“Nining! Kemari kamu!” Suara Doni melengking sempurna, membuat Nining yang sedang membersihkan piring kaget dan menjatuhkan piring yang sedang dia pegang.
“Mas Dony. Kenapa dia teriak-teriak? Gak biasanya dia berkata semarah dan sekencang itu. Pasti ada apa-apa.” Nining bergumam sambil mengusap piring kotor sg spons berbusa.
“Nining. Cepat ke sini!” teriak Dony se]kali lagi. Dia terdengar semakin marah.
“Aduh. Yah, jatuh. I—iya, Mas.” Nining tidak fokus hingga menjatuhkan piring ke lantai. Piring pun pecah dan pecahannya berserakan di lantai.
Dengan melewati pecahan piring, Nining segera menghampiri suaminya yang sedang ada di kamar. Baginya mendahulukan suaminya adalah kewajiban yang utama dari pada yang lain.
Wajah Doni sangat marah dengan rahang mengeras dan gigi yang bergemerutuk. Sebuah pakaian teronggok rapi di atas tempat tidur. Dony baru saja mandi dan dia masih belum mengenakan pakaian apapun selain sehelai handuk yang melilit bagian bawah perut hingga lututnya.
“A—ada apa, Mas?” Nining sangat ketakutan melihat suaminya yang biasanya bersikap lembut sekarang marah tidak terkira.
“Apa ini?” Dony mengacungkan baju yang ada di atas tempat tidur.
“Ba—baju.” Nining sangat takut hingga dia pun tergagap.
“Baju siapa ini? Ini bukan bajuku. Apa selama aku kerja kamu memasukkan laki-laki lain ke rumah ini?” tuduh Dony sangat geram.
Nining sangat kaget begitu mendengar tuduhan Dony. Dia tak pernah menyangka kalau suami yang sangat dia cintai akan menuduhnya sekeji itu. Dia pun mengambil baju tersebut dan menjembrengnya.
“I—ini bukan baju Mas Dony. Ke—kenapa bisa ada di sini,” jawab Nining tanpa menyangka akan ada baju laki-laki lain di dalam kamarnya. Dia pun tak tahu kenapa baju itu bisa ada di tangan Dony.
“Heh. Aneh. Kamu yang menyiapkan tapi kamu sendiri yang kebingungan. Aku gak nyangka. Wanita yang selama ini aku kira istri paling setia ternyata tega mengkhianatiku. Aku benci sama kamu, Nining.” Dony tersenyum mengejek, sangat kecewa dan tidak akan pernah memaafkan kesalahan fatal yang dilakukan oleh Nining.
“Eng—enggak, Mas. Aku gak pernah mengkhianati Mas Dony. A—aku juga gak tahu kenapa baju itu bisa ada di sini,” kilah Nining yang memang tidak tahu kenapa baju itu ada di kamarnya.
“Alah. Gak usah bohong kamu. Mana ada maling ngaku. Aku gak nyangka. Ternyata selama ini kamu sudah membohongi aku. Aku kecewa sama kamu, Nining.”
Benar-benar sangat mengecewakan. Orang yang sangat dia dicintai tega mengkhianatinya. Dulu Dony berpikir kalau dia adalah laki-laki yang sangat beruntung karena bisa mendapatkan Nining—bunga desa—yang menjadi incaran banyak pemuda. Namun, hari ini dia sangat menyesal sebab dia harus menelan pil pahit kebohongan dari istrinya sendiri.
Dony pun meninggalkan kamar tanpa memakai baju. Dia sangat marah sampai-sampai membiarkan dada bidangnya kedinginan tertiup kipas angin yang selalu menyala.
“Mas tunggu. Kamu pakai baju dulu. Kamu gak kuat dingin, kalau kamu gak pakai baju kamu bisa masuk angin.” Bukannya sibuk meyakinkan suaminya tentang tuduhannya yang salah, Nining lebih mementingkan kesehatan laki-laki yang telah satu tahun menjadi suaminya. Dia mengambil kaos pendek berbahan tebal tapi adem untuk diberikan pada Dony.
Walapun Dony tidak peduli dan terus meninggalkan Nining yang tergopoh-gopoh mengejar langkah kakinya yang panjang, Nining tidak peduli. Dia bahkan mempercepat larinya agar segera memberikan baju yang sedang dia pegang.
Nining menarik tangan suaminya dan memaksanya untuk berhenti dan entah kenapa Dony pun berhenti seperti mendapat gendam, dia menuruti perintah Nining. Wajah Nining yang cantik alami membius Dony sekejap hingga dia tanpa sadar menurut saja ketika Nining memakaikan baju ke badannya.
“Mas boleh marah sama aku. Tapi Mas harus pakai baju dulu. Aku tahu Mas gak kuat dingin, makanya pakai bajunya.”
Sedih memang dituduh sekejam itu oleh suami sendiri, tapi Nining wanita yang sangat sabar. Dia tidak peduli pada sakit hati yang dia rasakan, dia lebih mementingkan Dony yang tidak boleh sakit.
“Nah. Kalau Mas udah pakai baju, aku tenang. Mas gak akan sakit.” Nining tersenyum sambil memandang wajah tampan sang suami. Walaupun dia belum memakai celana, setidaknya tidak bertelanjang dada.
Dony bingung dengan kelembutan Nining. Di satu sisi dia tidak tega memarahi Nining, di sisi yang lain dia sangat sakit melihat baju laki-laki lain ada di atas tempat tidur yang biasa mereka lakukan untuk memadu kasih. Yang terbayang adalah ketika laki-laki pemilik baju itu menjelajahi tubuh Nining dan membuat tempat tidurnya berderit hingga suaranya bersaut-sautan dengan suara lenguhan Nining yang merdu dan selalu menggugah kejantanannya.
“Aaagh.” Dony tidak bisa memukul wanita yang ada di depannya.
Dia pun melampiaskan kemarahannya pada pintu kayu yang ada di dekatnya. Dia meninjunya hingga pintu itu bolong. Buku-buku jari tangannya mengeluarkan darah dan Nining pun sangat kaget begitu terdengar pukulan keras melayang di depannya. Nining menutup telinganya karena ketakutan.
“Mas Dony. Apa yang Mas Dony lakukan? Ya Tuhan, tangan Mas Dony berdarah. Sini aku obati,” teriak Nining histeris. Dia segera berlari dan mengambil kotak P3K yang selalu ada di rumahnya.
Setelah Nining kembali membawa kotak P3K dan berniat mengobati tangan Dony yang luka, Dony menolak.
“Jangan sentuh aku. Kamu pikir dengan kelembutan kamu, aku bisa memaafkan perselingkuhan kamu? Enggak, Nining. Aku gak akan pernah Memaafkan kamu.”
“Aku gak pernah selingkuh, Mas. Aku selalu setia sama Mas Dony. Aku sayang banget sama Mas Dony. Aku gak pernah masukin laki-laki lain ke rumah ini tanpa persetujuan dari Mas Dony. Aku selalu telpon Mas Dony kalau ada tamu laki-laki yang datang dan aku selalu minta izin sama Mas Dony. Kalau Mas Dony gak ngizinin, aku gak berani ngajak dia masuk. Aku biarin aja dia di luar. Mas Dony harus percaya sama aku,” kata Nining meyakinkan suaminya kalau dia istri yang pantas untuk dipercaya.
“Kalau kamu gak pernah bawa masuk laki-laki lain ke rumah kita, bagaimana mungkin bisa ada baju laki-laki di kamar kita? Penjelasan kamu gak bisa buktiin apapun. Aku kecewa sama kamu. Aku pikir kamu istri yang baik, ternyata kamu gak lebih baik dari seorang wanita malam yang suka menjual diri di jalanan,” hina Dony, dalam keadaan emosi dia tidak bisa mengontrol ucapannya. Ucapan yang tidak pernah dia keluarkan pada siapa pun, malam itu terlontar begitu saja karena sebuah api cemburu, kecewa dan sakit hati yang teramat dalam.
“Aku gak sehina itu Mas. Aku sangat menjaga kehormatan aku. Aku gak seperti yang Mas tuduhkan. Demi Tuhan, aku gak pernah memberikan tubuh aku ke laki-laki lain selain Mas Dony,” isak Nining sedih bercampur perih. Tega sekali suaminya sendiri merendahkan dirinya sekejam itu.
“Gak usah sandiwara dengan air mata buaya kamu, Nining. Jangan bawa-bawa nama Tuhan untuk menutupi sikap buruk kamu. Aku gak akan pernah percaya dengan kata-kata kamu. Aku kecewa sama kamu! Aku sangat kecewa.”
Dony tidak sudi menatap wajah Nining. Sakit sekali mengatakan semua yang ada di dalam pikirannya, tapi itu yang bisa membuatnya jauh lebih baik. Sebagai seorang laki-laki, dia harus bisa membuktikan kalau harga dirinya jauh di atas segalanya. Dia tak akan pernah memaafkan wanita yang sudah menginjak-injak statusnya sebagai suami.
“Mas, aku gak salah. Percaya sama aku,” rengek Nining sambil menarik tangan Dony agar mempercayainya.
Dony tidak percaya pada Nining, dia pun berencana untuk pulang ke rumah orang tuanya dan akan memikirkan keputusan apa yang akan dia ambil untuk rumah tangga yang baru dibina selama setahun itu. Dengan langkah pasti, Dony segera membuka pintu. Betapa terkejutnya dia ketika melihat banyak orang berkerumun di depan rumahnya.
“Ada apa ini? Kenapa kalian berkerumun di sini?” tanya Dony heran.
“Harusnya kami yang tanya sama kalian. Apa yang sedang kalian lakukan di dalam? Kami dengar ada suara gaduh-gaduh seperti ada tindakan kekerasan. Kami tidak akan diam saja kalau terjadi KDRT di lingkungan kami,” papar salah seorang tetangga laki-laki yang menjadi rukun tetangga di daerahnya tersebut.
“Gaduh? Oh, gaduh-gaduh tadi? Itu bukan apa-apa, kok, Pak. Namanya rumah tangga, beda pendapat aja.” Dony mendekati Nining lalu merangkul pundaknya. Dia tak mau kalau semua orang tahu tentang masalah rumah tangga yang sedang mereka hadapi sekarang. Pasti semua orang akan menertawakan dirinya yang sudah salah memilih Nining sebagai istrinya dan Dony tidak mau itu terjadi.
“Iyakan, Sayang?” Dony kembali bersandiwara dengan tersenyum pada Nining seraya merangkul pundaknya dengan sedikit penekanan agar Nining ikut bersandiwara dengannya.
“Iya, Pak.” Nining tersenyum kaku, menuruti perintah Dony.
“Kok, senyumnya kayak terpaksa gitu? Nah, itu. Kenapa pintunya bolong sama tangan Mas Dony luka. Jangan-jangan ada yang kalian sembunyikan dari saya,” tuduh Pak RT sekali lagi. Dia tidak percaya pada mereka berdua karena ada seseorang yang membisikkan padanya tentang pertengkaran hebat yang terjadi pada mereka berdua. Namun, dia tak tahu itu suara siapa.
Dony dan Nining melirik ke belakang. Terlihat pintu kayu itu berlubang. Mungkin mereka mendengar suara keras saat Dony memukul pintu hingga pintu itu rusak. Nining pun menatap wajah Dony dengan ketakutan. Dia sangat tahu kalau Pak RT-nya itu tidak akan membiarkan kekerasan terjadi dalam lingkungannya, apapun alasannya.
“Oh, itu. Tadi ada tikus. Tikusnya gangguin kita terus. Aku kesal, makanya aku kejar dia. Dia naik pintu itu. Ya, udah. Aku tinju aja biar tikusnya mati. Bukannya mati. Tikusnya kabur. Pintunya rusak, tanganku yang luka,” karang Dony asal disertai tawa sandiwara senormal mungkin.
“Tikus? Sebegitu mengganggunya, ya, Mas?” telisik Pak RT masih tidak percaya. Alasan Dony sangat tidak masuk akal.
“Ah, Pak RT. Masa aku harus jelasin sampai detail, sih? Lihat, nih. Aku masih pakai handuk, Pak. Lagi di puncak. Gimana gak kesel coba. Kan sangat mengganggu,” sambung Dony lagi. Kali ini dia mendekati telinga laki-laki yang berbeda sepuluh tahun dengannya lalu menunjukkan dengan malu handuk yang kokoh melilit tubuh bagian bawahnya.
Laki-laki itu pun tersenyum geli sambil melirik handuk Dony. Dia mengerti sekarang kenapa Dony sangat kesal. Laki-laki manapun pasti akan sangat marah jika ada yang mengganggu jika sedang di kondisi seperti itu.
“Ya, sudah kalau tidak terjadi apa-apa. Tapi ingat! Saya tidak akan membiarkan warga saya melakukan KDRT. Seandainya korban itu salah, saya akan menjadi hakim agar masalah rumah tangga warga saya aman. Kami minta maaf atas ketidaknyamanannya dan silahkan dilanjutkan lagi.” Warga pun bubar dan Dony mengiring kepergian tetangga dengan pandangan mata sambil terus pura-pura tersenyum.
Semua orang pergi dengan perasaan lega. Namun, ada seseorang yang nampak kecewa. Dia tidak menyangka kalau Dony akan menutupi masalah rumah tangganya di depan semua orang. Padahal dia berharap masalah rumah tangga Dony dan Nining menjadi konsumsi tetangga dan mereka akan digunjing habis-habisan.
‘Sial. Kenapa gagal? Mereka malah makin mesra lagi. Gak akan aku biarin ini terjadi. Aku akan beri mereka pelajaran lagi,’ bisik seseorang dalam hati. Dia pun ikut pergi bersama yang lain agar tidak ada yang curiga dengannya.
Setelah memastikan semuanya sudah pergi, Dony menutup pintu. Kembali sorot mata amarah terpancar di matanya.
“Jangan kamu harap aku sudah melupakan semuanya. Aku tidak akan pernah memaafkan kamu. Hari ini kamu beruntung karena aku tidak jadi pergi. Besok tidak akan terjadi. Aku akan pulang ke rumah orang tuaku dan jangan coba-coba menjemputku karena aku sangat muak melihat wajahmu!” Dony berlalu pergi meninggalkan Nining dengan sejuta luka yang menganga.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh wanita lembut itu. Dia hanya bisa menangis sambil menatap perih laki-laki yang sangat dia sayangi itu. Dia tak menyangka kalau Dony lebih percaya pada dugaannya daripada dirinya. Padahal Nining sangat setia dan tidak pernah berpikir sedikit pun untuk meninggalkan suaminya tersebut.
Tak terasa jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam. Dony masih diam walaupun dia belum makan. Biasanya dia akan memeluk Nining dan minta dibuatkan makanan. Sekarang tidak sama sekali. Jangankan memeluk, berbicara pun tidak.
Nining terus melirik suaminya yang sedang tiduran sambil menonton TV di ruang tamu. Dia khawatir suaminya akan sakit jika dia tidak makan. Dia pun berinisiatif untuk memanaskan masakan yang tadi siang dia masak.
“Nasi masih ada. Opor ayam juga masih ada. Sudah selesai semuanya. Aku harus masuk kamar supaya Mas Dony gak malu buat makan.” Nining pun pura-pura masuk kamar dengan mengencangkan suara langkah kakinya.
Dony memegangi perut yang terasa melilit. Karena masalah tadi sore, dia sampai lupa belum makan. Dia melirik ruang makan dan terukirlah senyum lebar ketika melihat Nining sudah pergi.
“Ada makanan. Ada Nining gak, ya? Jangan sampai Nining tahu kalau aku masih mau makan masakannya. Bisa kegeeran dia.” Dony berjalan mengendap dengan hati-hati agar Nining tidak tahu kalau dirinya ingin makan. Setelah sampai di ruang makan, dia segera duduk dan mengambil nasi. “Aku sadar kalau Nining emang baik, tapi itu dulu sebelum dia ketahuan selingkuh. Masakannya juga enak, eh, gak enak.” Dony terus menggumam sambil menikmati makanan dari Nining. Walaupun dia tidak mengakui keenakan masakan Nining, mulutnya tidak bisa bohong. Dia makan sangat lahap.
Nining memperhatikan Dony dari jauh. Dia sembunyi di pojok ruangan. Senang rasanya suaminya makan dengan lahap. Meskipun dia belum mendapat maaf dari Dony, dia senang. Setidaknya suaminya tidak kelaparan. Nining pun meninggalkan Dony tanpa Dony tahu.
***
Dony bangun sangat pagi. Bahkan dia mengambil baju kantor secara diam-diam agar Nining tidak tahu. Setelah dia siap dengan baju dan perlengkapan kantornya, dia berangkat tanpa sarapan. Dia masih marah pada Nining, tidak sudi rasanya kalau harus menatap wajah istri baik itu. Dia tidak akan kuat jika harus memindai wajah ayu Nining dengan ucapan yang menohok.
“Jam lima pagi. Mas Dony udah bangun belum, ya? Diakan harus ke kantor. Aku bangunin dulu apa, ya?” Nining keluar kamar lalu menemui Dony di ruang tamu.
Betapa kagetnya Nining ketika melihat Dony sudah tidak ada. Dia pun segera keluar untuk melihat motor Dony.
“Motornya gak ada. Jangan-jangan Mas Dony udah berangkat. Tapi Mas Dony belum sarapan. Kasihan dia. Dia pasti lapar. Maafin aku, Mas. Gara-gara aku, kamu jadi gak mau makan pagi. Aku harap kamu mau makan pagi di warung supaya kamu gak sakit,” gumam Nining khawatir.
Bukannya marah, dia malah merasa menyesal. Dia membuat suaminya enggan sarapan hanya karena dia salah padam pada dirinya.
‘Itu Nining. Dia pasti sedang marahan sama Mas Dony. Aku lihat Mas Dony berangkat subuh, pasti karena tidak mau melihat Nining. Bagus. Rencanaku perlahan akan berhasil dan aku harap rumah tangga mereka akan segera hancur.’
Nining duduk terdiam di kursi. Teras yang masih sepi, lingkungan yang hening membuat kesedihannya semakin memuncak. Entahlah dosa apa yang sudah diperbuat wanita baik seperti Nining sehingga dia mendapat cobaan sehina itu. Nining pun tak tahu.
Menghela napas, Nining menyeka air mata yang tak terasa luruh membasahi pipi.
"Sabar, Ning. Tuhan gak akan ngasih cobaan melebihi kemampuan hamba-Nya. Kamu pasti bisa buktiin kalau kamu gak salah." Walaupun dia tak yakin, dia tetap optimis dengan keadilan yang diberikan Tuhan untuknya.
Dari samping, seorang wanita memandang Nining dengan ragu. Dia ingin mendekat, tapi takut mengganggu. Akhirnya, walaupun setengah memberanikan diri, dia mendatangi rumah Nining.
"Permisi. Mba Nining, maaf mau tanya. Apa baju saya kebawa sama Mba Nining? Soalnya saya kemaren pinjam jemurannya untuk jemur baju, tapi saya lupa angkat." Wanita berusia dua puluh tuga itu menggaruk kepalanya karena malu. Merasa tak punya muka karena sudah pinjam jemuran tapi lupa mengangkatnya.
"Baju? Baju apa, ya, Mba?" Nining tak tahu sama sekali tentang baju yang dimaksud oleh Sri. Namun, dia mencoba mengingatnya.
"Baju kaos polos warna hijau sama ****** ***** warna merah marun, Mba. Oh, iya. Sama kaos dalam warna putih dan celana panjang juga Mba. Apa ada?" jelas Sri panjang lebar.
"Celana panjang, kaos hijau sama baju dalam?" Nining merapalkannya sambil menutup mata berharap dia ingat sesuatu.
Tunggu sebentar. Bukannya itu baju yang menjadi biang masalah antara Nining dan suaminya? Oh, jadi itu milik Sri. Belum ada satu hari Nining meminta bantuan pada Tuhannya, Tuhannya langsung mengabulkan. Ada alasan apalagi untuk Nining tidak semakin bertaqwa pada Sang Khalik?
"Oh, iya. Aku ingat. Sebentar aku ambilkan dulu." Gegas Ningsih berlari untuk mengambil baju yang dimaksud oleh Sri.
Dengan terkuaknya baju itu, Nining yakin kalau dia akan kembali berbaikan dengan Dony. Sungguh, rasanya sangat hampa dimusuhi suami sendiri. Suami yang selalu ramah, selalu romantis hari itu berubah menjadi sosok yang tidak Ningsih kenal. Sosok yang sangat menyeramkan.
"Mana bajunya?" Nining mengobrak abrik pakaian bersih yang sudah dilipat. Dia yakin kalau baju biang masalah itu dia simpan di dalam keranjang berwarna abu-abu. Dia pun terus mencari, tapi tak ada hasil. Baju itu seakan menghilang begitu saja ketika sedangkan dibutuhkan.
"Mana bajunya? Kenapa di saat genting seperti ini baju itu mendadak menghilang? Tuhanku, tolong aku. Tunjukkan di mana baju itu," harap Nining tetap optimis.
Walaupun dia sedikit putus asa, dia tidak menyerah. Dia mengingat-ingat lagi di mana dia meletakkan baju itu setelah pertengkaran hebat mereka semalam.
"Semalam baju itu dipegang sama Mas Dony. Habis itu Mas Dony keluar. Berarti bajunya ada di luar. Tunggu. Jangan-jangan ada di sana." Setengah berlari, Nining keluar dari kamar dan menemukan baju itu teronggok di atas lantai.
"Syukurlah bajunya ketemu. Tinggal car baju yang lain." Nining sangat bahagia setelah menemukan baju hijau itu. Dia pun menggampit empat baju milik Sri.
Sri sudah menunggu dengan gusar di depan. Baju itu adalah baju kesukaan suaminya. Karena rindu pada suami yang sedang berlayar, dia pun mencucinya sekedar menghilang kangen.
"Apa ini bajunya?" Tergopoh, Nining menunjukkan baju itu pada Sri.
Sri menyambut dengan gembira.
"Iya bener ini bajunya. Kalau ngrasa bukan bajunya, dibalikin, dong, Mba. Masa harus nunggu didatangi dulu, sih!" dengkus Sri, meraih baju itu dengan kesal. Wajahnya berubah masam setelah tahu Nining memang telah mengambil baju milik suaminya.
"Maaf. Sepertinya yang kemarin bawa masuk baju mba Sri itu ibuku. Dia kemaren main dan pasti gak tahu kalau baju yang ada di depan bukan punyaku. Dia tak ingin baju yang sudah kering basah oleh hujan," jelas Nining apa adanya.
Kemaren memang ibunya datang untuk berkunjung. Tak sampai menginap, wanita paruh baya itu pulang karena ditelpon oleh adik Nining yang pulang mendadak. Ibunya pun pulang dan lupa memberitahu kalau baju yang sudah dia angkat dari jemuran, dia lipat dan letakkan di kamar. Siapa sangka kebaikan itu justru berubah malapetaka.
"Heh, alasan. Bilang aja kalau mba suka sama baju suamiku. Baju suamiku itu mahal dan bagus, gak kayak baju Mas Dony. Jelek dan murahan," hina Sri dengan lirikan malas.
Menusuk sekali ucapan Sri, tapi dia mencoba tersenyum. Walaupun sakit mendengar ocehannya, apa yang dia katakan benar. Tidak ada gunanya berdebat karena akan semakin memperpanjang masalah.
"Maaf kalau begitu. Aku permisi dulu." Nining pun pamit masuk. Meladeni Sri yang sombong itu tidak dengan emosi. Rugi nantinya. Harus dengan taktik yang jitu.
"Eh, tunggu. Saya belum selesai bicara." Sri menarik tangan Nining lalu mengajaknya duduk di teras. "Kemarin ada ribut-ribut apa, sih? Masa iya cuma ributin tikus doang. Saya gak percaya." Sri penasaran dan dia pun ingin tahu.
Nining terdiam sejenak. Apa dia harus meminta bantuan pada Sri agar msalahhya dengan sang suami segera berakhir?
"Kok, diem? Cerita, dong? Saya penasaran, nih. Ayo, dong, cerita." Sri memaksa sambil menatap Nining penuh cinta. Seoang wanita merasa ada yang kurang jika belum update berita tetangga. Itulah yang sedang dilakukan oleh Sri.
"Gak apa-apa, Mba. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Mas Dony. Cuma masalah tikus aja," saut Nining. Dia ingin menjaga nama baik suaminya.
"Alah, gak usah bohong, deh, Mba. Saya denger jelas kalau mba dituduh selingkuh sama Mas Dony. Jahat banget ya, Mas Dony? Masa istri sendiri dituduh selingkuh?"
Nining sangat kaget mendengar penuturan Sri. Dia pikir hanya dirinya yang tahu, ternyata suara teriakan Dony sukses membuat Sri tahu rahasianya.
"Lebih baik kita bicara di dalam aja." Nining tak mau ada orang lain yang tahu tentang masalah rumah tangganya. Lebih baik mereka bicarakan di dalam agar aman.
Mereka pun segera masuk dan mempersilahkan Sri untuk duduk.
"Maaf sebelumnya. Apa mba Sri bisa jaga rahasia?" Nining bicara dengan sangat hati-hati agar Sri mengerti dan mau membantunya.
"Jaga rahasia gimana maksudnya, Mba?" tanya Sri balik.
"Sebenarnya gara-gara jemuran Mba Sri, Mas Dony jadi salah paham. Dia mengira kalau aku udah masukin laki-laki lain ke rumah. Makanya dia semalam marah banget sama aku. Aku mau minta tolong. Apa Mba Sri bisa jelaskan ke Mas Dony tentang baju itu? Saya bayar gak pa-pa, Mba. Asal Mas Dony gak marah lagi sama aku." Nining sangat berharap Sri mau menolongnya. Hanya dia yang bisa menyelamatkan rumah tangganya.
"Oh. Jadi karena baju suami saya ini, Mba Nining sama Mas Dony jadi berantem? Emangnya Mba mau bayar saya berapa?" Walaupun Sri mengaku kaya, kalau soal uang, dia tidak pernah menolak.
Nining masuk ke kamar lalu mengambil dompet berisi uang cash yang kemarin baru saja dia ambil dari ATM. Kebetulan kemarin Dony mentransfer uang bulanan untuk kebutuhan mereka sehari-hari.
"Lima ratus ribu apa sering mau menerimanya?" tanya Nining dalam hati.
Walaupun dia diberi dua juta oleh Dony setiap bulannya, dia tidak masalah jika harus menyisihkan seperempat hatahnya untuk Sri, yang penting rumah tangganya bisa diselamatkan.
Nining keluar dari kamar lalu menemui Sri di ruang tamu.
"Ini ada sedikit uang sebagai tanda terima kasih kalau Mbak Sri mau membantuku untuk menjelaskan pada Mas Dony tentang baju hijau yang dikira milik selingkuhanku. Aku mohon banget sama Mbak Sri. Mbak Sri mau, ya, membantuku untuk menjelaskan pada Mas Dony kalau aku nggak bersalah. Baju itu punya suami Mbak Sri yang dijemur di jemuranku kemarin dan gak sengaja kebawa ibuku masuk ke rumah."
Sri menerima uang itu kemudian tersenyum miring. Apakah yang Sri bayangkan ketika melihat lima lembar uang berwarna merah itu?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!