Prang!!!
Aaarrggghhh...!
Ayana duduk di sudut ruangan dengan menekuk lututnya dan menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya.
Badannya bergetar hebat menunjukkan ketakutannya yang teramat sangat saat ini. Nafasnya tidak beraturan dan matanya terlihat panik mengamati sekitarnya.
Prang!!!
Jendela kaca rumah tersebut kembali dihantam oleh batu dari luar rumah. Berkali-kali hal itu terjadi, hingga dia merasa sedang di teror oleh seseorang di rumahnya sendiri.
"Rafa... Tolong aku...," ucap Ayana dengan suara yang bergetar.
Dia masih saja duduk dengan ketakutan di sudut ruangan. Sangat terlihat sekali jika dia saat ini sedang dilanda ketakutan dan kepanikan.
Prang!!!
Selang beberapa menit berlalu, jendela kaca rumah itu kembali dihantam menggunakan batu. Ini sudah yang ketiga kalinya dan si pelaku sukses membuat Ayana sangat ketakutan serta merasa tidak tenang karena sedang diteror.
Tiba-tiba Ayana terkejut ketika mendengar dering telepon dari ponsel yang ada di tangannya.
Dia menghela nafasnya dengan lega ketika melihat nama suaminya terpampang jelas pada layar ponselnya.
"Rafa... Tolong aku... Aku takut...," ucap Ayana dengan suara yang bergetar diiringi dengan isakan tangisnya.
Ay, kenapa? Ada apa? tanya Rafael dari seberang sana.
"Cepat pulang... Aku takut...," ujar Ayana di sela isakan tangisnya.
Tunggu aku Ay. Aku akan pulang sekarang, terdengar suara panik dari Rafael.
Ayana segera mematikan panggilan telepon tersebut. Matanya menelusuri semua ruangan seolah waspada dengan serangan yang mungkin akan datang kembali.
Selang beberapa menit kemudian terdengar suara deru mobil yang memasuki halaman rumahnya.
"Ay! Di mana kamu?!" seru Rafael dengan paniknya masuk ke dalam rumah.
"Apa ini? Kenapa kacanya bisa--"
"Rafa!" seru Ayana dari tempatnya saat ini.
Dengan cepatnya Rafael berlari masuk ke dalam rumah mencari keberadaan istrinya.
"Ay!" seru Rafa sambil berlari mendekati istrinya yang meringkuk ketakutan sambil memeluk kakinya.
"Kamu baik-baik saja Ay?" tanya Rafael sambil memeluk erat Ayana.
"Raf... Aku takut... Sepertinya orang itu sedang meneror ku. Dia... Dia... tiga kali melemparnya. Aku takut Raf...," jawab Ayana yang sedang panik disertai dengan air matanya.
Rafael memeluk erat tubuh Ayana yang bergetar dan bahunya terlihat naik turun seiring dengan isakan tangisnya.
"Tenang Ay... Ada aku di sini," ujar Rafael sambil mengusap punggung istrinya untuk menenangkannya.
Ayana memeluk erat tubuh suaminya seolah tidak mau ditinggalkan olehnya. Dia benar-benar ketakutan saat ini. Rasanya dia tidak ingin ditinggalkan sendiri oleh suaminya di rumah itu.
Sialan! Siapa yang berani melakukan ini pada istriku? Awas saja jika aku menemukannya, aku tidak akan melepaskannya begitu saja, Rafael berkata dalam hatinya dengan emosi yang membuncah di dadanya.
Perlahan Rafael membawa tubuh istrinya berdiri. Kemudian dia membawa tubuh istrinya dalam gendongannya.
Dalam gendongan suaminya itu Ayana masih saja bersembunyi di dada suaminya. Dia masih terlihat takut dan memegang erat tubuh suaminya.
Diletakkannya secara perlahan tubuh istrinya di atas ranjang mereka. Kemudian dia berkata,
"Tunggu di sini sebentar ya Ay. Aku akan mengambilkan minuman agar kamu tenang."
Tangan Ayana tidak mau lepas dari tubuh Rafael. Dia menggelengkan kepalanya seraya berkata,
"Jangan tinggalkan aku Raf."
"Tidak akan Ay. Aku tidak akan meninggalkan kamu. Aku hanya sebentar saja ke dapur mengambilkan minuman untukmu," ujar Rafael sambil mengusap pipi Ayana dengan sangat lembut.
Ayana kembali menggelengkan kepalanya dan tidak mau melepaskan lengan Rafael yang dipegangnya sedari tadi.
"Hanya sebentar saja Sayang. Tunggu di sini ya. Hanya lima menit. Aku janji," bujuk Rafael sambil menatap intens manik mata istrinya untuk meyakinkannya.
Ditatapnya wajah istrinya yang benar-benar terlihat sangat ketakutan itu. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar dan tangannya mencengkeram kuat layaknya orang yang sedang ketakutan.
Diraihnya tubuh istrinya itu dalam pelukannya dan dipeluknya dengan erat seraya berkata,
"Aku janji hanya sebentar saja mengambil air minum. Aku akan berlari agar cepat sampai. Jangan takut ya Sayang, aku akan selalu ada bersamamu."
Setelah itu Rafael mengurai pelukannya dengan perlahan dan menyelimuti istrinya sebelum dia meninggalkannya untuk pergi ke dapur mengambilkan minuman.
Hanya sekitar lima menit saja Rafael kembali masuk ke dalam kamar tersebut dengan membawa dua botol air mineral dingin yang baru saja diambilnya dari lemari es.
Dia menghela nafasnya yang terasa sangat berat ketika melihat Ayana menutup seluruh tubuhnya dengan menggunakan selimut.
"Sayang... Ini minumannya. Diminum dulu yuk," ucap Rafael sambil membuka perlahan selimut yang menutupi seluruh tubuh istrinya.
Hati Rafael terasa sakit dan pedih layaknya teriris oleh benda tajam ketika membuka selimut yang menutupi wajah cantik istrinya.
Wajah cantik itu kini berubah menjadi sayu dengan matanya yang berkaca-kaca serta tubuhnya yang bergetar hebat.
Segera diraihnya tubuh istrinya itu dan dibawa ke dalam pelukannya. Air mata Rafael jatuh tak tertahankan melihat keadaan istrinya yang sepertinya sedang trauma dengan keadaan yang mencekamnya.
Dalam hati Rafael berjanji akan mencari tahu semua ini dan tidak akan melepaskan orang yang telah membuat istrinya merasakan trauma dan terancam seperti saat ini.
"Minum dulu ya. Setelah itu istirahat. Aku akan menemanimu tidur," tutur Rafael dengan lembut sambil mengusap lembut pipi Ayana.
Ayana menganggukkan kepalanya. Tidak dipungkirinya jika memang saat ini dia sangat membutuhkan pelukan dari suaminya. Dia ingin berlindung dan hanya dalam pelukan suaminya lah dia bisa merasakan kenyamanan dan ketenangan.
Diambilnya satu botol air mineral yang diletakkannya di atas meja dekat tempat tidurnya. Kemudian dia membukakan tutup botol tersebut dan memberikannya pada istrinya seraya berkata dengan lembut,
"Minumlah agar kamu dan dedek di perut kamu bisa tenang."
Ayana segera mengambil botol tersebut dan meminumnya perlahan. Dia mengusap perutnya untuk mencoba menenangkan bayi yang ada di dalam kandungannya.
Tangan Rafael pun ikut mengusap lembut perut istrinya dan tersenyum ketika merasakan gerakan dari dalam perut Ayana.
"Dia bergerak. Anak kita bergerak Sayang," ujar Rafael dengan bahagianya.
Melihat kebahagiaan Rafael itu mampu membuat Ayana sedikit tenang. Dia tersenyum dan bersyukur atas karunia Tuhan yang memberikannya suami serta keluarga yang pengertian dan selalu menyayanginya.
Tak terasa Ayana memejamkan matanya dalam pelukan suaminya. Dia merasakan kehangatan dan kedamaian di sana.
Setelah beberapa saat ketika dirasa istrinya sudah lelap, Rafael bergerak dengan sangat hati-hati sekali turun dari ranjang. Dia berniat untuk membersihkan pecahan kaca yang berserakan di ruang tamu.
Hanya beberapa langkah saja kaki Rafael melangkah, dia mendengar suara istrinya.
"Jangan... Jangan... Pergi... Pergi... Rafa... Tolong aku...," Ayana mengigau dengan mata yang masih terpejam dan air mata yang menetes di pipinya.
Dengan segera Rafael memeluk tubuh istrinya dan berkata,
"Tenang Sayang, tidak akan terjadi apa-apa. Ada aku di sini. Tenanglah...."
Tanpa terasa air mata Rafael menetes di pipinya. Hatinya merasa sakit dan pedih melihat kondisi istrinya yang seperti saat ini.
"Aaaawww... Sakit... Perutku sakit sekali...," seru Ayana dengan wajah meringis kesakitan dan air matanya yang membasahi seluruh wajahnya.
Dengan paniknya Rafael mengurai pelukannya dan berkata,
"Sayang... Kamu kenapa? Sayang jawab aku...."
Dengan paniknya Rafael menggendong tubuh istrinya menuju mobilnya. Dia tidak bisa memikirkan hal lainnya untuk saat ini. Pikirannya hanya satu, dia harus segera membawa istrinya yang merintih kesakitan ke rumah sakit.
"Bertahanlah Ay. Aku mohon. Sabar ya Sayang, kita akan segera sampai di rumah sakit," tutur Rafael dengan paniknya pada Ayana yang masih saja meringis dan merintih kesakitan.
Ini merupakan pengalaman baru bagi Rafael. Selain dia akan menjadi seorang ayah, dia juga kerap direpotkan dengan kemauan ngidam istrinya kapan pun itu.
Namun, semua itu terasa indah bagi Rafael. Berbeda sekali dengan saat ini. Dia harus kuat dan tenang untuk menghadapi keadaan saat ini. Keadaan ini sama sekali tidak diinginkannya. Bahkan tidak pernah terbersit sedikit pun dalam benaknya.
Ayana masih saja meringis kesakitan. Hanya saja dia tidak berteriak atau pun mengeluh yang berlebihan. Dia tidak ingin membuat suaminya yang sedang mengemudi menjadi khawatir padanya.
Tangan kiri Rafael memegang erat tangan Ayana untuk menguatkannya. Sedangkan tangan kanannya masih memegang kemudi. Pikiran Rafael sangat kacau saat ini, akan tetapi dia harus berusaha untuk bisa tetap fokus pada kemudinya.
Selang beberapa saat kemudian, masuklah mobil mereka di rumah sakit tempat Ayana bekerja sebelumnya. Dia merupakan dokter umum di rumah sakit tersebut, sebelum akhirnya dia resign karena kehamilannya yang semakin membesar.
Sebenarnya Ayana tidak mau resign dari rumah sakit tersebut, akan tetapi mertua dan suaminya lah yang memaksanya untuk beristirahat di rumah hingga dia melahirkan. Dan mereka berjanji membuatkan klinik sendiri untuk mewujudkan impian Ayana selama ini.
Rafael segera menggendong istrinya masuk ke dalam ruang IGD seraya berseru,
"Dokter... Dokter... Tolong selamatkan istri dan anak kami."
Seketika dokter dan perawat yang sedang berjaga di ruang IGD berlari mendekati Rafael.
"Dokter Ayana? Ada apa dengan dokter Ayana Pak?" tanya dokter Widya, dokter IGD yang sering berjaga dengan Ayana.
"Tiba-tiba saja dia mengeluh sakit pada bagian perutnya dok," jawab Rafael dengan paniknya.
"Mari Pak, baringkan dokter Ayana di sebelah sana," sahut perawat senior yang sudah mengenal dekat Ayana.
Dengan segera Rafael membawa istrinya menuju bed pasien yang tidak jauh dari tempatnya berada.
Dibaringkannya dengan perlahan tubuh istrinya pada bed tersebut. Diusapnya perlahan rambut istrinya yang menutupi wajahnya. Kemudian dia berkata,
"Bertahanlah Sayang, aku mohon."
Melihat wajah istrinya yang sedang meringis kesakitan membuat Rafael tidak tega dan meneteskan air matanya.
"Maaf Pak, silahkan tunggu sebentar di sebelah sana. Biar kami memeriksanya terlebih dahulu," tutur dokter Widya sambil memakai stetoskopnya.
Dengan ragu-ragu Rafael melepaskan genggaman tangan istrinya. Dia menatap tidak tega pada istrinya yang sedang menatapnya dengan matanya yang berkaca-kaca.
Namun, dia harus segera menyingkir dari tempat itu agar dokter bisa leluasa memeriksa istrinya. Rafael berpindah tempat sedikit menjauh dari istrinya.
Dokter Widya memeriksa keadaan Ayana. Kemudian dia berkata,
"Sus, tolong panggilkan dokter Sani. Ceritakan apa yang terjadi padanya."
"Baik dok," tukas perawat yang membantunya sejak tadi.
Perawat tersebut segera menghubungi dokter Sani. Hanya selang beberapa saat saja dokter Sani tergesa-gesa masuk ke dalam ruang IGD tersebut.
"Bagaimana keadaan dokter Ayana?" tanya dokter Sani, dokter SpOG yang juga kenal dekat dengan Ayana dan kebetulan sedang bertugas saat itu.
Dokter Widya mendekati dokter Sani dan mengatakan dengan lirih hasil dari pemeriksaannya.
Dokter Sani segera memeriksa keadaan Ayana dengan menyeluruh. Setelah beberapa saat pemeriksaan itu berakhir, dia menghela nafasnya. Kemudian dia menoleh ke arah Rafael yang sedang menatap istrinya dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
Setelah mereka memberikan pertolongan pertama pada Ayana, dokter Sani mendekati Rafael dan berkata,
"Bisa kita bicara sebentar Pak?"
Rafael menganggukkan kepalanya, menyetujui permintaan dari dokter Sani. Mereka berjalan menjauh dari tempat Ayana sekarang berada.
"Bagaimana keadaan istri saya dok?" tanya Rafael dengan paniknya.
"Untuk saat ini kondisi pasien baik-baik saja. Beruntung sekali pasien segera dibawa ke rumah sakit sehingga bisa mendapatkan pertolongan. Jika tidak, kemungkinan besar akan terjadi hal buruk pada bayinya," tutur dokter Sani disertai helaan nafasnya.
"Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dok? Tadinya istri saya baik-baik saja. Tiba-tiba saja dia mengeluhkan sakit pada perutnya," tanya Rafael dengan rasa ingin tahunya.
Dokter Sani melihat ke arah Ayana yang sedang terbaring lemah dengan merasakan sakitnya ditemani dengan selang infus yang menancap di tangannya. Kemudian dia berkata,
"Apa belakangan ini dokter Ayana mengalami syok, stres, ketakutan, tertekan atau depresi?" tanya dokter Sani dengan serius.
"Apa ada hubungannya dengan itu semua dok?" tanya Rafael dengan antusias.
"Bisa jadi Pak. Karena hasil pemeriksaan kemarin, bayi yang ada di dalam kandungan dokter Ayana sangat sehat dan tidak ada masalah apa pun. Apa memang ada yang terjadi baru-baru ini?" tanya dokter Sani kembali.
Rafael menghela nafasnya. Dia memandang ke arah istrinya dengan pandangan penuh kesedihan. Kemudian dia menjawab pertanyaan dokter Sani dengan menceritakan apa yang terjadi tadi sebelum Ayana merasa kesakitan pada perutnya.
"Mungkin itu yang menjadi penyebabnya Pak. Apa lagi dokter Ayana sedang mengandung, jadi dia merasa sangat ketakutan karena harus melindungi dirinya dan bayinya," ujar dokter Sani disertai helaan nafasnya yang merasa iba pada keadaan Ayana saat ini.
"Lalu, apa yang harus saya lakukan dok?" tanya Rafael dengan serius pada dokter Sani.
"Lebih baik kalian tinggal di tempat lain dahulu setelah pulang dari rumah sakit ini. Dan saya mohon Bapak perhatikan keamanan serta kenyamanan istri Bapak," tutur dokter Sani dengan raut wajah serius.
"Baik dok. Saya juga tidak akan bisa tenang tinggal di rumah itu lagi. Apa lagi meninggalkan istri saya sendirian di rumah itu. Pasti pikiran saya tidak akan tenang pada saat saya bekerja," ujar Rafael menanggapi perkataan dokter Sani.
Dokter Sani tersenyum. Dia tahu jika Rafael sangat mencintai istrinya, karena dia kenal betul Ayana dan dia juga merupakan dokter kandungan Ayana selama ini.
"Kita pindahkan sekarang dokter Ayana di kamar inap. Dan jangan sungkan-sungkan menghubungi saya jika terjadi sesuatu pada dokter Ayana. Kapan pun itu," tutur dokter Sani sebelum meninggalkan Rafael.
Tiba-tiba terdengar suara keributan dari dalam ruangan IGD yang terdengar hingga luar ruangan tersebut.
"Tidak! Jangan! Lepaskan aku! Rafa... Tolong aku!" teriak Ayana dengan mata yang masih terpejam ketika merasa tangannya dipegang oleh perawat saat akan dipindahkan ke kamar inapnya.
Rafael dan dokter Sani saling menoleh. Dari tatapan mata mereka berdua seolah saling bertanya apa yang sedang terjadi pada Ayana saat ini.
Tiba-tiba saja ada perawat yang berlari sambil berseru pada dokter Sani dengan suara yang ngos-ngosan.
"Dokter...! Dokter Ayana dok...."
Dokter Sani beserta Rafael segera berlari menghampiri Ayana yang masih mengigau dengan bermandi peluh di dahi dan pelipisnya.
Dengan segera Rafael meraih tubuh Ayana dan membawanya dalam pelukannya seraya berkata,
"Sayang... Bangunlah... Jangan takut... Aku ada di sini bersamamu."
Pelukan Rafael yang begitu erat dan usapan tangannya yang lembut pada punggung Ayana membuatnya sangat nyaman dan merasa terlindungi.
Perlahan Ayana menjadi tenang. Dia sudah tidak mengigau lagi. Tanpa sadar air mata Rafael menetes di punggung Ayana. Hatinya tidak kuat melihat penderitaan istrinya.
"Lebih baik kita pindahkan dokter Ayana sekarang Pak. Sebaiknya harus selalu ada orang yang mendampinginya. Dan juga seperti tadi yang saya sampaikan, lebih baik tinggal di tempat yang lebih aman untuk sekarang ini," tutur dokter Sani pada Rafael.
"Baik dok," jawab Rafael dengan suara yang tercekat tanpa menoleh ke arah dokter Sani.
Dengan sangat hati-hati sekali Rafael memindahkan tubuh istrinya pada brankar untuk dipindahkan ke kamar inap yang sudah disediakan.
Tangan Rafael tidak lepas memegang tangan Ayana dengan mengikutinya di sebelah brankar yang sedang berjalan.
Tanpa diketahui Rafael, ada sepasang mata yang memperhatikannya semenjak tadi. Seseorang dengan menggunakan jaket hoodie hitam dengan memakai topi hitam dan kacamata hitam itu selalu memperhatikan gerak-gerik Ayana dan Rafael. Orang tersebut mengikutinya sejak dari rumah Rafael hingga ke rumah sakit. Dia menyeringai melihat kondisi Ayana saat ini.
"Rasakan pembalasanku," ucap lirih orang tersebut sambil terkekeh menyaksikan kepiluan hati Rafael.
Orang tersebut mengikuti mereka hingga masuk ke dalam lift yang sama. Curiga? Tentu saja Rafael menaruh curiga padanya. Dengan penampilan seperti itu pun para perawat yang ada di dalam lift tersebut menatap curiga padanya. Hanya saja Rafael tidak mau ambil pusing. Dia kembali memusatkan perhatiannya pada istrinya.
Pintu lift pun terbuka. Brankar Ayana segera di dorong oleh para perawat yang memindahkannya. Rafael pun masih setia mendampingi istrinya. Bahkan genggaman tangannya tidak lepas sedikitpun dari tangan istrinya.
"Maaf, anda tidak bisa masuk ke area ini jika tidak memiliki kartu akses untuk memasuki area ini," ucap seorang petugas keamanan yang berbadan besar dan berwajah garang menghentikan orang tersebut yang hendak mengikuti Rafael dan Ayana.
Orang tersebut menatap tajam pada petugas keamanan yang menghentikannya. Akan tetapi dia tidak bisa mengalahkan kegarangan petugas keamanan tersebut.
Dengan terpaksa orang tersebut kembali masuk ke dalam lift dan meninggalkan area rumah sakit tersebut tanpa mendapatkan hasil yang diinginkannya.
Langkah kakinya sangat cepat seolah sedang diikuti oleh seseorang. Dengan terburu-buru dia menuju parkiran dan masuk ke dalam mobilnya.
Dia membuka kacamata hitamnya dan melemparkannya pada dashboard mobil tersebut. Kemudian dia membuka topi dan membiarkan rambut panjangnya yang dilipat masuk ke dalam topi tadi terurai dengan indah saat ini. Dilemparnya topi tersebut ke arah kursi yang ada di sampingnya seraya berkata,
"Sial! Kenapa dia harus dipindahkan ke ruangan yang dijaga ketat keamanan seperti itu? Bagaimana aku bisa masuk ke dalam ruangannya?"
Mata tajam yang memicing itu terlihat dari spion mobil yang ada di tengahnya. Beberapa detik kemudian dia menyeringai dan berkata,
"Aku pastikan rencanaku ini tidak akan gagal. Ruby tidak akan kalah dari siapa pun. Tak terkecuali kau Rafael Atmaja."
Ruby, mantan kekasih Rafael kini kembali. Setelah dia keguguran di dalam penjara waktu itu, dia menaruh dendam pada Ayana. Dia berjanji akan merebut Rafael kembali dan menghancurkan Ayana tanpa ada belas kasihan padanya.
"Teror itu hanya awalnya saja. Lihat saja nanti, apa yang akan aku lakukan selanjutnya," sambung kembali Ruby diiringi dengan kekehannya.
Ruby baru saja keluar dari tahanan seminggu yang lalu. Dia segera mencari tahu tentang Rafael dan Ayana, termasuk tempat tinggal mereka.
Rencana demi rencana telah disusunnya. Bahkan dia mencari tahu semua celah saat Rafael tidak bersama dengan Ayana.
Ruby mengingat wajah ketakutan Ayana saat mendapatkan teror darinya. Dia menertawakan ekspresi ketakutan Ayana dan berkata,
"Akan aku hancurkan psikis dan hatimu agar kamu tidak akan bisa berada di sisi Rafael lagi. Dan yang terpenting, anak itu tidak boleh lahir ke dunia. Sama seperti anakku yang tidak bisa lahir ke dunia ini."
Ruby melajukan mobilnya meninggalkan area rumah sakit tersebut. Dia akan membuat rencana lainnya agar bisa dengan mudah masuk ke dalam kamar Ayana.
Di sisi lain, tepatnya di dalam kamar Ayana, Rafael masih saja tidak melepaskan genggaman tangannya. Dia menatap iba dan penuh rasa bersalah pada istrinya. Bahkan rasa penyesalan yang begitu besar tidak bisa mengurangi rasa bersalahnya pada istrinya.
"Sayang... Bangunlah... Maafkan aku. Seharusnya aku tidak pernah meninggalkanmu sendirian di rumah. Seharusnya kamu ikut aku bekerja. Seharusnya kamu tidak di sini saat ini. Seharusnya kita berlibur besok sesuai dengan rencana kita. Maafkan aku Sayang... Aku berjanji akan mencari pelakunya. Bangunlah... Jangan takut lagi... Ada aku di sini," ucap Rafael sambil menciumi punggung dan telapak tangan istrinya.
Tiba-tiba Rafael teringat akan apa yang terjadi di rumahnya. Dengan segera dia menghubungi seseorang untuk menyelidiki masalah tersebut. Dia juga menghubungi orang tuanya dan menceritakan semua yang terjadi pada Ayana.
Mata Ayana perlahan terbuka. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menyesuaikan binar cahaya yang masuk ke dalam retina matanya.
"Sayang... Kamu sudah sadar?" tanya Rafael dengan paniknya.
"Hmmm... Rafa... Di mana ini?" tanya Ayana dengan suara yang terdengar lemah.
Rafael meraih tubuh istrinya dengan hati-hati dan membawanya dalam dekapannya. Kemudian dia berkata,
"Kita di rumah sakit. Apa ada yang terasa sakit?"
Tiba-tiba raut wajah Ayana menegang. Tangannya mencengkeram erat baju Rafael. Dan matanya menelisik seluruh ruangan tersebut seolah waspada pada sekitarnya.
"Ada apa Ay?" tanya Rafael yang merasakan kegelisahan istrinya saat ini.
"Aku takut... Aku takut Raf. Sebelum ada yang melempar kaca jendela rumah kita, aku mendapatkan surat kaleng yang mengatakan bahwa dia mengincar aku dan anak kita. Dia tidak akan melepaskan aku dan anak kita meskipun berada di tempat yang sangat jauh," jawab Ayana dengan suara yang bergetar dan sedikit tercekat.
Rafael mengerutkan dahinya mendengar penuturan istrinya. Dia tidak mengira jika ada surat kaleng yang meneror istrinya sebelum kejadian itu terjadi.
"Ay, jangan takut ya... Aku akan selalu ada di dekatmu. Aku tidak akan meninggalkan istriku dan anakku. Kapan pun itu," tutur Rafael sambil memeluk erat istrinya.
Gigi Rafael bergemelatuk menahan amarahnya. Bahkan dadanya bergemuruh tidak terima dengan apa yang terjadi pada istrinya saat ini. Dalam hatinya dia mengutuk si pelaku yang menyebabkan semua ini terjadi.
Sialan! Di mana surat kaleng itu sekarang? Apa masih ada di rumah? Apa aku harus menanyakannya pada Ayana sekarang? Tapi apa kondisinya akan baik-baik saja jika mengingat tentang surat ancaman itu?
"Sayang... Surat itu... Di mana surat itu sekarang? Apa masih ada di rumah?" tanya Rafael dengan ragu-ragu.
"Surat?" celetuk Ayana setelah mendengar pertanyaan dari suaminya.
"Iya. Surat kaleng, surat ancaman yang tadi kamu ceritakan," sahut Rafael dengan antusias.
"Awwww.... Awwww.... Rafa... Perutku Raf... Rasanya... Awww....!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!