“Kamu jangan sedih gitu dong, Sayang!” ujar Gandhi pada kekasihnya yang tampak murung.
Ayara sama sekali tidak peduli dengan ucapan kekasihnya. Pasalnya Gandhi baru saja mengatakan kalau pria itu akan kembali ke luar negeri lantaran liburannya telah usai dan akan kembali menjalani rutinitas perkuliahannya lagi.
Ayara dan Gandhi sudah dua tahun menjalin hubungan. Sayangnya mereka menjalani hubungan jarak jauh atau dengan kata lain Long Distance Relationship. Meskipun demikian, hubungan mereka tampak awet sampai sekarang. pertengkaran kecil yang terkadang terjadi pada hubungan mereka tak membuat renggang hubungan mereka.
Ayara yang sedang menempuh Pendidikan sarjana dan sebentar lagi lulus, dengan sabar menunggu janji sang kekasih yang akan menikahinya saat Gandhi menyelesaikan studi S2 nya satu tahun lagi. dan seperti biasa, jika ada waktu luang atau sedang liburan, Gandhi selalu pulang untuk menemui kekasih hatinya yaitu Ayara.
Gandhi hanya mengusap wajahnya dengan kasar saat melihat wajah kekasihnya yang ditekuk seperti itu. dan ini sering terjadi jika dirinya berpamitan hendak kembali ke luar negeri.
“Aku janji, dua bulan lagi akan pulang. aku akan usahakan juga sering pulang, agar kita bisa bertemu.” Ucap Gandhi setelah menemukan ide agar tidak membuat kekasihnya bersedih lagi. entah dia bisa menepati ucapannya itu atau tidak, yang terpenting berusaha membuat Ayara senang dulu.
Benar saja, Ayara langsung berbinar setelah mendengar ucapan Gandhi. Bahkan tidak segan-segan perempuan itu langsung memeluk kekasihnya. Gandhi sendiri tampak lega melihat sikap Ayara yang sudah tidak bersedih lagi.
“Ya sudah, lebih baik kamu pulang dulu. Ini sudah malam, nanti Mama dan Papa kamu marah kalau tahu anak perempuannya yang paling cantik ini pulang malam.” ucap Gandhi sambil mengusap lembut pucuk kepala Ayara.
Ayara menganggukkan kepalanya. Setelah itu ia pulang dengan mengendarai mobilnya sendiri. Karena memang Ayara dan Gandhi menjalin hubungan tanpa sepengetahuan orang tuanya. Apalagi Papanya terlihat tidak suka dengan Gandhi. Jadi mereka selalu sembunyi-sembunyi jika bertemu.
Gandhi sendiri tidak mempermasalahkan hal itu. karena memang dirinya masih belum memiliki pekerjaan tetap. Dia kuliah di luar negeri juga sambil ikut kerja di perusahaan Omnya. Karena hanya Omnya keluarga yang ia miliki. Mungkin jika nanti pendidikannya sudah selesai, dan pekerjaannya mapan, baru ia berani bertemu dengan kedua orang tua Ayara. Tentunya dengan melamarnya.
Ayara melambaikan tangannya pada Gandhi saat ia baru saja masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu ia melajukan mobilnya pulang.
***
Ayara sampai rumah pukul sembilan malam. menurutnya itu waktu yang masih wajar, dibandingkan teman-temannya yang pulang berkencan dengan kekasihnya di atas jam sembilan malam.
“Kamu tahu sekarang jam berapa, Ay?” tanya Mirza, Sang Papa yang kini tengah duduk di sofa dengan tatapan dingin tertuju pada anak perempuannya.
“Masih jam sembilan juga, Pa. apa ada yang salah?” Jawab Ayara sama sekali tidak terpengaruh dengan tatapan dingin Papanya.
Setelah menjawab pertanyaan Papanya, Ayara bergegas menaiki tangga, masuk ke kamarnya. Namun lagi-lagi langkahnya terhenti saat mendengar suara Papanya yang masih sarat dengan nada marah.
“Aya, kamu ini anak perempuan. Tidak sewajarnya kamu pulang malam seperti ini. apalagi hanya untuk bertemu laki-laki seperti dia.”
Mirza jelas tahu kalau beberapa hari ini Aya sering pulang malam karena anaknya itu selalu bertemu dengan laki-laki yang tidaki ia sukai. Padahal dia dulu pernah mengatakan pada Aya agar tidak lagi dekat dengan Gandhi. Tapi ternyata Aya diam-diam bertemu dengan Gandhi tanpa sepengetahuan dirinya.
Ayara sendiri yang awalnya terkejut karena Papanya mengetahui pertemuannya dengan Gandhi, kini berbalik badan menatap Papanya dengan tatapan tak kalah dingin juga.
“Pa, aku sudah dewasa. Umurku sudah dua puluh dua tahun dan bukan anak kecil lagi. bisakah Papa tidak membatasi pergaulanku. Aku tentu masih bisa membedakan mana yang baik dan tidak. Dan Gandhi adalah pria yang sangat baik,-“
“Cukup! Kamu sekarang sudah berani membantah Papa?” sahut Mirza tak terima dengan ucapan anak perempuannya.
Ayara semakin kesal. Ia tidak lagi menimpali ucapan Papanya. Dan kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kamar.
Brakkk
Ayara membanting pintu kamarnya cukup keras, dan masih bisa didengar jelas oleh Mirza yang masih setia berdiri di bawah tangga.
“Mas, sudah malam. lebih baik kita segera tidur.” Devina menghampiri suaminya setelah menyaksikan perdebatan antara anak perempuannya dengan suaminya baru saja.
Mirza hanya menghembuskan nafasnya pelan. Tidak ingin lagi membahas tentang Ayara pada istrinya. Tentu saja ia selalu lemah jika di hadapan sang istri. Akhirnya ia pun mengikuti istrinya masuk ke dalam kamar yang ada di lantai satu.
Sedangkan Ayara yang baru saja masuk kamarnya dengan perasaan kesal, ia melempar tasnya ke sembarang arah begitu saja. setelah itu ia menghubungi sahabatnya untuk mencurahkan isi hatinya saat ini.
Seperti biasa, kalau sedang kesal, sedih, ataupun senang, hanya Lissa lah yang menjadi tempat Ayara bersandar. Ayara mencurahkan smeua isi hatinya pada sahabatnya, termasuk tentang pertemuannya dengan Gandhi baru saja. sampai kekesalannya pada Papanya.
Lissa sendiri selalu memberikan nasehat yang bijak pada Ayara. Karena dia juga tahu kalau sifat Ayara selalu ingin didengarkan.
Seteah puas melakukan sesi curhat dengan sahabatnya, perasaan Ayara sedikit lebih baik. Dia mengakhiri panggilannya dan segera beristirahat.
***
Keesokan paginya Ayara terbangun dari tidurnya yang lumayan nyenyak. Dia mengecek ponselnya. Betapa terkejutnya Aya saat melihat banyak sekali pesan masuk dari Gandhi, juga beberapa panggilan tak terjawab.
Ayara tidak membaca pesan Gandhi, namun memilih langsung menghubungi pria itu. tapi sayangnya ponsel Gandhi tidak aktif. Kemudian Aya pun membaca satu per satu pesan Gandhi.
“Sayang, bisa nggak pagi ini kita bertemu? Sebelum aku balik ke LN?”
“Sayang, maaf aku harus cepat-cepat balik karena Om memintaku segera pulang.”
“Sayang, apa kamu masih tidur?”
“Ya sudah. Maaf mengganggu waktu kamu. Satu jam lagi pesawatku take off. Aku tunggu di bandara, ya?”
“Sayang!”
“Sayang! Maaf, aku pergi dulu. Aku janji akan sering pulang agar kita bisa sering bertemu.”
Ayara membaca pesan yang dikirim oleh Gandhi saat jam enam pagi tadi. dan kini ia melihat jam dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul delapan.
“Astaga!! Bisa-bisanya aku bangun sesiang ini.” sesal Ayara dan kembali lagi merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Hatinya seketika diliputi rasa sedih saat tidak bisa bertemu lagi dengan Gandhi. Atau lebih tepatnya mengantar kekasihnya itu kembali ke luar negeri. akhirnya dengan malas, Ayara masuk ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Setelah itu turun untuk sarapan.
Setibanya di ruang makan, Ayara melihat ada Mama dan Papanya juga sedang sarapan. Sementara Ansel, adik laki-lakinya jelas sudah berangkat ke sekolah sejak tadi pagi.
“Selamat pagi, Pa Ma!” sapa Ayara pada kedua orang tuanya.
Mirza hanya tersenyum tipis menatap anak perempuannya. Mau sekesal apapun pada Ayara, tetap saja Mirza sangat menyayanginya.
.
.
.
*TBC
Happy Reading!!
Ayara mengambil makanan yang tersedia di meja makan. Menikmatinya tanpa banyak bicara. Dia hanya mendengarkan obrolan Papa dan Mamanya saja. karena perasaannya masih sedih lantaran kepergian sang kekasih tanpa ia bisa mengantarnya.
“Hari ini ada jadwal ke kampus nggak, Ay?” tanya Devina.
“Nggak, Ma. Sidang sudah selesai dan tidak ada lagi keperluan kecuali persiapan wisuda bulan depan.” Jawab Aya sambil mengunyah makanannya.
“Ya sudah nanti siang datang ke kantor. Papa butuh bantuan kamu untuk merekap beberapa data keuangan.” Sahut Mirza menimpali.
Aya hanya menganggukkan kepalanya. Tidak juga berniat membahas perdebatannya dengan sang Papa semalam. Devina sendiri juga melanjutkan makannya, sebelum akhirnya mendapat panggilan dari asistennya kalau ada panggilan mendadak dari rumah sakit.
“Mas, sepertinya aku harus ke rumah sakit sekarang. ada operasi yang dimajukan pagi ini.” ucap Devina setelah menerima panggilan dari asistennya.
Mama Ayara adalah seorang dokter kandungan di sebuah rumah sakit swasta. Namun tak satu pun dari anak-anaknya yang mengikuti jejaknya di dunia kesehatan. Kedua anaknya sama-sama tertarik di dunia bisnis seperti Papanya. Namun Devina sama sekali tidak keberatan akan hal itu. baginya, apapun cita-cita dan keinginan anaknya akan selalu ia dukung.
“Ya sudah, ayo kita berangkat sekarang!” ujar Mirza juga segera mengakhiri kegiatan makannya.
Devina menurut saja. padahal ia akan berangkat sendiri jika suaminya masih menyelesaikan sarapannya. Namun ternyata sang suami dengan sigap mengantarnya ke rumah sakit. Itu lah yang disukai Devina dari sosok suaminya. pria itu selalu mengutamakan kepentingan keluarga, termasuk dirinya. Mirza sejak dulu selalu mengantar jemput istrinya ke rumah sakit. Kalaupun sibuk, dia pasti meminta sopir yang menjemput Devina.
“Papa dan Mama berangkat dulu!” ucap Mirza meninggalkan kecupan singkat di kening Ayara. Begitu juga dengan Mamanya.
“Hati-hati Pa, Ma!” teriak Aya hanya diangguki oleh Mamanya.
Ayara yang sempat sedih karena baru saja ditinggal pergi oleh kekasihnya kini sudah terlihat biasa saja. apalagi melihat perlakukan hangat kedua orang tuanya. Sejenak ia membayangkan bagaimana jika nanti hubungannya dengan Gandhi terhalang restu dari kedua orang tuanya? Khususnya dari Papanya. Kalaupun ia memaksa, tentu ia akan kehilangan momen keharmonisan di keluarganya.
“Ah, mikir apaan sih. Aku yakin Papa nanti akan menyetujui hubunganku dengan Gandhi setelah dia menyelesaikan kuliahnya dan mendapat pekerjaan yang mapan.” Batin Ayara menyemangati dirinya sendiri.
Setelah semua orang melakukan aktivitasnya masing-masing, Ayara hanya sendirian di rumah. karena memang ia belum terlalu aktif bekerja di kantor Papanya sebelum ia wisuda. Papanya juga tidak terlalu memaksanya. Membiarkan Ayara menikmati masa santainya pasca menyelesaikan sidah skripsinya yang cukup menguras tenaga dan pikiran beberapa bulan yang lalu.
Ayara masuk ke kamarnya. Dia mengirim pesan pada sahabatnya, namun tidak ada balasan. Mungkin Lissa sedang sibuk bekerja. Karena setahu Aya, sahabatnya itu kuliah sambil kerja sampingan. Akhirnya Aya masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu barulah bersiap untuk pergi ke kantor Papanya.
**
Sebelum jam makan siang tiba, Ayara sudah pergi ke kantor Papanya. Seperti biasa, perempuan dua puluh dua tahun itu selalu tampil modis dan cantik. Banyak sekali karyawan laki-laki Papanya yang tertarik dengan kecantikan anak bosnya itu. sayangnya mereka hanya bisa mengagumi, karena tidak mungkin bisa menyanding si putri sultan.
Ayara kini sudah masuk ke dalam lift yang akan membawanya menuju ruangan Papanya. Namun tak lama kemudian ada dua orang pria yang juga ikut masuk ke dalam lift yang sama dengannya. bahkan lantai yang dituju pun sama.
Ayara sedikit minggir memberi jarak pada dua orang pria itu. salah satu dari pria itu memang terlihat sangat tampan. Namun sayangnya wajahnya kaku dan tidak bisa senyum. Sedangkan pria yang satunya terlihat sedikit lebih sopan pada Ayara, meskipun Ayara sendiri tidak mengenalnya.
Ting
Pintu lift terbuka. Ayara lebih dulu keluar dan segera menuju ruangan Papanya. Ternyata dua pria yang keluar setelah Aya itu juga menuju ruangan Mirza.
“Siang, Pa!” sapa Aya pada Papanya yang tampak sibuk dengan layar laptop di depannya.
“Kamu duduk sebentar, Ay. Papa masih sibuk. Setelah ini selesai, akan Papa tunjukkan tugas kamu.” Jawab Mirza tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya.
Tok tok tok
Baru saja Aya duduk di sofa, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Mirza pun menyuruh masuk pada orang itu.
Aya sendiri langsung berdiri kala ada tamu masuk. Ternyata yang masuk adalah dua orang pria yang ia jumpai saat di lift tadi.
“Darren, silakan masuk! Om hampir lupa kalau ada janji dengan kamu.” Ujar Mirza mempersilakan Darren dan asistennya duduk di sofa. Sontak Ayara pun segera berdiri, beralih duduk di kursi kerja Papanya.
“Ay, kemana? Di sini saja, sekalian Papa kenalkan sama anak rekan bisnis Papa. Namanya Darren. Darren, kenalkan ini anak Om, Ayara.” Ucap Mirza memperkenalkan.
Ayara menganguk samar sambil tersenyum kaku. Lalu mengulurkan tangannya pada Darren. Sayang sekali tak mendapat sambutan dari pria dingin itu.
“Saya Julian. Asisten pribadi Tuan Darren.” Julian menyambut uluran tangan Ayara karena ia tahu kalau atasannya tidak menerima uluran tangan Ayara.
Ayara sendiri tampak kesal. Lalu ia segera duduk di samping Papanya. Sedangkan Mirza sendiri tidak banyak komentar saat melihat sikap dingin Darren terhadap wanita. sekalipun itu sama putrinya sendiri.
Mirza sendiri sangat tahu tentang sifat Darren. Tentunya karena masa lalunya yang cukup kelam. Maka dari itu dia dan Tuan Melviano yang tak lain ayah Darren, sudah sepakat untuk menjodohkan Ayara dengan Darren. Hanya saja Mirza tidak ingin membahasnya sekarang. mungkin dengan membuat mereka berdua saling mengenal satu sama lain dulu sebelum menuju babak yang lebih serius.
Ayara sendiri diam dan menyimak obrolan Papanya dengan pria yang bernama Darren itu. meskipun sikapnya dingin, namun menurut Ayara, pria itu terlihat sangat cerdas. Apalagi saat bicara dengan Papanya terlihat santai tidak seperti saat menatapnya tadi.
Ayara pun lama-lama bosan hanya menjadi pendengar setia dari tiga pria yang tengah duduk tak jauh darinya itu. karena Mirza memang tidak melibatkan Aya dalam kerjasamanya dengan perusahaan Darren.
Akhirnya pertemuan Mirza dan Darren terpaksa berhenti karena sudah jadwalnya makan siang. Mirza pun mengundang Darren untuk ikut makian siang bersama. Sayangnya pria itu menolak secara halus dengan alasan yang cukup masuk akal.
“Untuk kelanjutannya, biar nanti diurus sama Julian saja, Om. Maaf sekali saya harus segera kembali ke kantor.”
“Nggak apa-apa. Oh iya, Papa kamu pulang kapan?”
“Kemungkinan tiga hari lagi, Om. Apa Om ada janji dengan Papa?” tanya Darren sedikit kepo.
“Tentu saja. ya sudah, biar nanti Om hubungi lagi Papa kamu.”
Setelah itu Darren dan Julian pamit undur diri. Darren mengangguk hormat pada Mirza. Namun pada Ayara, sama sekali tidak mempedulikannya. Padahal Ayara sudah berusaha bersikap ramah pada pria itu.
“Pria menyebalkan!” gerutu Ayara yang masih didengar oleh Papanya.
.
.
.
*TBC
Happy Reading!!
“Sebenarnya Darren pria yang baik, Aya. Coba kamu kenal dia lebih dekat.” Sahut Mirza.
Ayara hanya mencebikkan bibirnya. untuk apa juga dia kenal dekat dengan pria itu. kalau urusannya dengan sang Papa hanya masalah bisnis, ya sudah. Tidak perlu ia ikut campur. Sekalipun wajahnya tampan. Tapi percuma kalau dingin. Sangat jauh berbeda dengan Gandhi yang sangat humble juga care padanya.
“Darren itu duda. Dia ditinggal istrinya pergi untuk selamanya. Jadi wajar kalau sikapnya pada kamu atau pada semua wanita agak dingin kayak tadi, Ay.” Ucap Mirza mencoba untuk memberitahu sedikit hal tentang Darren.
“Ya sudah, buat apa juga Aya harus tahu sih, Pa? Aya lapar nih, Papa ngajak aku makan siang nggak?” ucap Ayara mengalihkan pembicaraan.
Mirza hanya menghela nafas pelan. Kemudian meraih kunci mobilnya dan mengajak Ayara keluar makan siang di salah satu restaurant seafood yang cukup terkenal.
Beberapa saat kemudian Aya dan Papanya sudah tiba di restaurant. Restaurant itu selalu ramai oleh kalangan pengusaha yang menghabiskan waktu makan siangnya di sana. Terkadang juga melakukan meeting di sana.
Aya mengambil tempat duduk di luar daripada di ruangan vvip. Karena hanya berdua dengan Papanya saja. tidak sedang meeting dengan klien. Tak lama kemudian datang seorang pelayan membawa buku menu makanan untuk Aya dan Papanya.
Saat Aya sedang memesan beberapa makanan kesukaannya, tiba-tiba ponselnya berdering ada panggilan dari Gandhi. Aya tak langsung menerima panggilan itu karena sedang bersama Papanya. Setelah ini ia akan kembali menghubungi Gandhi dengan beralasan ke toilet pada Papanya.
Mirza menatap heran pada anak perempuannya yang tampak aneh saat berpamitan ke toilet. Namun itu hanya sekilas, sebelum akhirnya ia mendapat panggilan dari Tuan Melviano, Papa dari Darren.
Kini Ayara sudah berada toilet. Namun hanya di luar saja. karena memang butuh menghindari dari Papanya untuk bisa bicara dengan sang pujaan hati.
Gandhi menghubungi Aya karena pria itu baru saja sampai. Sekaligus meminta maaf atas kepulangannya yang maju dari jadwal yang ditentukan. Begitu juga Aya. Dia meminta maaf karena tidak bisa mengantar Gandhi pergi.
Sepasang kekasih itu kembali hangat, karena sebelumnya Aya sempat galau karena perpisahannya dengan sang kekasih. Karena keduanya saling memahami dan menyadari kalau memang menjalani hubungan jarak jauh itu tidaklah mudah. Butuh banyak pengertian juga rasa saling percaya.
“Ok, nanti aku hubungi lagi ya! Aku masih di luar nih makan siang sama Papa.” Ucap Ayara sambil berjalan keluar.
Namun rupanya Gandhi juga enggan mengakhiri panggilannya. Alhasil Aya masih bicara sambil berjalan.
Bruk
Saking fokusnya dengan Gandhi, Aya samapi tidak menyadari sedang menabrak seseorang yang baru saja keluar dari toilet. Beruntungnya dia tidak terjatuh. Karena ada seseorang yang berhasil menangkapnya.
“Lain kali kalau sedang melakukan panggilan, perhatikan sekeliling!” ujar pria itu dan segera melepas tubuh Aya begitu saja.
Ayara terkejut sekaligus masih tidak percaya pada seseorang yang menangkap tubuhnya yang hampir terjatuh tadi. Ya, pria itu adalah Darren. Dan lagi-lagi pria itu bersikap dingin padanya. Bahkan belum sempat Aya mengucapkan terima kasih, Darren sudah pergi begitu saja.
“Benar-benar pria menyebalkan!” umpat Aya dan masih bisa didengar oleh Gandhi dari balik panggilan telepon Aya yang masih terhubung.
“Sayang! Halo, Ay!”
“I..iya. Maaf, baru saja ada insiden kecil.” Ucap Aya.
“Siapa pria yang menyebalkan? Kamu bertemu dengan siapa, Sayang?” tanya Gandhi curiga.
“Oh, bukan siapa-siapa. Orang asing yang nggak aku kenal. Udah dulu ya, aku sudah ditunggu Papa.” Pungkas Aya dan segera mengakhiri panggilannya.
***
Kini Aya sudah tiba di meja dimana Papanya sedang menikmati makan siangnya. Aya berusaha bersikap biasa saja. meskipun hatinya sedikit kesal karena bertemu dengan Darren.
“Kenapa lama sekali, Ay? Tadi Papa nggak sengaja bertemu Darren. Papa ajak gabung sekalian, tapi sepertinya dia sudah ada janji.” Tanya Mirza.
“Sudah ada janji atau memang tidak ingin berinteraksi denganku.” Gerutu Ayara dengan kesal.
Mirza mendengar ucapan Aya meskipun pelan. Dia juga tidak mengerti dengan maksud ucapan Aya. Tapi Mirza tidak ingin bertanya lagi dan memilih melanjutkan makan siangnya.
***
Sudah seminggu berlalu Ayara berpisah dengan Gandhi. Tentunya bukan berpisah sungguhan. Melainkan kembali menjalani hubungan jarak jauh. Karena kepulangan Gandhi beberapa waktu yang lalu lumayan lama dibandingkan biasanya. Dan selama itu pula Aya tak pernah absen saling bertukar kabar dengan Gandhi.
Keseharian Aya hanya bersantai di rumah sambi menunggu wisudanya. Dia hanya pergi ke kantor Papanya atas sesuai perintah saja. jadi selebihnya ia gunakan untuk rebahan saja di dalam kamar. karena untuk bertemu dengan sahabatnya pun hanya bisa saat weekend, karena Lissa sendiri sibuk bekerja.
Pagi ini Aya sedang bersantai di ruang tengah sambil menonton acara televisi. Apalagi sekarang weekend, otomatis semua penghuni rumah lengkap di sana. Hanya saja mereka sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.
Ansel, adik Ayara sedang berada di ruang gym. Mamanya sedang di dapur membuat cemilan. Sedangkan sang Papa sedang berada di ruang kerja. Alhasil Aya hanya sendirian menikmati acara televisi. Bukan menikmati, melainkan dinikmati. Karena memang layar televisi itu sedang menonton Aya yang sibuk berbalas pesan dengan Gandhi.
“Aya, nanti malam persiapkan diri kamu untuk menyambut kedatangan Om Vano dan Darren. Mereka akan makan malam bersama di rumah kita.” Ucap Mirza yang tiba-tiba datang.
Ayara terkejut. Dia memperbaiki posisi duduknya dan mengabaikan pesan yang dikirim oleh Gandhi baru saja. semua itu karena ia masih tidak mengerti dengan ucapan Papanya.
“Apa maksdu Papa? Kenapa Aya yang harus bersiap?”
“Karena mereka berdua tamu istimewa kita.” Sahut sang Mama yang baru datang dari dapur sambil membawa cemilan.
“Maksudnya gimana sih, Ma? Tamu istimewa? Ada hubungan apa dengan Aya?” tanya Aya yang memang benar-benar bingung.
Mirza tampak melirik istrinya. Dan Devina memberi kode anggukan kepala. Karena memang Mirza dan istrinya sudah sepakat akan menjodohkan Ayara dengan Darren. Daripada mereka memberitahu Aya nanti malam, lebih baik sekarang saja. agar Aya juga bisa bersiap.
“Aya, Papa dan Om Vano sudah lama telah bersepakat untuk menjodohkan kamu dengan Darren.” Ucap Mirza.
“Apa?? Papa nggak bercanda kan?” tanya Aya terkejut.
“Tidak, Sayang. Mama juga setuju. Darren itu pria yang baik. Dia juga,-“
“Tidak!! Papa dan Mama tidak bisa memaksa Aya seperti ini. Aya berhak memilih siapa pria yang pantas bersanding dengan Aya. Tidak juga untuk saat ini. Aya belum ingin menikah. Aya tidak setuju.” Ucap Ayara dengan kesal dan langsung berdiri meninggalkan ruang tengah.
“Kenapa? Apa kamu menunggu Gandhi? Sampai kapanpun Papa tidak merestui hubungan kalian. sekalipun dia menempuh Pendidikan tinggi ataupun pekerjaannya lebih mapan dari Darren.” Ucap Mirza menghentikan langkah Aya.
.
.
.
*TBC
Happy Reading!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!