Bab 1
Mendengar suara Rehan yang sudah ia sadari bahwa suaminya itu sangat marah, tak membuat Dinda berhenti memenuhi panggilan suaminya, Dinda terus melaju hingga menyentuh gagang engsel kamarnya.
Dengan cepat Dinda masuk karena ia tak ingin Rehan melampiaskan amarahnya di depan kamar, karena hal itu pastinya akan mencuri perhatian ke dua orang tuanya saat tak sengaja mendengar.
Bam
Suara pintu kamar yang di tutup kuat oleh Rehan membuat Dinda terhenti, berbalik badan membalas tatapan Rehan yang seperti ingin mencengkeram saat itu juga.
"Apa kamu nggak bisa masuk kamar dengan hati-hati, Mas! Anak kita ini sedang tidur di gendongan aku, kalau dia bangun gimana," protes Dinda menatap kesal.
"Letakkan Arka di tempat tidurnya, karena aku ingin bicara denganmu!" titah Rehan dengan membalas tatapan sinis Dinda.
Dinda tak menjawab, namun gerak tubuhnya mengikuti perintah sang suami yang memintanya untuk meletakkan Arka. Setelah itu tak menunggu lama pergelangan tangan Dinda seketika ditarik oleh Rehan sebelum ia siap untuk menghadap sang suami.
"Mas, apaan si!"
Dinda mengibas pergelangan tangannya yang terasa sedikit sakit karena ditarik oleh Rehan, melihat Dinda seperti melawan membuat tatapan mata Rehan semakin tajam.
"Dinda, benar kamu menghina Sekar dan mengatainya tadi di restoran?" tanya Rehan.
"Memangnya kenapa, Mas? Kamu nggak terima kalau aku hina pelakor itu, seharusnya bukan hanya mengatainya, tapi merobek dress yang ia gunakan dan menjambak rambutnya yang terurai itu!" geram Dinda tanpa merasa takut sama sekali dengan Rehan.
"Dinda! Berani-beraninya kamu memiliki niat untuk itu, memangnya punya hak apa kamu atas Sekar," maki Rehan tak terima.
"Tentu saja karena aku istri sah kamu, Mas. Jadi mau bagaimana pun status Sekar, dia tidak akan mengungguli status ku. Dan seharusnya kamu sadar itu!"
Dinda terlihat sangat pemberani, saat Rehan memanggil dirinya hanya untuk membahas Sekar, mendengar jawaban Dinda yang begitu menantang membuat Rehan meradang dan terlintas di benaknya untuk memberikan pelajaran.
"Mulut kamu ini perlu diberi pelajaran, Dinda!"
Rehan menarik kembali pergelangan tangan Dinda menuju kamar mandi, Rehan menyalakan shower dengan deras lalu mengarahkan shower itu pada tubuh dan rambut Dinda.
Malam-malam yang seharusnya bisa dinikmati oleh Dinda dengan istirahat, justru harus ia lalui dengan mendapatkan hukuman dari Rehan yang terus menyiram tubuhnya dengan air.
"Mas, udah Mas, cukup!" teriak Dinda kedinginan.
Rehan tak mengindahkan keluhan Dinda yang sudah menggigil, kesalahan Dinda membuat dirinya tidak bisa mengontrol diri dan berbuat seperti itu, hingga akhirnya Rehan merasa puas dan mematikan shower.
Tatapan Rehan kian tajam di saat Dinda mendekap tubuhnya karena kedinginan.
"Dinda, aku akan menghukum mu lebih dari ini kalau kamu berani mengganggu Sekar lagi!" ancam Rehan berlalu pergi.
Rehan memutar tubuhnya dan menghilang dari pandangan Dinda yang mulai buram, dengan tangan yang gemetar Dinda meraih handuk untuk membalut tubuhnya yang kedinginan. Ia buru-buru keluar untuk mengganti pakaiannya yang basah.
Sementara Rehan mengendap-endap hendak keluar dari rumah, berharap bahwa tidak ada satu orang pun yang menyadari kepergiannya malam ini.
Untuk menebus rasa bersalahnya dengan Sekar, Rehan berhenti di salah satu toko bunga yang masih buka, dan membawakan buket bunga kesukaan Sekar untuk memikat kembali hatinya yang sudah patah karena ulah Dinda.
Sengaja Rehan tidak memberitahu Sekar bahwa malam ini ia akan ke rumahnya, karena ia ingin memberikan sebuah kejutan hangat untuk Sekar.
Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan pintu menyadarkan Sekar yang saat itu sedang duduk bersandar di sofa, ia tidak tahu siapa yang datang malam-malam begini, karena ia tidak memiliki janji pada siapapun.
Ketukan yang semakin kuat pun membuat Sekar akhirnya bangkit dan berdiri di depan pintu.
"Siapa?" tanya Sekar sebelum memutuskan untuk membukanya.
"Ini aku sayang, Rehan." jawab Rehan dari luar.
Mendengar suara yang sangat familiar tentu saja membuat Sekar merasa senang dan langsung membukanya, meskipun hatinya masih kecewa namun Sekar tak mau melewatkan kehadiran Rehan, ditambah lagi dengan bunga yang dibawakan oleh Rahan, membuat Sekar luluh di hadapan Rehan.
"Ini untuk aku, Mas?" tanya Sekar malu-malu.
"Tentu saja, memangnya ada wanita lain yang saat ini ada si hadapan aku," ucap Rehan mengulas senyum.
"Aaa, makasih ya Mas. Kamu memang jago banget ngambil hati aku."
Sekar bergelayutan di pergelangan tangan Rehan dengan manjanya, ia juga menciumi buket bunga itu dengan gembira, melupakan kekecewaan yang telah dibuat oleh Dinda padanya.
"Kamu nggak ada niat buat ngajak aku masuk, sayang?" tanya Rehan.
"Ya ampun Mas, saking fokusnya aku sama bunga ini, aku jadi lupa ajak kamu masuk. Ya udah ayo kita masuk," ajak Sekar masih menempel tubuh Rehan.
"Oh ya Mas, kamu ke sini memang nya nggak masalah, kan ada mertua kamu dan istri kamu yang nyebelin itu," sambung Sekar mengajak Rehan duduk.
"Aku udah kasih wanita gendut itu pelajaran sayang, aku mandiin dia sebelum aku datang ke sini pakai air dingin, aku marah dan kesel banget denger cerita kamu. Kalau soal mertua, kamu tenang aja sayang, mereka udah tidur lelap di kamar." jelas Rehan menumpahkan isi hatinya.
Sekar nampak ceria mendengar kabar gembira itu, wajahnya semakin berseri dan tertawa puas dengan semua kabar yang diberikan oleh Rehan, nampaknya itu memang sumber kebahagiaan bagi Sekar, melihat Dinda menderita.
Sementara di sisi lain, Dinda sedang menangis sedih memikirkan nasib rumah tangga nya, ia harus bersikap seolah tidak ada masalah apa-apa pada orang tuanya. Ia juga nampak menangis tersedu mengingat perlakuan kasar Rehan yang membuatnya kedinginan.
'Ya Tuhan, pantaskah aku mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak baik-baik saja ini, tapi bagaimana dengan nasib anakku yang masih bayi, dan orang tuaku yang tidak akan percaya dengan nasib rumah tangga ku.' batin Dinda yang masih mendekap tubuhnya.
Dinda menangis sejadi-jadinya di balutan selimut tebal miliknya, kesedihan dan air mata yang terus menetes membuat Dinda merasa sedikit pusing, dan memutuskan untuk memejamkan ke dua matanya.
***
Senja pagi menyapa, Dinda tak kunjung bangun untuk menyiapkan semuanya. Seharusnya Dinda memasak menu sarapan karena bi Iyas masih belum kembali.
Namun sudah hampir pukul delapan pagi, Dinda masih terbaring dengan gemetar dan berselimut tebal, Dinda pun mengigau terus menerus layaknya anak kecil yang sedang berada di alam bawah sadarnya.
Sementara bu Andin yang sudah mandi dan wangi, keluar dari kamar tamu untuk membantu membersihkan rumah, namun saat ia keluar keadaan rumah masih sunyi, lampu-lampu pun masih menyala dengan terang.
"Ya ampun, susah banget kalau nggak ada pembantu, jam segini aja lampu masih nyala, ini pemborosan namanya. Eh, tapi ngomong-ngomong di mana Dinda, ya?"
Bu Andin nampak berbicara sendiri sembari berjalan keliling mematikan lampu. Bu Andin pun naik ke lantai dua untuk mematikan lampu yang ada di depan kamar Dinda, bu Andin menoleh ke daun pintu kamar Dinda, mengira bahwa Dinda masih belum terbangun.
"Masa jam segini Dinda belum bangun, si?" tanya bu Andin pada dirinya sendiri.
Langkah kaki bu Andin mulai mendekati pintu kamar itu, namun berhenti sejenak karena ragu dan takut mengganggu istirahat anak dan menantunya tersebut, yang ia kira masih ada di dalam kamar.
Bab 2
Namun karena ia yakin bahwa menantu dan putri tersayangnya sudah bangun, membuatnya sangat percaya diri untuk mengetuk pintu tersebut.
Ketukan pintu pertama mulai dilakukan oleh bu Andin, dan menunggu sampai Dinda atau Rehan membukanya. Namun ketukan itu tak mendapatkan jawaban, hingga membuat bu Andin semakin penasaran dan terus mengetuk.
"Kok nggak ada yang nyaut, ya?" tanyanya.
Bu Andin terlihat semakin ingin membuka pintu itu, perlahan ia tempelkan telinganya dan berharap akan mendengar suara sesuatu yang ditimbulkan di dalam kamar, namun semua nampak hening hingga membuat bu Andin memutuskan untuk membuka sana pintu tersebut.
Langkah kaki bu Andin tertuju ada ranjang tempat tidur Dinda bersama Arka, lampu yang masih menyala dan jendela yang belum terbuka membuat bu Andin sadar bahwa Dinda belum bangun.
"Ya ampun, rupanya belum bangun."
Bu Andin mengulas senyum dan menarik tirai jendela lalu membukanya lebar, pandangannya mengarah pada Dinda dan mendekatinya. Tumben Dinda belum bangun saat jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, yang seharusnya Dinda susah menyiapkan sarapan.
Saat bu Andin duduk di ujung bibir ranjang dan tak sengaja menyenggol pergelangan tangan Dinda yang sangat panas dan menggigil membuat bu Andin tersadar bahwa Dinda sedang demam.
"Astaga, Dinda... Badan kamu panas banget," ucap bu Andin panik.
Dinda membuka ke dua matanya saat bu Andin sibuk memeriksa suhu tubuhnya, Dinda masih berada dalam dekapan selimutnya yang tebal, menyadari bahwa ada seseorang yang sedang mengajaknya berbicara.
"Bu, Dinda kedinginan," rintih Dinda gemetaran.
"Ya ampun, kok bisa si sayang, di mana suamimu?" tanya bu Andin yang menyadari bahwa di kamar itu tidak ada Rehan.
Dinda terdiam, ia tahu bahwa Rehan malam ini menginap di rumah Sekar, dan hal itu tidak mungkin ia katakan pada ibunya yang saat ini menatap menunggu jawaban.
"Mungkin mas Rehan udah di toko, Bu," ucap Dinda, lirih.
"Ya udah kalau gitu, kita ke rumah sakit sekarang ya," ajak bu Andin yang tidak tega melihat keadaan Dinda.
"Nggak usah Bu, Dinda hanya demam biasa. Kalau Ibu tidak keberatan, boleh Dinda minta buatkan teh hangat?" pintanya.
"Tentu saja boleh, Ibu buatkan dulu ya." jawab bu Andin mengulas senyum dan meninggalkan Dinda.
Dinda pun kembali menyelimuti tubuhnya yang tersingkap, untuk mengurangi rasa dingin yang ia rasakan. Tak lama kemudian bu Andin datang membawa teh hangat dan sepotong roti untuk Dinda, meskipun Dinda tidak meminta roti yang dibawakan oleh sang ibu.
"Sayang, ayo bangun dulu, kamu nikmati teh hangat dan sepotong roti ini dulu," ucap bu Andin membangunkan kembali Dinda.
"Iya Bu, terima kasih. Maaf sudah merepotkan Ibu," sahut Dinda menyandarkan tubuhnya pada dipan.
"Nggak kok Dinda, Ibu sama sekali tidak merasa kerepotan, ayo di minum."
Bu Andin menyodorkan teh hangat itu dan diterima oleh Dinda, sedikit demi sedikit Dinda mulai menyeruput minuman itu beserta sepotong roti yang disiapkan oleh ibunya. Sementara bu Dinda dengan sigap menggendong Arka yang baru saja terbangun dan menangis.
"Cup... Cup... Cup sayang, cucu Nenek nggak boleh nangis," ucapnya mendekap tubuh Arka.
"Mungkin Arka haus Bu. Sini, biar Dinda beri Asi," pinta Dinda menyodorkan tangan ingin meraih Arka, meskipun sebenarnya ia masih sangat gemetar.
"Tapi Ibu ragu Dinda, badan kamu itu lagi demam, kalau kamu memberikan Asi dalam keadaan demam seperti itu, Ibu khawatir nanti akan menular pada Arka," sahut bu Andin cemas.
"Benarkah, Bu? Tapi bagaimana dengan Arka yang pastinya sangat membutuhkan Asi dari Dinda?"
Dinda nampak bingung, rasanya saat ia sakit ia harus melibatkan Arka yang masih menyusui, keadaan tubuhnya memang sangat mempengaruhi Asi yang ia hasilkan.
Karena tidak ada pilihan lain, bu Andin pun akhirnya membiarkan Dinda memberikan Asi-nya, karena Arka terus menangis lantaran kehausan setelah bangun tidur.
"Dinda, sebaiknya setelah ini kamu harus pergi ke dokter, biar kamu bisa cepat sembuh dan Arka nggak minum Asi yang tidak sehat dari Ibunya," ucap bu Andin memberi solusi.
"Ya Bu, nanti setelah ini Dinda akan pergi ke dokter." jawab Dinda yang tidak ada pilihan lain.
Bu Andin menunggu di sana sampai Arka selesai meminum Asi, dan setelah itu bu Andin membawa Arka turun untuk bermain, karena ia tidak mau Arka terlalu dekat dengan ibunya yang sedang sakit.
Sementara Dinda menggunakan waktu itu untuk mandi dan bersiap-siap karena ia akan pergi ke dokter, setelah siap Dinda turun menggunakan jaket tebal dan kaus kaki, karena ia merasa saat itu sedang berada di pegunungan yang sangat dingin, hingga membuat tubuhnya gemetaran. Dinda melihat bu Andin dan pak Roy sedang duduk di ruang keluarga, menimang Arka yang merasa bahagia.
"Dinda, kamu mau ke mana?" tanya pak Roy yang menyadari kedatangan Dinda.
"Mau ke dokter Pak, Dinda demam," ucap Dinda melempar senyum tipis, tidak menutupi wajah pucat nya yang menunjukkan bahwa ia tidak baik-baik saja.
"Ya ampun, ya sudah Bapak antar kamu, ya?" tawar pak Roy bangkit dan berjalan mendekati Dinda.
"Iya Pak, kayaknya Dinda nggak bisa bawa mobil sendiri, maaf ya Pak udah merepotkan Bapak, m" sahut Dinda merasa bersalah.
"Nggak kok Dinda, nggak ada yang merasa direpotkan sama kamu, ayo kita lekas berangkat." ajak Pak Roy membantu Dinda berjalan.
Bu Andin pun mengantar kepergian anak dan suaminya itu, sembari menimang Arka yang masih belum dimandikan, setelah mobil Dinda tak terlihat, barulah bu Andin memutar tubuhnya untuk menutup pintu.
Namun belum sempat pintu itu tertutup rapat, bu Andin melihat ada sebuah mobil yang masuk kembali ke garasi yang sebelumnya pintu pagar itu telah tertutup, Rehan pulang setelah bersenang-senang semalaman dengan Sekar, ia tinggalkan Dinda yang sudah ia siksa semalam.
"Itu kan mantu, kok dia pulang lagi, bukannya kata Dinda dia ke toko?" tanya bu Dinda yang berada di balik pintu.
Rehan mengunci mobil dan berjalan menuju pintu utama, dan saat ia membukanya ia dikejutkan dengan kehadiran bu Andin yang ada di sana sedang menggendong Arka.
"I-ibu, Ibu ada di sini," sapa Rehan sedikit salah tingkah.
"Iya Mantu, kamu dari mana? Apa kamu tidak berpapasan dengan mobil Dinda di depan?" tanya bu Andin yang menatap tajam.
"Mobil Andin? Iya Bu, Rehan ketemu di depan. O ya, Rehan naik dulu ya, Bu." jawab Rehan justru sangat cuek.
Rehan berlalu pergi, ia tidak peduli dengan keadaan Dinda yang sedang sakit. Bahkan tidak sedikit pun ia merasa ingin bertanya ke mana Dinda hendak pergi, bu Andin menghela napas memperhatikan langkah kaki Rehan yang menghilang setelah menaiki beberapa anak tangga untuk sampai di kamarnya.
'Kok Rehan aneh ya, kenapa dia nggak tanya atau penasaran gitu Dinda pergi ke mana, kok kayaknya acuh gitu?' batin bu Andin berjalan menuju ruang keluarga.
Tak lama kemudian, Rehan kembali turun setelah mandi dan memakai baju yang sangat rapi, Rehan nampak segar dan wangi, hingga penampilan Rehan menarik perhatian bu Andin yang melihatnya.
"Rehan, kamu mau ke mana?" tanya bu Andin menghentikan langkah Rehan.
Rehan tak langsung menjawab, ia terlihat kikuk mendengar pertanyaan bu Andin yang sepertinya sangat penasaran dengan nya. Karena Rehan tidak terbiasa dengan kebohongan yang harus ia lakukan untuk menutupi perbuatannya di luar rumah.
"Emm, Rehan mau ke toko, Bu," ucap Rehan sedikit salah tingkah.
"Tapi kamu wangi banget, emmm? O ya, Ibu sampai lupa kasih tau kamu, kalau Dinda itu dibawa sama Bapak kamu ke dokter, dia demam," sahut bu Andin memberi tahu.
"Oh ya? Memangnya Dinda kenapa, Bu?" tanya Rehan mengerutkan dahi, lagi-lagi Dinda membuat Rehan tidak nyaman dengan berita sakitnya.
Bu Andin menjelaskan perihal sakit yang dirasakan oleh Dinda saat ia menyentuh tubuhnya yang sangat panas, dan Dinda pun menggigil. Namun mendengar cerita dari bu Andin tak membuat Rehan merasa iba lantaran ia tahu penyebab sakitnya Dinda.
Hal itu menarik perhatian bu Andin kembali, karena sepertinya Rehan sama sekali tak merasa simpati. Namun saat melihat tatapan mata bu Andin mengarah padanya dengan curiga membuat Rehan berpura-pura peduli dengan Dinda.
"Ya ampun Bu, ya udah kalau gitu Rehan nggak perlu ke toko, Rehan mau jenguk Dinda dulu," ucap Rehan buru-buru.
"Oke... Iya... Kamu memang harus ke sana." jawab bu Andin nampak kikuk mendengar ucapan Rehan.
Rehan berpamitan lalu pergi meninggalkan bu Andin, bu Andin memperhatikan Rehan dari jauh yang saat itu sudah menutup pintu mobilnya. Ia masih nampak ganjal dengan menantunya itu, yang sifatnya seperti ada sesuatu yang dirahasiakan.
"Ya ampun, apa si aku ini, kenapa aku sejak kemarin di sini berpikir buruk terus sama pernikahan Dinda dan Rehan padahal sejak pertama masuk ke rumah ini, mereka justru nampak biasa saja." ungkap bu Andin menepuk dadanya sendiri yang merasa sangat cemas sendiri.
Di perjalanan Rehan harus menghubungi Sekar untuk membatalkan kencannya yang sudah direncakan semalam, ia terpaksa melakukan itu lantaran Dinda yang justru sakit karena ulahnya sendiri.
Sementara Sekar yang sudah terlihat sangat cantik itu buru-buru mengangkat telpon dari Rehan, karena ia berpikir bahwa Rehan sudah menunggunya di luar.
[Ya, halo mas,] sapa Sekar manja.
[Sayang, kita batalkan dulu kencan kita ya, aku nggak bisa pergi sama kamu hari ini karena Dinda sakit] ucap Rehan dari sebrang.
Sekar tak langsung menjawab, ia merasa sangat kesal lantaran keputusan Rehan membatalkan kencannya hanya karena Dinda. Tersadar bahwa Sekar tak menjawab pembicaraannya membuat Rehan memanggil Sekar beberapa kali hingga Sekar pun bersuara.
[Kenapa harus Dinda si mas, yang jadi alasan kamu membatalkan rencana kita!] protes Sekar bernada tinggi.
[Sayang, kamu harus ngerti dong, di rumahku kan masih ada ibu sama bapak mertua aku, nggak mungkin kan aku nggak perduli sama Dinda, walaupun aku sebenarnya sama sekali nggak pengen jenguk dia di rumah sakit,] elak Rehan memberi alasan.
[Udah lah mas, aku nggak mau denger kamu sebut nama Dinda lagi.]
Tuut
Dengan cepat Sekar mematikan sambungan teleponnya dan setelah itu melemparkan ponsel tersebut di atas ranjang kamarnya, ia terduduk di depan meja rias dengan pandangan yang sangat marah. Ia sudah berdandan semaksimal mungkin untuk menyambut kedatangan Rehan hari itu, namun semua itu harus sia-sia lantaran Dinda yang sedang sakit.
"Dinda lagi, Dinda terus! Kapan si mas kamu bisa full kasih waktu buat aku, kenapa kamu mesti bohongi perasaan kamu kalau kamu itu peduli sama Dinda, kamu bilang kamu nggak cinta sama dia, mas!" maki Sekar marah.
Sementara Rehan yang mendapatkan sikap kasar dari Sekar itu merasa sangat bersalah, lantaran ia lagi-lagi harus mengecewakan kekasih hatinya itu hanya demi seorang istri yang sudah tidak cantik lagi di matanya itu.
***
Tibanya di klinik yang dituju, beberapa mobil terparkir di depan parkiran, dan salah satunya Rehan melihat mobil Dinda yang terparkir di sana, dengan terpaksa Rehan harus menyingkirkan Sekar dari parkiran untuk berpura-pura perhatian dengan Dinda.
'Di mana ruangan Dinda, ya?' batin Rehan celingukan mencari Dinda dan mertuanya.
Di ujung lorong, Rehan melihat ada seorang bapak yang sudah berumur sedang berdiri di salah satu ruangan yang tertutup, menunggu dengan cemas dengan memainkan jemari-jemarinya sendiri.
"Bapak...."
Suara Rehan terdengar lirih, pak Roy menoleh ke belakang dan menyadari kedatangan Rehan.
"Mantu, syukurlah kamu datang," ucap pak Roy melempar senyum.
"Gimana keadaan Dinda, Pak?" tanya Rehan tanpa basa basi.
"Dokter yang memeriksa belum keluar, karena tadi harus antri dengan yang lain," ucap pak Roy masih menunggu dengan cemas.
"Kenapa nggak di rumah sakit besar aja Pak, kenapa Dinda di bawa ke klinik ini?" tanya Rehan memprotes ayah mertuanya, seolah-olah begitu mencemaskan Dinda.
"Ini aja Dinda Bapak paksa Mantu, tadinya Dinda nggak mau ke dokter. Dia maunya pergi ke Apotek aja buat beli obat." jawab pak Roy menjelaskan.
Rehan pun menepuk pundak pak Roy, memberikan semangat dan mengajaknya untuk duduk. Agar bisa sedikit lebih tenang sambil menunggu pemeriksaan selesai.
Tak lama kemudian, pintu itu pun terbuka. Dua laki-laki yang tengah duduk menunggu itu segera bangkit dan menemui dokter.
"Dok, bagaimana keadaan istri saya?" tanya Rehan mendahului pak Roy.
"Istri Bapak tidak apa-apa, ia hanya terkena demam biasa. Saya sudah tulis resep untuk diminum oleh istri Bapak, bisa Bapak tebus di Apotek," sahutnya melempar senyum.
"Baik Dok, terima kasih banyak." jawab Rehan menerima catatan resep itu.
Pak Roy sangat lega mendengar hal itu, ia takut ada sesuatu yang serius lantaran Dinda baru saja melahirkan, ia tidak mau kalau terjadi apa-apa dengan putri semata wayangnya itu.
"Mantu, kamu nggak mau jenguk istri kamu?" tanya pak Roy yang menyadari Rehan hendak pergi.
"Pak, dokter tadi bilang Rehan suruh tebus obat ini di Apotek, jadi Rehan tebus dulu aja, ya," ucap Rehan beralasan.
"Tapi Dinda masih di dalam, apa kamu nggak mau jenguk istri kamu sebentar aja," ajak pak Roy sedikit memaksa.
"Oh, ya udah Pak, ayo kita masuk."
Rehan akhirnya mengalah dan mengikuti ajakan ayah mertuanya untuk melihat keadaan Dinda di dalam, Dinda yang sedang merebahkan tubuhnya di brankar itu menyadari kedatangan ayah dan suaminya.
Dinda berusaha untuk bangkit lalu di halangi oleh tangan pak Roy yang sigap membantu.
"Dinda Bapak bantu, ya," ucap pak Roy melempar senyum.
"Makasih banyak, Pak. O ya, sekarang kita pulang yuk, Dinda udah nggak papa kok," ajak Dinda tanpa menoleh ke arah Rehan.
"Beneran kamu nggak papa? Dinda, ibu yang menyusui itu kalau bisa jangan sakit, karena kalau kamu sakit otomatis Arka akan ikut sakit, apalagi Arka masih meminum asi kamu," ucap pak Roy memberikan nasehat. Ia khawatir dengan keadaan putrinya itu.
"Iya Pak, mungkin karena waktu tidur Dinda yang tidak teratur, jadi Dinda demam begini."
Dinda sama sekali tidak membawa nama Rehan, sekalipun sakitnya itu lantaran disiksa oleh Rehan dengan memandikannya malam itu menggunakan air dingin, padahal selama hamil dan melahirkan Dinda sama sekali tidak pernah menggunakan air dingin untuk dirinya mandi.
Rehan hanya terdiam, kehadirannya sama sekali tidak membuat Dinda melirik kepadanya, Dinda terlihat kecewa dan marah meskipun hal itu tidak ia tunjukkan dengan ucapan.
"Sayang, kamu itu makanya jangan kebiasaan mandi malam-malam, itu nggak sehat buat diri kamu!" celetuk Rehan menyalahkan Dinda.
Suasana di ruangan itu nampak hening, saat Rehan berbicara dan ucapannya yang justru membuat pak Roy menatap tajam ke arah putri tercintanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!