Langkah kaki membawanya menyusuri jembatan. Sore hari yang indah ini begitu cocok untuknya karena dia baru saja menerima kenyataan.
"Maaf, aku tidak tahu kalau Ibuku akan menolakmu." ucap Surza Norka. Seorang Pria yang memiliki wajah tampan dengan kekayaan di sisinya.
Wanita yang berjalan menyusuri jembatan itu, memiliki tinggi badan 160cm dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Dia berbalik badan dan melihat pria yang baru saja mengajaknya berbicara.
"Untuk apa bersedih, lagi pula apa yang di katakan ibumu itu benar. Aku, tidak pantas untuk keluarga kalian." tuturnya.
Surza Norka mendekat ke arah Wanita yang masih menunjukkan senyumnya. Dia memeluk wanita itu dan berucap, "Vie Maherqi, maafkan atas apa yang dikatakan oleh Ibuku. Aku tidak bisa mengambil keputusan yang bertentangan dengannya. Dia, Ibuku satu-satunya, maaf."
Vie Maherqi, wanita berusia 22 tahun itu membalas pelukkan dari kekasihnya. Tidak, bukan lagi kekasih, melainkan mantan kekasih. Hubungan dari sekolah menengah akan berakhir di sini.
Usia kekasihnya baru saja menginjak 23 tahun. Di usia itu, mereka berencana untuk menikah. Namun, semua rencana hancur setelah penolakkan keluarga Norka.
"Dia Ibumu, sedangkan aku adalah orang asing yang dinilai tidak mampu bersanding denganmu. Surza, turuti apa yang Ibumu katakan. Karena semua itu, ada benarnya." ucap Vie.
Pelukkan mereka berakhir dengan Vie meninggalkan kekasihnya. Hubungan mereka berakhir di sini. Cinta pertama yang memberi keindahan dengan sejuta kenang-kenangan, akan di lenyapkan setelah mereka berpisah.
Vie, menaiki sebuah taksi yang dia pesan. Dengan bersandar di kursi mobil, dia mengingat bagaimana perlakukan keluarga Norka padanya.
"Jadi nama kamu Vie ya, tidak ada marga di dalam namamu, nak?" tanya Nyonya Norka, Ibu Surza.
Duduk di ruang tamu dalam rumah megah tidak membuat Vie norak. Dia tetap tenang dengan senyum yang selalu terukir.
"Marga? Hm, Vie punya, cuma tidak seterkenal Marga Norka, Tante." sahutnya.
Mendengar hal itu, wajah Nyonya Norka berubah seketika. Yang tadinya ramah tamah menjadi dingin dengan pandangan merendahkan.
Vie tetap tenang, Dia menunggu pertanyaan selanjutnya dari calon mertua.
"Maaf ya Nak, tante tidak bisa menyetujui hubungan ini. Secara, margamu saja tidak seimbang dengan marga kami. Orang-orang akan memandang buruk keluarga ini, mendapatkan menantu dari orang yang tidak di kenal. Maaf banget," tutur Nyonya Norka.
Vie mengangguk, dia segera bangun dan bergegas pamit setelah mendengar hal itu.
"Hanya karena Marga, apakah hubungan seseorang harus dari Marga dulu?" gumam Vie. Mengingat kejadian itu, dia ingin tertawa.
"Pak, mau tanya boleh engak?" Vie berbicara dengan supir yang mengendarai mobil. Rasa bosannya dan sedikit kesal membuatnya ingin mencari pelampiasan.
Namun, tidak ada tempat seperti itu. Dia pun memutuskan berbincang dengan Pak Supir agar perasaan campur aduknya menghilang.
"Silahkan mbak," sahut Pak Supir.
Vie tersenyum, "Pak, menurut Anda apakah wanita yang Marganya rendahan itu, selalu di pandang buruk oleh orang lain?"
"Aduk mbak, kok bertanya masalah Marga. Siapa yang mau mbak kalau Marga rendahan, saya pun tidak akan mau, takut ketularan. jadi bisa membuat kita mengalami kesialan loh. Emang, Marga mbak apa ya?" Jawab Pak Supir.
Mendengar hal itu, senyum yang terukir dibibir Vie menghilang seketika. "Yeah, Marga itu penting ya Pak," ucap Vie dengan nada mencibir.
Pak supir sedikit bingung mendengarnya. Dia ingin bertanya tapi tempat tujuan telah tiba. Mobil pun berhenti di gerbang besi yang bercorak hitam. Ada tiang yang bertulisan 'MAHERQI' di sana.
"Bekerja sebagai pelayan di sini, Mbak?" tanya Pak Supir dengan mengambil kesimpulan dari penglihatannya.
Vie tersenyum, dia melangkah keluar dari mobil taksi. Seorang pengawal bergegas mendekatinya.
"Selamat sore Nona Muda Vie," ucap pengawal itu.
Pak supir yang membuka kaca jendela mobil terteguh, dia menatap dengan mata membelak.
"Pak, Marga ku Maherqi, namaku Vie Maherqi. Terima kasih jawaban Anda. Oh ya, Pengawal tolong," Vie meninggalkan pengawal. Sedangkan Pak supir yang mendengar itu terdiam di tempat.
Masuk ke dalam gerbang, Vie melihat seorang wanita dengan tinggi yang tidak jauh darinya. Hanya, umur mereka yang berbeda satu tahun.
"Vie!" teriak Tiasa Ina. Wajah cantik dengan kulit putih miliknya. Berbanding jauh dengan Vie yang berkulit sawo matang.
"Hm," Vie sedang tidak ada minat untuk berbicara dengan orang lain. Pikirannya saat ini masih mengingat tolakkan Ibu Surza dan Pak Supir.
Tiasa Ina, wanita berusia 21 tahun menatap bingung dengan keponakkannya ini. Tiasa Ina adalah Adik Sepupu Ayahnya Vie.
"Ada apa denganmu hm? Bukankah hari ini, Kau akan bertemu dengan ibu mertua. Bagaimana hasilnya?" tanya Tiasa.
Vie menghela napas dan mempercepat langkahnya.
Tiasa segera mengejar Vie. Dia melangkah mengikuti keponakkannya itu.
Setiba di dalam rumah, seluruh keluarga berkumpul di ruang tamu. Vie dan Tiasa terteguh melihatnya.
"Wow, acara apa nih? Kok aku engak tahu ya," celetuk Tiasa yang memang tidak tahu apa pun.
Vie mengangguk kepala menyetujui ucapan Tantenya itu.
"Kemarilah cucu tertuaku dan Tiasa." seru Kakek kepala keluarga Maherqi, Guvan Maherqi.
Tiasa segera duduk di sofa kosong sedangkan Vie memilih untuk berdiri di belakang sofa.
"Ada apa denganmu?" tanya Otavi Inoel, wanita yang sedikit berisi itu berusia 21 tahun, lebih tua satu bulan dari Tiasa.
Tidak tinggal diam, wanita lain bernama Nala Bi yang berusia 17 tahun ikut menatap Vie. "Pasti Kak Vie baru saja di tolak mentah keluarga Norka." tebaknya.
Vie segera menoleh ke arah adik sepupunya itu. Dia tersenyum, "oh benar sekali."
Kepala keluarga Maherqi segera menyuruh Vie untuk duduk di sampingnya. mau tidak mau, Vie duduk di sana.
"Cucuku, cucu pertama, anak pertama, perempuan lagi. Jangan patah semangat, lelaki masih banyak diluar sana. " ucapnya.
Vie mengangguk. "Iya Kek," sahutnya.
"Oke, sekarang kita langsung ke intinya saja. Lihat di meja itu, ada empat undangan dengan nama kalian di sana." ucap Kakek Durvan.
Vie, Otavi,Tiasa dan Nala segera mengambil undangan tersebut. Mereka membuka masing-masing undangan dan membacanya.
"Kami, mengundang Kamu untuk hadir dalam program khusus," ujar Vie.
Tiasa juga membaca bagiannya, "Kalian di pilih oleh kami dalam program ini, membuktikan kalian layak,"
"Menjadi calon istri dari Tuan Muda kami," Alis Otavi berkedut.
"Kami, keluarga besar Michael. Membuat program ini untuk mencari calon istri bagi penerus kami. Jika berkenan untuk ikut, bersiaplah. Kami akan menjemput kalian." tutup Nala dengan terkekeh.
"Apa-apaan ini, mereka bukannya keluarga yang terkenal di kota S ini kakek?" lanjut Nala.
Kakek Durvan mengangguk, "hm ... kalian berempat terpilih menjadi calon-calon istri penerus mereka."
"Untuk apa ke sana," celetuk Vie.
"Untuk mencari jodoh dong Vie, kau baru saja di tolak keluarga Norka. Kenapa tidak mencoba keluarga ini saja. Oh ya, katanya kalau tidak terpilih, akan mendapatkan hadiah lain." ujar Ibu Vie, Rusmi Maherqi.
Vie hanya menghembuskan napasnya dengan perlahan. "Seterah lah," ucapnya.
"Baiklah, kemasi barang kalian untuk tinggal di sana. Oh ya, kalian akan tinggal selama satu bulan." ucap Kakek Durvan.
"Apa!!!"
...●●●...
MICHAEL PROGRAM, tulisan itu terpajang di depan mata. Vie menarik kopernya bersama Tiasa,Otavi dan Nala.
Masuk ke halaman utama dari tempat megah itu. Mereka saat ini berada di sebuah Vila terbesar kota S. Vila itu berdekatan dengan sungai panjang di kota itu. Di tambah, letak Vila ini jauh dari pemukiman.
"Gila, kita hanya tinggal di sini berempat?" tanya Tiasa.
"Tidak, ku rasa itu mustahil. Kan adanya program ini karena mereka mencari calon istri. Jadi, tidak mungkin kita berempat." sahut Ovati.
"Apa yang tidak mungkin?" tanya Nala.
Vie hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka bertiga. Dia memperhatikan halaman luas di Vila ini. "Program khusus? Tidak salah nih?" gumamnya.
"Kalian tidak tahu, penerus Keluarga Michael terdapat lima orang, yang pertama itu kalau engak salah Michael Fiqer." jelas Otavi.
"Fiqer? Namanya terkesan aneh," ujar Tiasa.
"Hm, aku pun berpikir hal yang sama." sahut Nala.
"Entahlah, aku tidak tahu orangnya. Sedangkan yang Kedua, Michael Kelvi." sambung Otavi.
"Kelvi, lumayan. Pasti tampan," Tiasa membayangkan bagaimana wajah Kelvi itu.
"Eh, jangan berhayal dulu. Siapa tahu nanti berakhir seperti Kak Vie, di tinggal kekasih karena pendapat Ibunya." celetuk Nala.
Baik Otavi maupun Tiasa. Mereka saling menegur Nala dari lirikkan mata.
Vie tahu kalau saat ini, mereka sedang menahan diri agar tidak menyinggungnya. "Apa yang sedang kalian lakukan? Aku tidak akan kehilangan rasa cinta. Hanya sebuah cinta pertama. Semua akan tergantikan dengan cinta yang lain." ucap Vie.
Ketiga orang itu hanya mengangguk dan segera mengikuti langkah Vie. Mereka akan memasuki Vila megah ini.
Setibanya di dalam. Sudah ada sekitar 16 orang yang berkumpul di ruang tengah. Ruangan itu begitu luas hingga membuat mata berbinar melihatnya.
"Banyak sekali yang di undang, hm ...," Tiasa menghitung jumlah orang yang ada di dalam ruangan. "Wow, semua berjumlah 20 orang." lanjutnya.
"Banyak sekali, ini pencarian calon istri apa selir?" celetuk Vie. Dia memperhatikan semua yang tiba di sini. Ada yang cantik, tambah cantik, bahkan lebih cantik pun ada. Yang terpenting, mereka bukan dari keluarga sembarangan.
"Tante Otavi, lanjutkan ceritamu. Siapa saja penerus keluarga Michael." tutur Nala dengan rasa penasaran.
Otavi mengangguk. "Yang Ketiga, Michael Senja. Keempat, Michael Resga. Terakhir, Michael Burka."
"Berarti totalnya lima orang?" tebak Nala. Otavi mengangguk kembali sebagai jawabannya.
"Mereka serakah atau bagaimana, Lima orang penerus memilih 20 orang yang ada di sini? Wow, luar biasa." ucap Tiasa.
Vie mengangguk setuju. "Yeah, Kalau tidak salah, Kepala keluarganya pun, ah maksudnya Ayah mereka juga memiliki lima istri." ucapnya. Otavi mengangguk setuju.
Nala dan Tiasa seketika tercenga mendengarnya. Mereka benar-benar tidak menduga, kalau keluarga Michael seperti ini.
"Tapi ada satu hal yang pasti Vie. Mereka, para penerus keluarga Michael, hanya di suruh menikah dengan satu wanita." imbuh Otavi.
Vie mendengus dan segera mendekati kerumunan orang. "Kalian juga pernah di tinggalkan. Jangan berharap lebih pada pria." tuturnya.
Otavi dan Tiasa merasa tertohok. Mereka berdua memang mengalami hal yang sama. Berakhirnya cinta pertama karena beberapa hal. Otavi yang di tolak karena badannya gemuk. Sedangkan, Tiasa terlalu kurus.
"Haha, di ulti sama Kak Vie." ejek Nala yang segera menyusul Vie.
"Nasib-nasib," gumam Otavi dan Tiasa bersamaan.
Berdiri dalam kerumunan orang-orang. Seorang pria berjas datang dengan ponsel di tangannya. "Selamat pagi semuanya, terima kasih sudah memenuhi undangan kami dengan mengikuti program ini. Saya harap, kalian tidak sedang menjalin sebuah hubungan dengan orang lain."
"Ah, perkenalkan namaku Faga, Seketaris keluarga Michael." lanjut Faga dengan mengarahkan ponselnya pada dinding di belakang.
Terlihat silde seperti kita tengah melakukan presentasi di ruang kerja. "Oke, pertama-tama ... program ini seperti judulnya, Sekolah Calon Istri. Kami akan mencari calon istri dari 20 orang untuk menjadi pendamping Lima penerus keluarga Michael."
"Seperti yang sudah kalian tahu, keluarga Michael merupakan keluarga ternama. Jadi, harap untuk tidak bertindak macam-macam. Satu lagi, jangan melakukan sesuatu di luar dugaan kami."
"Oh ya, ada beberapa hal yang akan saya sampaikan. Pertama, kalian akan berinteraksi secara langsung dengan lima penerus keluarga Michael."
"Lalu, Kedua, kalian tidak berhak menentukan keputusan karena yang mementukan semua itu ada di tangan para penerus."
"Selama berada di sini, kebutuhan kalian akan tercukupi. Namun, untuk memasak, semua harus membuatnya seorang diri. Bahan-bahan masakkan lengkap di dapur, jadi tidak perlu khawatir."
"Oh ya, usia semua orang di sini hanya sekitar 22 tahun. Yang paling muda di sini, dia!"
Semua mata menatap ke arah Nala. Karena dialah yang berusia 17 tahun.
"Oke, jadi perhatikan tingkah kalian mengerti. Untuk kamar dan hal-hal lainnya, kalian bisa melihat di kartu undangan itu. Lantai dua,kamar utamanya."
Faga pergi meninggalkan ruang tengah. Membiarkan kerumunan yang berisi 20 orang itu bergumam-gumam.
"Lihat kartu undanganmu, Vie? Aku dapat angka Lima." ucap Nala menunjukkan kartu gold miliknya.
"Lima? aku malah Empat!" Tiasa menunjukkan kartu gold yang sama. Hanya angkanya yang berbeda.
Otavi segera menunjukkan kartu seperti itu.,"kalau aku, Dua." ucapnya.
Tiasa dan Nala segera menatap tidak percaya. Angka Dua yang berarti di atas mereka.
"Kau sendiri, Vie?" tanya Otavi.
Tiasa dan Nala bergegas mendekati Vie. Undangan gold itu memiliki kilauan berbeda. "Satu!" sahut Vie dengan menunjukkan angka yang ada di sudut undangan.
"Gila, Kau seperti mendapatkan bintang emas, Vie." celetuk Tiasa.
Tidak tinggal diam, Nala ikut berucap. "Jadi, calon utama nih kayaknya. Cinta pertama berakhir di ganti cinta baru, eyaaa!"
Otavi menepuk pundak Vie. "Bagus, pertahankan keponakkanku. Semoga kali ini jodohmu di sini." tuturnya.
Vie mendengus, dia melangkah mundur untuk menjauhi kerumunan orang. Namun, saat langkah kedua di ambil, sesuatu menghalanginya.
"Hei, jangan menghalangi jalanku." ucap seseorang dengan nada tegasnya.
Vie segera berbalik dan menjauhkan diri.
"Maafkan aku," ujarnya.
Namun, Pria itu tidak menghiraukan apa yang Vie katakan. Dia melangkah bersama empat orang pria yang sedang menaiki pentas kecil itu.
"Tampaknya, mereka adalah penerus keluarga Michael. Aku tidak tahu, siapa yang menegurmu itu." bisik Otavi.
Mendengar hal itu, Vie hanya diam tanpa berucap apa-apa. Dia memperhatikan lima pria yang memiliki paras masing-masing. "Penerus Michael, kah?" gumamnya.
Seluruh mata melirik ke arah mereka. Lima pria yang menunjukkan raut wajah masing-masing. Siapa dia, apa dia penerus keluarga Michael? Semua itu tersimpan di dalam pikiran dari 20 wanita yang ada ruang tengah.
"Hallo semuanya, perkenalkan namaku, Michael Kelvi. Aku adalah penerus kedua keluarga Michael, salam kenal." sapa Pria dengan kacamata diwajahnya.
"Sopan sekali, jadi dia yang bernama Kelvi. Fiks, aku akan menjadi calon istrinya." bisik Tiasa kepada tiga orang di sampingnya.
Nala yang mendengar hal itu terkekeh pelan. "Ingat, sainganmu itu 20 orang. Jangan berharap lebih, seperti perkataan Kak Vie." bisiknya.
Tiasa segera bungkam mendengar apa yang di katakan oleh Nala.
"Terlalu sopan Kelvi. Perkenalkan aku, Michael Resga, Penerus ke empat. Salam kenal," ucap Pria yang bersebelahan dengan Kelvi. Nada bicaranya begitu dingin hingga Otavi merinding mendengarnya.
"Gila, berasa di kutub utara." celetuk Otavi dengan suara pelan.
Vie yang berada di sampingnya, segera merangkul Otavi. "Kau belum pernah ke sana, jadi tidak tahu seperti apa kutub utara itu." sahutnya dengan nada yang begitu pelan.
Otavi diam setelah mendengar itu. Baik Vie maupun Nala, mereka berdua mampu membungkam orang yang lebih tua dari mereka.
"Selanjutnya," ucap Kelvi menatap ke arah tiga orang yang tidak jauh darinya.
"Perkenalkan, Senja. Penerus ketiga," tutur katanya yang lembut membuat semua orang nyaman mendengarnya.
"Michael Burka, salam kenal semua!" Lambaian tangan diberikan sebagai keramahannya. Pria yang tampak muda dari keempat orang di sana.
"Tampan, Nala?" bisik Tiasa ke arah Nala. Nala hanya menatap tanpa memberi jawaban atau respon yang lain.
Saat semua orang lain menilai empat pria di sana. Mata Vie menatap ke arah pria yang bersedekap dada dengan menatap pada mereka.
Pandangan keduanya saling bertemu, membuat Vie segera memindahkan pandangannya. "Cih, aku jadi terlihat seperti orang curi-curi pandang. Menjijikkan," benak Vie.
"Kakak, silahkan perkenalkan dirimu." ucap Kelvi menatap pria yang memiliki tatapan dingin. Mata elangnya bergerak menuju ke arah dia. Dengan kikuk, Kelvi tersenyum sambil menelan saliva.
"Michael Ziqer, Penerus pertama." ucapnya dengan suara yang begitu dingin.
"Nah, ini tampak seperti beruang kutub," celetuk Otavi.
Vie hanya tercengir mendengar celetukkan itu. Dia tidak menduga akan bertemu pria aneh seperti ini. "Beruang kutub tidak cocok untuknya. Lebih cocok kucing kecil yang imut." ucap Vie.
Tiasa,Nala dan Otavi menatap Vie dengan pandangan tidak percaya. Mereka seakan bermimpi mendengar pendapat Vie.
"Baiklah, kita sudah saling mengenal nih. Kami, lima penerus yang akan memilih kalian sebagai seorang istri. But, kami tidak semudah itu menentukannya. Jadi, harap kerja sama yang baik agar kita bisa saling mengenal." ucap Kelvi setelah perkenalan mereka.
Tepukkan tangan Kelvi lakukan untuk menarik perhatian semua orang yang ada di dalam ruangan ini. "Sekarang, giliran kalian berkenalan. Masa cuma kami saja yang berkenalan, kalian tidak. Ada pepatah yang mengatakan, tidak kenal maka tidak sayang. Jadi, mari kita berkenalan,"
Semua yang mendengar itu segera memerah. Kecuali, Otavi, Tiasa dan Vie. Mereka bertiga tidak ada minat untuk membawa perasaan disetiap perkataan Kelvi.
"Perkenalannya berurutan ya, dari angkat satu hingga 20. Silahkan, yang mendapatkan angkat satu," lanjut Kelvi.
Seluruh mata mencari-cari siapa yang mendapatkan angkat pertama itu. Sangat sulit untuk bisa mendapatkan posisi teratas.
Namun bagi Vie, angkatnya ini hanya sebuah keberuntungan yang bikin sial. Dia dengan napas lelah berucap, "Vie!"
Ucapannya menarik perhatian. Mereka segera menatap Vie dengan berbagai tatapan. Ada tatapan tidak suka, tatapan senang dan biasa saja.
"Vie Maherqi," ucap Vie kembali.
Wanita yang menatap tidak suka segera terdiam. Mereka mengenal keluarga Maherqi. Keluarga itu memiliki keturunan yang lebih banyak perempuan.
Selain itu, mereka memiliki banyak teman yang bisa di bilang pelindung utama karena keluarga itu mementingkan kerjasama. Salah satu dari teman keluarga Maherqi, adalah keluarga Michael. Jadi, tidak perlu ditanya lagi kenapa mereka bungkam sekarang.
"Oh, Vie ya ... ternyata cucu pertama keluarga Maherqi secantik ini, salam kenal." ucap Kelvi.
"Cantik? Ku rasa, wanita yang ada di sampingnya itu lebih cantik." cibir Resga dengan tiba-tiba.
Wanita yang di sebut olehnya adalah Tiasa. Merasa dirinya yang menjadi perbandingan, membuat Tiasa menoleh ke arah Vie yang tidak berkata apa-apa.
"Pria ini, jangan membandingkan aku dengannya. Sial, aku akan terkena amarah paman." benak Tiasa.
"Aku yakin, wanita yang menjadi kriteriamu harus cantik, Tuan Muda Resga. Tenang saja, aku juga tidak ada minat dengan wajahmu itu." ucap Vie dengan sedikit mengangkat dagunya.
Melihat Vie yang sombong, membuat Resga mengerutkan alis. "Kau, wanita yang tidak punya sopan santun."
"Lalu, Anda juga sama. Barusan, Anda berucap tentang pujian cantik itu kan? Apa aku salah?" Vie berhasil memojongkan seorang penerus keluarga Michael.
Hening, itulah yang terjadi saat ini. Resga bungkam dengan emosi yang terpendam.
Sebelum Resga mengumpat, Kelvi segera mengambil alih suasana. "Waah, salam kenal Vie. Oke, kita lanjut lagi ya, silahkan nomor dua," ucapnya.
Otavi juga setuju dengan keputusan dari pria itu. "Otavi Inoel," ucapnya.
Semua segera mengalihkan perhatian mereka ke arah Otavi.
"Salam kenal Otavi, baik silahkan dilanjutkan." ucap Kelvi.
"Lily Laila," ucap Wanita yang mengepang rambutnya menjadi dua bagian. Dia tampak seperti anak remaja meski usianya sudah 20 tahun.
Nala yang melihat dirinya merasa kagum, Dia mengoyang-goyang lengan Tiasa. "Lihat, cantik banget." pujinya.
Otavi segera menenangkan Nala dengan menepuk pundaknya. Sedangkan, Vie memberikan usapan lembut ke arah kepala Nala yang segera diam.
"Tiasa Ina," lanjut Tiasa karena sekarang gilirannya. Disusul Nala dengan suara khas miliknya. "Nala Bi!"
Perkenalan berlanjut hingga angka terakhir. Setelah itu, Kelvi kembali mengambil alih suasana di ruangan utama ini.
"Baiklah, terima kasih semuanya karena sudah mengenalkan diri. Ku harap, kita bisa menjadi teman di sini. Besok, kita mulai semuanya, jadi ... silahkan beristirahat." ucap Kelvi.
Kelima pria itu segera melangkah pergi meninggalkan ruangan yang kini mulai berisik.
"Tampan banget ya, aku ingin menjadi istri yang kedua."
"Aku juga, aku ingin yang terakhir."
"Cih, aku malah tidak berharap banyak. Kalian lihat, saingan kita ini loh banyak."
"Benar."
Vie, Otavi, Tiasa dan Nala. Mereka melangkah menuju ke ruang tamu untuk beristirahat. Lelah berdiri dan menyaksikan perkenalan orang-orang.
"Aku tidak bisa menghapal nama mereka," celetuk Tiasa.
Nala mengangguk, "Mereka juga memiliki Marga."
"Semua yang mendapatkan undangan pasti dari keluarga ternama. Jadi, kita tidak bisa menganggap remeh mereka." sahut Otavi.
"Jadi maksudmu, kau akan bersaing dengan mereka untuk menikahi lima pria itu?" imbuh Vie.
Otavi terteguh mendengar perkataan Vie. Dia segera menggeleng kepala, "tidak! bukan begitu, maksudku ... kita, kita...,"
Melihat Otavi kewalahan, Vie hanya mendengus dan segera melangkah pergi. Dia ingin menata barangnya. "Aku akan pergi ke kamarku. Sampai jumpa," ucap Vie.
Otavi, Nala dan Tiasa segera menyusul Vie. mereka mengikuti Vie yang menaiki lantai dua.
Vila ini memiliki tiga lantai, mereka membaca undangan yang ada di tangan. Tertulis di sana, ada tiga lantai yang memiliki ruang khusus.
Di lantai pertama, untuk ruang tamu, dapur, dan Aula. Untuk di lantai kedua, berisi kamar-kamar semua orang. Jadi, tidak ada yang mendapatkan kamar di lantai bawah atau atas.
Kamar juga memiliki keistimewaan yang luar biasa. Kedap suara dan kamar mandi ada di ruang itu. Tidak perlu lagi mengantri untuk mandi pagi. Lalu, lantai ketiga memiliki beberapa ruang bebas. Seperti ruang olahraga, karaoke dan ruang bersantai di balkon atas.
"Wow, ini Vila atau istana. Semuanya di atur dengan baik." gerutuk Tiasa.
Otavi setuju mendengar gerutukkan itu. "Seberapa banyak yang mereka habiskan."
"Mungkin, Vila ini bisa menjadi hadiah pernikahan atau hadiah untuk orang yang mengikuti sekolah calon istri ini." sahut Vie.
Nala menatap ke arah Kakak sepupunya itu. "Eh, benarkah? Kalau begitu aku tidak perlu menikah kan?"
"Kau akan sekolah Nala, lihat undanganmu itu. Kamu harus sekolah hingga lulus dengan nilai terbaik. Belajarlah dengan benar," sahut Vie.
Otavi dan Tiasa mengangguk. "Benar, kau harus belajar." ucap keduanya.
Mendengar hal itu, Nala hanya mendengus dan tidak lagi melanjutkan ucapannya. "Mereka memojokkanku," benak Nala.
Setiba di kamar masing-masing. Ke empatnya berpisah. Vie, mendapatkan kamar yang dekat dengan kamar asing. Dia juga mendapati angka di tiap kamar yang berbeda.
"Oh, jadi angkanya di acak. Berarti, aku mendapatkan posisi di kamar pria ini. Cih, sekolah apa ini?" gumam Vie. Dia melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Vie menatap ke arah sekitar. Ada kasur yang begitu empuk, meski dia tahu kalau kasur itu tidalah murah. Lalu, ada nakas, ada juga pendingin kecil.
Lemari pun tidak akan terlewatkan. Vie memutuskan untuk tur di dalam kamarnya ini.
"Kamar mandi juga di buat dua bagian. Untuk mandi dan buang air kecil. Luar biasa, di dekor dengan sangat bagus. Hm, kita lihat jendelanya," Vie berucap sembari melihat jendela yang begitu besar.
Dia menyentuh tirai gorden yang berwarna biru langit. Saat tangan sudah menyentuhnya, tirai itu terbuka otomatis. Menampilkan pemandangan indah.
"Semua kalau di jual, akan mendapatkan berapa banyak uang?" gerutuk Vie.
Matanya tanpa sengaja melihat seorang pria tengah bermain bola sepak. Dia melihat permainan pria itu begitu mahir hingga senyum terangkat di bibirnya.
"Aku ingin bermain juga," gumam Vie.
...●●●...
Lapangan yang begitu luas, Vie sesaat merasa kalau dia berada di sekolah. Apa lagi, lapangan ini begitu mirip dengan lapangan futsal di sekolahnya.
Perhatian Vie tertuju pada bola yang kini mengenai kakinya. Dia melihat seorang pria tengah mengelap wajahnya dengan baju yang dipakai.
"Oper ke sini," ucap Fiqer.
Vie menggiring bola hingga berhenti di depan pria yang tidak sengaja saat itu tertabrak olehnya.
"Boleh aku bermain?" tanya Vie.
Fiqer mengambil alih bola dengan tiba-tiba. "Mainlah seorang diri. Jangan mengodaku," ucapnya.
Vie tersenyum, dia segera memperhatikan permainan Fiqer. Setelah mendapatkan cela, dia segera merebut bola yang digiring Fiqer.
"Aku memberimu tantangan, jika aku berhasil mencetak gol di gawangmu. Kau akan mengijinkanku untuk bermain." ucap Vie.
"Jangan keras kepala, kemarikan bolanya." ujar Fiqer yang ingin merebut bola kembali.
Vie segera menggiring bola untuk menghindari Fiqer. Tanpa terasa, mereka saling mengejar untuk bisa mendapatkan bola itu.
Dengan kaki kanannya, Vie menendang bola memasuki gawang. Dia tersenyum puas melihat bola itu berhasil tiba tepat di dalam gawang.
"Yeah! Lihat, aku memenangkannya." ucap Vie dengan menatap pria yang memiliki mata elang.
"Kelvi kemarilah," seru Fiqer kepada pria yang tengah menikmati indahnya matahari. Dia membuka kacamata hitam dan mengenakan kacamata bening khusus untuk matanya.
"Iya kak?" Kelvi mendekati ke arah Kakak beda ibu ini. Dia menatap Vie, wanita yang membuat keributan dengan Resga.
"Panggil yang lain. Kita akan melawan wanita ini." perintah Fiqer.
Kelvi bingung dengan perintah itu. Dia ingin bertanya tapi mulutnya tidak mau berucap.
Dengan mengangguk, Kelvi melangkah untuk memanggil yang lain.
Vie tersenyum, "kalau begitu ...." Bola ditendang ke arah wanita yang terteguh menerimanya.
"Ayo, Tiasa!" ucap Vie.
Tiasa mengangguk dan mengiring bola itu dalam beberapa langkah. Dia segera menendangnya menuju ke arah Otavi.
"Go, Otavi!" serunya.
Otavi menggeleng, dia menerima tenangan itu dan menggiring, lalu menendangnya ke arah Nala.
"Ayo, Nala." kata Otavi dengan berdiri di samping Vie.
Nala segera menggiring bola tersebut. Dia ingin mencari orang ke lima untuk melengkapi mereka.
"Kemarikan, aku juga ingin bermain!" ucap Lily yang melambaikan tangannya.
Nala segera menendang bola tersebut ke arah wanita cantik itu.
"Sudah lengkap!" ucap Vie.
Fiqer hanya mendengus. Dia menatap ke arah empat pria yang mengangguk, tanda siap bermain.
Wanita-wanita yang ada di vila segera menonton permainan futsal itu. Mereka begitu antusias melihat bagaimana kedua tim itu bermain.
"Mereka beruntungnya. Belum mulai sekolah calon istri ini. Mereka berlima sudah mendekati penerus itu."
"Kita juga tidak boleh tinggal diam. Besok, harus berikan yang terbaik."
"Setuju, aku akan menjadi nyonya Michael."
Fustal itu melelahkan, tentu saja. Mereka harus saling merebut bola dan menguasainya. Yang selalu dapat menggiring hanya Vie, Tiasa, Fiqer dan Senja. Mereka bagaikan penyerang yang siap menghancurkan lawan.
Otavi, segera mengoper bola ke arah Nala. Dia sebagai kiper akan menjaga gawang dengan baik.
"Kak Vie!" teriak Nala sembari menendang bola.
Vie segera menyambut operan tersebut dan mengiringnya menuju gawang. Namun, saat memasuki wilayah musuh, Dia di kepung dengan para pria yang dipimpin oleh Fiqer.
"Lily," seru Vie.
Lily yang memiliki tampilan lemah itu ternyata mampu bermain bola. Dia menerima operan Vie dan mengiringnya.
Inilah keputusan akhir dalam permainan fustal mereka. Lily terus menggiring bola hingga di halangi oleh Resga yang segera mengambil alih bola.
Melihat hal itu, Vie segera mengejar Resga dan berniat untuk merebutnya.
"Kau wanita yang tangguh. Namun sayang, lawanmu itu, kami!" ucap Resga.
Vie hanya tersenyum dan segera menepiskan bola dari jangkauan Resga.
Tiasa segera mengambil alih bola yang bebas itu. Dia mencari keberadaan Nala untuk menggiring bola.
"Vie, gas!" teriak Tiasa saat melihat keponakkannya itu melambaikan tangan. Bola segera di tendang dan Vie dengan mudah menerimanya.
Namun, saat ingin berbalik badan. Vie menubruk tubuh seseorang hingga membuatnya hilang keseimbangan.
"Eh!"
Tubrukkan yang tiba-tiba, dengan terjatuh di tanah bersama-sama. Vie menutup mata untuk menerima rasa sakit. Saat dia sudah merasa terjatuh. Ada sesuatu yang menganjal di kepala dan pinggangnya.
"Perhatikan langkahmu," bisik seseorang ditelinga Vie.
Vie bangun dari terjatuhnya dengan dibantu oleh Fiqer. Dikibas-kibas celana yang kotor karena terjatuh tadi.
"Hasilnya, kami yang menang." ucap Kelvi dengan memperlihatkan hasil gol yang tercetak.
Terlihat bahwa Vie berserta timnya kalah dua gol dari tim Fiqer.
"Oke tidak masalah. Senang bermain dengan kalian." ucap Vie.
Kelvi mengangguk mendengar hal itu. Dia segera memberikan handuk kecil kepada Vie.
Belum sampai di depan Vie, Fiqer segera mengambil handuk kecil itu dan mengenakannya.
Kelvi seketika diam melihat Fiqer yang mengambil handuk darinya. "Huh, Kakak ini benar-benar." benak Kelvi.
Fiqer melangkah pergi meninggalkan lapangan futsal. Sedangkan Vie ikut pergi tanpa sengaja bersamaan dengannya.
"Kau membuntutiku?" lirik Fiqer dengan mata elang.
Vie merindik mendengar ucapan itu. "Membuntutimu? Maaf, jalan keluar cuma di sini." sahut Vie.
Untuk keluar dari lapangan futsal, Vie dan yang lain hanya melewati satu jalan. Setelah melewati jalan itu, mereka akan berpisah dengan memasuki lantai pertama.Tidak heran jika Vie satu arah dengan Fiqer.
Vie mengusap jidatnya yang basah. Dia tidak menduga olah raga kali ini mengeluarkan banyak keringat.
Sebuah handuk tiba-tiba ada di kepala. Vie mengambil handuk itu dan melihat Pria di sampingnya melangkah pergi.
"Cih, berikan handuk yang bersih, bukan handuk bekas keringatmu!" teriak Vie.
Fiqer berbalik badan, "setidaknya aku membantumu." ucapnya.
Setelah berucap demikian, pria itu pergi meninggalkan Vie yang tercenga.
"Membantu katanya, apa yang membantu hah?" Vie mengusap keringatnya dengan handuk yang Fiqer berikan.
Kaki jenjang itu melangkah menuju ke kamar pribadinya. Hari mulai tampak sore dengan warna jingga yang menghiasi langit.
Vie menatap keindahan matahari yang akan tengelam itu. Saat ini dia baru saja selesai Mandi, rambut panjang sepinggul terurai dengan aroma wangi yang tercium di hidungnya.
"Sekolah calon istri. Aku tidak mengerti dengan hal ini, kenapa mereka membuat program yang aneh. Yeah, namanya juga keluarga aneh!" gerutuk Vie.
Malam hari telah tiba, Vie melangkah keluar kamar untuk mencari makan malam. Seperti yang dia tahu, kalau menginginkan sesuatu perlu usaha sendiri.
"Malas ah, aku tidak ada niat membuat makan malam. Hm, ada mie instan engak ya?" gumam Vie.
Tiba di lantai pertama, banyak wanita yang berkumpul di ruang dapur.
"Apa yang mereka lakukan?" tanya Vie dengan menatap bingung. Wanita-wanita yang ada di sana tampak sibuk.
"Mereka sedang berlomba untuk menghidangkan makan malam. Para penerus Michael, mereka juga akan makan malam di sini." jawab Wanita asing yang memiliki paras cantik.
Vie hanya melirik ke arahnya. Dia tidak mengenal siapa yang menjawab pertanyaannya ini. "Oh, begitu ya." imbuhnya.
"Kau, Vie Maherqi bukan?" Wanita itu bertanya untuk memulai pembicaraan mereka.
Vie engan menjawab bahkan merespon. Namun, saat ini dia merasa sedikit kesepian. Jadi, tidak ada masalah untuknya berteman.
"Benar, lalu siapa dirimu. Maaf, daya ingatku menurun. Jadi tidak bisa mengingat semua nama orang yang ada di sini." sahut Vie.
Wanita itu tersenyum, "kalau begitu ingatlah namaku ini. Putri, Putri Reila."
Vie mengangguk kepala. "Baiklah, Putri Reila. Kau tampak seperti keturunan kerajaan."
"Haha, ucapanmu benar. Aku memiliki darah dari keturunan raja. Raja Rei." jelasnya.
Vie ingin tertawa. "Seseorang membanggakan dirinya. Yeah, keturunan kerajaan harus bangga. Sedangkan kau yang seperti sampah ini, jangan banyak berlagak." benaknya.
"Ooh, lalu kenapa kau malah di sini. Tidak bergabung dengan mereka?" tanya Vie sembari melangkah menuju ke dapur. Matanya baru saja melihat seseorang yang sedang sibuk di sana.
"Aku? Aku tidak pantas untuk berada di dapur. Jadi, aku memutuskan untuk tidak melakukan apa pun di sana." jawab Putri.
Vie menghentikan langkahnya, "Tidak pantas?" mata Vie ingin melompat keluar dari tempatnya.
"Hm, tidak pantas." ucap Putri kembali.
Vie tertawa di dalam benaknya. Siapa yang menduga, kalau keturunan kerajaan ini tidak mau memasak. "Tinggal bilang malas saja, apa susahnya sih." benak Vie.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau tidak memasak?" tanya Putri.
Sebelum Vie menjawab, seseorang datang membawakan sepiring spageti dengan ayam bakar di dalamnya.
"Vie, makanlah!" ucap Otavi.
Vie tersenyum melihat hidangannya telah siap. Dia segera mengambil piring itu dan menghirup aroma makanan yang masih hangat. "Aku tidak perlu memasak, karena ada seseorang yang akan menghidangkannya."
Vie menatap wanita yang ada di depannya. Dia berucap seperti itu untuk menjawab apa yang baru saja Putri tanyakan.
Tanpa menunggu responnya kembali. Vie memutuskan untuk melangkah menuju ruang tamu yang terdapat meja di sana.
"Aku akan menyusul," ucap Otavi yang memanggil Tiasa dan Nala.
Vie mengangguk tanpa berbalik badan. Dia akan menikmati hidangan ini seorang diri tanpa ada yang menganggu dirinya.
Setibanya di ruang tamu, niat yang ingin makan seorang diri seketika menghilang. Mata Vie menangkap seorang pria yang tertidur pulas di sofa.
Lebih parahnya lagi, Pria itu di kelilingi wanita yang mungkin sekitar enam orang di sana. Mereka saling membujuk untuk mengajak pria itu makan. Pria itu adalah Fiqer Michael, penerus pertama keluarga Michael.
"Tidak heran, mereka pasti ingin mendapatkan posisi menantu dari penerus pertama. Cih, memalukannya. Seperti semut yang mengejar aroma gula. Tanpa tahu, apa isi di dalam gula itu." benak Vie.
"Apa yang kau lakukan di sini? Ayo makan!" ajak Tiasa yang melangkah menuju ruang makan. Di sana terdapat penerus ketiga, kedua dan keempat.
Otavi dan Nala juga mengikuti Tiasa. Mereka tidak menyukai tontonan di ruang tengah. Terasa aneh melihat wanita merayu pria hanya untuk memakan hidangannya.
Vie juga tidak ada keinginan untuk bergabung di meja makan. Dia semakin merasa sesak dengan kerumunan wanita di sana. Bisa di bilang, para gadis berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian dari penerus kedua,tiga dan empat.
"Aku akan makan di sini," gumam Vie.
Di ruang tamu. Ada meja yang memiliki panjang satu setengah meter. Vie memutuskan untuk makan dengan duduk di sofa bersebelahan dari kerumunan wanita yang merayu pria.
"Karena makan malam itu tidak enak sendiri. Mending kita menonton siaran langsung. Bagaimana wanita membangunkan suaminya untuk makan malam. Yeah, Tontonan yang menarik." benak Vie.
Matanya melihat enam wanita yang membawakan berbagai macam hidangan di tangan mereka masing-masing. Lalu, cara mereka membangunkan pria yang menjadi hal terunik untuk Vie.
"Ayo tuan muda, makam malam dulu. Kasihan cacing-cacing diperut Anda. Sini, biar aku yang menyuapinya." ucap salah seorang yang berada di kaki Fiqer. Dia membawa sup ikan bening di tangannya.
"Tuan muda, bangun yuk ... makan malam dulu, ini aku buati nasi spesial, enak loh." goda wanita lainnya.
"Makan malam dulu tuan. Anda pasti lapar kan. Aku sudah membawakan sup singkong nih. Enak pasti!"
Dari banyaknya godaan, hanya itu yang menarik perhatian Vie. Dia ingin tertawa tapi makanan dimulutnya sudah penuh. Bisa-bisa, seluruh mie yang dia makan akan tersembur keluar.
"Sial, mereka ini dari keluarga ternama kan? Nama makanannya seperti makanan desa. Yeah, makanan yang selalu di buat oleh Ibuku." gerutuk Vie.
Asik makan seorang diri sembari menyaksikan drama keluarga. Vie melihat pria itu bangun dengan mata langsung melirik ke arahnya.
"Kenapa?" gumam Vie.
Fiqer, pria itu bangun dari tempat tidurnya. Dia melangkah mendekati Vie tanpa memperdulikan wanita-wanita lain yang mengodanya.
"Aku ingin makan malammu, kemarikan." ucapnya.
Vie sudah setengah memakan spageti buatan Otavi. Dia tidak akan berbagi dengan pria aneh di depannya ini. "Engak, buat sendiri sana." tolak Vie.
Fiqer segera mengusir enam wanita yang membawa hidangan di tangan mereka. Selera makannya menghilang karena di ganggu. Dia ingin tertidur lelap tapi aroma makana tiba-tiba masuk ke dalam hidungnya.
Makan itu ada dipangkuan Vie. Rasa lapar yang menghilang, kini muncul kembali.
Mendapat penolakkan Vie. Fiqer segera menahan bahu wanita di depannya dan segera mengambil sepiring spageti yang Vie bawa.
"Hei, dasar ya ... itu buatan Otavi, kau minta kepadanya saja." pekik Vie sembari berdiri.
Fiqer tidak memperdulikan apa yang Vie katakan. Dia menyuap Spageti itu dengan begitu lahap.
"Hei! Waah engak beres ini orang." gerutuk Vie. Dia segera menarik piring yang ada di tangan Fiqer.
Suasana berubah seketika, keduanya saling tarik menarik untuk bisa mendapatkan sepiring spageti.
Otavi, Tiasa dan Nala menghampiri keributan yang terjadi. Tidak hanya mereka, penerus Michael pun ikut memperhatikan.
"Kemarikan!" teriak Vie.
"Engak, aku kan sudah bilang, ini makan malamku!" tolak Fiqer.
Keduanya yang tidak mau mengalah membuat piring itu lepas seketika dan terjatuh di lantai. Hingga,sisa spageti itu berjatuhan di sana.
Fiqer memerah melihat makan malamnya menjadi seperti ini. Dia berdiri di depan Vie dan menunjuk wanita itu.
"Kalau Kau engak mau menjadi calon istri di sini, mending pergilah dan tinggalkan Vila ini, Mengerti!" tegas Fiqer yang kemudian memilih pergi.
Kerumunan orang-orang itu segera berpencar. Mereka cukup melihat kesengitan yang terjadi. Ada dua pelayan yang segera membersihkan lantai kotor itu.
"Hm, maafkan atas sikap-," Kelvi ingin menenangkan Vie. Namun, ucapannya langsung di hentikan oleh wanita itu sendiri.
"Tidak perlu mengkhawatirkanku." ucap Vie yang kemudian berbalik badan. Matanya melihat Otavi yang tersenyum padanya.
"Hei, buatkan aku spageti lagi!" perintah Vie. Otavi mengangguk dan segera menuju ke dapur. Sedangkan Tiasa dan Nala, mereka mendekati Vie.
"Kenapa denganmu, apa salahnya berbagi." tegur Tiasa dengan bersedekap di dada.
Vie memilih duduk sebelum menjawab teguran itu. Dia mengkibas-kibas celananya dengan lembut. "Kalau soal makanan, berbagi adalah hal sulit untukku."
Tiasa dan Nala tersenyum mendengarnya. Vie, cucu pertama keluarga Maherqi memang unik. Jika di tanya, apa yang paling di suka Vie. Jawabannya adalah Makanan. Tidak heran kejadian itu terjadi.
Setelah makan malam yang bermasalah itu. Vie beristirahat di dalam kamar. Dia mengenakan baju selutut dengan lengan pendek. Seperti daster tapi ketebalan baju itu mampu melindunginya dari kedinginan.
"Kamar sudah di kunci, ponsel dan alarm pagi juga sudah. Besok bangun pagi, jogging dan sarapan. Sisanya, entahlah." gumam Vie.
Saat ingin memejamkan matanya, tiba-tiba Vie melihat layar ponselnya menyala. "Sudah mengunakan mode senyap. Masih saja ada yang menganggu." gerutuknya.
Di layar ponsel, terdapat panggilan masuk oleh Nala. Adik sepupunya itu menelpon di jam tidur seperti ini. Vie segera mengangkatnya.
"Ke-,"
"WAAAH, KAK VIE! KOPERKU ADA CICAK. TOLONG AKU! HELEPEME!"
Vie meringis mendengar teriakkan Nala. "Help Me!" ucap Vie dengan mematikan ponselnya.
Dia segera bangun dan menuju ke kamar Nala. Meninggalkan pintu kamar yang sedikit terbuka.
Setiba di sana, Vie memandang datar melihat Otavi dan Tiasa. "Kenapa kau menelponku jika ada Tiasa dan Otavi di sini." celetuknya.
Nala hanya tercengir dengan deretan gigi putih yang rapi.
"Sudahlah, cicaknya telah lepas, kita tidak tahu dia ada di mana." ucap Otavi dengan menunjukkan hasil kerja keras mereka.
"Oh, baguslah ... laporkan saja kepada Faga, biar dia yang mencarinya besok." usul Vie.
Tiasa mengangguk setuju. "Benar, nanti kita laporkan padanya."
"Oke, karena sudah selesai. Aku ingin kembali ke sarangku." ucap Vie. Tiga orang wanita yang ada di dalam kamar mengangguk.
Vie melangkahkan kakinya kembali ke kamar. Jarak kamar Nala darinya lumayan menghilangkan kantuk. Namun, ini Vie, wanita yang tidurnya akan terlelap dalam sekali tutupan mata.
Saat tiba di kamar, Vie mengerutkan alis melihat pintu kamarnya tertutup rapat. "Saat aku keluar, aku sengaja tidak menutup rapat pintu kamar ini. Apa ada hantu di sini?" gumamnya.
Malas berpikir yang tidak-tidak, Vie membuka pintu kamar dan segera masuk. Di kunci pintu itu dengan pelan, lalu kuncinya di gantung pada gantungan kunci.
"Sial, Nala menganggu tidurku." racau Vie.
Di lempar tubuh itu saat tiba di kasur. Namun, bukan rasa empuk yang Vie rasa tapi rasa sakit yang mengenai dadanya.
"Cih, siapa sih!"
Mata yang sayup itu membelak seketika. Vie berdiri dan menarik selimut yang ada di kasur. Terlihat seorang pria yang bangun dengan mengosok matanya.
"NGAPAIN KAU DI SINI HAH?!" teriak Vie. Dia benar-benar tidak mengerti dengan pria yang ada di depannya ini.
Barusan mereka memperebutkan makan malam, sekarang mereka dipertemukan seperti ini. Apa lagi, Pria itu dipenuhi aroma minuman.
"Fiqer Michael, keluar dari kamarku!" usir Vie.
Mendengar namanya di panggil, Fiqer menatap dengan setengah sadar. Dia berdiri sambil berpegangan di sisi kasur.
"Oh, wanita yang menganggu makan malamku." celetuk Fiqer.
Keduanya saling bertatap dengan jarak yang begitu dekat. Fiqer bahkan memegang bahu Vie dengan begitu kuat.
"Sakit, Tol*l!" hardik Vie dengan menepis tangan yang menompang di bahunya.
Fiqer mendengus, dia segera mendekatkan Vie dengan menarik pinggangnya. "Kau sudah mengangguku saat tiba di sini. Dari bermain bola, makan malam dan sekarang di kamarku. Apa kau begitu ingin menjadi menantu pertama dengan Marga Fiqer Michael."
Vie mengkibas-kibas di depan hidungnya. Aroma minuman itu benar-benar mengerikan.
"Bermimpilah. Aku tidak akan pernah mau menjadi Nyonya Michael, apa lagi Fiqer Michael." sahut Vie.
Fiqer mengerutkan alisnya. Vie yang melihat kerutan itu hanya mendengus. "Lagi pula, mohon maaf tuan muda. ini kamarku, bukan kamarmu." sambung Vie.
"Hah? Ini kamarmu? Apa kau menjebakku dengan alasan seperti itu agar besok paginya, kau bilang ke semua orang kalau kita tidur bersama?"
Tamparan melesat di pipi, Vie menampar pria di depannya. Dia menjadi kesal hingga moodnya pun menjadi buruk.
Tangan Fiqer terangkat di udara. Vie siap menerima apa yang dia dapat. Namun, bukannya mendapat rasa sakit, Vie malah mendapati benda kenyal menyentuh bibirnya.
"Ayo tidur! Mataku menggantuk," ucap Fiqer. Dia dengan santai menarik Vie dalam dekapannya dan berbaring di kasur yang sama.
"Eh?" Vie menatap bingung dengan apa yang terjadi. Dia melihat jelas pipi pria di dadanya itu memerah. Lalu, posisi tidur mereka, agak sedikit menyimpang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!