!"
Ia tidak tahu harus bagaimana, ia hanya bisa berteriak tak karuan. Cairan meraha anyir itu terus mengalir tanpa henti. Dari arah luar tampak beberapa orang tergopoh membuka pintu tempat ia dirawat karena terkejut mendengar suara teriakan tersebut.
"Ada apa, Mba?"
Salah satu perawat melihat tangan wanita muda itu mengucurkan cairan merah kental dan pekat. Jarum infus yang tadinya terpasang saat kini menggantung pada selang yang terhubung dengan tabung cairan bewarna putih bening.
"Aaagghhh!" Wanita itu terlihat frustrasi dengan tangannya yang terus mengalirkan d4rah.
"Kami akan membantu untuk membersihkannya ya, Mbak?"
Perawat pun segera menutup luka yang terus mengalirkan cairan merah kental itu. Wanita yang tidak diketahui namanya ini, terus meringis ketakutan.
"Nah, udah beres, Mbak. Kenapa infusnya dicabut?" tanya sang perawat.
Wanita itu melihat tangannya tidak lagi mengeluarkan darah. Perlahan ia mulai terlihat tenang.
"Mbak? Apa kami boleh tau nama kamu?"
Wanita itu terlihat kebingungan, ia menggelengkan kepala.
"Kenapa menggeleng, Mbak? Siapa namanya ya? Apa kamu memiliki kontak keluarga yang bisa kami hubungi? Kami akan memberitahukan keluargamu."
"Na-nama?" Wanita itu mengernyitkan dahi, ia tampak cukup kesakitan.
"Iya, namamu siapa? Kami akan membantumu untuk menghubungi keluargamu."
Wanita itu mengernyitkan mata, keningnya berkerut, dan kedua tangannya memijit-mijit pelipis dan mengacak rambutnya. "A-aku ... aku ... namaku ...."
Ia terus meracau dan terlihat sangat kesakitan. Pintu ruangan tersebut terlihat dibuka dari arah luar. Seorang pria yang memakai jas berwarna putih masuk memasang wajah heran.
"Ada apa ini?"
Para perawat yang berada di dalam ruangan tersebut serempak menoleh kepada pimpinan rumah sakit ini.
"Dok, sepertinya terjadi sesuatu dengannya," ucap salah satu perawat.
"Maksudnya?" tanya Arsen kembali melirik wanita yang ia temukan.
"Sepertinya, dia kehilangan ingatan, Dok."
"Benarkah?" Ia menatap wanita yang tampak kesakitan itu.
Jika demikian, keluarganya akan menganggap dia telah m4ti.
Ini adalah kesempatan untukku. Jantungnya, hatinya, matanya, dan seluruh organnya akan aku jual, dan tidak akan ada yang mengetahuinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!