NovelToon NovelToon

Sandiwara Dalam Perjodohan

Bab 1 Pertemuan

"Apa? Dijodohkan?"

"Papa fikir kita hidup di zaman apa, Pa?"

"Enggak. Aku gak mau!"

Amanda, gadis muda yang diajak makan malam bersama orang tuanya hanya bisa diam terpaku melihat protes pria bernama Justin yang baru ia kenal kurang dari satu jam yang lalu.

Pria itu protes karena kedua orang tua mereka mengadakan makan malam bersama ini hanya untuk menyampaikan bahwa mereka telah dijodohkan sejak kecil.

Amanda speechless.  Ia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya bisa melihat ekspresi semua orang.

Papa dan mama dari pria bernama Justin itu tampak tegang karena anak mereka langsung menolak perjodohan ini.

Sedangkan kedua orang tuanya tampak kehilangan senyum di wajah yang mulai menua itu setelah Justin menyatakan penolakan.

Ayah kenapa? Ayah marah pada Justin?  Apa ayah merasa kalau secara tidak langsung dia menolak Manda? Apa ayah merasa dia telah merendahkan Manda?

Ayah, selama ini Manda selalu menghargai semua keputusan ayah. Tapi, kali ini maaf ayah. Manda sudah punya Mas Azam yang selama ini Manda cintai. Batin Amanda.

"Justin, dengarkan sebentar," potong papanya dengan nada marah.

"Kalian akan bertunangan enam bulan lagi. Enam bulan Justin!"

"Dan dalam enam bulan, kalian masih bisa belajar saling mengenal."

"Tapi aku sudah punya pacar, Ma," ucap Justin bohong hanya untuk menolak perjodohan mereka.

Ia pria bebas. Selama ini ia berhak memilih gadis mana yang akan ia kencani. Lalu, tiba-tiba papanya malah mempertemukannya dengan gadis yang harus ia nikahi. Tentu saja ia tidak mau.

"Pacar? Kamu baru kembali ke Jakarta beberapa hari yang lalu. Tidak mungkin kamu punya pacar!" Marcel mentertawakan kebohongan putranya.

"Jangan membohongi papa. Bahkan hampir 6 tahun kamu di luar negeri, kamu tidak pernah memperkenalkan pacar kamu kepada papa dan mama."

"Justin, mama dan papa tidak mungkin menjerumuskan kamu dalam pilihan yang salah," mamanya Justin ikut membujuk.

"Kalian hanya perlu intens bertemu dan setelahnya cinta akan tubuh dengan sendirinya."

"Semua ini cuma butuh waktu."

"Lihat dia." Manda melihat wanita cantik itu menjujukknya dengan sopan.

"Dia begitu anggun dan bersahaja."

"Kalian pasti akan sangat cocok. Kamu sudah mencari pengalaman sampai ke luar negeri. Kamu pasti sudah bisa membandingkan mana gadis baik-baik dan mana yang tidak."

"Mana gadis yang sudah salah dalam pergaulan dan mana yang masih dalam batas wajar."

"Mama tahu, kamu pasti sudah banyak belajar dari pengalaman."

Justin mendengus kesal karena ia tidak bisa membantah papa dan mamanya. Ia masih harus berbakti dan menuruti keinganan kedua orang tuanya karena ia belum mendapat apapun.

Ia masih baru mulai bekerja di perusahaan. Jabatannya juga masih kalah dengan karyawan lama meski ia adalah putra dari pemilik perusahaan itu.

Justin melihat ke arah Amanda. Ia menilai penampilan gadis yang tidak banyak bicara sejak mereka duduk di meja yang sama.

Ketika ia baru masuk ke restoran satu jam lalu, ia tidak punya firasat apapun apalagi sampai menebak mengenai perjodohan ini.

Ia juga sama sekali tidak tertarik dengan penampilan Amanda yang terlalu sederhana.

Pekerjaan Amanda juga tidak bagus menurutnya. Hanya seorang guru. Masih honor pula, belum menjadi pegawai. Bisa ditebak, gajinya juga hanya cukup untuk membeli bensin sepeda motor dari rumah ke tempatnya bekerja.

Bukan seleraku. Cara berpakaiannya saja kampungan begitu. Melihat pakaian, membuatku teringat dengan karung beras. Sangat jelek. Apalagi wajahnya, terlalu polos. Apa dia tidak memakai lipstik dan bedak? Dan rambutnya. Apa dia tidak pernah ke salon? Dia pasti belum pernah membuat rambutnya menjadi curly seperti gadis di luar sana. Apa lagi sampai mewarnai rambutnya. Batin Justin yang  menilai buruk penampilan Amanda.

Amanda melirik Justin yang menatapnya remeh. Ia tidak suka dengan sikap Justin yang mudah marah dan kurang sopan terhadap orang tua.

Ia juga tidak suka dari cara Justin melihatnya. Ia tahu, pria itu sedang menilai penampilannya. Tapi, menatap seperti itu terlalu kurang ajar menurutnya.

Apalagi ini adalah pertemuan pertama mereka. Sangat berbeda dengan Azam, pria yang ia cintai namun masih ia sembunyikan dari orang tuanya.

Selama ini, ayahnya melarangnya untuk dekat dengan pria manapun. Sekarang ia tahu alasannya. Apa selama ini ayahnya menunggu Justin selesai kuliah di luar negeri?

"Ayah, apa hal ini memang sudah ayah dan pak Marcel rencakan sejak lama?" Tanya Amanda setelah melihat ayahnya tampak gusar karena Justin tidak menerima perjodohan ini.

Ayahnya mengangguk. "Kami teman satu sekolah dan seperjuangan saat kuliah dulu. Kami pernah bercanda untuk menjodohkan anak-anak kami kelak."

"Dan saat ayah sedang ke Bali untuk sebuah acara seminar, ayah kembali bertemu dengan Marcel. Kami saling menceritakan mengenai keluarga kecil kami."

"Dan karena anak pertama ayah adalah perempuan dan anak pertamanya Marcel adalah laki-laki, kami kembali berjanji untuk menjodohkan kalian saat sudah dewasa nanti."

"Kami kembali lost contact dan baru kembali berhubungan sejak dua tahun terakhir."

"Saat itu kamu sudah masuk semester akhir. Dan ayah mengatakan pada Marcel untuk mempertemukan kalian."

"Tapi, Marcel menolak karena Justin masih di luar negeri untuk melanjutkan studi S2nya."

Amanda berusaha memahami ayahnya dan Marcel. Ia melihat Justin yang sejak tadi enggan mendengar cerita ayahnya.

Apa ayah tidak merasa kalau Justin bukan pria yang baik untuk Manda, Yah? Dia saja tidak bisa menghargai ayah yang sedang berbicara. Batin Amanda.

"Bagaimana kalau Manda katakan, Manda sudah punya calon suami pilihan Manda, Ayah?"

Faiz tertawa. "Kamu jangan membohongi ayah, Nak."

"Ayah tahu, selama ini kamu tidak pernah berhubungan dengan pria manapun."

"Jika kamu berbohong hanya untuk menghindari perjodohan ini, lebih baik jangan lakukan, Nak," sambung Dahlia-ibunya Manda.

"Bagaimana kalau Manda mempertemukan pria itu dengan Ayah dan bunda?"

Faiz lagi-lagi menggeleng. "Ayah belum tentu memberi restu, Nak."

"Ayah mungkin juga tidak akan merestui kamu dengan pria itu karena ayah sudah berjanji pada Marcel untuk menjodohkan kalian."

"Manda, ayah tahu. Kamu tidak pernah dekat dengan pria manapun. Kehidupan kamu hanya di sekolah dan di rumah. Jika pria itu memang ada, sudah pasti pria itu akan datang ke rumah."

"Mulai sekarang, kamu dan Justin harus lebih sering bertemu."

"Ayah percaya, kamu dan Justin akan saling menerima satu sama lain setelah kalian saling mengenal."

Apa yang Faiz katakan dibenarkan oleh Marcel. Mereka membujuk anak-anak mereka untuk menjalani waktu enam bulan sebelum pertunangan berlangsung.

"Tante percaya, kamu adalah gadis yang cocok untuk jadi menantu tante," ucap Kamila pada Amanda.

"Tante minta tolong. Belajar mencintai Justin, ya sayang!"

Wanita cantik yang berbicara penuh kelembutan itu membuat Amanda tak kuasa untuk mengatakan tidak.

"I-iya tante," Jawabnya gugup.

"Ah, ya. Kapan-kapan main ke toko kue tante ya. Tante tunggu!"

"Iya, tante. Kapan-kapan Manda akan main ke sana."

Ini hanya langkah awal. Setelah ini Amanda harus mengatur rencana agar perjodohan ini tidak dilanjutkan.

Yang terpenting saat ini adalah perasaan kedua orang tuanya dan orang tua Justin.

Menurutnya, orang tua mereka tidak salah.

Wajar saja jika sahabat karib itu ingin membuat hubungan mereka semakin dekat dengan menikahkan anak-anak mereka. Enam bulan sudah cukup untuk mencari cara agar ia dan Justin tidak menikah.

Sepertinya aku harus bicara empat mata dengan pria itu. Batin Amanda.

Bab 2 Kesepakatan

Setelah semalaman memikirkan perjodohan yang membuatnya tidak bisa tidur, Amanda memutuskan untuk menemui Justin.

Ia percaya pria yang menatapnya remeh itu juga tidak ingin perjodohan ini dilanjutkan.

Mumpung belum terlanjur jauh, Amanda harus segera mengatur rencana agar perjodohan ini dibatalkan dengan alasan yang masuk akal dan dengan cara yang natural.

"Bukankah tante Dahlia memberikan nomor ponsel Justin, kemarin malam?" gumamnya.

Amanda mengirim pesan kepada Justin. Pesan itu masuk dan hanya dibaca, tapi tidak di balas.

Akhirnya ia menghubungi Justin dan pria itu baru menjawab setelah ia mencobanya beberapa kali.

"Ha-hallo, Justin."

"Aku Amanda. Bisa kita bicara berdua."

"Aku sibuk!" jawab Justin ketus dengan suara khas orang baru bangun tidur.

Sibuk? Dia baru bangun tidur sepertinya. Jam berapa ini? Haah? Jam 10, dan dia belum bangun? Enak sekali dia, bisa tidur nyenyak sampai lupa bangun. Sedangkan aku enggak bisa tidur semalaman. Batin Amanda kesal.

"Aku ingin kita bicara, Justin. Aku merasa kita memang perlu bicara."

"Aku malas bicara denganmu, jelek!"

Astaga! Apa letak mulutnya lebih tinggi daripada otaknya sehingga ia bicara tanpa difikir dulu? Batin Amanda sambil mengelus dada.

"Aku ingin kita membatalkan perjodohan ini. Ku rasa kamu bisa diajak kerja sama!"

Amanda cukup lama tidak mendengar jawaban Justin. Pria itu sedang berfikir atau sudah kembali tidur?

"Baiklah! Dimana kamu ingin bertemu?"

Akhirnya dia ngomong juga. Ku fikir dia masuk ke alam mimpi lagi.

"Di Cappucinno Cafe. Jam 2 siang ini." Amanda menyebut nama cafe yang agak jauh dari rumahnya.

Untuk sebuah pertemuan rahasia ini, ia tidak ingin ada yang tahu apalagi sampai ada yang melihatnya bersama Justin.

Sudah hampir satu jam Amanda menunggu Justin yang belum muncul juga. Ia bahkan sudah menghabiskan segelas milkshake dan mungkin ia akan kembali memesan secangkir kopi karena ia mulai mengantuk.

Ia melihat jam sudah hampir menunjuk angka tiga. Ia takut ayahnya curiga karena ia pamit untuk membeli buku bacaan yang akan ia hadiahkan pada muridnya.

Kebetulan ia mengajar di kelas 1 sekolah dasar sehingga ia memotivasi muridnya untuk terus belajar membaca dengan membagikan buku bacaan sebagai hadiah kepada murid yang bisa menyelesaikan tugas dengan baik.

Amanda terkejut saat melihat seorang pria yang berdiri dan menarik kursi lalu duduk di depannya.

Ia mengerutkan kening saat melihat penampilan Justin lebih mirip tukang ojek dipangkalan depan gang rumahnya.

Sebuah jaket hoodie dengan celana yang sobek di bagian lutut. Tunggu dulu, penampilan pria ini bahkan jauh lebih hancur dibanding tukang ojek.

"Bicara cepat. Waktuku tidak banyak," ucap Justin dengan nada dingin.

"Aku ingin kamu mengatakan pada pak Marcel agar pertunangan kita dibatalkan!"

"Sudah ku katakan kemarin malam, kan? Apa telingamu nggak bisa mendengarnya?"

"Kamu saja yang mengatakan pada ayahmu!"

"Aku gak bisa membantah ayah dan melukai perasaannya," jawab Amanda.

Bagaimana bisa ia membantah ayahnya, sedangkan ingin mempertemukan Azam dengan ayahnya saja ditolak mentah-mentah.

"Dasar egois. Aku juga gak mau papa marah padaku!"

"Aku juga enggak mau dicoret dari KK karena melawan perintah papa."

Amanda mendengus kesal. Sepertinya sia-sia mengajak kerja sama pria ini.

Penampilannya saja yang seperti pre-man, tapi ternyata takut juga dicoret dari KK. Apa karena warisan?

Justin juga menatap Amanda kesal.

Ternyata dia licik juga. Enak saja mau mengorbankan aku untuk melawan papa. Kalau saja posisiku sudah aman di perusahaan, gak masalah aku berdebat sedikit dengan papa. Sedangkan posisiku sekarang masih belum aman. Aku nggak mau karena masalah ini, papa malah mengirimku ke kantor cabang di luar kota. Batin Justin.

"Kalau begitu, bagaimana caranya agar perjodohan ini dibatalkan?"

"Aku nggak mau menikah dengan pria yang nggak ku sukai! Aku sudah punya pacar dan aku ingin dia yang menikahiku."

Justin tersenyum miring. "Aku juga enggak mau menikahi kamu!"

"Kamu bukan seleraku dan kita nggak selevel!"

Amanda memutar bola matanya. Ia jengah melihat dan mendengar kesombongan Justin. Meskipun ia juga mengakui keluarga mereka berbeda dari segi ekonomi.

Ayahnya hanya seorang kepala sekolah. Sedangkan Marcel adalah pemilik Dewangga hotel yang kelak akan diwariskan pada Justin.

Mamanya Justin memiliki bisnis sendiri berupa toko kue sedangkan ibunya hanyalah seorang pegawai negeri sipil yang mengajar disekolah menengah pertama.

"Terserahlah! Hina saja, dan aku semakin yakin untuk membatalkan perjodohan kita!" Amanda tak ingin dihina. Ia juga menunjukkan keangkuhannya padahal wajah polosnya tak pantas dengan kalimat itu.

Tiba-tiba Justin punya ide cemerlang. Jika rencana ini berjalan mulus, ia akan mendapat banyak keuntungan. Anggap saja sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.

Ia bisa mengambil hati orang tuanya, lalu mengambil alih perushaan agar ia dipandang dan dihormati banyak orang. Dan yang pasti agar ia punya kuasa dan bisa melakukan apapun sesuka hatinya.

"Saranku, lebih baik kita bersandiwara dulu."

"Sandiwara apa?" potong Amanda. Matanya membulat sempurna menatap pria di depannya.

"Dengarkan aku dulu!" Justin kesal.

"Kamu gak mau membuat ayah kamu marah. Kamu juga gak berdaya dengan keputusan ayah kamu."

"Aku juga demikian. Aku masih harus mengambil hati papa dan mama agar mempercayaiku untuk mengelolah bisnis mereka."

Dasar anak kurang ajar! Ternyata dia mengincar warisan dari orang tuanya. Kalau begitu, kenapa gak sekalian saja dia doakan orang tuanya cepat mening- Astagfirullah! Mikir apa aku ini? Lagi pula, bukan urusanku dia mau melakukan apa pada orang tuanya. Tipe pria sepertinya sama sekali gak pantas dijadikan suami. Batin Amanda yang sudah berfikir terlalu jauh.

"Lebih baik, kita pura-pura menerima perjodohan ini dulu sampai kita menemukan cara untuk membatalkannya."

"Pura-pura belajar saling mengenal. Pura-pura akrab di depan mereka. Tapi, jangan coba-coba melibatkan perasaan," ucap Justin memperingatkan.

"Aku bukan pria yang suka terikat dengan status hubungan!"

"Aku juga gak bisa membalas perasaanmu nanti."

"Aku memang tampan, dan kamu harus sadar diri kalau kamu yang kampungan ini gak pantas denganku."

Bagi Justin, sebuah hubungan hanya akan membuatnya repot. Ia enggan terikat dengan satu gadis karena ia suka berkelana diatas ranjang dengan gadis berbeda di setiap kesempatan.

Ya Allah. Manusia ini terbuat dari tanah sengketa atau bagaimana? Kenapa dia terlalu angkuh. Banyak bicara pula. Dasar pembual. Batin Amanda lagi.

Ia cukup tahu diri untuk tidak meluapkan isi hatinya. Ia ingin segera menyelesaikan masalah ini dan pergi dari hadapan pria di depannya.

Untuk sementara ini, Amanda setuju dengan ide pria di depannya itu.

"Ini cuma enam bulan."

"Syukur-syukur, sebelum enam bulan ada pria yang menghamili kamu, jadi kita gak jadi dijodohkan!"

Amit-amit. Batin Amanda.

"Oke deal!" Ucap Amanda karena bicaranya Justin sudah melenceng kemana-kemana.

Akhir pertemuan ini, mereka sepakat untuk pura-pura menerima perjodohan ini demi keuntungan masing-masing.

Bab 3 Azam Prasetya

Amanda merasa gusar karena orang tuanya selalu menanyakan apakah ia dan Justin sudah intens berkomunikasi.

Apakah mereka sudah pernah bertemu lagi setelah makan malam itu?

Amanda terpaksa berbohong. Ia mengatakan kalau mereka belum sempat bertemu lagi karena kesibukan keduanya.

Amanda juga mengatakan pada orang tuanya kalau Justin adalah pria yang giat bekerja sehingga libur sehari saja enggan dilakukan Justin.

Amanda melakukan panggilan video dengan seorang pria yang berada di desa di sebuah kota yang lumayan jauh dari Jakarta.

"Manyun aja bibirnya, Neng?" Sapa pria itu saat melihat wajah murung Amanda untuk yang pertama kalinya.

"Aku lagi galau, Mas." Adunya manja. Bibirnya cemberut dan wajahnya tampak lesu.

"Kenapa? Merindukan pacar, ya?"

Amanda mengangguk. "Pacarku jauh banget. Mau ketemu saja harus menghabiskan banyak uang."

"Dia juga sibuk mengurus sayuran yang dia rawat seperti anak sendiri."

"Hahahah..." Pria bernama Azam itu terbahak.

Ia memang menggeluti bisnis dibidang pertanian. Ia mengelaloh puluhan hektar lahan keluarga dan juga membantu masyarakat sekitar dengan melakukan penyuluhan dan membantu memasarkan hasil kebun. Tujuannya adalah agar masyarakat menjadi petani yang cerdas dan mendapat harga jual terbaik dari hasil pertaniannya.

"Maaf ya, Neng cantik. Mas belum bisa menemui kamu. Sibuk sekali disini."

"Aku mau cerita, Mas." Azam berubah serius saat tahu Amanda ingin bicara hal penting.

"Cerita saja. Bukankah kita ditakdirkan bersama untuk berbagi keluh kesah, kebahagiaan, kesedihan, suka dan duka?"

"Ayah menjodohkanku!"

Azam terkejut. "Dengan siapa, Manda?"

"Dengan anak teman ayah, Mas."

"Jadi, kamu mau?"

Manda menggeleng. "Ya enggak, Mas. Aku kan cintanya sama kamu."

Azam tersenyum lebar. Ia menghembuskan nafas lega karena Amanda benar-benar mencintainya.

"Lalu, kamu menolaknya?"

Amanda menggeleng lagi sehingga membuat Azam bingung.

"Kamu gak mau, tapi kamu juga gak menolak, Sayang?"

"Bukan gak menolak, Mas. Tapi, lebih tepatnya aku gak bisa menolak."

Amanda menceritakan semuanya pada Azam. Baik itu mengenai malam pertemuan mereka dan saat ia bertemu dengan Justin kemarin siang.

"Aku akan menemui ayah kamu, segera."

"Kamu mau apa, Mas?" Tanya Amanda khawatir karena kemarin jelas-jelas ayahnya mengatakan tidak akan memberi restu jika ada pria lain yang melamarnya.

"Tentu untuk melamar kamu!"

"Sudah ku bilang, ayah gak akan menerima kamu ataupun orang lain."

"Aku belum mencobanya, Manda! Jadi, jangan putus asa duluan!"

"Siapa tahu ayah akan berubah fikiran setelah melihatku yang lebih tampan dari si Justin itu."

Amanda tertawa. Ini yang ia sukai dari Azam. Pria itu selalu memberikan energi positif padanya. Selalu berprasangka baik dan mengajarkan padanya untuk tetap berusaha meski kemungkinan untuk berhasil sangat kecil.

Azam juga tipe pria yang mudah sekali membuatnya tertawa. Pria itu lucu, dan terkadang sangat bijak.

Azam seperti abang, teman dan kadang seperti teman berantem. Azam memberinya warna baru dalam hidup.

Azam tidak pernah marah padanya meski hingga kini ia belum siap mempertemukan pria itu dengan keluarga besarnya. Azam dengan sabar menunggu hingga saatnya tiba.

Namun, saat itu belum tiba, ia malah mengadu pada Azam kalau ia sudah dijodohkan. Ia bisa membayangkan sesakit apa perasan Azam. Tapi, yang ia lihat hanya wajah ceria dan tawa riang. Ia tahu dibalik itu semua, Azam sedang bersedih.

"Manda...." Suara ibunya terdengar dari luar kamar. Wanita itu memanggilnya sambil mengetuk pintu.

Ia memang memakai headset selama melakukan panggilan video dengan Azam sehingga suara pria itu tidak terdengar oleh orang lain.

Amanda membuka pintu. Panggilan video itu terpaksa ia akhiri.

"Ada apa, Bu?"

"Justin ada di depan."

Amanda melongo. "Ju-justin?"

"Iya..." Dahlia tertawa. "Kenapa terkejut begitu?"

"Ibu lihat dia bawa bungkusan. Seperti paperbag dari toko kuenya bu Kamila."

Amanda mengerti sekarang. Pasti Justin disuruh oleh Mamanya untuk mengatar kue itu karena siang tadi, calon mertua yang tidak ia harapkan itu menanyakan kue kesukaannya.

Ia menjawab apa saja, karena dia bukan tipe orang yang memilih-milih makanan.

"Ada apa?" Tanyanya sambil melirik ke arah dalam, takut ayah dan ibunya mendengar sapaannya yang cenderung ketus.

"Pesanan kamu!" Justin melirik kearah paperbag diatas meja.

Amanda duduk dan jarak mereka hanya selebar meja itu.

"Bukan aku yang pesan. Tapi, tante Kamila yang memberikannya."

"Jangan sok akrab dengan mamaku. Kamu tahu, kita hanya sedang php-in mereka."

"Ssst!"

"Ngomongnya jangan terlalu keras! Ibu sama ayah bisa denger, Justin!" gumam Amanda dengan merapatkan giginya.

"Bodo amat!" balas Justin acuh.

"Ih!" Amanda kesal.

"Pulang sana!" Usirnya.

"Ini juga mau pulang."

Justin mengarahkan ponselnya dan memotret Amanda. "Sebagai bukti kalau kue sudah sampai ke tangan kamu."

Amanda mengerutkan kening. "Kurir paket saja gak segitunya."

"Jangan kepede-an. Ini perintah mama. Aku sih ogah menyimpan foto jelek kamu!"

Justin masuk ke dalam mobil dan segera pulang. Pria itu tetap berpamitan pada orang tua Amanda seperti calon mantu pada umumnya.

"Kenapa Justin buru-buru sekali, Nak?"

"Dia ada pekerjaan penting ayah!"

"Malam-malam begini?" Tanya Faiz.

"Ya, seperti itulah jadi pebisnis, ayah! Siang malam bekerja demi bisa menggaji karyawan."

"Ya kan, Bu?" Amanda bertanya pada wanita yang sedang membongkar isi paperbag itu.

Dahlia mengangguk. "Kita yang cuma pegawai saja sering bekerja sampai malam, Yah! Apalagi saat mendekati akhir semester."

"Iya, tapi ayah salut melihatnya. Masih muda, pekerja keras pula. Sangat cocok menjadi suami kamu, Manda."

Amanda angguk-angguk saja. Sandiwara ini harus terlihat sempurna meski ia ingin sekali mun-tah saat mendengar ayahnya memuji Justin.

Seandainya ayahnya tahu kalau Azam juga pekerja keras, rajin beribadah, dan juga punya rasa kepedulian yang besar terhadap sesama, pasti posisi Justin di hati ayahnya langsung tergeser.

Sayangnya, ia terlalu takut mengenalkan Azam pada ayahnya. Hanya karena ia backstreet selama ini, ia jadi kehilangan kesempatan untuk mendekatkan Azam pada keluarganya.

Mas Azam, semoga ayah bisa menerima kamu saat kamu datang nanti. Jika ayah menolak kamu, aku gak tahu lagi bagaimana nasibku selanjutnya. Apakah aku akhirnya akan menikah dengan Justin atau aku lebih baik pergi dari rumah? Ah, aku gak sedurhaka itu. Ayah dan Ibu merawatku dari kecil. Masa iya, aku lebih memilih kamu yang baru ku kenal beberapa tahun terakhir. Batin Amanda.

Amanda melihat wajah orang tuanya bergantian. Senyum mereka sesekali muncul saat keduanya menilai rasa kue yang dikirim oleh calon besan mereka.

"Setelah menikah nanti, kamu wajib belajar buat kue seenak ini, Manda!"

Amanda yang sedang melamun seketika kembali terseret ke dunia nyata. Ia mencebikkan bibir.

"Doakan saja, Bu. Jadi, Manda bisa meniru resepnya dan membuka toko kue Manda sendiri."

"Anak ayah sudah belajar jadi mantu kurang ajar, Ayah!" Dahlia tertawa. Ia tahu, putrinya sedang bercanda.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!