NovelToon NovelToon

Menantu Yang Tak Dianggap

Bab 1. Masakan keasinan

"Mila …!"

Suara panggilan ibu mertua Mila, terdengar nyaring di telinga Mila. Mila bergegas menuju meja makan yang tidak jauh dari dapur tempatnya berada. Mila melihat ibu mertuanya tampak kesal saat melihatnya.

"Ada apa, Bu?" tanya Mila panik.

"Makanan apa ini, cih." Ibu mertuanya memuntahkan makanan yang dimakannya kembali di atas piring.

"Kenapa, Bu? Apa ada yang salah dengan makanannya?" tanya Mila lagi.

"Coba kamu rasain sendiri. Dasar istri tidak berguna. Bisa masak tidak? Kamu sengaja mau buat darah tinggi ibu kambuh? Buat sayur begitu saja bisa keasinan. Bagaimana kamu bisa menjadi istri yang baik kalau kamu tidak bisa masak?" Suara ibu mertuanya terdengar keras dan jelas di telinga Mila.

"Benarkah, kok bisa keasinan. Padahal tadi Mila sudah sesuai porsinya," jawab Mila yang semakin membuat ibu mertuanya kesal.

"Kamu tidak percaya, sini kamu coba sendiri!" bentak ibu mertuanya.

Mila mencoba mencicipi sesendok sayur yang telah dia buat. Dan ternyata memang rasanya asin. Mila menjadi takut dan dia meminta maaf kepada ibu mertuanya. Dia berkata akan membuatkan ibu mertuanya masakan lain yang akan lebih baik.

Sayangnya ibu mertuanya sudah terlanjur marah dan kesal pada Mila. Dia memaksa Mila memakan masakan yang Mila buat sendiri. Dengan kasar, ibu mertuanya menyuapi Mila yang berusaha berontak.

Melihat Mila berontak, ibu mertuanya menekan wajah Mila ke piring bekas makannya hingga wajahnya dipenuhi makanan. Perut Mila terasa mual dan dia berlari ke kamar mandi karena ingin muntah.

Ibu mertuanya tersenyum puas melihat Mila saat ini. Ternyata, semua itu sudah direncanakan. Bu Siti sengaja menambahkan garam tanpa sepengetahuan Mila, ke dalam masakan yang dibuat oleh Mila. Sehingga Bu Siti mempunyai alasan untuk memarahi dan mengerjai menantunya itu.

Mila membasuh mukanya yang kotor dengan air dan di sabun supaya tidak bau makanan. Hatinya sedih dan sakit mendapat perlakuan kasar dari ibu mertuanya. Air matanya mengalir bercampur menjadi satu dengan air yang dibasuhkan ke wajahnya.

Suara isak tangisnya tenggelam oleh suara air keran yang mengalir deras, yang sengaja dia hidupkan agar ibu mertuanya tidak mendengar suara tangisannya.

Setelah beberapa saat, Mila keluar dari kamar mandi dalam keadaan wajah yang masih basah. Mila kembali memasak untuk mengganti masakan yang keasinan tadi. Mila sadar jika ibu mertuanya saat ini pasti kelaparan dan dia tidak ingin ibu mertuanya mengadu pada suaminya, jika Mila tidak memberi ibunya makan.

Sambil sesekali menyeka air matanya, Mila mulai memotong sayuran dan wortel. Dia ingin membuat sup yang lebih mudah dan cepat. Mila lalu membuat telur dadar karena kebetulan hanya itu yang tersisa di lemari pendingin miliknya.

Mila memang tidak suka menyetok bahan makanan karena dia lebih suka sayuran segar yang dibelinya langsung di pasar. Hal itu karena Mila terbiasa hidup kekurangan sejak kecil dan tidak memiliki uang untuk menyetok bahan makanan.

Sangat berbeda dengan kehidupan suami dan ibu mertuanya yang tergolong kaya. Mereka terbiasa makan makanan yang enak dan mewah. Makanan sehari-hari juga sudah sangat berbeda dengan Mila, apalagi masih banyak hal lain yang memang tidak bisa disamakan.

Selesai memasak, Mila mencari ibu mertuanya yang sedang santai menikmati tontonan sinetron di televisi. Mila agak ragu untuk memanggil, karena Mila takut akan dianggap pengganggu.

"Ibu, Mila sudah menyiapkan makan siang untuk ibu, sebagai pengganti makanan yang asin tadi. Semoga kali ini ibu suka."

Mila tetap berdiri didekat ibu mertuanya, meskipun ibu mertuanya tidak bereaksi apapun dengan ucapan Mila. Mila seolah tidak dianggap ada.

"Ibu …."

"Apa sih, Mila. Ganggu ibu nonton sinetron kesukaan ibu saja. Ada apa?" tanya Bu Siti kesal.

"Mila sudah masak lagi untuk ibu. Mari kita makan bersama, Bu," ajak Mila ragu.

Tanpa berkata sepatah katapun, Bu Siti beranjak dari duduknya dan berjalan menuju meja makan yang sudah berisi sejumlah makanan. Bu Siti mencicipi sayur sup yang dibuat Mila. Mila merasa panik dan khawatir menunggu reaksi dari ibu mertuanya.

"Masakan apa ini, rasanya seperti air sumur. Dan itu apa, telor dadar? Memang dasar menantu tidak bisa memasak!"

Mila tertegun mendengar perkataan ibu mertuanya yang sangat menyakitkan hati. Dia tidak menyangka jika, usahanya tidak dihargai sama sekali oleh ibu mertuanya. Yang lebih meyakinkan lagi, semua makanan yang ada diatas meja dibuang ketempat sampah dan sayur sup dibuang di tempat mencuci piring.

"Ibu, kenapa dibuang?" tanya Mila dengan suara dan tubuh bergetar.

"Ini supaya kamu bisa belajar masak yang enak dan baik. Kasihan suamimu, setiap hari harus makan makanan tidak bergizi," jawab Bu Siti sinis."Sudah, ibu tidak ingin makan."

Mila menangis pelan. Dia tidak lagi bisa menyembunyikan perasaan sedihnya. Meski begitu, ibu mertuanya sama sekali tidak peduli dengan perasaan Mila. Bu Siti kembali meneruskan aktivitasnya menonton sinetron kesukaannya.

Mila sedih dan perutnya terasa lapar, karena dia belum sempat makan siang dan semua makanan sudah terlanjur dibuang oleh ibu mertuanya. Tidakkah ibu mertuanya juga lapar?

Ternyata, ibu mertuanya memesan makanan dari luar secara online, dan dia makan secara sembunyi-sembunyi agar Mila tidak mengetahuinya.

Mila akhirnya membuat mie rebus untuk mengganjal perutnya yang lapar. Setelah itu, Mila Kembali menjalankan aktivitasnya mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.

Pekerjaan rumah memang tidak pernah ada habisnya. Sebenarnya mereka memiliki pembantu, tetapi beberapa Minggu yang lalu minta berhenti karena harus pulang kampung. Pernah terpikirkan untuk mencari pembantu baru, tetapi ibu mertuanya beralasan jika Mila bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Karena Mila tidak bekerja, biar ada kesibukan. Mila hanya mengiyakan saja saran dari ibu mertuanya.

Siang telah berganti sore. Hisam pulang tepat pukul 5 sore. Mila yang kelelahan setelah seharian bekerja, ketiduran dan tidak menyambut kedatangan suaminya.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam …."

Bu Siti bergegas membuka pintu untuk menyambut Hisam pulang. Bu Siti sempat mencari-cari keberadaan Mila di sekitar ruang tamu. Setelah yakin Mila tidak ada, Bu Siti tersenyum karena ada kesempatan baginya untuk membuat Mila buruk di mata putranya itu.

"Mila mana, Bu, kok bukan dia yang membuka pintu?" tanya Hisam penasaran.

"Hisam, istrimu itu lama-lama memang ngelunjak dan tidak menghargai kamu. Jangankan kamu, sama ibu saja dia tega," jawab Bu Siti sedih.

"Maksud ibu, tega yang bagaimana?" tanya Hisam sambil duduk.

"Tadi siang, ibu tidak makan."

"Kenapa tidak makan, apa Mila tidak memasak?" tanya Hisam santai.

"Bukan, dia masak, tapi keasinan. Mau buat ibu darah tinggi. Hisam, seharusnya kamu cari istri yang bisa masak, supaya ibu dan kamu juga betah di rumah. Tapi, Mila ini, sudah tidak bisa masak, pemalas lagi. Bukannya dia yang menolak memiliki pembantu, ya harus tanggung konsekuensinya dong," ucap Bu Siti emosi.

"Dia pasti tidak sengaja, Bu. Biasanya masakan dia juga enak," jawab Hisam berusaha membuat ibunya mengerti dan Hisam tidak ingin ada masalah antara ibu dan istrinya.

"Hisam, malam ini, ajak ibu makan diluar. Sepertinya, Mila juga tidak masak," ucap Bu Siti mempengaruhi Hisam.

"Tidak masak. Lalu dia dimana?" tanya Hisam mulai khawatir.

"Tahu. Tidur kali, kan emang dia pemalas," jawab ibunya sinis.

Hisam berjalan menuju kamarnya yang tertutup rapat dan ibunya mengikutinya dari belakang. Hisam terkejut saat melihat Mila tidur dengan lelapnya.

"Tuh, kamu lihat malasnya istrimu. Bukannya masak untuk makan malam, malah ngorok," ibunya mengompori.

Hisam melangkah mendekati Mila dan menarik napas berat. Hisam mulai terbakar emosi setelah mendengar ucapan ibunya.

"Mila, bangun!"

Mila kaget mendengar suara keras suaminya. Dia segera bangun sambil mengusap matanya yang masih belum bisa diajak kompromi.

"Mas Hisam, sudah pulang? Maaf, Mila ketiduran, tadi badan Mila rasanya capek banget," ucap Mila gak gugup karena melihat wajah Hisam yang terlihat marah.

"Kenapa kamu tidak masak, mau makan apa kita?" tanya Hisam masih dengan nada tinggi.

"Maaf, aku lupa. Aku akan masak sebentar, Mas Hisam mandi dulu saja," jawab Mila yang langsung beranjak pergi.

"Tunggu, kamu tidak perlu masak. Aku dan ibu akan makan diluar saja," ucap Hisam menghentikan langkah Mila.

"Tapi, Mas. Bukannya kamu pernah bilang sama aku kalau makan di luar itu pemborosan, lalu kenapa sekarang kalian mau makan diluar?" tanya Mila kaget.

"Sekali-kali menyenangkan orang tua, tidak masalah. Kamu tidak perlu ikut, biar tidak boros. Ibu, Hisam mandi dulu, tunggu diluar saja," jawab Hisam lalu melangkah menuju kamar mandi.

Mila terdiam sedih. Hisam, suaminya begitu pelit padanya, tetapi tidak bagi ibunya. Mila tahu, ibunya juga mempengaruhi Hisam, supaya uang belanja bulanan dikurangi, supaya Mila tidak boros. Padahal selama menikah dengan Hisam, Mila hampir tidak pernah membeli baju baru. Uang itu dia cukup-cukupkan untuk biaya belanja satu bulan.

"Mila, jika kamu tidak segera meninggalkan Hisam, hidup kamu akan lebih menderita. Aku akan selalu menjadi orang ketiga diantara kalian," bisik Bu Siti ke telinga Mila. "Menyerahlah."

Bab 2. Munafik

Mila cukup syok mendengar ucapan Bu Siti. Itu sebuah ancaman. Ancaman yang cukup membuat hati Mila bergidik ketakutan. Tetapi, karena besarnya cinta pada Hisam, mampu membuatnya bertahan.

Selesai mandi dan berganti pakaian, Hisam mengajak ibunya pergi makan malam diluar tanpa Mila. Tidak ada sedikitpun rasa sungkan di hati mereka telah meninggalkan Mila sendirian dan kelaparan di rumah.

Mila hanya bisa menerima perlakuan mereka karena merasa Hisam adalah pria yang terbaik. Dia begitu mencintai ibunya dan ingin ibunya bahagia. Walaupun seharusnya Mila juga berhak bahagia seperti juga ibu mertuanya. Hisam bersikap tidak adil, dan lebih mementingkan ibunya daripada dirinya.

Mila berjalan menuju ke dapur untuk membuat mie rebus. Hanya itu yang bisa dia lakukan dan bisa dia makan malam ini. Mie instan menjadi solusi paling mudah, daripada dia masak tetapi tidak ada yang memakannya.

Meskipun dia merasa diabaikan oleh suaminya, tetapi dia harus tetap bertahan. Menganggap bahwa semua ini hanyalah cobaan dan ujian cinta dalam rumah tangganya bersama Hisam.

Esok harinya, Hisam berangkat bekerja tidak pamit dulu pada Mila. Entah apa yang terjadi sehingga suaminya tidak menghiraukannya lagi. Suaminya berangkat bekerja tanpa berpamitan dulu padanya. Dia hanya berpamitan pada ibunya.

"Hisam, tunggu apa lagi. Segera berangkat, gih. Nanti terlambat," ucap Bu Siti sambil sedikit mendorong Hisam agar segera pergi.

"Ibu, Mila dimana? Kenapa tidak kelihatan?" tanya Hisam mencari-cari keberadaan istrinya.

"Hisam, Mila itu lagi di kamar mandi. Sudah sana cepat pergi, nanti aku yang bicara pada istrimu," jawab Bu Siti meyakinkan Hisam agar segera pergi.

Hisam melangkah pergi tanpa berpamitan pada Mila. Dia berlari keluar untuk mengejar suaminya, tetapi dihalangi oleh ibu mertuanya.

"Tunggu, kamu tidak perlu mengejar suamimu. Suamimu tidak akan mendengarnya. Tadi aku bilang padanya, jika kamu sedang buang air di kamar mandi," ucap bu Siti sambil tersenyum sinis.

"Ibu, kenapa ibu bilang begitu? Tadi aku ke kamar sebentar," tanya Mila sedih dan kecewa.

"Sudahlah, kamu seharusnya mengerti apa artinya itu. Kamu lihat, suamimu sudah tidak peduli padamu lagi. Menyerahkan, Mila, tinggalkan Hisam!"

"Ibu, kenapa ibu seperti ini? Bukankah dulu ibu setuju kami menikah? Kenapa sekarang ibu ingin kamu berpisah?" tanya Mila sambil meneteskan air mata.

"Itu dulu. Jika aku tidak setuju Hisam menikahimu, maka Hisam akan membenciku dan meninggalkanku. Aku tidak ingin anakku membenciku tetapi aku juga tidak ingin memiliki menantu sepertimu," kata Bu Siti kesal.

"Ibu, apa salahku? Aku sudah berusaha menjadi istri dan menantu yang baik untuk kalian," tanya Mila penasaran ibu mertuanya tidak menginginkannya sebagai menantu.

"Kesalahanmu adalah, kamu menikahi Hisam. Karena aku sudah memilihkan Hisam wanita yang sangat berkelas. Cantik, berpendidikan, baik, kaya dan memiliki orangtua yang jelas asal usulnya. Bukan wanita kampung sepertimu dan tidak tahu asal usulnya," jelas Bu Siti sambil menatap tajam Mila.

Hati Mila sangat sedih dan Mila sadar jika dia memang anak yatim piatu yang kebetulan diberikan warisan oleh orang tuanya berupa ilmu meski hanya lulusan SMA. Dia bisa bekerja di perusahaan yang sam dengan Hisam meski sebagai pegawai biasa.

Saat itu, Hisam jatuh cinta padanya dan tidak memandang harta. Mila juga jatuh cinta setelah melihat ketulusan hati Hisam selama mengejarnya. Mungkinkah cintanya akan semudah itu hilang setelah menikah? Dihadapkan pada kenyataan bahwa ibu mertuanya menikungnya dari belakang. Di depan sangat baik, tetapi di belakang dia selalu mencari kesalahannya dan di goreng di depan putranya sedemikian rupa. Membuat hubungan suami istri yang tadinya manis menjadi asem.

Mila tidak ingin disebut menantu durhaka, karena itu Mila akhirnya mengakhiri perdebatannya dengan ibu mertuanya.

"Ibu, Mila tetap akan bertahan," jawab Mila tegas.

Jawaban Mila itu, semakin membuat hati Bu Siti marah dan kesal pada Mila. Apalagi setelah berkata seperti itu, Mila langsung pergi meninggalkannya.

"Dasar menantu kurang ajar, tunggu pembalasanku," gumam Bu Siti.

***

Siang itu, tubuh Mila kurang enak badan. Dia ingin beristirahat tetapi masih banyak pekerjaan yang sedang menunggu dia kerjakan. Mila masih harus membersihkan lantai dan mengepel. Sebelum membuat makan siang, semua pekerjaan rumah harus sudah selesai.

Mila membawa ember dan alat pel yang diletakkannya di pojok ruangan. Mila duduk sebentar untuk mengembalikan semangatnya yang tiba-tiba hilang.

Saat itu, ibu mertuanya meminta Mila untuk beristirahat. Biar urusan mengepel lantai, akan diteruskan oleh ibu mertuanya. Mila berusaha menolak, tetapi ibu mertuanya terus memaksanya. Mila akhirnya setuju karena kebetulan tubuhnya kurang sehat.

Mila terharu melihat ibu mertuanya merasa kasihan padanya. Mila berharap, ibu mertuanya benar-benar telah berubah.

"Terima kasih, ibu. Mila memang agak tidak enak badan hari ini," ucap Mila lemah.

"Sama-sama, Mila. Ibu lihat, wajah kamu pucat, kamu istirahat saja," kata ibu mertuanya lembut.

Mila tersenyum bahagia. Dia duduk di sofa sambil rebahan. Mencoba memejamkan mata sesaat agar nanti bisa mengerjakan pekerjaan lain. Mila menarik napas berat, seberat beban hidup yang harus ditanggungnya sebagai seorang istri.

Bayangan kebahagian setelah menikah, pupus sudah setelah dia mengalami sendiri susahnya menjadi seorang istri. Tidak hanya harus melayani suami, tetapi juga harus membuat ibu mertua menyukainya. Bahkan harus melakukan semua pekerjaan rumah tangga tanpa boleh mengeluh. Dia harus melakukannya dengan tersenyum.

Mila mulai tertidur dan tidak mendengar jika ibu mertuanya secara diam-diam menghubungi Hisam sambil menangis.

"Hisam, istrimu kejam pada ibu."

Hisam yang merasa khawatir dengan ibunya, bergegas pulang.

Bu Siti menunggu kedatangan Hisam dan membasahi matanya dengan obat tetes mata, agar kelihatan jika dia benar-benar tersiksa. Tidak lama kemudian Hisam datang dengan terburu-buru.

Hisam pulang dengan penuh amarah melihat ibunya mengepel lantai sedangkan Mila malah enak-enakan rebahan di sofa. "Coba lihat kelakuan istrimu. Dia menyuruh ibu mengepel lantai, dan dia enak-enakan tidur. Hisam, kamu tahu, jika kamu tidak di rumah, dia selalu meminta ibu melakukan pekerjaan rumah. Ibu tidak berani mengadu karena ibu takut, Mila akan bertambah membenci ibu. Ibu ingin menjadi mertua yang baik untuk Mila. Tetapi Mila sama sekali tidak mau terima," aduan Bu Siti pada Hisam yang membuat Hisam gelap mata. Wajah tampan Hisam dan tatapan mata yang dulu lembut, kini telah berubah merah menyala penuh amarah. Hisam menganggap bahwa selama ini Mila sudah memperlakukan ibunya seperti pembantu seperti yang dikatakan ibunya.

Mila terbangun saat seseorang dengan kasar membangunkannya. Mila kaget saat melihat suaminya pulang dalam keadaan marah.

"Mas, kok sudah pulang?" tanya Mila sambil berdiri.

Jawaban dari pertanyaan Mila, adalah sebuah tamparan keras yang melayang ke wajahnya. Tamparan dari tangan pria yang selalu dipujanya. Mila menangis bukan karena sakitnya tamparan itu tetapi karena sakit hatinya diperlakukan kasar oleh suaminya. Pria yang kini menjadi imamnya, telah membuatnya kecewa.

"Jangan perlakukan ibuku seperti pembantu!" teriak Hisam yang membuat Mila ketakutan.

Bab 3. Bermuka dua

"Mila, jika kamu sudah tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah lagi, kamu bisa bilang padaku. Aku bisa mencarikan kamu pembantu. Bukan malah membuat ibuku melakukan pekerjaan kasar seperti itu!" teriak Hisam lagi dengan penuh emosi.

Hisam tidak pernah marah, tetapi sekalinya marah, bagaikan badai yang menghancurkan bangunan indah di pesisir pantai. Begitulah yang Mila rasakan saat ini.

"Mas, kamu menamparku? Aku tidak pernah meminta ataupun menyuruh ibumu melakukan pekerjaan rumah. Ibu sendiri yang memaksa melakukan pekerjaan itu," jawab Mila sambil memegangi wajahnya yang sakit.

"Mana mungkin ibu berbohong, Mila. Mulai sekarang, aku tidak ingin melihat kamu memperlakukan ibuku seperti ini lagi. Minta maaf pada ibu, atau aku akan menceraikan kamu!" ancam Hisam.

Mila sangat sedih mendengar ancaman dari Hisam. Kata cerai sangat mudah dia ucapkan, meskipun masih berupa ancaman.

Apakah sebegitu rapuhnya pondasi rumah tangga ini, sehingga suamiku ingin merobohkannya? Apakah dia akan benar-benar menceraikan aku, jika aku tidak mau meminta maaf? Apakah aku akan mempertaruhkan kelangsungan pernikahanku kali ini? Apakah aku sudah siap diceraikan? Hal yang tidak pernah kubayangkan akan ada dalam pernikahanku, batin Mila kacau.

"Mila, apa kamu tuli, atau kamu memilih bercerai?" tanya Hisam kesal. "Ayo Ibu, aku antar ibu beristirahat."

Hisam berjalan untuk mengantar ibunya beristirahat di kamar. Baru beberapa langkah, Mila memutuskan untuk meminta maaf.

"Tunggu, aku akan meminta maaf pada ibu!" teriak Mila menghentikan langkah Hisam dan ibunya. "Ibu, maafkan Mila."

Padahal, ibu mertuanya sudah sangat senang dengan ancaman Hisam untuk menceraikan Mila. Lebih senang lagi, ketika Mila sepertinya enggan meminta maaf padanya. Jadi perceraian Hisam dan Mila sudah ada di depan mata.

"Mila, kamu tidak perlu meminta maaf pada ibu. Sebelum kamu minta maaf, ibu sudah memaafkan," ucap Bu Mira pencitraan di depan anaknya.

"Kamu lihat, betapa ibuku sangat baik dan pengertian," ucap Hisam sambil membawa ibunya masuk kamar.

Mila ingin menangis, tetapi dia sendiri menyadari bahwa tidak ada seorangpun lagi yang peduli padanya. Jika bukan dia sendiri yang membela dirinya, lalu siapa? Suami yang 3 bulan lalu menikahinya, terasa bagai orang asing baginya.

Mila berusaha tegar dan kuat menghadapi semua peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Mila ingin pernikahannya, menjadi pernikahan sekali seumur hidup. Mila ingin, Hisam sadar dan bisa mengerti jika ada istri yang juga wajib untuk dia sayangi dan lindungi selain ibunya.

Mila tidak ingin ada penyesalan. Setelah bertemu dengan Hisam, dia memilih menikah dan tidak mengejar karir terlebih dahulu. Padahal usianya kini baru 20 tahun.

Angan-angannya memiliki seseorang yang bisa menjaganya dan memberinya kehidupan layak, tidak seindah mimpinya. Semua berbanding terbalik, bahkan senyum pun kini hampir tidak bisa terlihat di bibirnya.

Hisam yang menyadari jika perbuatannya terlalu berlebihan pada Mila, berusaha meminta maaf pada Mila.

"Sayang, maafkan aku. Tadi aku hanya emosi saja. Aku terlalu kasar padamu dan sudah menamparmu. Aku hanya ingin kamu tidak memperlakukan ibuku seperti pembantu. Kamu tahu, ibu adalah wanita yang sudah mengorbankan banyak hal untuk membesarkanku. Aku hanya ingin berbakti padanya dimasa tuanya," kata Hisma sambil memeluk istrinya yang berbaring di sampingnya.

"Aku mengerti, Mas. Aku tidak apa-apa. Aku tahu kamu anak yang berbakti dan aku hanya istri yang tadinya hanyalah orang lain. Kedudukanku tidak akan bisa sama dan sejajar dengan ibu yang sudah melahirkan kamu. Aku sadar, aku juga tidak ingin menjadi orang yang egois dan ingin memiliki kasih sayangmu sepenuhnya. Jika menurutmu ibumu lebih berhak, maka aku akan menerima selama aku bisa," ucap Mila sambil meneteskan air mata.

"Terima kasih Mila, karena kamu bisa mengerti keadaanku saat ini," kata Hisam senang.

Mas, istri mana yang rela menjadi yang kedua setelah ibu mertua? Aku tidak sehebat itu, Mas, batin Mila.

***

Suatu hari, Mila mendengar ibu mertuanya dan Hisam berbicara tentang masa depan pernikahan Hisam dan Mila. Ibu mertuanya meminta Hisam untuk menceraikan Mila dan mencari wanita lain yang mencintai ibunya juga. Ibunya merasa, jika Mila tidak menyukai keberadaannya di rumah ini. Akan tetapi, Hisam masih berusaha agar istri dan ibunya bisa hidup rukun.

Ibunya tidak terima dengan jawaban dari Hisam, yang terlihat masih mencintai Mila. Padahal, Bu Siti sudah melakukan banyak hal untuk membuat pernikahan mereka tidak harmonis lagi. Rupanya usahanya belum cukup untuk membuat Hisam dan Mila bercerai. Bu Siti kembali memikirkan rencana untuk membuat Hisam membenci Mila lebih dari sebelumnya.

Bu Siti meminta Mila untuk membuat sup udang untuk makan malam. Mila tidak tahu jika ibu mertuanya alergi udang. Meskipun hubungan mereka tidak akur, tetapi Mila masih berusaha menghormati Bu Siti sebagai ibu mertuanya. Saat diminta membuat sup udang, Mila langsung membuatnya tanpa banyak mengeluh dan bertanya macam-macam.

Ketika malam telah tiba dan mereka makan bersama. Hisam tampak senang ketika melihat istri dan ibunya terlihat baik-baik saja tanpa ada pertengkaran. Tentu saja inilah yang dia harapkan dari mereka. Hisam akan lebih tenang bekerja.

Saat ibu mertuanya makan, seluruh tubuh mertuanya tampak bentol merah-merah dan ibu mertuanya terus menggaruk karena seluruh tubuhnya terasa gatal.

"Ibu, ibu kenapa? Apa ada yang salah dengan apa yang ibu makan?" tanya Hisma panik.

"Ibu tidak tahu, Hisam. Ibu hanya makan makanan yang dimasak oleh Mila," jawab Bu Siti sambil meringis kesakitan.

"Jangan digaruk lagi, bu. Nanti bisa melukai kulit ibu," ucap Hisam sambil memegangi tangan ibunya yang terus berusaha menggaruk kulitnya.

"Mas, apa ibu alergi?" tanya Mila ikut panik.

"Iya, ibu alergi udang. Makanya kami tidak pernah membiarkan ada udang di rumah apalagi memasaknya," jawab Hisam.

"Apa, ibu alergi udang? Tapi tadi pagi, ibu memintaku memasukan udang ke dalam sup," ucap Mila kaget. Ucapan Mila, cukup membuat Hisam marah.

"Mila, jadi kamu yang menaruh udang ke dalam sup yang ibu makan?" tanya Hisam kaget bercampur marah.

"Iya, Mas, tapi ibu yang suruh," jawab Mila ketakutan.

"Kamu jangan konyol, Mila. Mana mungkin ibu menyuruhmu memasukkan udang ke dalam sup yang dimakannya. Mana mungkin ibu mempertaruhkan hidupnya sendiri. Alergi itu bisa berakibat kematian. Awas saja jika terjadi sesuatu dengan ibu. Tunggu aku dirumah. Aku akan buat perhitungan denganmu!"

Hisam segera membawa ibunya ke rumah sakit terdekat. Untung saja belum terlambat dan ibunya dinyatakan baik-baik saja. Walaupun harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.

Mila ingin sekali menjenguk ibu mertuanya di rumah sakit. Akan tetapi ketika teringat pesan suaminya bahwa dia harus menunggu di rumah saja, dia pun mengurungkan niatnya. Dia tidak menyangka jika karena ini, kehidupan rumah tangganya diambang jurnal kehancuran.

Setelah 2 hari dirawat di rumah sakit, ibu mertuanya akhirnya diperbolehkan pulang. Mila menyambut kedatangan mereka di depan pintu. Mila senang saat melihat mereka turun dari mobil. Akan tetapi, hatinya sedih saat melihat mereka tidak hanya pulang berdua tetapi mereka pulang bertiga. Seorang wanita cantik dan anggun membantu memapah ibu mertuanya bersama Hisam. Mereka tampak seperti keluarga yang bahagia.

"Mas," sapa Mila meski hatinya sedih.

"Bawa masuk barang-barang ibu dan taruh di kamarnya!" titah suaminya seolah memerintah pembantunya.

Dengan hati sakit, Mila membawa barang-barang ibu mertuanya masuk. Saat akan masuk ke kamar ibu mertuanya, Mila semakin sakit hati melihat mereka bertiga tertawa dan bercanda. Berbeda ketika bersama dirinya yang selalu tampak kesal dan marah.

Sebenarnya, apakah aku orang ketiga di antara ibu dan anak itu? batin Mila.

Mila masuk dan meletakan barang ibu mertuanya lalu berniat mendekatinya untuk menanyakan kondisinya.

"Jangan mendekat, ibu takut padamu. Kamu keluar saja, ibu sudah baik-baik saja!" bentak Hisam menambah sakit hati Mila.

Tanpa banyak bertanya, Mila langsung keluar kamar. Dia berhenti dan bersandar pada dinding kamar ibu mertuanya. Disanalah dia mengetahui jika ibu mertuanya telah mencuci otak Hisam. Ibunya mengatakan bahwa Mila dendam pada dirinya, karena dirinya yang menyebabkan Mila ditampar oleh Hisam.

Yang lebih tidak Mila pahami, ketika ibu mertuanya meminta Tiara, untuk sering-sering datang ke rumah untuk merawatnya.

Hubungan Hisam dan Mila semakin tidak harmonis lagi dan mereka semakin jauh meskipun dalam satu rumah. Hisam seolah jijik melihat Mila. Hisma juga melarang Mila untuk memasak lagi untuk ibunya. Karena sejak saat itu Tiara yang mengantarkan makanan untuk ibu mertuanya.

Mila semakin sedih saat tahu bahwa ternyata, Tiara adalah wanita pilihan ibu mertuanya untuk Hisam sebelum menikah dengannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!