NovelToon NovelToon

Love Me Tender

Awal Bertemu

Sinar mentari pagi menyeruak masuk melalui celah jendela kamar seorang gadis. Indira gadis yang sedikit pemalu itu mengerjap untuk menetralkan matanya dengan cahaya di dalam kamarnya.

"Cepat sekali pagi", ucap suara paraunya.

"Dira... Bangun!" sergah sang bibi dari balik pintu kamar Indira. Tangan kuatnya tak berhenti mengetuk pintu yang selalu di kunci rapat oleh Indira, sejak kejadian malam yang menakutkan itu terjadi padanya.

Ceklek.

"Dasar anak gadis pemalas!" ucap sang bibi sambil menjewer telinga Indira. "Sudah jam berapa ini? Kenapa kau baru bangun?" Celoteh sang bibi yang membuat paginya terasa berat.

Tak ingin semakin menambah kemarahan sang bibi, Indira langsung menundukkan kepalanya. "Iya, maaf Bi. Indira bangun kesiangan", sahutnya dengan rasa bersalah.

"Cucian di belakang sudah menumpuk, cepat bersihkan!" desaknya pada Indira. Mencuci pakaian sudah menjadi tugas utama bagi Indira, sejak kedatangannya ke rumah sang bibi 3 tahun yang lalu, setelah dia kehilangan kedua orangtuanya.

"Tapi bi..."

"Sudah mulai membantah?" ujar sang bibi dengan tatapan tajam yang menciutkan nyali Indira.

Dengan terburu-buru Indira berlari ke tempat pencucian. "Aww", pekiknya saat sudut bahunya tidak sengaja menabrak sang paman. "Ma- maaf paman", ucapnya sedikit gugup sambil menunduk.

"Tidak apa-apa", sahut sang paman sambil melangkah mendekati Dira. Lalu dia mengangkat dagu Dira dan menyunggingkan senyum penuh arti. "Apa kau..."

"Kenapa masih berdiri disitu!" ucap suara cempreng sang bibi yang telah memotong ucapan pamannya itu.

Indira langsung melewati sang paman. Syukurlah bibi datang, batin Indira.

 

Dalam waktu 30 menit Indira menyelesaikan pekerjaan mencuci pakaian dan sekaligus menjemurnya. Kemudian dia berlari dengan cepat menuju kamarnya. Tak butuh waktu yang lama Indira sudah siap untuk berangkat ke kampus.

Ini adalah hari pertamanya berkuliah. Dan seperti kebiasaan yang dilakukan pihak kampus setiap tahunnya saat penerimaan mahasiswa baru, maka akan dilakukan ospek bagi mahasiswa baru. Indira kembali mengecek kelengkapannya saat baru saja selesai memakai kasut. Baju putih, rambut di kepang dan papan nama yang menggantung di leher. Semua sudah lengkap, batinnya.

Indira berjalan dengan penuh semangat menuju pintu rumah, saat sudah berpamitan pada sang bibi. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti tepat di teras rumah, bahkan jantungnya pun mulai berdegup kencang tatkala melihat sang paman duduk di atas motornya seolah sedang menunggu seseorang.

Dengan ragu Indira melanjutkan langkahnya. "Ayo, berangkat sama paman", ajak sang paman dengan tersenyum padanya.

"Maaf paman, Dira naik angkutan umum saja", sahutnya sambil berlari menjauhi sang paman.

"Dira", panggil sang paman dengan sedikit berteriak, lalu dia menyalakan kendaraannya untuk mengejar Indira. Semua tindakannya itu telah disaksikan oleh sang istri lewat kaca jendela rumahnya.

 

Huft... Huft.

Indira mengatur nafasnya yang masih memburu, setelah lelah berlari di sepanjang jalan untuk menghindari kejaran sang paman.

"Gimana ini sisa 30 menit lagi", ucapnya bergumam saat baru saja melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya. Dia terus berfikir sambil memandang disekitarnya, tujuannya hanya satu, bisa tiba di kampus kurang dari 30 menit.

Sorot mata Indira berhenti pada satu angkutan umum berwarna biru muda. "Ada angkot tu", ucapnya sambil berlari menghampiri angkutan umum yang masih berhenti.

Indira melangkah masuk ke dalam angkutan umum itu. "Ayo, cepat bang", pintanya pada sang supir yang masih berdiri di luar mobil.

"Kalau mau cepat naik mobil pribadi atu neng", sahut sang supir dengan berdecak kesal. Lalu dia kembali berteriak menyebutkan nama tempat yang ingin dituju. "Pasar senen... Pasar senen", ucapnya sambil mempersilakan masuk penumpang lainnya. "Ayo... Ayo... digeser", ucap sang supir saat sedang menjulurkan kepalanya ke dalam mobil.

"Aduh gimana ini?" ucapnya bergumam.

Tanpa diduga, mobil angkutan umum itu sudah penuh sesak dengan penumpang. "Syukurlah", ucapnya sambil menghela nafas lega.

Setelah 15 menit diperjalanan Indira melihat persimpangan yang tidak jauh dari kanpusnya. "Pinggir bang!" teriak Indira, hingga semua mata tertuju padanya. Sang supir pun tersentak kaget sambil menginjak pedal rem dengan mendadak. "Permisi... Permisi... " ucap Indira mengabaikan tatapan sinis penumpang lainnya.

Setelah membayar ongkos, Indira kembali berlari melalui jalan pintas melewati danau yang tak jauh dari kampusnya

Byur.

Sesuatu yang jatuh ke dalam danau mengusik perhatian Indira. Rasa kemanusiaannya mendorong Indira untuk melihat apa yang baru saja terjatuh ke dalam danau. Dia khawatir seseorang terjatuh saat terpleset.

Indira menatap dengan mulut ternganga seseorang yang terus melambaikan tangannya.

"Sepertinya dia akan tenggelam", ucap Indira bergumam. Tanpa berfikir panjang, Indira langsung menghempaskan tas ranselnya dan melepas kacamatanya, lalu melompat ke dalam danau.

"To..." suara lemah wanita paruh baya itu terdengar oleh Indira. Dengan sigap Indira meraih tangan wanita itu dan membawanya ke tepi danau.

Indira memberi pertolongan pertama dengan melakukan CPR. Meskipun dia bukanlah mahasiswa kedokteran, namun saat di desa dia sering melihat ayahnya melakukan CPR pada warga yang hampir tenggelam di sungai.

Khuk. Khuk.

Wanita paruh baya itupun memuntahkan air yang sempat dia telan.

"Syukurlah ibu sadar", ucap Indira sambil membantu wanita itu untuk duduk. "Ibu punya saudara atau seseorang yang bisa dihubungi?" tanyanya saat melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya, tersisa 5 menit lagi waktu untuk dia sampai ke kampus.

Sang ibu yang terlihat kebingungan mencoba meraba-raba saku celananya. "Ponselku hilang", ucapnya.

"Mungkin terjatuh di danau, bu", tebaknya. "Apa ibu mengingat nomor bapak atau kerabat ibu yang lainnya?" tanya Indira dengan terburu-buru.

Indira bersiap dengan ponsel ditangannya. Barangkali si ibu mengingat nomor seseorang.

"Oh, iya coba ke nomor ini!" seru sang ibu dengan menyebutkan nomor telepon seseorang. Dengan cepat Indira mengetiknya, lalu menghubunginya.

"Halo... Halo... Tolong jemput ibu di dekat danau kampus Arkana University!" ucap Indira dengan cepat, tanpa menyebutkan nama. Lalu dia menutup sambungan telepon dan menyandang ranselnya, bersiap untuk pergi saat orang yang akan menjemput ibu yang baru saja ditolongnya itu datang.

Tak butuh waktu yang lama, sebuah mobil bmw seri X6 berhenti di pinggir jalan. Seorang pria bertubuh atletis yang sedang mengenakan kemeja slim fit berlengan panjang keluar dari dalam mobil. Lalu dia berlari menghampiri sang ibu. "Mommy", panggilnya sambil menghampiri ibunya itu dan membantunya berdiri.

"Kenapa mommy bisa berada disini?" tanya Theo saat melihat keadaan ibunya yang duduk seorang diri dalam keadaan basah kuyup. Lalu dia menuntun ibunya masuk ke dalam mobil.

Ratu, mommynya Theo itu menghela nafas, saat kembali mengingat kejadian yang menyebabkan dirinya terjatuh ke danau.

"Tadi mommy mengantar adikmu ke kampus, karena hari ini adalah hari pertama dia kuliah."

"Ya, Theo tahu itu mom... " ucap Theo sambil menganggukkan kepalanya. "Aww..." ringisnya kemudian saat Ratu menjewer telinganya.

"Dengarkan mommy dulu!" pinta Ratu.

"Iya, maaf mom", sahut Theo, lalu dia melajukan kendaraannya.

Ratu pun melanjutkan. "Mommy tidak langsung pulang saat melihat taman kampus yang sangat indah itu. Jadi mommy pengen mengenang masa-masa mommy kuliah dulu." Ratu tersenyum mengingat pertemuannya dengan sang suami.

"Sewaktu mommy berjalan di sisi sebuah pohon, mommy melihat sekawanan lebah yang berterbangan. Mommy panik, jadi mommy lari sekencangnya sampai ke danau ini, tapi tiba-tiba mommy kehilangan keseimbangan dan... akhirnya jatuh", ucap Ratu saat mengingat kejadian yang baru saja dialaminya.

"Tunggu dulu!" seru Ratu saat mengingat sesuatu yang membuat Theo menginjak pedal rem dengan mendadak.

"Kenapa, mom?" tanya Theo panik.

"Gadis yang menolong mommy tadi. Kenapa mommy  bisa lupa", ujarnya. Lalu dia meminta Theo putar balik.

Saat mereka tiba ditempat semula, Theo berdecak kesal karena tidak menemukan siapa pun di sana. "Mungkin mommy lagi ngigau tadi, atau mommy diselamatkan malaikat", tebaknya ngasal yang membuat Ratu kembali menjewer Theo.

"Aww..." pekiknya sambil memegang telinga.

"Tapi tadi dia kan menelponmu", ujarnya sambil mengedarkan pandangannya disekitar danau.

"Iya, tapi kata-katanya aneh", sahut Theo saat mengingat ucapan Indira ditelepon.

"Sepertinya dia sudah pergi. Ayo, kita pulang!" ajak Ratu saat tidak melihat siapa pun di sekitar danau.

Theo pun berjalan mengikuti langkah sang mommy dengan menggerutu. Namun seketika bulu kuduknya berdiri, saat di dalam benaknya dia menduga bahwa makhluk tak kasat matalah yang telah menolong sang mommy. Theo pun mempercepat langkahnya, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.

Gagal Ikut Ospek

Dengan nafas yang masih memburu Indira berjalan masuk melewati gerbang kampus Arkana University. Di kampus inilah Indira akan melanjutkan pendidikannya, berbekal beasiswa yang diberikan oleh pemilik kampus.

"Akhirnya sampai juga", ucapnya bergumam sambil mengusap peluh yang sudah bercucuran. Diedarkannya pandangannya mencari arah yang tepat. "Sepertinya arah kesana", tunjuknya pada satu arah masih dengan bergumam.

Indira melangkahkan kakinya dengan cepat menyusuri lorong kampus yang ramai dipadati oleh mahasiswa yang berlalu lalang. Kenapa semua mata menatapku? Atau itu cuma perasaanku saja? Batin Indira.

"Habis mandi dimana neng?" tanya seorang mahasiswa berambut cepak saat berjalan berlawanan arah dengannya.

Indira terkesiap saat mendengar penuturan pria itu, entah kenapa dia tidak menyadari baju basah kuyupnya telah bercampur dengan keringat. Pantes semua mata menatapku, batin Indira. Namun Indira mengabaikan tatapan penuh ejekan itu. Dia terus melangkah mencari tempat teman seangkatannya berkumpul.

"Itu mereka." Indira tersenyum saat sudah menemukannya, dia langsung menggantung papan identitasnya di leher, lalu bergabung dengan barisan paling belakang.

"Hei, kamu yang baru datang!" teriak seorang kakak kelas pria yang sedang memegang toa, hingga semua mata tertuju padanya. "Kemari!" pintanya dengan wajah garang.

Nyali Indira seakan ciut, saat dirinya menjadi tontonan mahasiswa baru lainnya. Dengan rasa gugup dia melangkahkan kakinya menuju tempat kakak kelasnya itu berdiri.

"Gabung dengan temanmu itu", tunjuknya pada seorang pria yang sudah lebih dulu berdiri di sisi kirinya.

Indira menghampiri pria yang ditunjuk tadi tanpa bantahan, lalu dia berdiri disampingnya.

"Perkenalkan dirimu!"

Indira menunjuk tepat diwajahnya. "Saya kak?"

"Iya siapa lagi." Kakak kelas itu berbicara ketus hingga membuat wanita yang sedari tadi berdiri disebelahnya menahan tawa.

Baru saja Indira akan mengatakan identitas dirinya, kakak kelas itu sudah lebih dulu memotong ucapannya dengan meminta semua orang bersorak.

Huu. Suara teriakan itu mematahkan semangat Indira.

"Kami sudah tahu siapa kamu." Kakak kelas itu menunjuk pada papan yang menggantung dilehernya.

"Tapi kakak yang memintaku memperkenalkan diri!" suara lantang Indira membuat kakak kelas pria itu menatap tajam kearahnya.

"Masih mahasiswa baru, tapi sudah berani melawan", ujarnya. Lalu dia berbisik pada wanita disebelahnya.

"Kamu ikut saya!" Wanita itu menunjuk pada Indira, lalu melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.

Seorang wanita cantik bertubuh proporsional yang sedang berdiri dibarisan tengah mahasiswa baru menatap tidak suka akan perlakuan kakak kelasnya itu.

"Ayo, semua bentuk kelompok. Satu kelompok terdiri dari 5 orang, boleh campur cowok dan cewek!" teriak sang kakak kelas.

Semua mahasiswa baru itu berlarian mencari teman untuk dijadikan satu kelompok.

"Jangan berisik!" teriak sang kakak kelas kembali.

Setelah semua mahasiswa mendapatkan kelompoknya masing-masing. Sang kakak kelas meminta pria berkacamata yang sedari tadi berdiri di sampingnya untuk menjalankan hukuman menjadi pesuruhnya selama ospek berlangsung. Tugas pertamanya adalah membagikan semua alat peraga yang akan digunakan.

 

Kakak kelas wanita yang sedang menuntun Indira, menghentikan langkahnya di sebuah tempat yakni diruang kolam renang.

Dengan berani Indira berbicara dengan kakak kelasnya itu. "Apa saya disuruh berenang lagi kak? Masalahnya baju saya ini saja belum kering", ucapnya sambil menyentuh pakaiannya.

Kakak kelasnya itu membalikkan badannya menatap tubuh lusuh Indira. "Cih, siapa yang memintamu berenang. Yang ada air di kolam renang ini akan tercemar", ucapnya dengan tidak ramah. "Cepat bersihkan tempat ini! Semua peralatan ada di sana!" tunjuknya pada sudut ruangan.

Indira menatap kakak kelasnya itu dengan wajah bingung. "Semua ruangan ini kak?" tanyanya dengan mulut menganga.

"Iya... Apa masih kurang?" tantang sang kakak kelas.

Indira mengedarkan pandangannya ke semua sudut ruangan kolam renang. "Yang ini saja kak", sahutnya dengan wajah memelas.

"Oke, kerjakan sekarang!" serunya sambil berjalan melewati Indira dan meninggalkannya seorang diri.

Indira melepaskan kasut basahnya. Lalu duduk di tepi kolam renang. "Kenapa hari pertamaku kuliah sesial ini, ya", ucapnya sambil menatap air jermih kolam renang.

"Ngapain di situ neng?" tanya seorang pria seumuran pamannya yang sedang berjalan menghampiri Indira.

Indira langsung bangkit berdiri. "Maaf, bapak ini siapa?" tanya Indira dengan was-was, karena hanya mereka berdua di dalam ruangan itu.

"Saya petugas kebersihan disini", sahutnya. "Trus neng disini ngapain?" tanyanya dengan ramah.

Indira bernafas lega, karena dia tidak sendirian melalukan tugas yang telah diberikan kakak kelasnya itu. "Saya mau membantu bapak", ucap Indira sambil tersenyum.

"Wah, terimakasih sudah mau membantu bapak. Neng namanya siapa?" tanyanya.

"Indira, pak. Bisa di panggil Dira", sahut Indira.

"Nama yang bagus, sesuai dengan wajah neng yang cantik", puji petugas kebersihan sambil mengambil salah satu alat yang dibutuhkannya.

"Bapak terlalu memuji! Nanti saya jadi gak fokus kerja pak", ujar Indira.

"Lha, kenapa gitu? Emang kenyataannya Neng Dira itu cantik kok."

Indira tertawa saat mendengar penuturan petugas kebersihan itu. "Terimakasih, pak", ucapnya yang tak ingin memperpanjang masalah. Dia ingin segera menyelesaikan tugas itu, agar bisa kembali bergabung dengan temannya yang lain.

Setelah dua jam berlalu, Indira berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan sang kakak kelas, namun perutnya mulai berdemo seakan menuntut haknya.

"Pak, maaf Dira duluan ya. Bapak saya tinggal sendiri gak apa-apa kan?" tanya Indira dengan sopan.

"Gak apa-apa atu neng. Justru bapak harusnya berterima kasih, karena neng Dira sudah membantu tugasnya bapak", sahut petugas kebersihan dengan tersenyum ramah.

Indira langsung meraih tas ranselnya yang sedari tadi di letakkan di kursi. "Sampai ketemu lagi, pak", ucap Indira sambil berjalan keluar.

"Iya, neng. Semangat belajarnya!" seru petugas kebersihan sambil merapikan peralatannya.

 

Tak butuh waktu yang lama Indira tiba di kantin kampus. Matanya melotot tatkala melihat antrian panjang mahasiswa yang akan membeli makanan. "Sabar ya", ucapnya bergumam sambil mengelus perutnya. Indira terpaksa mengantri demi membuat tenang isi perutnya.

"Hei, ini kantin khusus mahasiswa", ujar seorang pria tepat dibelakang Indira. Namun indira tetap diam, karena dia tidak merasa pria itu sedang berbicara dengannya.

"Hei, cewek dekil berkacamata. Aku sedang bicara denganmu!" teriak pria itu, hingga mahasiswa lainnya menjadikan mereka tontonan.

Indira tetap mengikuti antrian tanpa menoleh sekalipun. Dengan emosi yang tertahan pria itu melangkahkan kakinya dan berdiri tepat disamping Indira. "Apa kau tuli?" teriaknya hingga memekakkan telinga Indira.

"Kenapa kau berteriak?" Indira menutup telinganya dengan berdecak kesal.

"Aku sudah memanggilmu berulang kali, tapi kau tak mendengar! Ternyata bukan hanya matamu saja yang bermasalah, pendengaranmu juga", ucapnya sambil tertawa.

Indira menahan emosinya dengan menghela nafas. "Pendengaranku baik-baik saja. Aku rasa mulutmu tuh yang bau, makanya gak punya etika saat berbicara dengan orang lain!" sergah Indira.

Pria itu menatap tajam ke arah Indira. "Kau tidak tahu aku siapa?"

Indira pun membalas tatapannya. "Cowok kurang gizi, siapa namamu?" tanya Indira dengan mengejek.

Pria itu tak terima dengan perkataan Indira. "Kita lihat saja, apakah besok kau masih bisa datang ke kampus!" ancamnya. Lalu dia beranjak dari tempatnya berdiri, karena nafsu makannya sudah hilang saat melihat muka kucel Indira.

Indira menganggap ucapan pria itu hanya sebagai gertakan semata. Dia kembali mengantri dengan sabar untuk membeli makanan. Tak lama kemudian gilirannya pun tiba. Indira langsung menyebutkan pesanannya.

Saat ini Indira membawa makanan pesanannya di atas nampan sambil mencari tempat duduk yang kosong. "Di sana", ucapnya bergumam. Lalu dia melangkah menuju meja yang baru dilihatnya, namun tiba-tiba kakinya dicekal seseorang yang membuat Indira hampir jatuh terjerembap, namun dapat dia tahan karena memiliki ilmu bela diri muay thai.

"Makanya kalau jalan hati-hati, percuma punya mata empat", ledek seorang wanita dengan tertawa terbahak-bahak, hingga teman yang duduk disebelahnya pun ikut tertawa.

Indira menatap ke arah mereka. "Sebenarnya aku sudah hati-hati. Tapi ada tuh orang yang tak punya otak mencekal kakiku!" seru Indira yang  membuat mereka semua terdiam. "Lain kali kalau mau adu kekuatan kaki, beritahu aku dulu ya", ujarnya sambil berjalan menuju meja dihadapannya. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang kosong, menikmati makanan pesanannya, dan mengabaikan tatapan sinis dari mahasiswa lainnya. Toh aku tak akan mati, jika ditatap seperti itu, batin Indira.

Sahabat baru Indira

Indira berjalan meninggalkan kantin kampus yang mulai menyepi karena lebih dari setengah mahasiswa sudah meninggalkan kantin. Saat ini Indira sedang meĺewati lorong kampus, masih saja ada mahasiswa yang menatapnya dengan sinis.

Tiba-tiba seseorang menarik tangan Indira. "Ayo, ikut denganku", ajak seorang mahasiswi cantik yang juga mahasiswi baru sama seperti Indira. Hal itu terlihat jelas dari kemeja putih yang sedang dikenakannya dan rambut kepangnya.

Indira seakan patuh, saat ditarik mahasiswi yang belum dikenalnya itu. "Kau pasti mahasiswa baru disini!" Tebak Indira sambil menatap dari samping wajah cantiknya dengan sedikit mendongak, karena tubuh wanita itu lebih tinggi darinya. "Aku Indira. Siapa namamu?" Tanya Indira saat mahasiswi itu tidak membalas ucapannya.

"Aku Tamara. Tapi kau bisa memanggilku Ara", sahutnya sambil tersenyum pada Indira. "Ayo, masuk", pintanya saat mereka sudah berada di toilet kampus.

Indira mengernyitkan keningnya. "Kenapa kita ke toilet?" Tanyanya sedikit bingung.

"Ini pakailah!" Tamara menyodorkan sepotong kemeja putih pada Indira.

Indira masih saja menatap Tamara dengan raut wajah bingung.

"Kau bisa mengganti baju lusuhmu itu dengan ini", ucap Tamara menjelaskan seakan paham akan arti tatapan Indira.

"Terimakasih. Kau sangat perhatian", ucap Indira dengan rasa haru sambil meraih kemeja putih di tangan Tamara. Ini pertama sekali ada orang yang peduli padanya sampai rela memberikan pakaiannya.

"Gak perlu sungkan", sahut Tamara saat menyandang tas selempangnya. "Aku tak suka seseorang dibully hanya karena penampilannya."

Indira menatap wajah cantik Tamara saat sedang berbicara. "Selain cantik, kau juga sangat baik. Beruntung banget orang yang jadi sahabatmu", ujarnya berdecak kagum sambil memasukkan biji baju satu persatu.

"Kau terlalu memuji. Buktinya tak ada yang mau berteman denganku", sahut Tamara lirih.

"Gak mungkin ada yang menolak berteman denganmu. Barangkali kau yang tidak mau menerima mereka sebagai teman." Indira merapikan pakaian yang sedikit kepanjangan itu.

"Apa kau mau menjadi sahabatku?" Tanya Tamara dengan menawarkan diri.

Indira terkesiap saat mendengar penuturan Tamara. "Kita belum saling kenal. Bagaimana bisa jadi sahabat", ujarnya dengan meraih tas ransel yang dia letakkan di dekat wastafel.

"Kalau begitu mari kita berkenalan." Tamara langsung menjulurkan tangannya kehadapan Indira, dengan ragu Indira menyambutnya.

"Tamara, usia 19 tahun, fakultas FISIPOL jurusan Ilmu komunikasi." Tamara langsung tersenyum saat baru saja selesai memperkenalkan diri.

Indira pun membalas dengan mengulam senyum. "Indira, 18 tahun, dan kita berada di jurusan yang sama."

Tamara berlonjak kegirangan. "Yeay, ternyata kita memang berjodoh", ujarnya bahagia. Namun Tamara tiba-tiba sadar akan satu hal. "Tapi kenapa usiamu lebih muda 1 tahun dariku?" Tanya Tamara sambil menautkan kedua alisnya.

"Aku tidak menjalani kelas 2 saat duduk di bangku smp, karena aku loncat kelas", ujar Indira, murid terpintar disekolahnya itu. Dia pun mendapat beasiswa di kampus Arkana University karena kepintarannya.

"Wah, ternyata kau murid pintar", ujar Tamara berdecak kagum. Dia yang selalu berada di peringkat tengah saja sudah sangat bersyukur. "Jadi sekarang kita sahabat", ucapnya sambil memberikan jari kelingkingnya.

Indira langsung menautkan jari kelingkingnya dengan Tamara. "Sahabat", sambut Indira. Indira yang sebelumnya merasa hari ini dia penuh dengan kesialan, akhirnya mengubah cara berpikirnya. Dia bersyukur karena bisa bertemu dengan sahabat yang sempurna menurutnya.

"Ayo, kita kembali kelapangan. Akan ada mahasiswa baru terbaik dan terpopuler versi pihak kampus yang akan diumumkan", ujar Tamara sambil menggenggam tangan Indira.

"Hah, terbaik dan terpopuler!" Indira mengernyitkan keningnya, seakan tak percaya dengan ucapan Tamara. "Bagaimana mungkin, kita saja baru masuk hari ini."

Tamara menatap wajah bingung Indira dengan tersenyum. "Itulah uniknya kampus ini. Dia punya data dari sekolah mereka sebelumnya", ujarnya menjelaskan.

Indira manggut-manggut. "Wah, keren. Kampus yang peduli akan mahasiswanya."

Tamara masih saja tersenyum, menambah keindahan wajah cantiknya.

"Hai, cantik", sapa seorang pria yang datang dari arah depan mereka.

Indira terkesiap saat melihat pria yang sedang tersenyum pada Tamara. Apa dia mengingatku, batin Indira.

"Kenapa kau bisa jalan bareng si kucel ini?" Tanya pria yang tak lain adalah kakak kelas pemimpin ospek.

"Don't judge someone from the outside!" Sergah Tamara.

"Aku bukan menilai penampilannya, tapi mengatakan kebenarannya."

"Itu juga tidak baik. Kakak tidak perlu mengatakannya, jika itu akan menyakiti hati orang lain!" seru Tamara dengan menatap tajam Dion.

Dion tidak ingin gadis dihadapannya ini jadi membencinya. "Maaf, kakak salah. Jangan ditatap seperti itu dong", ucapnya dengan memelas.

Tamara menoleh ke arah wanita yang sedari tadi berdiri dengan diam di sisi kiri Dion menatap tak suka padanya. Karin, teman satu angkatan Dion itu merasa Tamara akan menjadi saingan terberatnya untuk mendapatkan hati Dion.

"Iya, Ara maafin", ujarnya demgan mengulam senyum. Terbakar, hangus deh sekalian, batin Tamara saat melihat ekspresi Karin.

"Permisi kak. Ini mau disimpan dimana?" Pria berkacamata yang sempat berdiri bersama Indira datang membawa peralatan ospek dengan kewalahan.

Semua mata menatap ke arah pria itu. "Sini, biar aku bantu", ucap Indira menawarkan diri. Dia merasa iba, karena diperlakukan seperti pesuruh oleh kakak kelasnya itu.

"Aku juga ikut!" Tamara ingin menunjukkan sikap sebagai seorang sahabat.

"Cih, jangan pura-pura baik. Lihat saja penampilan mewahmu itu. Aku yakin kau bahkan tidak mampu untuk membawa toa", ledek Karin. Dia merasa Tamara hanya ingin mencari perhatian Dion.

Dion menatap tajam ke arah Karin. "Siapa kau yang berani menilai Tamara sembarangan!" ucap Dion berdecak kesal, yang membuat Karin terkesiap. Lalu Dion meraih beberapa peralatan ospek dari tangan pria berkacamata. "Sini biar aku saja yang membantunya. Kalian pergilah ke gelanggang mahasiswa", ujar Dion sambil meraih beberapa peralatan dari pria berkacamata. "Namamu siapa?" tanya Dion, karena papan identitas milik pria itu tidak lagi tergantung dilehernya.

"Saka, kak", sahut pria berkacamata itu.

"O, Saka", ucap Dion mengulang nama Saka. Lalu mereka berjalan bersama menuju tempat penyimpanan peralatan yang sedang mereka bawa.

"Saka jurusan apa?" tanya Dion sambil berjalan menjauhi tiga wanita yang masih berdiri di posisi mereka masing-masing.

Tamara pun mengajak Indira pergi ke gelanggang mahasiswa dan meninggalkan Karin seorang diri. Meskipun Karin adalah kakak kelas mereka, namun sikap dan perkataannya tidak menunjukkan dirinya adalah seorang senior.

Indira menghentikan langkahnya saat Tamara menarik paksa tangannya. "Tunggu dulu!" seru Indira.

"Apa lagi?" tanya Tamara.

"Ayo, kak. Kita bareng, tujuan kita kan sama", ajak Indira pada Karin yang masih mematung diposisinya. Wajah masam Karin menunjukkan kekesalannya pada Dion yang telah meninggalkan dirinya seorang diri.

"Cih, jangan sok perhatian. Urus saja dirimu sendiri!" ejek Karin sambil bersedekap. Lalu berjalan melewati Tamara dan Indira.

Tamara pun menahan tawanya. "Sudah jangan diladeni. Kau terlalu baik mengajaknya", ujar Tamara sambil menepuk pelan pundak Indira. "Masih diliatin juga!" Tamara menarik kembali tangan Indira yang masih melongo saat menatap punggung Karin yang mulai menjauh.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!