Sieseby, Jerman.
Tempat yang sangat indah bak surga dunia. Begitu tenang dan damai. Semilir angin pun menjadikan suasana terasa syahdu, dengan deretan bangunan warna putih beratap jerami. Berhiaskan tumbuhan bunga yang merambat di dinding, atau sengaja ditanam di halaman depan. Semuanya, menambah kesan asri di desa itu.
Di sebuah rumah dua lantai pinggir danau, tampak seorang pria dengan kursi roda yang setia menemaninya. Satu tahun telah berlalu, dari semenjak kejadian yang membuat pria itu harus menanggung beban berat. Menutup diri dari dunia luar. Bersembunyi di dalam kamar, dan hanya merasakan cahaya mentari melalui jendela kaca yang jarang sekali dibuka.
“Sarapanmu sudah siap, Vlad,” ucap seorang wanita yang masuk ke kamar itu, setelah mengetuk pintu terlebih dulu. Dia tak harus mendapat persetujuan dari pria bernama Vlad tadi, untuk keluar masuk ke ruangan tersebut.
“Kuharap, kali ini kau menghabiskannya. Ini adalah makanan kesukaanmu. Itu yang pernah kakekmu katakan padaku dulu,” ucap wanita yang tak lain adalah Elke, ibunda Vlad. Seorang wanita paruh baya berambut pirang dengan sanggul rapi. Mengusung gaya vintage, Elke terlihat begitu anggun dalam berpenampilan.
“Letakkan saja di meja,” ucap Vlad tanpa menoleh kepada sang ibunda, yang berdiri tak jauh di belakangnya.
“Jika kau tak berniat menghabiskan makanan ini, maka biar kusuapi sekarang juga ….”
“Kau tak perlu bersikap berlebihan seperti itu, Bu!” sergah Vlad. Dia menoleh dan menatap tajam kepada Elke. Ada kemarahan yang tak dapat dirinya lampiaskan. Namun, dengan segera Vlad kembali mengarahkan pandangan ke luar jendela. Pada danau yang indah di dekat rumah. Dia hanya dapat mendengkus kesal. Menahan segala gejolak amarah yang makin lama semakin menggunung. “Keluarlah, Bu. Aku ingin sendiri,” usir Vlad dengan halus. Nada bicaranya pun tak sekeras tadi.
“Nak ….” Elke mencoba membujuk sang anak. Akan tetapi, Vlad tak menanggapi. Dia tetap mengarahkan pandangan ke luar, pada air danau yang bergerak tertiup angin.
Jika sudah seperti itu, Elke memilih untuk mengalah. Dia tak ingin berdebat dengan putra semata wayangnya tadi. Elke membalikkan badan, meski harus membawa keterpaksaan. Wanita paruh baya tersebut akhirnya keluar dari kamar. Kembali membiarkan Vlad seorang diri, seperti hari-hari biasanya.
Vlad Ignashevich. Tampan, muda, berkharisma. Dia memiliki sepasang mata biru yang indah. Berpadu sempurna dengan rambut pirang sebahu, yang kini lebih sering dia biarkan tergerai begitu saja. Bukannya tak ada waktu untuk merapikan diri. Namun, Vlad memang tak berniat melakukan hal tersebut.
Apalah artinya penampilan dan ketampanan bagi pria berusia tiga puluh tahun itu. Tak ada lagi yang Vlad inginkan saat ini. Semua ambisi serta hasrat besar untuk menggenggam dunia, sirna sudah ketika dokter memutuskan mengamputasi kaki kirinya. Vlad lebih memilih bersembunyi. Tak membiarkan orang lain melihat dirinya yang cacat.
Sebuah helaan napas berat meluncur dari bibir berkumis itu. Vlad menunduk, memandang bagian bawah tubuhnya yang tertutup kain flannel berwana merah hati dengan corak aneh. Motif yang sama sekali tidak dirinya sukai. Ingin sekali dia menyingkirkan kain itu dari tubuhnya. Namun, jika Vlad sampai melakukan hal tersebut, maka dia akan melihat dengan jelas bahwa dirinya kini telah kehilangan sebelah dari sepasang penopang tubuh tegapnya.
“Vlad, ada tamu untukmu,” ucap Elke yang kembali masuk ke kamar sang anak.
“Apakah Mykola sudah datang?” tanya Vlad saat menanggapi laporan sang ibu.
“Iya. Apa kau ingin menemuinya?” Elke harus meminta persetujuan Vlad terlebih dulu, sebelum mengizinkan siapa pun yang hendak menemui pria itu.
“Suruh saja masuk,” balas Vlad.
“Tapi …,” ucap Elke tertahan. Dia melihat Vlad sudah mengarahkan kursi rodanya ke dekat jendela dengan posisi membelakangi. Hal itu menandakan bahwa Vlad tak ingin bicara, apalagi sampai berdebat. Elke pun keluar dari sana.
Beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke kamar Vlad. Mykola Vanko. Pria berusia dua puluh sembilan tahun. Berambut gelap dengan tatanan rapi ke samping. Mykola memiliki kontur wajah tegas khas pria Rusia. Sepasang iris matanya yang berwarna hitam, membuat dia terlihat agak misterius. Terlebih, karena Mykola memang seseorang yang tidak terlalu banyak bicara.
“Apa kabar, Tuan Ignashevich?” sapa Mykola sopan.
Namun, Vlad tak segera membalas. Dia juga tidak membalikkan kursi rodanya. Pria berambut gondrong tersebut masih memandang ke luar.
Mykola merupakan satu-satunya orang yang biasa mengunjungi Vlad. Dia sudah terbiasa menghadapi sikap tak bersahabat pria berambut pirang tersebut. Karena itulah, Mykola tetap terlihat tenang dengan penyambutan yang dirasa tak menyenangkan seperti saat ini.
“Sombong sekali,” ucap seorang wanita yang suaranya terdengar asing di telinga Vlad. Membuat pria dengan kursi roda itu segera berbalik.
Seketika, pria berambut gondrong tadi memperlihatkan ekspresi terkejut bercampur tak suka. Dia menatap tajam kepada wanita muda yang berdiri di samping Mykola. Vlad, memperhatikan wanita itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Entah siapa wanita yang Mykola ajak ke sana untuk menemui Vlad. Namun, yang jelas si pemilik kamar tak menyukai ada orang asing masuk ke ruangan pribadinya. Apalagi sampai melihat dia dalam kondisi cacat seperti itu.
“Apa wanita ini kekasihmu? Kenapa kau membawanya kemari?” tanya Vlad dengan ketus.
“Tidak. Dia bukan kekasihku,” bantah Mykola. Pria tampan tersebut melirik wanita di sebelahnya untuk sesaat. Dia tersenyum simpul, lalu kembali mengarahkan perhatian kepada Vlad. “Ini adalah Nona Altea Miller. Mulai saat ini, Nona Miller akan merawat Anda. Kujamin dia tidak akan mengecewakan ….”
“Bawa dia pergi dari sini!” sela Vlad dengan tegas. “Aku tak membutuhkan seorang perawat,” ucapnya kemudian seraya kembali membalikkan kursi roda ke arah jendela kaca.
“Tuan …,” ucap Mykola lagi mencoba membujuk Vlad. Namun, dia segera mengurungkan niatnya, setelah melihat Vlad mengangkat tangan sebatas telinga. Itu merupakan tanda bahwa Vlad tak ingin menerima bantahan.
“Kau tidak bisa seenaknya begitu, Tuan,” protes wanita muda bernama Altea tadi. “Tuan Vanko sudah mengambilku dari yayasan. Pantang bagiku untuk kembali sebelum melaksanakan tugas.”
“Kau bukan pemadam kebakaran, Nona. Kau bisa pergi meskipun api masih berkobar,” sahut Vlad dingin.
“Bagaimana jika aku menolak?” tantang Altea.
“Aku tak menjamin. Kau akan menjilat ludahmu sendiri,” balas Vlad.
“Oh, itu tak masalah. Selama aku masih mendapatkan upah yang layak.” Altea terlihat begitu tenang saat menghadapi sikap dingin Vlad. Membuat pria berambut gondrong itu kembali membalikkan kursi rodanya. Dia menatap Altea dengan intens.
Sementara, Mykola hanya dapat mengembuskan napas pelan. Dia tak ingin ikut campur dalam perselisihan kecil yang berlangsung di depan matanya. Terlebih, saat Mykola melihat ekspresi wajah Vlad yang tampak sangat terganggu. “Ingatlah yang sudah kita bahas tadi sebelum datang kemari, Nona,” tegur Mykola pelan, dengan sedikit gerakan di bibirnya.
Altea yang tadinya seakan hendak menantang Vlad, harus mengurungkan niat setelah melihat isyarat dari Mykola. “Kau yang membayarku, Tuan. Jadi, aku menurut padamu,” ucap wanita muda tersebut. Dia mengalihkan pandangan kepada Vlad. Wanita muda itu tersenyum manis padanya.
“Izinkan aku mengabdi padamu, Tuan. Beri aku waktu dua bulan. Jika selama rentang waktu tersebut kau tak puas atau semakin terganggu oleh kehadiranku, maka kau boleh mengusir diriku kapanpun kau mau,” ucap Altea dengan sikap yang jauh berbeda dari yang dirinya tunjukkan di awal.
Mykola yang mendengarkan hal itu, segera melotot. Dia seperti ingin melakukan protes terhadap Altea melalui sorot mata. “Bukan seperti ini perjanjian awalnya,” gumam Mykola dalam hati.
“Dua bulan terlalu lama. Aku bisa mati depresi karena tertekan oleh kehadiranmu. Kuberi waktu kau sebulan!” tegas Vlad yang tiba-tiba menyetujui tawaran Altea, meski dengan tenggat waktu yang jauh lebih singkat.
“Jika dalam sebulan kau bisa menghibur serta menghilangkan rasa suntukku, maka dirimu boleh mengabdi di sini. Namun, apabila sebaliknya ... jangan pernah berharap bisa kembali lagi kemari!” Tersungging senyuman sinis di bibir tipis Vlad, setelah melancarkan ancaman tersebut.
Vlad membalikkan kursi rodanya ke jendela kaca. Itu sebagai pertanda bahwa perbincangan telah selesai. Dia tak berkata apa-apa lagi. Pria itu melanjutkan apa yang biasa dirinya lakukan. Merenung, sambil memandang danau luas di dekat rumah.
Mykola sudah paham dengan isyarat seperti itu. Dia melirik Altea yang masih berdiri sambil menautkan alis. Wanita muda tersebut belum memahami apa-apa. Tugas Mykola lah untuk memberi pengarahan terhadapnya. Pria tampan berambut gelap tersebut, mengajak Altea keluar dari kamar. Dia menutup pintu rapat-rapat. Mykola, membawa Altea menuju ke ruang tamu.
Altea Miller. Wanita muda berusia dua puluh tiga tahun. Cantik juga berani. Dia memiliki rambut panjang sebatas punggung. Tebal dan berwarna cokelat. Walaupun tidak tertata dengan rapi, tapi Altea masih terlihat manis dengan gaya rambut demikian.
Wanita muda itu juga memiliki bentuk tubuh ideal. Perutnya terlihat rata, dan sangat cocok dengan atasan crop top yang dia kenakan. Sedangkan untuk terusannya, Altea memakai celana cargo panjang. Dari penampilannya, sudah menggambarkan seperti apa karakter wanita muda bermata cokelat tersebut.
"Jangan gegabah, Nona Miller. Kau tak tahu seperti apa karakter Tuan Vlad Ignashevich," tegur Mykola seraya mengarahkan agar Altea duduk di salah satu kursi.
"Aku akan segera mengetahuinya," sahut Altea enteng sambil duduk tenang.
"Jangan meremehkan pekerjaan ini," tegur Mykola lagi dengan raut yang terlihat serius. Seharusnya, hal itu sudah cukup dipahami oleh Altea, bahwa Mykola tidak sedang bermain-main.
"Tentu saja tidak, Tuan Vanko. Kau tidak usah mengkhawatirkan hal itu. Aku tahu apa yang harus kulakukan," balas Altea. Dia mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya. Sebelum Altea sempat mengambil dan menyulut rokoknya, Elke terlebih dulu muncul di sana. Wanita paruh baya tersebut menghidangkan minuman beserta kudapan khas Jerman, Apfelstrudel.
"Kenapa harus repot-repot, Nyonya Ignashevich." Walaupun tidak terlalu banyak bicara, tapi Mykola ternyata pria yang ramah dan tak sungkan untuk berbasa-basi.
"Tidak apa-apa. Kebetulan aku membuat ini untuk Vlad. Tak ada salahnya jika kuhidangkan juga untuk kalian," ucap Elke sembari duduk di salah satu kursi. Wanita berambut pirang tersebut kemudian mengalihkan pandangan kepada Altea yang terlihat ingin sekali mencicipi makanan di atas meja. "Jangan sungkan, Nona Miller." Elke tersenyum hangat kepada wanita muda tersebut.
"Kelihatannya enak sekali, Nyonya. Dulu, mendiang ibuku juga suka membuat kue seperti ini," ucap Altea membalas senyuman Elke.
"Mendiang ibumu?" Elke masih melayangkan tatapan pada wanita muda yang akan menjadi perawat putranya.
"Ya. Ibuku meninggal sekitar enam tahun yang lalu. Setelah itu, aku tinggal bersama ayah dan seorang kakak. Namun, sekarang kakakku sudah berkeluarga," tutur Altea tanpa ada rasa canggung sama sekali.
Sementara Mykola hanya mendengarkan obrolan santai itu sambil memainkan ponsel. Dia sibuk membalas beberapa pesan masuk. Beberapa saat kemudian, Mykola memberi isyarat pada Altea untuk segera menghabiskan minuman dan kue yang ada dalam genggaman wanita muda tersebut.
Altea sempat menautkan alis untuk sejenak. Namun, akhirnya dia mengangguk. “Selama bekerja di sini, di manakah aku akan tidur, Nyonya?” tanya Altea tanpa basa-basi, sambil mengunyah kue dan meneguk espresso-nya dengan terburu-buru.
“Oh. Nanti kusiapkan satu kamar di lantai dua. Di dekat kamar Vlad. Dengan begitu, kau tak akan kesulitan jika harus mendatangi kamar putraku sewaktu-waktu,” jelas Elke ramah.
“Baiklah. Sepertinya itu ide yang bagus,” sahut Altea antusias.
“Kurasa tidak ada masalah lagi, Nyonya. Aku jadi bisa kembali ke kota dengan lega,” ucap Mykola yang sudah beranjak dari duduknya.
“Aku akan mengantar Tuan Vanko,” pamit Altea seraya mengikuti Mykola.
“Terima kasih atas bantuanmu, Mykola. Kau benar-benar mengerti akan keadaanku yang mulai cepat lelah,” ucap Elke sembari melambaikan tangan pada Mykola yang sudah tiba di ambang pintu.
“Sudah seharusnya aku membantumu, Nyonya,” balas Mykola seraya mengangguk. Dia menutup pintu depan setelah Altea sudah berada di luar rumah.
“Apa yang kau rencanakan, Nona Miller?” tanya Mykola penasaran. Tatap matanya terfokus pada Altea. Dari ekspresi yang dia tunjukkan, terlihat jelas bahwa pria itu merasa keberatan.
“Aku tidak merencanakan apapun, Tuan,” jawab Altea enteng.
“Perjanjian kita sedari awal adalah membuatmu bekerja melayani Tuan Vlad Ignashevich tanpa batas waktu,” ucap Mykola dengan kata-kata penuh penekanan.
“Anda bisa melihat sendiri bahwa Vlad menerima kehadiranku dengan sangat terpaksa. Lalu, apa lagi yang harus kulakukan?” Altea menggeleng tak mengerti. "Sepertinya, dia tak bersahabat dengan manusia," celetuk Altea seenaknya.
"Jangan asal bicara, Nona Miller," tegur Mykola.
"Astaga. Kau dan pria di dalam sana benar-benar tak memiliki selera humor," cibir Altea.
“Sudahlah. Tugasmu adalah membuat Tuan Vlad bisa menerimamu. Karena itulah kau kubawa kemari,” tegas Mykola.
Altea terdiam melihat raut wajah Mykola yang semakin serius dan tampak sedikit menakutkan.
“Ingat kesalahanmu, Nona. Aku adalah kunci yang dapat membawamu ke dunia bebas atau kehidupan serba terbatas di balik jeruji besi,” ancam Mykola dengan gaya bicara yang tenang. Dia membalikkan badan menuju mobil mewahnya. Meninggalkan Altea yang masih terpaku di depan pintu.
Mykola berdecak kesal, ketika membuka pintu mobil. Dia berusaha duduk nyaman di balik kemudi. Mykola sempat mengetuk-ngetukkan jari, lalu menoleh pada Altea yang masih berdiri di tempatnya, sebelum mengarahkan pandangan ke depan.
Pria rupawan itu mulai menjalankan mobil dengan kecepatan sedang menuju Hamburg, kota metropolitan terdekat. Dalam perjalanan itulah, benaknya memutar kejadiaan saat pertama kali bertemu dengan Altea.
Waktu itu, Mykola sedang terburu-buru hendak mengadakan pertemuan penting, di restoran mewah yang terletak tak jauh dari kantor tempatnya bekerja. Perusahaan besar milik Vlad Ignashevich berada dalam tanggung jawabnya, sejak sang tuan memilih untuk bersembunyi dan menghindar dari manusia.
Jarak restoran yang tak terlalu jauh dari kantor, membuat Mykola memutuskan untuk berjalan kaki. Saat hendak menyeberang, dia bertabrakan cukup keras dengan seorang wanita.
Mykola tak terlalu memedulikan hal itu. Dia melanjutkan langkah menuju restoran.
Namun, tatkala jamuan makan siang berlangsung, saat itulah dia menyadari bahwa jam tangannya lenyap dari pergelangan. “Astaga.” Mykola tertawa pelan. Menertawakan kebodohannya yang tak menyadari bahwa dia telah kecopetan. Dalam sepersekian detik, Mykola sudah dapat menebak siapa pelakunya. Tentu saja wanita yang menabraknya tadi.
Mykola tetap bersikap tenang dan fokus pada acara makan siang, sekaligus pertemuan bisnis yang teramat penting tersebut. Tak dipedulikannya jam tangan mewah berharga ribuan Euro yang hilang. Dia masih memiliki belasan koleksi lain, di walk in closet penthouse miliknya.
Dua jam telah berlalu. Mykola begitu serius membahas beberapa topik bersama para kolega, hingga mendapatkan kata sepakat. Pertemuan itu menghasilkan keputusan yang menguntungkan perusahaan. Jamuan makan siang itu pun ditutup dengan jabat tangan hangat penuh keakraban.
Perasaan puas dan lega mengiringi langkah pria asal Rusia tersebut, saat keluar dari restoran. Dia bermaksud kembali ke kantor. Namun, ketika dia hampir menginjakan sepatu pantofel di aspal tempat penyeberangan khusus pejalan kaki, Mykola mengurungkan niat. Tiba-tiba, tercetus ide dalam benaknya untuk mengambil rute memutar.
Apa yang dia lakukan, memang menghabiskan banyak waktu. Namun, tak masalah baginya. Selama dia bisa mendapat hiburan.
Langkah kaki Mykola, membawa dia ke deretan pertokoan. Beberapa di antaranya adalah butik-butik mahal yang menjual merek pakaian ternama. Dia lalu teringat pada ulang tahun Jessie, sekretaris yang sudah banyak membantu pekerjaannya.
“Satu stel pakaian kerja dengan harga mahal, mungkin cukup untuk menunjukkan rasa terima kasih dan penghargaanku padanya,” gumam Mykola dalam hati. Dia memasuki sebuah butik ternama.
Mykola sempat berhenti untuk mengagumi penataan ruangan yang tampak begitu elegan dan indah. Dinding butik didominasi oleh kaca serta lampu gantung kristal yang begitu artistik dan terlihat mahal.
Mykola kembali berjalan dan menyusuri setiap rak gantung, untuk mencari setelan yang sesuai. Lagi-lagi, dia harus berhenti saat pandangannya menangkap sesosok wanita yang terlihat tidak asing baginya.
Diam-diam, Mykola mengawasi wanita muda itu dari balik rak gantung yang berhasil menyembunyikan tubuhnya. Namun, Mykola masih dapat memperhatikan setiap gerak-gerik dilakukan oleh gadis berambut cokelat itu.
Mykola memperkirakan gadis itu berusia di bawahnya. Mungkin sekitar usia dua puluhan. Gadis itu tengah sibuk menggosok bagian dalam krah baju yang dibawanya. Dia lalu membawa baju tersebut ke dalam bilik ganti.
Merasa penasaran, Mykola terus mengikuti si gadis sampai di depan kamar dengan tirai abu-abu tersebut. Dia menungunya di sana, sampai wanita muda tadi keluar dan membuka tirai.
Gadis itu tampak sangat terkejut, ketika melihat sosok jangkung, berdiri menghadang jalannya. “Permisi. Aku ingin lewat,” ujarnya.
“Di mana kau sembunyikan baju tadi?” tanya Mykola tanpa memedulikan ucapan si gadis.
“Baju apa? Aku tidak mengerti maksudmu,” kilah gadis itu dengan wajah tak berdosa.
“Baju yang sempat kau rusak barcodenya,” jawab Mykola sambil tersenyum kalem.
“Apakah baju tadi sedang kau sembunyikan di balik kemeja super besar dan celana kargo yang kau pakai itu?” tukasnya.
“Ah! Aku tidak ada waktu untuk lelucon macam ini.” Gadis itu mengelak sambil tertawa pelan. Dia hendak berlalu begitu saja dari hadapan Mykola.
Namun, sebelum gadis tadi benar-benar pergi, Mykola lebih dulu mencekal lengan wanita muda itu sembari berbisik, “Aku adalah saksi mata perbuatan kriminalmu, Nona. Pertama, kau telah mencuri jam tanganku. Asal kau tahu, jam tangan yang kupakai itu hanya diproduksi lima puluh buah saja di seluruh dunia. Kau bisa membayangkan betapa mahalnya, bukan?”
“Jika kau hendak menjualnya pada penadah, pasti kau hanya mendapatkan sedikit keuntungan. Mereka tak mungkin membayar benda itu dengan mahal. Lagi pula, jam tangan itu tak dilengkapi sertifikat ataupun surat-surat penunjang keasliannya,” ucap Mykola masih sambil berbisik.
“Kedua. Harga baju yang kau curi ini juga cukup mahal. Setara upah pekerja bagian produksi selama tiga bulan. Aku bisa dengan mudah menyeretmu ke bagian keamanan dan membuktikan ucapanku, bahwa kau adalah seorang pencuri. Kau bisa ditangkap dan diseret ke kantor polisi, lalu diadili. Jika kau tak ingin dipenjara, dirimu bisa membayar denda yang nominalnya berkali-kali lipat lebih banyak dari barang yang kau ambil ….”
“Baiklah! Aku mengaku salah dan kalah! Apa yang harus kulakukan!” Dengan berani, wanita muda itu memotong perkataan Mykola begitu saja.
“Aku menawarimu pekerjaan tanpa batas waktu,” jawab Mykola sambil tersenyum penuh arti. “Aku juga akan memberikanmu gaji yang sesuai. Jadi, kau tak perlu melakukan tindakan kriminal lagi seperti ini,” pungkasnya.
Elke mengantar Altea ke kamar yang akan wanita muda itu tempati. Letaknya memang berdekatan dengan kamar milik Vlad. Altea tak harus menempuh hingga sepuluh langkah, untuk dapat menjangkau ke ruang pribadi pria yang akan dirinya rawat tersebut.
“Semoga kau betah di sini, Nona Miller,” ucap Elke setelah menunjukkan kamar dengan ukuran tidak terlalu luas itu.
“Tentu, Nyonya. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk merawat putra Anda,” balas Altea.
“Kuharap begitu ….” Elke menjeda kata-katanya. Dia menatap Altea beberapa saat. Memperhatikan wanita muda tersebut dari ujung rambut hingga ujung kaki. Perhatian Elke terpaku pada atasan crop top yang Altea kenakan. “Apa kau membawa banyak pakaian saat datang kemari, Nona Miller?” tanyanya setelah sempat terdiam.
“Tidak terlalu banyak. Aku hanya membawa beberapa. Namun, aku bisa pulang terlebih dulu untuk membawa pakaian lagi jika ….”
“Apa kau tak keberatan jika kuberikan pakaian yang telah kusiapkan untukmu?” tanya Elke hati-hati.
Altea tak segera menjawab. Wanita muda itu berpikir sambil menatap ibunda Vlad. Altea seperti tengah mempertimbangkan tawaran tadi. “Apakah itu seperti seragam untuk seorang baby sitter?” tanya si pemilik rambut cokelat tersebut.
“Um … ya, anggap saja begitu,” jawab Elke ragu. Dia tak yakin jika Altea bersedia, terlebih setelah dirinya melihat ekspresi wanita muda itu yang tampak keberatan. “Ah, lupakan. Aku hanya memberikan penawaran untukmu. Tak harus kau setujui. Namun, aku akan tetap memberikan pakaian yang sudah kusiapkan. Kau tak perlu memakainya jika merasa tak nyaman.” Elke tersenyum lembut. Dia lalu keluar dari kamar. Meninggalkan Altea seorang diri.
Sepeninggal Elke, Altea segera meletakkan ransel kecil yang dia bawa sejak tadi. Tas itu berisi beberapa potong pakaian yang selalu dirinya bawa ke manapun. Ke manapun? Ya.
Altea bukan tak memiliki tempat tinggal. Namun, dia memilih hidup di jalanan dan tidur di mana saja yang dirinya inginkan.
Altea memiliki banyak teman. Dia biasa menginap di rumah siapa saja, yang bersedia menampung dirinya untuk satu atau dua malam. Seperti itulah kebiasaan gadis dua puluh tiga tahun tersebut. Jika saat ini Altea mendapatkan kamar yang tidak senyaman hotel bintang lima, maka bagi dia sudah merupakan sebuah surga. Setidaknya, wanita muda itu memiliki tempat tidur sendiri.
“Ah, nyaman sekali,” ucap Altea sembari mengempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia memandang langit-langit dengan lampu gantung sederhana. “Apa yang harus kulakukan saat merawat pria cacat itu?” gumamnya. Altea mengembuskan napas kasar, sebelum dia mendengar sebuah suara yang entah berasal dari mana.
Altea segera bangkit. Dia mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar. Pandangan wanita muda itu akhirnya terkunci pada sebuah benda di atas buffet kayu yang berada tak jauh dari tempat tidur. Benda itu mirip sebuah radio pemanggil. Di sana, tampak warna merah yang terus menyala.
Dengan ekspresi yang dipenuhi keraguan, Altea beranjak dari ranjang kecil tadi. Dia berjalan ke dekat buffet kayu itu. Diraihnya radio pemanggil yang masih menyala tersebut. Dia lalu menekan tombol untuk menerima panggilan yang masuk.
“Lambat sekali.” Suara seorang pria terdengar di sana.
“Siapa ini?” tanya Altea ragu.
“Tetangga kamarmu, Nona,” jawab si pemilik suara tadi.
“Tuan Ignashevich?” Altea menggerakan bola matanya dengan tidak beraturan.
“Kau pikir siapa? Malaikat dari surga?” sindir Vlad yang seketika membuat Altea tertawa renyah. “Apanya yang lucu?” tanya pria itu sinis.
“Tentu saja kau, Tuan,” jawab Altea polos. “Apa kau membutuhkan sesuatu?” tanya Altea.
“Haruskah kau bertanya?” Vlad balik bertanya.
“Baiklah.” Altea meletakkan radio pemanggil tadi begitu saja di atas buffet. Dia bergegas keluar kamar. Dengan langkah cepat, wanita muda itu berjalan menuju kamar Vlad.
Setibanya di depan pintu, Altea langsung mengetuknya pelan. Tanpa menunggu jawaban dari dalam, si pemilik mata cokelat itu masuk ke sana.
Di dalam kamar, Altea mendapati Vlad tengah duduk dekat jendela. Seperti biasa, pria itu tengah memandang keluar. Pada bentangan danau yang indah tak jauh dari kediamannya.
Altea melangkah perlahan ke dekat Vlad berada. “Tuan,” sapanya pelan.
Akan tetapi, Vlad tak menjawab. Menoleh pun tidak. Pria berambut sebahu itu, masih asyik dengan objek di luar sana yang menjadi fokus perhatiannya.
Merasa penasaran, Altea mencoba mengikuti arah pandang pria tampan di sebelahnya. Namun, dia tak menemukan sesuatu yang aneh, selain dari sekumpulan air yang bergerak karena embusan angin. Altea lalu mengalihkan perhatiannya kepada Vlad. “Apa kau lapar, Tuan?” tanyanya.
“Tidak,” jawab Vlad singkat.
“Apa kau ingin kudapan?” tanya Altea lagi.
“Apa bedanya dengan pertanyaan pertama?” Vlad menanggapi tanpa menoleh sedikit pun, kepada wanita cantik dengan rambut yang sedikit acak-acakan tersebut.
“Tidak ada,” jawab Altea enteng. Dia kembali melirik pria berambut pirang yang masih menerawang keluar jendela. Altea tak tahu harus berkata apa. Karakter pria itu tak seperti teman-temannya yang banyak bicara dan menyenangkan. “Astaga. Ada apa dengan pria ini?” gumam wanita muda itu dalam hati.
Kebisuan mulai bertahta. Vlad larut dalam pikirannya sendiri. Sedangkan Altea sibuk memikirkan cara agar dirinya bisa nyaman berada di sana. Sebuah ide tiba-tiba tercetus dalam benak si pemilik postur 170 cm tersebut. Altea tersenyum sendiri. Dia kembali melirik Vlad. Sejak tadi, posisi pria itu tak berubah sama sekali. Sesuatu yang terlihat sangat membosankan.
“Apa kau memiliki sahabat tak kasat mata, Tuan?” Sebuah pertanyaan yang teramat konyol, tiba-tiba terlontar dari bibir wanita dua puluh tiga tahun tersebut.
Vlad yang sejak tadi mengarahkan pandangan keluar, langsung mengalihkan perhatiannya. Dia menatap aneh kepada Altea. “Maksudmu?” Pria tampan bermata biru itu menautkan alis karena tak mengerti.
“Ya, semacam sahabat hantu,” jawab Altea. Ucapannya terdengar semakin konyol. “Menurutku, kau seperti tak menyukai kehadiran manusia,” celetuk Altea enteng.
Vlad menyunggingkan senyuman sinis saat mendengar ocehan tak jelas wanita muda itu. Dia kembali menatap keluar jendela. “Aku tak tahu dari mana Mykola menemukanmu,” ucap pria itu dingin.
“Memangnya kenapa?” tanya Altea.
“Lihatlah penampilanmu.” Vlad menoleh sejenak kepada Altea, sebelum kembali menatap keluar. “Yayasan mana yang menerima wanita urakan seperti dirimu,” ujarnya masih terdengar sinis.
Altea sendiri tak berniat menanggapi ucapan Vlad barusan. Dia sama sekali tak punya bayangan untuk berkata bohong. Akan tetapi, Altea juga tak mungkin mengatakan bahwa dirinya menerima pekerjaan menjadi merawat Vlad hanya agar terbebas dari jerat hukum. “Yayasan yang menaungiku tidak mewajibkan untuk berpenampilan ….” Sebelum Altea sempat menyelesaikan kalimatnya, suara ketukan di pintu membuat wanita itu segera terdiam. “Akan kubuka,” ucapnya.
Altea berjalan menuju pintu. Dia lalu membukanya. Tampaklah wajah ramah Elke dengan senyuman hangatnya. Di tangan wanita paruh baya tersebut, ada sebuah nampan berisi makanan. “Ini untuk makan malam Vlad,” ucapnya.
“Seharusnya kau memanggilku turun dan mengambil nampan ini, Nyonya,” jawab Altea tak enak.
Elke menanggapinya dengan menggeleng pelan. “Apakah Vlad yang menyuruhmu kemari?” tanyanya setengah berbisik.
“Iya, Nyonya. Dia memanggilku lewat radio pemanggil,” jawab Altea tak kalah pelan.
“Apa dia menyuruhmu melakukan sesuatu?” tanyanya lagi dengan suara yang semakin pelan.
“Tidak ada, Nyonya. Dia hanya menyuruhku diam dan berdiri di sebelahnya. Ini sangat membingungkan.” Kening Altea berkerut. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Sementara, raut wajah Elke berubah ketika mendengar jawaban Altea. Dia memandang wanita muda itu dengan sorot penuh arti.
“Ini adalah suatu keajaiban, Nona Miller,” ujar Elke, membuat Altea bertanya-tanya.
“Keajaiban apa?” tanya wanita dengan atasan crop top putih itu.
“Sebelumnya, Vlad tak mau ada seorang pun yang mendeka meski hanya untuk beberapa detik. Jangankan memanggil agar masuk ke kamar,” terang Elke seraya tersenyum samar.
Altea hanya tersenyum setelah mendengar itu. Dia menoleh kepada Vlad yang masih berada dekat jendela. Apa yang Elke katakan memang terdengar sangat manis. Namun, jika melihat sikap Vlad terhadapnya, Altea merasa tak yakin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!