NovelToon NovelToon

Meet Up Jodoh

Part 1# Akhir itu Awal

Di sebuah kota kecil tinggal satu keluarga yang hidup sederhana. Keluarga itu terdiri dari tiga anggota saja. Sepasang suami istri yang memiliki seorang putri tunggal. Si gadis dengan paras cantik, berkepribadian pendiam, ramah yang bernama Aira. Kehidupan serba sederhana, membuat gadis itu sangat di awasi pergaulannya oleng kedua orang tuanya.

Orang-orang yang mengenal keluarga itu selalu ingin melihat senyuman si gadis yang kini beranjak dewasa. Aira yang biasa dipanggil Rara. Ia hanyalah gadis dengan pendidikan SMP. Sebenarnya Rara termasuk anak yang pintar disekolah. Namun, karena terkendala biaya. Maka selesai menerima ijazah SMP, gadis itu memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan pendidikannya

Sesaat setelah lulus SMP, demi membantu orang tuanya dia bekerja sebagai pelayan di rumah orang kaya, meski pekerjaan nya hanya pelayan. Tetap saja Rara bersemangat dan tidak pernah malu akan hal itu. Kebiasaan gadis itu menjadi kekuatan untuk sang ibu. Kehidupan yang disibukkan dengan pekerjaan membentuk sikapnya menjadi dewasa terlalu cepat.

Namun, semua itu menjadi kan nya pribadi yang dingin dan ramah. Bersama keluarga dan sahabat dia akan sangat bebas seperti tanpa beban. Di sisi lain, tak jarang orang yang belum mengenal nya akan melihat Aira sebagai gadis pendiam dan angkuh.

Begitu banyak cobaan yang Aira lalui, dan ia bertahan dari setiap badai demi memberikan kebahagiaan untuk sang ibu. Aira bukan lah gadis yang bisa mendapatkan cinta dari ayah kandungnya. Akan tetapi, ia bersyukur karena ibu nya menikah dengan ayah yang sekarang. Seorang ayah yang menerima dirinya sebagai putri kandung.

Dunia tak sekejam ucapan pedas dari mulut orang-orang. Itu lah yang harus dipahami pikiran setiap orang.

Kini Aira tumbuh menjadi gadis yang berpikir dewasa dan menutup diri. Setiap masalah hidup nya hanya akan ia tanggung seorang diri dengan ditemani sebuah Diary yang begitu banyak menyimpan rahasia hidup nya.

Kehidupannya berawal saat dia lahir ke dunia ini dan menjadi perebutan seorang ibu dan ayah sambung yang hanya sesaat. Dimana ayah sambung nya hanya menikah siri dengan sang ibu, bukan ayah sambung yang saat ini menjadi ayah resmi Aira.

Magelang, Tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh enam.

Di sebuah desa kecil. Hiduplah sebuah keluarga kecil yang beranggotakan sepasang suami istri dan seorang anak kecil laki-laki. Wanita muda dengan penampilan sederhana bernama Sonia. Suami sirinya bernama Randy dan anak kecil laki-laki itu bernama Bayu.

Bayu adalah anak dari suami siri ibu Sonia.

Saat ini seorang istri tengah hamil besar dan hampir memasuki hari kelahiran. Namun karena suatu masalah membuat sepasang suami istri berbicara begitu cepat untuk masalah yang tengah dipertanyakan oleh sang istri.

"Mas, siapa wanita itu? Apa kamu tidak mau jujur dengan ku? Semua orang mengatakan kamu bersama wanita lain, tapi aku tidak percaya. Sampai tadi aku mengikutimu dan melihat langsung bagaimana kamu mulai bermain dengan wanita lain," Sonia hanya memandang suami nya tanpa air mata dan pertanyaan yang ia lontarkan hanya mendapatkan keheningan bisu.

"...,"

Sikap Randi benar-benar tidak bisa dibenarkan, "Baiklah aku tidak butuh jawabanmu, Mas. Cukup sampai disini pernikahan kita. Meski kamu suami siri ku, aku tetap menjalankan setiap tanggung jawabku. Terimakasih sudah menjadi pasanganku selama beberapa bulan ini."

Pernyataan Sonia membuat Randi meneteskan air mata. Ia menyadari kesalahannya memang fatal karena menduakan istrinya yang tengah berbadan dua. "Aku, minta maaf. Aku sungguh khilaf dengan perbuatan ku. Kamu telah menjadi ibu untuk anakku dengan baik, bahkan merawatnya tanpa pamrih. Maafkan aku karena melukaimu dengan perbuatanku."

Pria itu berusaha memenangkan sang istri dengan menggenggam tangan wanitanya. Tetapi rasanya tangan itu dingin sekali bahkan anyep seperti tidak ada tanda kehidupan. Rasa hangat yang biasa dirasakan, kini hilang entah kemana?

"Maaf, Mas. Aku tidak bisa bersama pria yang tidak bisa menjaga rumah tangga dan pandangannya," Sonia melepaskan tangan Randi, lalu membereskan semua pakaian dari lemari.

Randi hanya diam dan terpaku dengan semua yang Sonia katakan. Kesalahan yang begitu fatal hingga tak bisa dimaafkan. Apakah sekarang dunianya akan kembali sendiri? Tanpa istri dan Bayu harus tumbuh tanpa seorang ibu.

Sonia membereskan pakaian dengan menahan rasa sakit di hati. Meskipun sang suami sudah meminta maaf, tetap saja ia tak rela diduakan. Tiba-tiba perutnya mulai kontraksi dan rasanya seperti ingin melahirkan. Randi yang melihat itu langsung meminta Sonia untuk berbaring ditempat tidur, dan dia bergegas menemui dukun beranak.

Perjalanan memakan waktu sepuluh menit. Untungnya rumah dukun beranak itu masih satu rt. Sehingga tidak harus berlama-lama mencari pertolongan untuk membantu persalinan istrinya.

Tok!

Tok!

Tok!

"Assalamu'alaikum, permisi, mbok." Randi memanggil si empu rumah dengan tidak sabaran.

Suara salam dari luar, membuat si mbok berjalan cepat membukakan pintu kayu rumahnya, lalu ia mengamati siapa yang datang bertamu selarut ini, "Wa'alaikumsalam, enten nopo pak?"

(Wa'alaikumsalam, ada apa, Pak?)

"Istri saya mau melahirkan tolong dibantu persalinannya, mbok," jawab Randi seraya menangkupkan kedua tangannya.

Mendengar ada wanita yang membutuhkan bantuannya. Si mbok manggut-manggut paham, lalu ia mengambil kunci dari depan jendela, "Ayo, Pak!"

Perjalanan dari rumah Si mbok ke rumahnya sedikit lama karena langkah pelan sang dukun beranak yang sudah lanjut usia. Randi dengan sabar ikut membimbing agar keduanya sampai di tujuan dengan aman.

"Assalamu'alaikum. Mari, Mbok. Silahkan masuk," kata Randi membukakan pintu dan membawa si mbok ke kamarnya, dimana sang istri berada yang masih menahan rasa sakit.

Keadaan Sonia terlihat pucat pasi dengan kedua tanah menggenggam sprei untuk menyalurkan rasa sakitnya. Melihat itu sang dukun beranak bergegas memeriksa keadaan si jabang bayi. Memang ini sudah waktunya, bahkan air ketuban pun sudah pecah.

"Mari tak bantu lahirannya, Bu," Sang dukun beranak memulai memberikan arahan, "Pak, siapkan air hangat dan jarit!"

"Baik, Mbok. Ini jarik untuk persalinan, dan airnya tunggu sebentar."

Kepergian Randi hanya sebentar, dan kembali ke kamar untuk menyerahkan air yang baru saja dimasak. Perjuangan Sonia yang sebentar lagi akan melahirkan tak sanggup ia lihat, hingga akhirnya memilih menunggu di luar rumah. Dua puluh menit kemudian. Terdengar suara tangisan bayi dari dalam kamar.

Oek!

Oek!

Oek!

Sang dukun beranak membersihkan bayi itu dan memberikan kepada pak Randi yang sudah berdiri di depan pintu kamar, "Selamat atas kelahiran putrinya, Pak. Sebaiknya bapak adzani dulu, biar menjadi putri yang sholehah."

Setelah memberikan bayi mungil yang terbalut dengan selembar kain tipis ke ayah jabang bayi. Sang dukun beranak membantu Sonia membersihkan sisa darah yang bercecer, lalu tak lupa mengajari wanita muda itu cara memakai jarik dan juga bentingan yang memang sangat diperlukan setelah proses melahirkan.

Randi meng Adzani bayi mungil yang masih merah kulit nya sambil terus memandang wajah manis Sang putri. Setelah itu ia memberikan kepada Sonia untuk diberikan asi pertama kalinya, "Putri yang manis bermata sipit."

"Putri ku yang manis," ucap Sonia mencium pipi putrinya dengan gemas.

Rona bahagia Sonia, membuat Randi berpikir semua sudah membaik. Ia tak segan mengusap kepala Sang istri, "Istirahat dulu pasti kamu lelah."

Apapun yang dilakukan Randi tak mengubah apapun. Hanya saja saat ini, ia tak memiliki tenaga untuk berdebat. Pria yang berjalan meninggalkan kamar itu, masih menjadi alasannya untuk tetap meninggalkan rumah yang kini menjadi sejarah kelahiran putrinya.

Beberapa hari kemudian. Sonia bersiap untuk pulang ke rumah orang tua nya.

Randi yang melihat Sang istri menenteng tas pakaian mulai merasa was-was, "Kamu mau pergi kemana? Aku mohon tetaplah bersama kami."

Sonia melepaskan tangan Randi tanpa membalas tatapan memelas sang suami, "Maaf, Aku sudah memutuskan ini, dan keputusan ku tetap sama. Pernikahan kita tidak bisa berlanjut. Terimakasih untuk semua yang telah kamu lakukan selama ini."

Sonia menggendong putrinya dan melangkah keluar rumah. Hari ini semua sudah berakhir untuknya. Pernikahan adalah hubungan sakral dan tidak untuk di duakan. Apapun alasannya, pernikahan bukan untuk dijadikan permainan.

Randi menatap kepergian sang Istri dengan tatapan kosong. Ia terdiam dan hanya berdiri menatap pintu yang mulai menutup. Disisi lain, Bayu berusaha menahan diri untuk tidak menambah masalah. Ia hanya menangis melihat ibu sambung nya pergi membawa adik kecil nya yang beberapa hari terakhir memberikan banyak warna dalam kehidupan.

Namun karena sang ibu telah memberikan nasehat sebelum meninggalkannya. Dimana saat sang ayah tengah bekerja, tiba-tiba Sonia memanggil ia agar datang ke kamar.

"Bayu, kemari, Nak. Ibu mau bicara," Sonia melambaikan tangannya agar Bayu mendekat seraya menjaga sang putri yang terlelap di pangkuan. Si mungil yang terlihat begitu tenang menikmati mimpi indah.

Bayu masuk ke kamar sang ibu, lalu berdiri di samping ranjang sambil tersenyum memandang adik kecil nya yang tidur begitu pulas dan tersenyum manis. Sebagai seorang kakak, ia benar-benar merasa memiliki semangat baru karena kelahiran si mungil.

"Duduk sini, Nak. Ibu dan bapakmu tidak bisa bersama lagi. Beberapa hari lagi, ibu akan pergi bersama adikmu ke rumah mbah. Ibu harap, kamu harus jadi anak yang rajin dan kuat. Selalu tersenyum dan jangan nakal. Bayu, nurut sama bapak," kata Sonia mengelus kepala putranya.

Semua yang dijelaskan ibunya ia cerna baik-baik. Tidak ada kata yang keluar dari bibir, selain anggukan kepala dan airmata yang tertahan di dalam pelupuk mata. Rasa panas yang mulai menyebar masih berusaha untuk disimpannya seorang diri.

Sonia merengkuh tubuh Bayu, "Selalu bersabar, Nak."

"Iya, Bu. Bayu dengarkan semua nasehat ibu." balas Bayu mengakhiri percakapan kala itu.

Kenangan itu memberikan Bayu pelajaran hidup agar tidak meniru perbuatan ayahnya. Terlebih lagi karena kesalahan satu orang. Kini harus kehilangan dua orang sekaligus.

Di hari itu, akhirnya Sonia kembali bersama putri kecil nya ke rumah orang tuanya yang berada di kota lain. Kota kelahirannya yang kini akan menjadi tempat tumbuh kembang sang putri. Terkadang manusia berencana apa? tetapi takdir menghantarkan kenyataan lain tanpa bisa ditoleransi.

Suasana pemukiman dengan deretan gubuk yang amat familiar menyambutnya seperti salam perkenalan lagi. Semilir angin yang berhembus mencoba menyadarkan akan kenyataannya dengan status baru sebagai seorang single parent.

"Assalamu'alaikum, Pak. Sonia pulang," suara gemetar Sonia terdengar dari depan rumah, membuat seorang pria dewasa keluar dengan wajah penasaran.

Bapak Sonia keluar, dan melihat sang putri yang kini datang dengan menggendong bayi mungil. "Wa'alaikumsalam, gimana kabar kamu, Ndu?"

Sonia mencium tangan ayahnya, lalu tersenyum. "Alhamdulillah baik, Pak. Bagaimana kabar bapak dan ibu?"

Sonia masuk ke dalam rumah, begitu dipersilahkan masuk. Kemudian ia melepaskan gendongan agar putrinya bisa lebih nyaman. Tubuh mungil yang selalu saja terlelap nyenyak dibaringkan ke kursi kayu bambu.

"Ada apa, Ndu? Ini cucuku, ya? MasyaAllah, manis sekali," Kata bapak sambil mengelus pipi si kecil.

Sonia mengangguk dengan senyuman tak pudar dari bibirnya, "Nggih, Pak. Ini putri ku, cucu bapak."

Kabar baik atas kelahiran cucunya memberikan kebahagiaan untuk hati seorang kakek. Hanya saja kebahagiaan itu berubah menjadi tidak lengkap. Semua itu karena Sonia menceritakan semua yang dialaminya. Bagaimana rumah tangga singkat harus berakhir karena Randi telah mendua.

"Ndu, kehidupan rumah tangga itu seperti air lautan. Sebagai pasangan suami istri, harus siap menikmati rasa asin yang terkadang kadarnya terlalu tinggi. Bapak hanya bisa selalu berdoa untuk kebahagiaanmu, keputusan akan tetap berada di tanganmu."

Petuah orang tua selalu menjadi cambuk semangat baru dalam hidup seorang anak. Begitu juga dengan Sonia. Dimana ia merasa bersyukur memiliki seorang ayah yang mau memahami kehidupan tak sempurna dengan statusnya sebagai janda, lagi.

Part 2#Waktu Cepat Berlalu

Beberapa hari telah dilalui tanpa ada ketegangan maupun masalah yang berarti. Kehidupan yang mengalir tanpa ada hambatan hingga kabar menggembirakan menjadi momen kebersamaan keluarga. Semua itu karena sang ayah telah menyiapkan sebuah acara untuk putri semata wayangnya.

Bapak Sonia telah menyiapkan acara pemberian nama yang di lakukan secara sederhana di rumah nya. Tepat di sore hari acara dimulai dengan tahlilan dan pemberian nama untuk sang cucu yang cantik bermata sipit. Pria itu bahkan sudah memilih sebuah nama yang memiliki arti baik dan berharap menjadi senyuman serta kekuatan untuk selalu membahagiakan Sonia.

Ia memeluk dan mencium kening sang cucu manis nya, lalu acara pemberian nama dimulai. Pak ustad yang merupakan warga setempat menjadi pemandu acara kali ini. Para warga yang ikut menghadiri bahkan merasa gemas ketika melihat bayi mungil nan lucu. Meski mereka tahu asal usul si jabang bayi, tetap tak mengubah fakta anak itu juga putri desa tempat mereka tinggal.

"Pak, silahkan umumkan nama cucunya." kata Pak Ustad.

Bapak Sonia tersenyum seraya mengangkat kedua tangan. Dimana cucunya ada di dalam genggaman kedua tangannya, lalu dengan lantang, tegas menyerukan sebuah nama tanpa ada keraguan. "Aira putri Sonia."

"Alhamdulillah, nama yang indah. Bukan begitu bapak-bapak?" Pak Ustadz bertanya dengan senyuman tulus.

Acara pemberian nama berjalan dengan khidmat, bahkan Sonia yang menyimak di balik pintu mengamini setiap do'a yang dipanjatkan semua warga. Ia tak menyangka kehidupannya akan jatuh, dan bangkit di saat bersamaan.

Ya Allah, bimbinglah hamba untuk menjadi seorang ibu yang baik. Semoga Aira tidak kecewa memiliki ibu seperti ku, dan menerima keadaan hidupnya tak sempurna seperti kehidupan keluarga lain. ~batin Sonia.

Kehidupan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kesibukan Sonia menjadi seorang ibu dan bekerja di kota benar-benar wanita itu nikmati tanpa mengeluh. Tanpa sadar bulan menjadi tahun karena waktu berlalu begitu cepat.

Tak terasa, tiga tahun telah berlalu.

Aira menjadi gadis kecil yang menggemaskan dan berlari kesana kemari bersama teman-temannya. Sementara Sonia kini sibuk bekerja di sebuah warung makan untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarganya. Meski ia tinggal bersama orang tuanya. Bukan berarti wanita itu membebankan tanggung jawab sebagai seorang ibu kepada orang tuanya.

Hari-hari yang di awali dengan senyuman sang putri adalah semangat baru baginya. Setiap hari akan dilalui dengan kesederhanaan demi putri manisnya yang kini tumbuh semakin besar. Seorang ibu siap melakukan apapun demi anak mereka. Begitu juga dengan Sonia yang bekerja setiap hari dari pagi hingga sore tanpa henti hanya memiliki harapan masa depan Aira jauh lebih baik dari hidup yang ia miliki.

Kesibukannya itu membuat Aira kecil dititipkan ke kakek dan neneknya sepanjang hari. Sonia bersyukur di tengah keadaannya yang sulit masih memiliki orang tua yang selalu mendukung dan juga mau menjaga sang putri tercinta. Entah bagaimana jika ia hanya hidup sebatang kara. Apakah bisa melanjutkan hidup seperti saat ini?

Hari ini adalah akhir bulan. Sonia selalu memeriksa kebutuhan seluruh keluarganya dan tak lupa susu sang putri. Akan tetapi stock sudah menipis, lalu ia memutuskan untuk berbelanja esok pagi. Malam yang larut membawa kenangan masa lalu sejenak menyapa dirinya.

Wajah tenang Aira yang terlelap bermain di alam mimpi menghadirkan senyuman manis sang putri. Sejenak ia melihat wajah polos itu, dan merenung memikirkan segalanya.

Seandainya jalan hidup tidak serumit ini, pasti lah putri ku bisa bersama ayah kandungnya.~batin Sonia.

Ingatan masa lalu kembali hadir. Dimana semua bermula ketika berita kehamilannya diketahui ayah sang bayi yang ada di dalam perutnya. Di luar sebuah rumah makan di malam hari. Seorang pria memanggil seorang wanita yang baru selesai dengan tugasnya dari tempat kerja.

"Sonia, menikahlah denganku. Apa kamu tidak kasihan dengan anak kita? Anak yang kamu kandung juga anakku. Hiduplah bersama ku, Sonia," Pria itu menatap wanitanya yang terdiam membisu.

Sonia menghempaskan tangan pria itu. Wajah geram menahan amarahnya. Bagaimana bisa ada pria yang tak punya hati seperti Aditya, "Lupakan apa yang kamu inginkan! Apa kamu lupa? Kamu itu suami kakak perempuan ku, dan menghamili aku tanpa memikirkan akibatnya."

"Aku mohon. Akan aku tinggalkan istri ku dan menikah denganmu, Sonia," bujuk Aditya tanpa berpikir panjang, pria itu memang kakak ipar Sonia. Meskipun begitu tetap saja tergila-gila dengan kebaikan dan kecantikan sang adik ipar.

Sonia menatap Aditya jijik seraya menunjukkan jari ke wajah pria itu, "Aku tidak sudi menikah denganmu dan menyakiti kakakku sendiri. Lebih baik aku tidak bersuami daripada menjadi wanita perusak rumah tangga."

Sonia berlalu pergi meninggalkan Aditya yang masih memandang nya dengan kekecewaan. Aditya adalah ayah kandung Aira dan dia menghamili Sonia tanpa sepengetahuan keluarga. Semua yang terjadi padanya tak membuat wanita itu mengeluh. Justru ia memilih pergi menikah siri dengan Randi, dan meninggalkan rumahnya sendiri. Semua karena keadaan sehingga harus melakukan apa yang semestinya.

Semua yang berlalu tidak akan pernah kembali. Rasa lelah membawa luka membiarkan alam mimpi menyapa. Keesokan harinya. Sonia tidak bekerja karena ia ingin membeli semua kebutuhan untuk sebulan kedepan. Pagi yang cerah dengan sinar mentari yang baru.

Sonia keluar dari kamar dengan penampilan rapi, lalu menghampiri ayahnya yang tengah menikmati segelas kopi. Lalu ia mengulurkan tangan untuk menyalami sang ayah sebelum meninggalkan rumah sekaligus berpamitan, "Pak, saya ke pasar dulu mau beli keperluan Aira. Aira sayang, jangan nakal, ya. Main bareng temennya yang akur, Nak."

"Hati-hati, Ndu. Ndak usah buru-buru. Aira bapak yang jagain." kata Bapak sembari memperhatikan Aira yang sibuk menarik kaos tipis miliknya.

"Hati-hati, Ndu. Ndak usah buru-buru. Aira, bapak yang jagain." kata Bapak sembari memperhatikan Aira yang sibuk menarik kaos tipis miliknya.

Sonia memberikan kecupan singkat pada pipi gembul putrinya, lalu berjalan keluar meninggalkan rumah untuk pergi ke pasar. Ada rasa yang tak biasa. Tiba-tiba saja merasa gelisah, tapi ntah apa alasannya. Meskipun begitu ia tetap melanjutkan niat untuk membeli kebutuhan rumahnya.

Perjalanan ke pasar membutuhkan waktu yang cukup menyita. Terlebih ia harus berjalan dulu sebelum mencapai jalan raya. Hatinya semakin resah tak tenang seakan ada hal buruk yang akan terjadi.

"Kenapa aku tidak tenang. Apa anak ku baik-baik saja?" tanya Sonia pada dirinya sendiri.

Sementara itu, Aira yang menikmati biskuit bergegas keluar rumah. Disaat anak tetangga dengan umur sebaya memanggilnya untuk bermain bersama. Sang kakek membiarkan cucunya bermain, sedangkan ia sibuk menyalakan api ditungku untuk memasak air. Area dapur yang memang terlalu di belakang, membuat pria itu tidak melihat apa yang dilakukan sang cucu begitu keluar dari pintu depan rumah.

Permainan anak pada masa itu masih sangat terbatas. Bisa dibilang, hanya memainkan permainan seadanya. Bukan seperti zaman sekarang. Ada PlayStation, ada mobil-mobilan remote kontrol, ada robot, ada pula gadget yang memberikan pengalaman jauh lebih modern. Masa dimana Aira kecil hanya bermain pasar-pasaran dengan tanah, batok kelapa, bunga-bunga yang tumbuh liar disekitar rumah.

Aira bermain bersama teman sebayanya yang bernama Nia dan Nia ini memiliki seorang kakak yang bernama Sara. Meskipun usia sang kakak tiga tahun lebih tua. Tetap saja masih mau menemani bersama. Begitulah anak desa pada umumnya, bermain tanpa mengenal usia karena mereka semua masih anak-anak.

Disaat Aira sibuk bermain dengan Nia, tiba-tiba seorang pria menghampiri kedua anak itu dan langsung mengambil Aira dengan begitu saja. Bagaimana tidak? Saat ini tidak ada orang dewasa yang mengawasi anak-anak bermain di luar rumah. Aira yang masih sangat polos hanya diam dengan tatapan bingung.

Disaat pria itu mulai menghilang dari pandangan. Sara yang baru saja kembali dari toilet, bingung melihat ekspresi adiknya yang seperti kebingungan, "De, kamu kenapa? Ini kenapa main sendiri, dimana Rara? Tadi kalian main bersama 'kan?"

Nia masih menatap arah jalan yang dilewati si pria yang membawa pergi Aira. Tatapan sang adik membuat Sara ikut dibuat bingung. Sebenarnya apa yang terjadi? Mana Nia ditanya masih tak mau menjawabnya hingga tiba-tiba ...

"Kakak, ituu Rara. Rara, dibawa paman tinggi kesana," lapor Nia sedikit takut dan menunjuk jalan yang sama.

Penjelasan adiknya, sontak membuat Sara langsung berlari ke dalam rumah Rara. Gadis remaja itu berteriak memanggil kakek Aira dan kakek terburu-buru menghampiri.

"Kakek Aira, Rara pergi bersama orang lain!" seru Sara dengan nafas sedikit memburu membuat kakek cemas.

Kakek memegang pundak Sara dengan tatapan khawatir, "Ada apa? Dimana Rara, Sar? Kalian tadi main bersama 'kan. Trus kenapa kamu bilang, Rara pergi dengan orang lain?"

"Maaf, Kek. Tadi aku tinggal ke kamar mandi sebentar dan saat aku balik hanya melihat Nia yang diam dan menatap ke jalan depan sana. Trus, Nia bilang kalau Rara diambil paman tinggi sambil menunjuk arah jalan, Kek." jawab Sara begitu cepat dengan logat yang medok, gadis remaja itu sedikit takut dengan tatapan kakeknya Aira.

Sementara itu, Sonia semakin gelisah dan akhirnya memutuskan untuk pulang kerumah tanpa membeli semua keperluan dari pasar. Hatinya begitu kacau tanpa sebab yang jelas, sedangkan pikiran hanya dipenuhi tentang Aira. Di saat kakek mencoba mencari keterangan dari Sara dan Nia. Sonia datang menggunakan ojek langganan.

Kedatangan Sonia seperti firasat seorang ibu yang pasti tidak pernah salah. Tatapan mata dengan tanda tanya jelas terpatri pada putrinya, "Nak, kamu pulang? Ini belum lama sejak kamu pergi tadi, loh."

"Iya, Pak. Perasaan ku gelisah. Tidak tenang sedikit pun, rasa nya ada yang menggangguku. Rara, dimana Pak?" tanya Sonia melihat sekeliling, tapi hanya ada mainan di bawah dan kedua teman sepermainan sang putri.

Kakek Aira menghela nafas panjang, mau tidak mau. Ia harus jujur dengan putrinya. Apalagi ini tentang Aira. Sudah pasti tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.

"Nak, Aira dibawa orang. Sepuluh menit lalu Sara berteriak memberi tahuku Aira dibawa seorang pria, tapi bapak sedang sibuk di dalam rumah. Maafkan, bapak, Nak. Bapak lalai menjaga cucu sendiri." Kakek merasa bersalah karena benar-benar tidak bisa mengawasi cucunya sendiri, sedangkan Sonia masih mencoba tenang dan berpikir segala kemungkinan.

Sonia mengusap punggung sang ayah, seraya mendengarkan penjelasan ayahnya akan kasus menghilangnya Aira. "Sabar, Pak. Aku pasti bisa menemukan Rara. Bapak di rumah saja dan aku akan mencari anak ku.

Kegelisahan seorang ibu tidak membiarkan Sonia lama-lama berdiam diri. Tak ingin menunda waktu lagi, wanita itu kembali menaiki motor si tukang ojek dan meminta segera diantarkan ke suatu tempat. Sonia diam sejenak berfikir siapa yang mengambil Aira, kemudian ia mengingat kejadian tiga hari lalu di tempatnya bekerja.

Disaat jam kerja. Seorang pria menghampirinya dan mengajak berbicara diluar rumah makan tersebut.

"Ayo lah, kembali pada ku. Aku sangat mencintainya juga. Aku mau membesarkan putri kita bersama mu, kita perbaiki hubungan demi anak-anak,"

Pria itu tak lain adalah Randi mantan suami sirinya yang ingin merawat Aira. Sejak ia memeluk bayi mungil itu, ia langsung jatuh cinta. Maka dari itu, Randi berusaha untuk membujuk Sonia agar mau rujuk kembali. Akan tetapi hati terlanjur tak bisa menerima kesalahan yang lalu.

Sonia melepaskan tangan Randi, "Maaf, Aku sudah tenang bersama putri ku. Tolong lah jangan menggangguku lagi. Aku cukup bersama putri ku saja."

Randi tak mau mendengarkan, "Sonia, apa kamu tidak mau melihat Bayu lagi dan memberikan Aira seorang ayah?"

"Aku, bisa menjadi ibu dan ayah untuk putri ku. Tolong jangan kembali lagi dan Bayu akan tetap menjadi anak ku sampai kapanpun."

Yah, ia ingat akan obrolan yang kini menjadi clue agar bisa menemukan keberadaan Aira. Semoga saja firasat dan harapan seorang ibu selalu bersamanya agar bisa membawa kembali pulang sang putri tercinta. Tak ingin menunda-nunda waktu lagi. Sonia meminta si bapak ojek menuju ke sebuah tempat yang menjadi tujuannya kali ini.

Part 3#Kehilangan, Kehidupan Baru

"Pak, kita ke rumah di desa xxx," kata Sonia memberitahu tukang ojeknya agar mengubah tujuan awal. Sebelumnya ia hanya membiarkan si bapak berkendara tanpa arah tujuan yang jelas.

Perjalanan yang harus ditempuh selama tiga jam dari rumah nya, tapi selama dalam perjalanan ia hanya berusaha tenang dan menahan amarah. Nyatanya pikiran dan hati tetap tak bisa ditenangkan. Sonia tak hentinya berdo'a agar bisa menemukan Aira dalam keadaan baik-baik saja.

Disisi lain Randi yang baru sampai rumah. Ia membuka pintu, dan masuk ke dalam rumah menuju kamar putranya. Aira yang terdiam diturunkan dari gendongan, lalu membuka satu persatu plastik hitam yang berisi makanan dan mainan. Bayu yang melihat sang ayah membawa sang adik sangat senang. Anak lelaki yang kini semakin beranjak remaja itu dengan semangat mengajak Aira bermain.

Meski sudah lama tidak berjumpa. Wajah Aira yang menggemaskan dengan garis pahatan sama seperti Sonia, membuat Bayu dengan mudah mengenali bahwa anak itu adiknya. Tentu ia tak sungkan menghabiskan waktu bersama agar rasa rindu selama beberapa tahun terakhir terobati.

Sayangnya, Aira hanya terdiam dan semakin bingung dengan semua yang tengah terjadi. Akhirnya gadis itu mulai menangis hingga membuat Randi kebingungan tidak tahu harus berbuat apa. Ia mencoba untuk menawarkan banyak makanan dan buah, bahkan mainan yang begitu banyak.

Semua itu dilakukan dengan harapan putrinya bisa dibujuk dan berhenti menangis. Bayu pun ikut bingung kenapa sang adik tidak mau berhenti menangis. Waktu terus menerus berputar, semua usaha seorang ayah dan kakak telah dikerahkan semaksimal mungkin. Hanya saja tidak ada yang terjadi, justru Aira semakin menangis begitu keras hingga Sonia datang dan langsung masuk ke dalam rumah.

Rumah yang tidak di kunci oleh Randi memudahkan Sonia melihat apa yang tengah terjadi, "Apa kamu tidak waras? Berani sekali membawa anakku tanpa izin ku. Siapa kamu, lancang sekali."

Suara tangisan Aira terdengar begitu keras sampai ke luar rumah, bahkan mulai serak kehilangan tenaga. Ntah berapa lama putrinya menangis tanpa henti. Sonia meraih Aira lalu memeluk tubuh mungil sang putri dengan kasih sayang. Perlahan tangisan mereda dan hati seorang ibu kembali tenang. Kini ia sudah bisa bersatu dengan putrinya.

Sonia tak ingin emosinya menjadi pecutan luka batin untuk sang putra. Maka ia menyuruh Bayu untuk bermain diluar. Remaja itu menurut dan meninggalkan rumah untuk bermain. Kepergian sang putra mengalihkan tatapan Sonia. Wanita itu menatap tajam putrinya.

"Aku hanya ingin tinggal dengan putri ku. Aku ingin membesarkan nya dan aku tidak berniat melakukan ini, tapi kamu menolak kembali bersama ku," ujar Randi sembari mencoba memegang tangan Sonia.

Sonia memundurkan langkah agar Randi tak bisa menyentuhnya, "Apa kamu tidak punya hati? Aira putriku dan hanya aku yang berhak membesarkan nya. Apa yang hari ini kamu lakukan adalah tindak kejahatan! Apa kamu mau ada orang yang mengambil Bayu dari mu?"

"Aku tidak mau kehilangan Bayu Dan Aira. Tindakanku memang salah, maafkan aku. Sonia, ku mohon tinggal lah bersama ku." Randi menangkupkan kedua tangan dengan tatapan mata memelas menatap wanitanya. Ia berharap Sonia luluh, lalu mau kembali bersamanya.

Sonia hanya bisa menahan nafas dan mencoba tetap tenang, "Kamu sudah menjadi orang tua. Pahamilah rasa sakit kehilangan seorang anak. Aira adalah putri ku dan aku sanggup menjadi ayah sekaligus ibu baginya. Kamu adalah masa lalu ku. Aku ikhlas melepaskanmu. Tepat disaat kamu bermain dengan wanita lain. Hiduplah dengan Bayu dan didik dia menjadi laki-laki yang lebih bertanggung jawab. Sampai kapanpun, aku tidak akan kembali pada mu."

Keputusan Sonia tak bisa berubah. Meskipun setelah Aira diculik tetap saja tak mengubah apapun. Kenyataan itu membuat Randi pasrah. Kini ia tak mungkin memaksakan kehendaknya. Apalagi putri kecil itu harus menangis tanpa henti hanya karena tindakan bodohnya. Seorang ayah tidak tega melihat air mata yang menyesakkan dada.

Sonia menyerahkan Aira yang tertidur karena lelah menangis, "Peluklah Aira untuk terakhir kalinya. Sebelum kami pergi, hanya ini yang bisa ku lakukan. Jangan mencoba mengambil putri ku, lagi. Aira adalah dunia dan semangat ku. Kamu memiliki Bayu yang akan selalu menjadi hidupmu. Jadikan putra kita sebagai pria yang bertanggung jawab karena wanita ingin dilindungi."

Randi ikhlas menerima keputusan Sonia. Kali ini, ia sadar sebagai orang tua tak bisa bersikap egois. Benar yang dikatakan mantan istrinya. Aira akan tumbuh dengan baik dibawah pengawasan seorang Sonia karena wanita itu hebat. Setelah beberapa menit membiarkan Randi memeluk putrinya. Wanita itu mengambil Aira dan meninggalkan rumah itu. Langkahnya tak akan pernah kembali ke tempat yang sama.

Disaat keluar rumah Sonia melihat Bayu bermain dengan teman nya. Kemudian ia menghampiri Bayu, lalu memeluk remaja itu, "Nak, dengarkan ibu. Kamu anak laki-laki yang pemberani. Suatu hari nanti bisa menjadi anak yang hebat. Jangan meniru perbuatan ayah mu. Tetap lah menjadi anak yang baik. Ibu menyayangi mu, tapi ibu harus pergi untuk adik kecilmu. Selalu jaga diri, ya, anak ku."

Bayu mendengarkan dan membiarkan sang ibu memeluk dirinya begitu lama, "Bayu akan mengingat semua nasehat ibu, terimakasih sudah merawat dan memberikan cinta kepada bayu selama ini."

🍂Kebenaran yang nyata adalah cinta seorang ibu. Tidak memandang darah yang mengalir dalam tubuh anak nya. Seorang ibu akan tetap menjadi seorang ibu🍂

Sebuah badai tidak akan bisa menghancurkan kepercayaan. Kepercayaan itu sendiri yang akan menjadi dasar sebuah hubungan. Ketika keraguan mulai menggerogoti hati, maka tak sulit untuk merobohkan sebuah hubungan.

Setelah memberikan petuah untuk terakhir kalinya. Sonia pergi bersama Aira kembali ke rumah orang tuanya. Sang Ayah merasa bersyukur karena cucunya kembali berkumpul bersama keluarga tanpa suatu kekurangan. Tak ingin kejadian yang sama terulang, ia berjanji akan menjaga Aira lebih hati-hati lagi. Sementara putrinya belajar menjadi seorang ibu yang lebih bertanggung jawab dan lebih menjaga keluarga agar tetap dalam pantauan.

Setelah semua yang terjadi, kini Sonia lebih berhati-hati dan menjadi sangat protective terhadap Aira. Kakek Aira pun semakin mengawasi cucu nya disaat Sonia bekerja hingga waktu berlalu begitu cepat tanpa sadar tiga tahun sudah berlalu.

Diusia yang masih muda Aira mulai masuk sekolah TK. Anak itu sangat ingin bersekolah karena disaat banyak anak lain yang mulai membawa tas, sedangkan ia masih di rumah saja. Sehingga anak itu mulai meminta pada ibu nya untuk bisa seperti teman yang lain. Yah, usia Aira masih tujuh tahun kurang hingga Sonia blum mendaftarkan putrinya sekolah.

Namun, setelah melihat Rara sangat kesepian karena semua teman sebaya pergi menimba ilmu di sekolah. Akhirnya, Sonia mendaftarkan Rara ke TK dan guru membolehkan putrinya bersekolah karena dirasa Aira anak yang tenang dan manis.

Hari pertama Aira bersekolah adalah hari baru untuk sang putri serta dirinya. Sonia tersenyum sambil menggandeng tangan sang putri menuju sekolah yang berjarak cukup jauh dari rumah dan ditempuh selama lima belas menit dengan berjalan kaki. Sekolah TK yang ada di seberang jalan raya dan hanya sekolah itu satu-satunya yang ada di desa nya.

Skip pada malam hari sebelum hari pertama Aira masuk sekolah.

Aira tersenyum memandang sang ibu. Anak itu berbaring di sebelah ibunya, "Bu, besok Rara masuk sekolah 'kan? Pakai tas baru itu dan bisa bersama teman-teman Rara juga main bareng."

"iya, Nak," Sonia menjawab Aira sambil mengelus kepala putrinya seraya membalas senyuman si manis yang mulai menguap, "Ayo tidur lah! Ini sudah malam, besok bangun pagi untuk bersekolah."

Tak lama kemudian mereka berdua tidur. Disaat mentari bersinar. Sonia bangun di waktu yang sama. Wanita itu memulai kegiatan pagi nya dengan memasak untuk keluarga nya. Setelah semua dirasa sudah selesai. Ia membangunkan Aira yang masih tidur. Tidak butuh waktu lama agar sang putri bangun, lalu bersiap. Begitu juga dengan Sonia yang juga ikut bersiap untuk bekerja.

Wanita itu harus siap karena sekalian mengantarkan putri nya. Maka dirinya juga akan berangkat kerja. Tentu saja setelah sarapan bersama. Lalu mereka berpamitan dengan kakek dan nenek yang ikut memberi semangat hari baru untuk menyongsong masa depan.

Rasa nya sangat membahagiakan bisa melihat anak satu-satunya mulai bersekolah. Apalagi Aira semakin banyak teman. Setelah dirasa sang putri sudah mendapatkan teman bermain. Sonia bisa meninggalkan putrinya untuk bekerja. Tak lupa ia menitipkan Aira pada guru yang ada disana. Sekaligus mengatakan bahwa Rara akan dijemput oleh sang kakek saat pulang.

Hari demi hari berlalu. Saat Aira menginjak remaja dan bersekolah dasar. Tepatnya kelas tiga. Semua masih sama dan hanya bersama keluarga kecil nya, hingga suatu hari Sonia membawa seorang pria ke rumah dan memperkenal kan nya sebagai teman. Disaat itu Aira adalah gadis kecil yang masih sangat polos dan ceria. Sangat mudah akrab dengan siapa pun. Tak heran ketika pria itu menjadi mudah dekat dengan Aira dan itu membuat Sonia bahagia dengan rasa syukur karena memiliki putri yang periang.

Sekilas ingatan yang lalu melintas menghampiri memori Sonia. Disaat wanita itu sibuk bekerja di sebuah warung makan. Tak jarang orang yang datang selalu sama dan salah seorang tamu yang menjadi pelanggan setia di warung itu, berusaha mencoba menarik perhatian Sonia. Namun, wanita itu sangat lah acuh, hingga lima bulan pria itu baru berhasil membuat Sonia mulai suka padanya.

Tanpa rasa takut, Sonia menceritakan semua kisah hidup nya yang kelam karena baginya hubungan adalah sebuah kejujuran sebagai pondasi utama. Pria itu tetap dengan pendiriannya untuk hidup bersama dengan Sonia dan akan mencintai Aira seperti anak nya sendiri. Pria itu masih lajang alias belum pernah menikah.

Pria yang sedang mendekati putri nya itu adalah calon suami yang Sonia pilih. Namanya Reihan. Seorang pria yang bekerja di ekspedisi sebagai kernet. Sonia menerima Reihan karena dia percaya dengan kejujuran yang dimiliki oleh pria itu.

Kedekatan antara Reihan dengan Aira, membuat Sonia semakin yakin akan pilihannya. Tak ingin menunda hal baik yang bisa menjadi awal kebahagiaan keluarga kecilnya. Wanita itu memutuskan untuk menikah dengan pria yang bisa menerima kekurangan tanpa mempedulikan masa lalunya. Kini semua membaik dengan ridho kedua orang tua, serta atas izin Allah SWT.

Tak ingin menjadi beban keluarga lagi. Reihan membawa pulang istri dan anaknya ke rumah yang menjadi tempat kelahirannya. Dimana ia akan memulai segalanya dari awal secara bersama-sama. Sonia yang memulai membuka usaha kecil-kecilan di depan rumah, sedangkan Reihan menjadi seorang buruh lepas di pasar. Aira pun tumbuh menjadi gadis yang manis, tetapi begitu dingin.

Sudah begitu lama Aira tinggal bersama orang tuanya. Hanya saja ia sibuk belajar di SMP. Masa yang tidak bisa terlupakan, gadis yang kini mulai tumbuh remaja tiba-tiba mengingat masa dimana ia masih bersekolah dasar. Dulu, dia mendadak pindah untuk memulai hidup baru bersama ibu dan ayah nya yang sekarang.

Reihan orang yang tegas dan sulit dibujuk, sedangkan ibu nya juga tegas, tapi selalu memikirkan segala sesuatu nya dengan pikiran serta hati sebelum memutuskan apa yang akan dilakukan. Sepasang suami istri yang cukup menjadi alasan Aira belajar dewasa. Kehidupan tak semudah membalikkan telapak tangan. Yah begitulah kenyataannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!