Sayup-sayup terdengar suara rintik hujan membasahi bumi. Celotehan canda, tawa ikut mewarnai perjalanan panjang keluarga besar Wellington. Empat bersaudara yang sengaja memboyong seluruh anggota keluarga berlibur di sebuah pulau Jawa dalam agenda menikmati akhir liburan Natal.
Saudara tertua yang bernama Tuan dan Nyonya Delano memiliki putra tunggal yang biasa dipanggil Al, tapi memiliki nama panjang Albern Delano. Si rambut pirang yang selalu pendiam meski penampilan tampak selalu ceria.
Saudara nomor dua yaitu Tuan dan Nyonya Geraldo dengan putra tunggal mereka yang bernama Ansell Geraldo atau biasa dipanggil Ans. Si polos dengan tubuh paling kecil yang selalu terlihat sederhana, tapi berbeda lagi dengan putra dari Tuan dan Nyonya Caldwell.
Arsya Caldwell hanya saja lebih suka dipanggil dengan Ar. Si rambut jabrik dengan tampang nakal yang jelas terpancar dari tatapan matanya. Ia merupakan putra tunggal dari saudara ketiga keluarga Wellington. Sementara saudara terakhir adalah Tuan dan Nyonya Barack.
Jika saudara satu hingga ketiga memiliki seorang putra, maka anak bungsu dari keluarga Wellington telah memberikan keturunan tercantik satu-satunya. Si jutek dengan nama Alexandra Barack atau biasa dipanggil Ale. Yah, keluarga besar itu sudah lengkap dan bahagia dengan mengasihi satu sama lain.
Para orang tua yang selalu mengajarkan arti kebersamaan membuat keempat bersaudara muda mengikuti jejak keharmonisan keluarga mereka. Setelah menempuh perjalanan selama lima jam dari bandara. Akhirnya mobil yang mereka sewa memasuki halaman luas dengan pemandangan pepohonan rimbun mengelilingi area villa.
"Pa, benarkah kita akan berlibur sepekan di sini? Tempatnya benar-benar penuh dedaunan," celetuk Ale dengan mata mengerjap kagum memindai area sekitar villa dari dalam mobil, membuat Nyonya Barack tersenyum tipis seraya mengusap rambutnya.
Tuan Delano bahkan ikut berdecak takjub karena mengingat kehidupan mereka sehari-hari selalu dikelilingi oleh bisingnya lalu lalang kendaraan dengan bangunan mewah serta canggih. "Yup, kita semua bakalan have fun disini. So, let's go!"
Satu persatu anggota keluarga keluar dari mobil. Lalu berlari kecil menyusuri setapak di tengah rintik air hujan yang mulai mereda. Kedatangan keluarga Wellington ternyata sudah dinantikan oleh si penjaga Villa yang berdiri di depan pintu utama. Seorang pria dengan penampilan lusuh tetapi bersih tersenyum menyambut tamu istimewa.
"Selamat malam, Tuan, Nyonya, Anak-anak. Selamat datang di Villa Larasati." ucap Si Penjaga seraya menangkupkan kedua tangan. Kemudian bergegas membukakan pintu utama yang tidak terkunci. "Mari, saya akan menunjukkan kamar masing-masing agar kalian bisa menyegarkan diri terlebih dahulu."
Satu langkah kaki melewati batas pintu masuk tetapi tiba-tiba lampu padam hingga membuat anak-anak menjerit sontak saling berpelukan. Suara jeritan itu mengalihkan perhatian semua orang hingga para Nyonya sibukkan berusaha menenangkan buah hati mereka, sedangkan para Tuan meminta penjaga untuk memeriksa apa yang terjadi.
Selama lima menit, semua orang masih memilih terdiam di depan pintu hingga lampu kembali menyala. Tak lama kemudian si penjaga kembali berkumpul bersama tamunya, "Maaf, sepertinya ada perbaikan dari pusat tapi tenang saja karena villa juga memiliki pembangkit listrik sendiri. Mari, silahkan masuk."
Penjelasan Si Penjaga Villa, membuat keluarga Wellington menganggukkan kepala paham. Satu per satu melangkahkan kaki berjalan melewati pintu utama tetapi anak-anak masih enggan melepaskan tangan mereka masing-masing sehingga saling tarik menarik hingga ke dalam ruang tamu.
Seperti yang dikatakan si penjaga. Setiap anggota keluarga mendapatkan kamar pribadi sesuai dengan pesanan bahkan letak kamar mereka seperti di kediaman Wellington. Hanya saja mengingat anak-anak tidak suka lantai bawah, maka orang tua mengalah dengan membiarkan para pewaris keluarga Wellington menguasai lantai atas.
Tiga kamar utama dengan view hutan dari arah balkon belakang Villa. Pemandangan yang asri sangat baik untuk tumbuh mengembalikan semangat sebagai mood booster alami selama musim liburan. Apalagi mengingat kedatangan kali ini untuk menghabiskan waktu bersama.
Satu jam telah berlalu. Satu per satu anggota keluarga kembali berkumpul setelah membersihkan diri di kamar masing-masing. Ternyata Si Penjaga masih diam berdiri di tempat terakhir mereka meninggalkan pria itu seorang diri. Seulas senyum ramah menghantarkan rasa nyaman untuk sesaat menetap di rumah asing.
"Tuan, Nyonya dan anak-anak. Mari, saya pandu untuk melakukan touring area Villa sebelum melanjutkan untuk acara makan malam." Tangannya terulur mempersilahkan para tamu untuk berjalan di depan, "Jangan khawatir karena lampu semua lorong dan ruangan berfungsi dengan baik."
Rasa waspada yang menyeruak di hati mulai tersingkirkan ketika satu langkah, demi langkah menyusuri lantai marmer. Suara tanya jawab bergema menghempaskan kesunyian malam. Rintik hujan di luar sana masih enggan untuk berpaling, walaupun begitu tak mengubah arah tujuan menyusuri bangunan nan tua itu.
"Ar, jangan usil deh." Ale menyibak tangan yang menyentil telinganya, membuat Ans menoleh melihat apa yang terjadi.
Tatapan mata ke sana kemari seakan mencari sesuatu, "Ale, kamu barusan bicara sama siapa?"
Pertanyaan aneh Ans, membuat Ale menatap si polos dengan tatapan menelisik. Apakah anak satu itu sedang mengerjainya? Bukankah bisa lihat? Jika ada Ar tadi di belakangnya, apalagi Ar memang suka jail ke semua saudaranya. Hanya saja ada yang tidak beres ketika wajah sang saudara terlihat memucat.
Bukan takut tapi ia langsung cemas. Lalu tanpa permisi memegangi dahi, kemudian turun ke leher hanya untuk memeriksa suhu tubuh Ans. Dingin, itu berarti tidak demam. Apa karena kecapean? Bisa saja karena saudaranya itu memang paling mudah jatuh sakit ketika lalai menjaga kesehatan.
"Mama Caldwell! Ans sakit, boleh istirahat dulu?" Seru Ale. Sontak mengalihkan perhatian semua orang yang langsung berjalan menghampiri keduanya, kemudian ikut memeriksa Ans.
Seperti biasa, jika satu di antara anggota keluarga ada yang sakit. Maka apapun yang tengah dilakukan pasti dihentikan tanpa berpikir dua kali. Sayangnya Ans merasa lebih tertekan ketika terlalu banyak tatapan mata menatap ia karena mengkhawatirkannya.
Ar yang sadar akan ketidaknyamanan sang saudara meminta izin pada orang tua agar sesama saudara diizinkan menjaga remaja satu itu. Ide yang seringkali menjadi alasan klasik untuk saling mengasihi.
Papa Barack menyetujui karena ide Ar selalu sama dan selalu efektif mengembalikan ketenangan Ans. Apalagi sebagai dokter, ia juga menerapkan sistem kesehatan mental yang utama. Dimana pasien harus merasa nyaman dengan suasana sekitarnya. Tidak memendam emosi, menyimpan ketegangan, apalagi terlalu berpikir keras.
Kamar utama sisi tengah yang seharusnya menjadi milik Ale seorang. Kini berubah milik keempat bersaudara. Ar, Ans, Al, dan Ale sendiri. The geng trouble maker A. Mereka yang menyukai petualangan harus menghabiskan waktu semalaman untuk berjaga. Anak-anak tetaplah memiliki darah muda yang sulit dibendung.
Lihat saja Ar. Si rambut jabrik yang malah asyik mengobrak-abrik isi tas ransel milik Ale. Entah apa yang dicarinya hingga membuat sang pemilik tas menepuk kening kasar. Benar-benar saudara paling menyebalkan. Bagaimana bisa? Anak lelaki satu itu mengeluarkan semua barang yang sudah ditata sedemikian rupa.
"Ar, buruan masukin barangku! Kamu cari apa, sih?" tanya Ale penasaran karena ia yakin tidak memiliki barang yang bisa digunakan anak lelaki.
Namun yang diminta membereskan justru mengabaikannya. "Arsya Caldwell!"
Kelakuan Ar seperti anak kehilangan mainannya dengan kedua tangan sibuk memilah barang milik Ale. Tiba-tiba sebuah box berukuran sedang diangkat tinggi seraya berseru kegirangan membuat tiga saudaranya saling pandang keheranan.
"Ans, kamu tidur saja! Jangan pedulikan Ar, kita tahu anak itu pasti gadang main game lagi." pinta Al dengan bijak karena ia ingat keadaan Ans memang tengah kurang fit, sedangkan Ale bergegas menghampiri Ar.
Gadis satu itu langsung merebut kotak dari tangan saudaranya. "Gara-gara ini, kamu berantakin tasku. Beresin! Enak saja mau main kabur."
Ale memang anak perempuan satu-satunya tapi jangan salah. Diantara keempat bersaudara itu, justru yang jago beladiri ya dia. Si jutek yang bisa dibilang tidak suka dirusuhi. Apalagi digangguin, bisa kena bogem mentah tinju dada. Sakitnya pasti bukan main, meski tangan yang digunakan selalu dirawat bahkan terasa lembut.
Suka, tak suka. Ar hanya bisa ngedumel sembari memasukkan barang milik Ale ke tas ransel kembali. Sesekali mendapat teguran saudara perempuannya itu karena salah posisi meletakkan barang. Pemandangan yang terjadi di kamar utama membuat Al dan Ans hanya bisa menahan diri untuk tidak ikut campur.
Kedua anak itu paham benar bahwa tindakan Ar memang lah tidak baik. Menghargai satu sama lain merupakan sebuah kewajiban tanpa paksaan. Mereka dididik untuk bisa menghormati sesama manusia, bahkan orang tua tak segan memberikan sanksi yang pantas agar menjadi pribadi yang lebih baik.
Namun setiap manusia yang terlahir ke dunia memiliki sifat, sikap serta karakter masing-masing. Sehingga ada kata belajar memahami satu sama lain. Apalagi sebagai saudara. Begitu juga dengan geng trouble maker A. Apapun yang terjadi tak mengubah kenyataan, dimana mereka saling menyayangi.
Sepuluh menit kemudian, kotak dikembalikan pada sang pemilik dengan pertukaran tas ransel kulit berwarna hitam kesayangan Ale. "Ar, Ar. Ngapain naruh kotak di tas ku? Apa jangan-jangan kotak punya Mama atau Papa? Kalau iya, awas saja sampai bawa namaku."
"Cantik, tapi jutek. Ale, kamu tuh, bisa gak kalem sedikit jadi perempuan? Lagian ini kotak sengaja aku taruh di tasmu. Kita duduk disana saja, ayo!" Ar langsung menarik tangan saudarinya hingga membuat gadis itu tersentak, "Al, Ans, kalian juga ikut!"
Keras kepala adalah sifat Ar yang paling mendominasi dan ketiga saudaranya tidak pernah beranggapan hal itu sebagai pemaksaan. Satu sama lain selalu berusaha untuk memahami kekurangan dan juga kelebihan masing-masing. Maka mereka memiliki team kompak yang solid.
Ans, Ar, Al dan Ale duduk melingkar di atas karpet bulu berwarna coklat dark. Kotak yang menjadi pusat perhatian akhirnya dibuka oleh Ar. Si jabrik memperkenalkan sebuah permainan yang tampak asing tetapi familiar dengan namanya.
"Pas Papa bilang kita bakalan liburan di Indonesia. Teman sekelas ku bilang banyak tantangan yang bisa kita coba dan ini salah satunya. Papan Ouija. Pasti kalian tahu apa kegunaannya. Iya 'kan?" Ar memastikan papan permainan yang berada di tengah sudah benar posisinya.
Al menggelengkan kepala, ia berniat beranjak dari tempat duduknya. Hanya saja masih ditahan Ans yang memegang lengannya, "Guys, come on! Papan Ouija sangat tidak baik untuk dimainkan. Ingat ya, disini kita tamu sementara waktu. Please ...,"
"Ck, Al bilang aja kalau kamu takut. Kita bisa main sendiri. Jangan ngomporin yang lain, ya!" Sela Ar tak ingin kehilangan kesempatan.
Selama di rumah hanya ada sesi kegiatan belajar atau melakukan kegiatan lain seperti les seni dan juga ikut ekstrakurikuler. Rutinitas harian yang sangat membosankan. Apa salah jika ingin menikmati waktu dengan bermain hal di luar kebiasaan? Tentu tidak. Yah itulah yang ada dipikiran Ar.
Situasi mulai menegang, membuat Ans berdehem. "Jangan mulai gaduh! Nanti ortu kita datang lagi. Gini aja, kita main cuma sekali tapi habis itu tidur. Deal?"
Uluran tangan Ans langsung disambut Ale, lalu Ar. Sementara Al tampak begitu malas ikut meletakkan tangan di atas telapak tangan Ar, kemudian mereka duduk dengan posisi yang benar setelah sepakat memainkan papan ouija sebagai bentuk dukungan sesama saudara.
Papan Ouija adalah papan permainan anak-anak yang mulai dan dikenal pada Abad ke-19. Saat itu, Ouija dikenal sebagai papan yang bisa berbicara. Di negeri Paman Sam, permainan ini menjadi populer. Apalagi di Amerika Serikat kala itu tingkat kepercayaan terhadap hal mistis masih tinggi.
Ouija diklaim sebuah papan yang bisa berkomunikasi dengan orang-orang terdekat yang sudah meninggal. Tak ayal, papan ini juga dikenal sebagai papan roh. Di permainan ini, para pemain diminta meletakkan jari-jari di sepotong kayu berbentuk kecil yang biasa disebut planchette.
Antara percaya dan tidak, permainan papan ouija akhirnya dimainkan keempat bersaudara. Jemari yang saling bersinggungan satu sama lain diletakkan ke atas papan planchette. Suasana kamar yang hangat mulai terasa senyap dan engap. Hembusan semilir angin teramat pelan hingga berdesir menyusuri helaian rambut.
Bulu kuduk meremang tapi tidak terjadi apapun. Semua baik-baik saja selama dua menit pertama permainan dimulai dan itu membuat Al menghela napas lega. "Sudah, ya. Lihat! Pukul dua belas malam kurang sepuluh menit. Kita harus istirahat ...,"
"Eh, lihat! Jariku gerak sendiri." ucap Ans sedikit ketakutan dan terkejut dengan apa yang ia alami.
Sontak saja semua mata fokus menatap papan ouija. Benar saja, jemari Al memang bergerak hingga membentuk sebuah huruf. Ar yang antusias dengan semangat mengucapkan huruf pertama bahkan anak satu itu masih mengerjap. Apa ia masih tidak percaya?
"D." kata Ar menyebutkan huruf pertama, tiba-tiba jemarinya ikut bergerak. Hanya saja sensasi dingin di sekitar tubuhnya seketika membangkitkan bulu kuduk.
Entah kenapa seakan ada yang memeluknya dari belakang. Lirikan mata mencoba memindai area sekitarnya, tapi nihil. Lalu aliran hangat yang terasa menyentuh punggungnya datang dari mana? Sentuhan tangan Ale langsung mengejutkannya hingga terhuyung ke samping membuat Ans sigap memegangi bahu sang saudara.
"Ada apa, Ar? Are you okay?" tanya Ans agak cemas melihat rekasi Ar yang tampak kebingungan. Ia tahu apa yang dirasakan Ar karena sudah mengalaminya terlebih dulu. "Kita sudahi permainan ini ...,"
"Jangan! Aku gak papa. Apa kalian lihat huruf yang dibentuk jariku?" Ar mencegah permainan dihentikan. Hati ingin menurut apa kata Ans, tapi pikirannya masih penasaran dengan apa yang barusan di alami secara sadar.
Al yang memperhatikan segalanya meski diam mengambil ponsel dari tempat persemayaman. Lalu mengetikkan dua huruf pertama hasil permainan papan ouija di laman chat group chat whatsapp geng mereka yang bersambut suara dering notifikasi pesan masuk. Ar kembali membenarkan posisi duduknya, kemudian memeriksa si benda pipih yang tergeletak di sisi kanan tempat ia duduk.
Begitu juga dengan Ans, tapi tidak dengan Ale karena gadis satu itu tampak fokus ke arah lain. Tatapan mata lurus ke depan melewati belakang tempat duduk Ar yang memang ada di hadapannya. Kilauan cahaya emas tampak terbang di luar jendela karena tirai yang terbuka menunjukkan suasana luar ruangan.
"Kalian, lihat deh kesana!" Tangan gadis itu terangkat ke atas. Seketika mengalihkan perhatian semua saudaranya. "Aku mau hewan itu, please."
Tatapan mata memelas penuh harap, membuat Al menghela napas pelan. Jam dua belas malam tepat tapi Ale mengungkapkan permintaan yang cukup sulit untuk dikabulkan. Pasalnya ini sudah sangat malam dan jika orang tua mereka tahu. Bisa saja mendapatkan hukuman serentak.
Namun kilau cahaya kunang-kunang tak pernah meninggalkan rasa kecewa. "Ale, kita bisa tanya pak penjaga besok, tapi sekarang waktunya tidur. Jangan membantah! Ingat tubuh ini membutuhkan istirahat. Ans, Ar, permainan bisa kita lanjut besok. Ayo, tidur!"
Al yang selalu tenang. Ia tak pernah berusaha menjadi kakak paling dominan hanya saja, ketika melihat ada yang salah. Maka ia bertanggung jawab untuk mengingatkan serta membuat keputusan. Jika tentang umur tentu dia masih lebih muda setahun dari Ar, meski begitu ia putra pertama dari saudara pertama keluarga Wellington.
"See!" Ar membereskan papan permainan ouija, sedangkan Ans berinisiatif memotret kunang-kunang tanpa diminta.
Beberapa jepret kilatan flash dari kamera berhasil mengejutkan si cantik kunang-kunang hingga terbang menjauh dari depan jendela kamar. Wajah sendu Ale sedikit terobati berkat hasil pemotretan sang saudara. Keempat bersaudara itu memilih kembali ke tempat masing-masing.
Dimana Ale tidur di atas ranjang seorang diri. Sementara yang lain beristirahat di atas karpet bulu. Setidaknya cukup tebal apalagi menggunakan selimut lembut yang harum. Kesunyian malam kian menjelaga. Arak awan tak henti bergelung menghiasi cakrawala.
Hening yang menghantarkan ketenangan menyambut alam mimpi. Wajah lugu dengan mata terpejam anak-anak mengakhiri perdebatan mereka. Akan tetapi suasana di lantai bawah justru kian menegang. Dimana para orang tua tengah berkumpul mendiskusikan hal penting.
Raut wajah tegas, bibir diam terkunci, alis terangkat seraya mengepalkan kedua tangannya. Menghela napas panjang untuk kesekian kalinya. Sayang, seribu sayang tak mengubah penilaiannya terhadap pemikiran sang saudara ketiga. Apa keluarga tidak penting untuk diberi tahu sejak awal?
"Ka Delano, maaf tapi sungguh aku tidak bermaksud untuk mengejutkan kalian semua. Sebenarnya aku yakin pada diri sendiri bisa menyelesaikan masalah bisnis kali ini," Tuan Caldwell berjalan mendekati sang kakak. Ia tahu bahwa kakaknya tengah mencoba menahan amarah yang terpendam di hati.
Nyonya Geraldo menatap suaminya yang terlihat ikut kesal dan sedih. Bagaimana tidak? Keluarga Wellington mengedepankan kejujuran dan saling support tapi tiba-tiba saja Tuan Delano menerima ancaman dari nomor asing. Anehnya panggilan itu menyeret nama Tuan Caldwell, sang adik nomor tiga yang selalu menjadi wakil pimpinan di perusahaan.
Satu panggilan menjadi awal sidang dadakan hingga keluarga dikejutkan dengan pernyataan Tuan Caldwell. Dimana bisnis keluarga mereka tengah mengalami inflamasi sehingga membutuhkan dana tambahan untuk menstabilkan keadaan yang ada. Bukan hanya itu saja karena pria itu juga mengatakan alasan memilih pulau Jawa sebagai destinasi liburan kali ini.
Seorang Tuan Caldwell berharap bisa menemui beberapa klien yang memiliki cara ampuh untuk mengatasi semua masalah bisnisnya. Pria itu lupa tentang ketiga saudaranya. Meski di perusahaan sang CEO adalah Tuan Delano, tetap saja sang kakak memiliki pekerjaan lain sebagai dokter di sebuah rumah sakit ternama bahkan menjadi pemimpin dewan direksi.
Sama seperti profesi Tuan Barack yang juga sebagai seorang dokter, tapi posisinya masih di bawah sang kakak pertama. Sehingga setiap pria di keluarga Wellington saling berbagi tugas agar perusahaan keluarga yang menjadi warisan orang tua mereka tetap terurus dan bisa terus berkembang pesat.
Apa kesibukan menjadi alasan Tuan Caldwell menyembunyikan masalah perusahaan seorang diri? Bisa jadi, maka situasi kali ini bukan hanya kesalahan satu orang. Melainkan setiap orang memiliki andil yang sama. Lalu? Tentu harus diselesaikan secara bersama-sama tanpa saling menyalahkan satu sama lain.
Nyonya Delano mengulurkan segelas air seraya mengusap bahu suaminya, "Sayang, tenanglah. Jika kamu keras hati. Siapa yang akan mereka dengarkan? Para adik membutuhkan kakaknya. Ingatlah bahwa kalian ada untuk saling melindungi."
"Terimakasih, Istriku." Tuan Delano menerima minuman dari istrinya. Tanpa ingin mengurangi rasa kesal di hati, ia meneguk air yang meredakan rasa hausnya. Lalu kembali menghela napas pelan tetapi kali ini perasaannya mulai membaik.
Ditatapnya wajah menunduk sang adik yang berdiri di hadapannya. Rasa bersalah itu jelas sekali terlihat. Ia tak bermaksud untuk mengintimidasi hanya saja memang tindakan adiknya sudah melewati batas. Apalagi saat ini, mereka juga mengajak anak-anak. Jika liburan berubah menjadi urusan bisnis. Bagaimana perasaan anak mereka nanti?
"Aku mau semua rincian masalah perusahaan kita dan ya, pastikan tidak ada yang kamu tutupi lagi. Aldo, Bar, kalian berdua periksa siapa yang berani mengancam keluarga kita. Dan untuk para wanita pergilah istirahat!" putus Tuan Delano tak ingin diganggu gugat, membuat semua orang membubarkan diri tanpa kata permisi.
Sang kepala keluarga telah menetapkan keputusan pertama, membuat setiap anggota keluarga Wellington melakukan perintahnya tanpa keluhan. Ini bukan paksaan tetapi hanya tentang tanggung jawab bersama. Kepergian semua orang mengalihkan perhatian Tuan Delano.
Pria itu beranjak dari tempat duduk, lalu berjalan meninggalkan ruang tamu. Rasa sesak di hati membuatnya merasa tak tenang. Entah kenapa ada rasa takut berselimut kegelisahan yang begitu dalam. Tiba-tiba ia mengingat ucapan si pengancam. Aneh, tapi firasatnya benar-benar tidak enak.
Ditariknya tirai merah maroon ke samping kanan yang bersambut pemandangan gelap di luar sana. Halaman depan villa tampak hening, senyap tanpa ada tanda kehidupan bahkan rintik hujan semakin menambah kesan meneduhkan. Pemandangan langka yang seharusnya disyukuri, tapi hati tidak bisa berbohong.
"Aku kenapa sih? Anak-anak bahagia dengan liburan bersama. Delano, come on! Jangan berpikir aneh karena itu tidak baik. Singkirkan semua overthinking di kepala dan hatimu!" gumam Tuan Delano bermonolog pada dirinya sendiri.
Ketenangan seseorang tidak diukur dari seberapa besar masalah yang tengah dihadapi. Akan tetapi bagaimana tetap bertahan waras di tengah guncangan terpaan badai kehidupan. Yah, waras. Satu kata yang cukup jelas menyadarkan semua insan untuk tetap berdiri dikakinya sendiri.
Semilir angin dingin menerobos masuk menyapa para penghuni villa. Mereka yang terlelap maupun terjaga merasakan sentuhan lembut tak berwujud. Waktu kian berlalu berganti kicauan burung di luar sana. Secercah sinar mentari menyapa dunia yang penuh kehidupan nyata.
"Eeuughh," suara lenguhan manja terdengar pelan seraya merentangkan kedua tangan menyembul dari balik selimut. Hawa dingin benar-benar membuatnya tidur nyenyak.
Kelopak mata berbulu lentik perlahan terbuka. Warna putih selimut mulai diturunkan, "Pagi, semuanya. Jam berapa ya?" Tatapan matanya menelusuri dinding berharap menemukan jam yang bisa menjadi jawaban.
Dari dinding di depannya hanya ada pajangan lukisan, lalu beralih ke sisi kanan dimana sejajar dengan pintu kamar. Tidak ada jam dinding, justru pajangan anak panah beserta busur tampak memperindah dinding sisi kiri pintu masuk. Pikiran yang melayang mulai kembali berkumpul membuatnya mencari benda pipih di atas ranjang.
"Huft, akhirnya ketemu." Seulas senyum kemenangan tersungging menghiasi wajahnya.
Niat hati ingin melihat jam berapa, tapi tiba-tiba matanya mengerjap mencoba mencerna apa yang terjadi. Notifikasi pesan masuk di grup chat menarik perhatiannya. Hati terasa berdesir menghentikan rasa ingin tahunya. Sontak saja ia melompat dari atas ranjang. Lalu membangunkan semua saudara tanpa pikir panjang.
Kaget bukan main dengan pukulan pelan Ale yang mendarat di bahunya. Ar langsung memasang wajah kesal, sedangkan Ans masih saja menunggu jiwanya berkumpul kembali. Sementara Ans tak ambil pusing, ia memilih langsung membasuh wajahnya di wastafel agar bisa mendengarkan Si jutek adik terakhir.
Keempat bersaudara duduk bersama seperti semalam tapi kali ini bukan papan ouija yang menjadi pusat perhatian. Melainkan si benda pipih dengan merek sama tetapi beda warna saja. Apakah Ale membangunkan mereka hanya untuk mengamati ponsel masing-masing? Jika iya, tentu kurang kerjaan.
"...,"
Ale mengangkat tangan sehingga menghentikan Ar yang siap mengeluh atas tindakannya. "Akan kutunjukkan sesuatu pada kalian." Diambilnya benda pipih dengan casing blue sky yang tentu ponsel milik dia sendiri.
Satu tekan tombol, lalu menggeser icon layar hingga bisa mengakses aplikasi apapun. Akan tetapi Ale hanya menunjukkan melalui notifikasi yang tampak tiga pesan masuk ke grup chat mereka. "Apa ada pesan yang sama di ponsel kalian? Seperti yang aku terima."
Satu pertanyaan yang membuat ketiga anak laki-laki itu langsung menyambar ponsel masing-masing. Lalu ikut memeriksa, bahkan Al tak segan membuka laman chat grup mereka. Tiga pesan masuk yang cukup aneh. Dimana ia melihat pesan dari Ans, Ale dan Ar. Sementara ia tahu, semalam semua tidur dan tidak ada yang bangun hingga pagi hari.
Ans berusaha mengingat apa dirinya yang mengirim pesan tersebut. Sayangnya ia yakin tidak memegang ponsel setelah terbaring merilekskan pikiran agar bisa tidur dengan nyenyak. Begitu juga dengan Ar mencoba begitu keras untuk mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya.
Melihat ketiga saudaranya diam tanpa kata. Ia memilih membuka laman chat. Diamatinya lima huruf yang tertera dari mereka. "Danur." Ale merangkai kelima huruf menjadi satu kata yang asing di telinga dan pengetahuannya.
Apa itu danur?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!