“ASTAGA!” pekik Lewis secara spontan, dia mengusap wajahnya secara kasar, keringat dingin seketika mulai terasa. Wajah Lewis kini pucat pasi, seakan mengetahui inilah akhir dari hidupnya.
BUK!! Suara kencang membuat Lewis menoleh, dia menelan saliva dengan kuat, tangannya semakin bergemetar saat beberapa orang mulai berkumpul mengelilingi mobilnya.
“Keluar!” Teriakan seorang pria bertubuh besar membuat nyali Lewis semakin mengecil. Belum sempat Lewis membuka mulutnya, beberapa orang mulai dengan berani memukul bagian kaca mobilnya. Di tengah kebingungan bercampur ketakutan yang kuat, pandangannya tertuju pada seorang wanita cantik yang tengah mematung tak kalah syok dengan dirinya. Nafas wanita itu seakan menjadi berat, gerakan bola mata indah itu seakan sedang mencari cara untuk bisa keluar dari masalah besar yang sedang mereka hadapi.
“Amara,,,”
Belum sempat Lewis menyelesaikan ucapannya, Amara menoleh dengan tatapan yang amat tajam, aura penuh kebencian seakan ia luapkan untuk Lewis. “Apa! Tidak bisakah kau keluar dan menyelesaikan semuanya? Kau tidak bisa melihat bagaimana orang-orang itu bisa membunuh kita sekarang juga!” pekik Amara dengan kesal. Amara membuang wajahnya dengan cepat, ia mengeluarkan ponsel dengan sedikit bergumam yang membuat hati Lewis bertambah hancur. “Kau memang tidak berguna Lewis, aku tidak akan pernah mau bertemu dengan mu lagi jika sampai kejadian ini mempengaruhi karir ku!”
Orang-orang yang berada di luar sana seakan semakin geram kerena dua orang di dalam mobil yang tak kunjung keluar, satu diantaranya mulai membabi buta, ia melemparkan sebuah apel dagangannya pada kaca mobil itu dengan keras. “Hai, bodoh! Apa kalian akan terus di dalam sampai mobil ini kami bakar?!”
Teriakan itu membuat Lewis kembali panik, tangannya mulai meraih seat belt dan membukannya dengan terburu-buru, orang-orang pasar ini akan benar-benar membakar mereka hidup-hidup jika seperti ini amarahnya. “Cepatlah keluar Lewis! Apa kau tak mendengar ancaman mereka?!” teriak Amara dengan tak sabaran.
Lewis yang juga panik hanya bisa berdecak kasar, ia muak dengan segala keegoisan Amara. Dengan tarikan nafas yang panjang. Lewis mulai membuka pintu mobil dan bersiap untuk mendapatkan amukan dari setiap orang yang sudah menunggunya. Baru saja ia menginjakkan kakinya di atas tanah, sebuah tangan mencengkram kuat kerah bajunya, “Nah rupanya si bodoh ini keluar juga!” mata Lewis hanya bisa tertutup rapat dan bersiap menerima pukulan di wajahnya, namun sebuah tangan lain menyentuh bahunya dan sedikit mendorong pria yang akan memukulnya tadi.
“Nak, cepat bawa Maria pergi, ada rumah sakit di persimpangan jalan sana, gerobak kami tidak akan mampu membawa Maria dengan cepat,” ucap pria tua dengan tatapan memohon, raut wajahnya begitu panik dan sesekali melihat kearah seorang wanita yang sudah tergeletak tak sadarkan diri di jalan, darah yang membahasi tubuh wanita itu seakan menjadi bukti dari kencangnya mobil Lewis menabraknya.
“Mommy!” pekikan kencang dari seorang gadis kecil yang berlari memasuki kerumunan membuat Lewis semakin terdiam, isak tangis gadis kecil itu yang langsung memeluk tubuh Maria membuat hati Lewis teriris, baru saja ia menghancurkan sebuah kebahagiaan antara seorang anak dengan ibunya. Gadis kecil itu masih mengenakan seragam sekolah, piala kecil di genggaman tangannya ia lepaskan di samping tubuh Maria yang lemas, bayangan akan seorang anak yang baru saja ingin menunjukkan keberhasilannya di sekolah tetapi menjadi sebuah tragedi mengerikan yang akan ia ingat selamanya.
...✨✨✨...
“Tugas ku hanya menjagamu dengan baik Caitlin, bukan untuk mencintaimu.”
Seorang wanita cantik yang sudah dewasa hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Sudah 9 tahun berlalu, apa kau masih menganggapku gadis kecil berusia 14 tahun paman? Kalau begitu berhentilah menjagaku, aku sudah dewasa dan akan memulai hidupku sendiri di Kanada, jangan pernah lagi memberikan perhatian yang mempermainkan hatiku, bersikap menjadi Paman sewajarnya saja!”
“Apa maksudmu di Kanada, Caitlin? Siapa yang memberikan kau ijin untuk pergi ke sana?!” tanya Lewis dengan tatapan penuh peringatan.
“Apa masalahmu? Kau bukan paman ku yang sebenarnya, kau hanya orang lain!”
Pagi yang begitu cerah tak mampu membuat seorang pria bernama Lewis tersenyum, pria itu terdiam seribu bahasa saat melihat isi dari sebuah amplop misterius di atas meja makannya, baru saja ia bersiap untuk pergi ke kampus namun sesuatu yang menghancurkan hatinya membuat semangat Lewis menghilang seketika. “Fuuuuk! Siapa yang mengirim ini!” desis Lewis geram. Bukan ia ingin marah pada pengirim itu, hanya saja ia belum siap mengetahui segala kebusukan Amara, wanita yang sudah dua tahun ini menemaninya.
Lewis kembali melihat beberapa lembar gambar Amara yang sedang terlelap dengan seorang pria lain, pria yang tidak ia kenal namun sepertinya umur mereka bisa di bilang cukup jauh, pria itu jauh lebih dewasa dari pada Lewis, tampak seperti seorang pengusaha dengan wajah tampan yang sedikit angkuh bahkan sedang tidur pun! Lewis mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, ia menghubungi Brian, sahabatnya itu adalah satu-satunya orang yang memiliki akses masuk ke dalam apartemennya. “Kau di mana?” tanya Lewis tanpa ingin berbasa-basi terlebih dahulu, tidak ada waktu untuk melakukan itu.
“Hai, ada apa? Tentu saja aku sudah di Kampus, kau dimana? Sebentar lagi Mr.Robert akan mengisi kelas,” jelas Brian seolah tak ada masalah dengan pagi ini, akan tetapi Lewis tidak sebodoh itu, ia tidak ingin percaya begitu saja jika Bria tidak ada hubungannya dengan ini semua.
“Berhentilah berpura-pura, kau yang menaruh foto-foto ini bukan? Apa maksudmu mengedit foto Amara seperti ini? Aku tahu kau tidak menyukainya, tapi berhentilah mengusik ku!”
Terdengar helaan nafas berat dari arah sebrang, helaan nafas yang menggambarkan kelelahannya dalam memberitahu seseorang akan suatu kebenaran. “Apa kau semakin bodoh setiap harinya?” sebuah pertanyaan yang berhasil membuat Lewis mengerutkan keningnya bingung. “Itu adalah foto nyata, pria yang bersama Amara itu adalah sugar Daddy-nya bodoh! Kau tahu Amara adalah wanita pencinta uang, dia rela menjadi simpanan hanya untuk mendapatkan apapun yang dia mau, bahkan kau tak sadar saat Amara marah karena kau tidak berhasil membujuk Mommy mu untuk membeli mobil sport yang dia inginkan.”
“Bukan itu yang ingin aku dengar Brian, kau mendapatkan foto-foto ini dari mana? Apa kau mencintai Amara-ku sampai kau melakukan ini? Kau menjebaknya bukan agar aku marah dan mengakhiri hubunganku dengannya?” tanya Lewis yang masih belum percaya dengan apa yang dia lihat.
Lagi-lagi terdengar helaan nafas berat dan kini dengan sebuah decakan kesal.
“Terserah, hanya saja aku tidak tertarik pada wanita 19 tahun yang sudah berwajah seperti Aunty ku,” ejek Brian. Tadi pagi aku menemukan amplop itu di depan kamar apartemen mu, aku penasaran dan membukanya, apa kau sudah melihat tulisan di belakang salah satu foto tersebut?”
Spontan Lewis membalikkan semua foto yang ada di tangannya, ia melihat sebuah tulisan yang dimaksud oleh Brian.
[Amara baru saja mengakhiri hubungan kami, aku hanya ingin memberitahu mu jika iblis cantik itu sudah menghabiskan banyak uangku, ada 1 jam tangan mahal yang aku belikan dan itu adalah untuk hadiah ulang tahun mu, aku ingin jam itu dikembalikan padaku, jika tidak aku akan menyebarkan foto-foto dan vidio ku bersama Amara di kampusnya. Periksa emailmu jika ingin melihat vidio ku bersama kekasihmu.]
Sial, jam apa yang pria ini maksud? Amara tidak pernah memberikannya apapun, berapa banyak pria yang dipermainkan oleh Amara? Dengan penuh kekesalan ia mengabaikan Brian yang terus berbicara di telepon, dia mengakhirnya dengan sepihak lalu mengeluarkan laptop dari dari dalam tas dan memeriksa emailnya. “Argh!” pekik Lewis kesal, selama ini Lewis menganggap serius hubungan mereka, tidak pernah membiarkan wanita lagi mendekatinya dan sekarang ia malah mendapatkan hadiah kecil dari Amara.
Tanpa pikir panjang Lewis mulai menghubungi Amara, ia menunggu sampai beberapa panggilannya diangkat oleh Amara. “Ada apa? Kelasku sudah dimulai Lewis!” suara Amara terdengar begitu pelan namun bernada sangat marah.
“Bisa kita bertemu sekarang?” tanya Lewis.
“Apa kau sudah gila? Aku sedang ada kelas, ada apa denganmu sebenarnya?”
“Siang ini aku akan menjemputmu di Kampus, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Beberapa detik begitu hening, lalu suara Amara kembali terdengar namun dengan nada yang lebih tenang dan lembut. “Kau sudah mengganti mobilmu? Baguslah sayang, dengan begitu tidak akan ada yang meragukan mu lagi jika kau adalah seorang anak CEO di perusahaan besar.”
Lewis menarik nafasnya pelan, tatapannya seakan tak bersahabat dengan segalanya, ia menatap muak kearah jendela yang menampilkan keindahan pagi ini. “Amara, jam 12 aku sudah menunggumu di depan gerbang, aku harap kau ang-“
“Tidak, tidak bisa siang ini sayang, aku ada pemotretan, kau tahu sendiri ini adalah iklan pertama ku, bagaimana jika sore? Kau menjemput aku disana?”
“Baiklah,” jawab Lewis lalu mengakhiri panggilan telepon mereka dengan sepihak.
_________
Masih di pagi yang sama namun tempat yang berbeda, bukan di kalangan hidup yang mewah dan serba berkecukupan. Sebuah permukiman yang begitu padat, rumah-rumah itu berjajar di dalam sebuah gang sempit, seakan sudah tak asing lagi para pedagang yang berjajar di depan jalanan dan amukan para preman yang tak di beri uang harian oleh beberapa pedagang.
Seorang gadis cantik berusia 14 tahun sudah tersenyum dengan manis pada seorang wanita yang baru saja memberikan kembalian pada pelanggan yang membeli dagangannya. “Caitlin, dengarkan aku, kau pasti bisa memenangkan perlombaan ini tanpa dukungan dari siapapun di sana. Tapi satu yang harus kau ingat, aku selalu mendukung mu di sini, aku sangat yakin anak ku yang cantik ini sangat pintar.”
“Ya Mom, aku selalu ingat perkataanmu, aku akan pulang dan membuatmu bangga.”
Maria tersenyum lebar, hatinya sedikit teriris karena sudah menjadi ibu yang buruk, bahkan seragam Caitlin selalu terlihat yang paling kusam jika Caitlin membawa sebuah foto bersama di dalam kelasnya. Maria memeluk Caitlin dengan begitu erat, mengusap rambut panjang itu dengan lembut. “Aku ingin sekali mendukungmu di sana, tapi kita harus membayar rumah dan sekolahmu di akhir bulan ini,” gumam Maria yang begitu pelan.
“Tak masalah Mom, aku selalu yakin kau akan mendukung ku di mana pun kau berada,” kekeh Caitlin dengan ceria.
“Oh, lihatlah cantiknya gadis ini? Senyumnya seakan menghipnotis ku,” ucap seoramg pria paruh baya yang berjualan di samping Maria, Tommy adalah pria yang baik, ia selalu membantu Maria layaknya seorang Ayah yang memabntu putrinya sendiri, Tommy juga memperlakukan Caitlin dengan baik, layaknya seorang kakek pada cucunya.
“Aku akan menghipnotis seorang pangeran nantinya,” kekeh Caitlin membuat Maria dan Tommy tertawa kecil.
Maria mencium kening Caitlin dan mengusap bahu anak gadisnya yang sudah semakin cantik. “Sudah, pergi sekarang sebelum kau terlambat sayang.”
...•°•°•...
Spil sugar Daddy Amara check
Kini, Lewis sudah berada di depan sebuah gedung berlantai 4, ketukan jemari di stir menandakan kegelisahan Lewis dengan apa yang akan ia lakukan. Apakah Amara akan mengatakan semuanya dengan jujur? Atau justru Lewis akan termakan kembali oleh ucapan manis Amara?
Lewis membenarkan posisi duduknya saat melihat Amara yang baru saja keluar dari dalam gedung tersebut, kerutan kening itu terlihat jelas saat mendekati mobil Lewis dan raut wajah tak suka ia tampilkan saat membuka pintu mobil Lewis seraya duduk disampingnya. “Kau berbohong? Kata mu kau sudah mengganti mobil ini?” tanya Amara tak suka.
“Sekarang yang aku permasalahkan bukan mobil, Amara, tapi pria yang menjadi selingkuhan mu!” Lewis menggenggam kuat stir dan merasa tak ingin melihat wajah Amara untuk saat ini.
“Apa maksudmu? Sekarang kau menuduhku selingkuh? Kau pasti mendengarkan lagi ucapan si bodoh Brian itu bukan? Sudah aku katakana jauhi temanmu yang satu itu, dia tidak berguna.”
Lewis mulai menyalakan mesin mobil, sebelum ia menginjak gas, ia mengeluarkan sebuah foto dari dalam tasnya terlebih dahulu. “Sekarang tunjukkan aku dimana pria ini berada,” ujar Lewis dengan wajah yang serius, ia melihat Amara yang terkejut dan seakan membeku melihat sebuah foto yang ada di tangannya.
“A-apa ini? Astaga, apa ada orang yang ingin menjahati ku? Ini semua jelas-jelas di edit sayang,” ucap Amara dengan suara sedikit bergetar.
Lewis yang sudah muak tak ingin mendengar penjelasan seperti ini, yang ia inginkan hanyalah kejujuran. “Sekarang katakan jam tangan yang pria itu maksud ada di mana? Kau harus mengembalikkan nya sekarang, Amara.”
“Jam? Jam apa? Aku tidak mengerti.”
Sambil berdecak pelan, Lewis mengambil foto tersebut dan membalikkannya hingga Amara bisa melihat tulisan panjang disana.
“Sekarang aku ingin membantu mu menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu dengan pria tua itu, aku tidak ingin ada berita buruk tentang mu di Kampus.” Lewis menarik nafasnya pelan dan mulai menjalankan mobilnya tanpa tahu ke mana arah yang akan dia tuju. “Setelah semuanya selesai, kita akan membahas tentang hubungan ini, aku memulai semuanya dengan baik dan aku ingin mengakhiri semua ini juga dengan baik. Aku mencintaimu dengan tulus Amara, aku sangat kecewa dan-“
“Aku sudah menjualnya,” potong Amara dengan cepat, Lewis yang terhenti ucapannya menjadi terdiam, ia sedikit melirik kearah Amara sambil sesekali melihat kearah jalanan. “Aku bingung harus membayar kuliah ku bagaimana Lewis, kau tahu sendiri bagaimana hancurnya keluargaku, aku selalu meminta barang mewah padamu dan akhirnya aku menjual barang-barang itu, aku sudah bingung, aku tidak bisa mengandalkan diri mu selalu Lewis, kau masih terlalu muda dan uang mu masih di batas oleh orangtua mu, aku membutuhkan masukan biaya karena kedua orangtua ku benar-benar tak perduli.”
Lewis semakin terdiam, hatinya berkecamuk harus mempercayai ucapan Amara atau tidak, sudah banyak kebohongan yang sudah ia lakukan, di satu sisi hatinya merasa iba, sedangkan disisi lain ia tidak ingin terus terbodohi oleh wanita di sampingnya. “Tapi masih ada banyak cara Amara, tidak dengan cara seperti itu. Kau bisa menceritakan padaku semuanya, aku pikir aku bisa membantumu dengan menceritakan masalahmu pada Daddy ku. Sifat borosmu yang membuat semuanya seperti ini, aku tahu kau selalu mentraktir teman-temanmu, kau selalu mengadakan party di belakangku, kau-“
“Oh ayolah Lewis, aku tidak ingin kehilangan semua teman-temanku, aku setia padamu, aku hanya menjadikan pria ini sebagai ATM berjalan ku.”
Lewis mengangkat sebelah tangannya, ia tidak mengerti lagi dengan jalan pikiran Amara, semakin wanita itu berbicara, semakin Lewis tercuci otaknya. “Kau setia padaku? Apa dimata mu aku sebodoh itu Amara? Kau bersama pria lain di belakangku!” Lewis manarik nafasnya dalam, ia menggelengkan kepalanya pelan.
“Apapun penjelasanmu aku ingin hubungan ini berakhir, aku tidak-“
“Lewis! Pada akhirnya kau akan pergi seperti Daddy ku? Aku sudah mengakhiri semuanya, lihat tulisan ini, aku sudah memutuskannya, aku tetap bersamamu. Ini yang terakhir kalinya, lagi pula aku tidak pernah mencintainya. Ah ya, aku sudah mendapatkan kontrak iklan dan bisa membiayai kuliah dan kehidupanku untuk satu tahun ini, kita akan kembali pada tujuan awal kita. Aku baru saja memulai karir ku, aku yakin setelah iklan ini akan banyak brand lain yang menghubungiku.”
Lewis mengusap pelan dahinya, ia menarik nafasnya lalu menghembuskannya kembali. “Amara, aku sudah memberikanmu beberapa kesempatan, dan,,,” Lewis kembali menoleh pada Amara. “Apa kau tidak takut dengan ancaman pria itu yang akan menyebarkan foto mu?” tanya Lewis dengan raut wajah tak habis pikir.
Amara sedikit menunduk, ia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Lewis. “Aku yakin kau akan menolongku, kau bisa membeli jam itu dan mengembalikannya bukan?” bujuk Amara dengan wajah memelas.
Lewis terkejut, benar-benar terkejut karena baru menyadari kebodohannya selama ini. Perkataan Brian benar, ia hanya dijadikan tempat berlindung Amara dari setiap kekacauan yang wanita itu buat. “A-apa?”
“Ayolah, kau bisa berbohong pada orangtua mu bukan? Kau mendapatkan uang dengan mudah, hanya saja kau terlalu kaku sebagai anak, bisakah kau seperti William yang menyombongkan harta orangtuanya? Mungkin kita akan bahagia tanpa harus bertengkar seperti ini terus.”
Ditengah percakapan dan konsentrasi yang sedikit terganggu, Lewis tak menyadari seorang wanita yang baru saja keluar dari sebuah gang. Ketika Lewis hendak menarik tangannya yang digenggam oleh Amara, sesuatu begitu terasa ia tabrak. “ASTAGA!” pekik Lewis secara spontan, ia baru saja menabrak seseorang! Rem yang mendadak juga menyebabkan beberapa kendaraan dibelakangnya menyalakan klakson sebagai tanda protes, tak menunggu lama juga beberapa orang mulai mengerumuninya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!