NovelToon NovelToon

Kau Di Genggamanku

Bab 1 - Nasib sial

Tak…

Suara yang berasal dari tumpukan berkas yang harus di kerjakan di hari itu juga tanpa memikirkan jika matahari hampir saja tenggelam, Dara mendongakkan kepala ke sumber suara dan juga bertatap mata pada si pelaku yang tak lain adalah seniornya. Masih dalam keterkejutannya setelah melihat tumpukan berkas yang sudah dia kerjakan, tak tahu apa kesalahannya kali ini. 

"Jangan menatapku seperti itu." Ketus seorang wanita yang bersikap arogan karena posisinya satu tingkat di atas Dara.

"Kenapa kau membawa berkas ini kembali?" tanya Dara yang masih penasaran.

"Kau masih tanya kenapa? Perbaiki semua berkas mu." Ucap wanita itu yang langsung melengos pergi meninggalkan Dara yang menghela nafas mengontrol emosi. 

"Huff…sabar…sabar, beginilah nasib junior." Lirih Dara sambil meraih satu persatu berkas yang harus diselesaikan. 

Satu persatu para karyawan di kantor meninggalkan tempat kerja mereka, salah satunya menghampiri Dara dan menatapnya penuh simpati. 

"Sepertinya kau harus lembur lagi," tutur Tita yang berhenti sejenak di meja kerja temannya itu. 

Dara kembali menghela nafas mengingat hari ini. "Mau bagaimana lagi?" ucapnya sembari mengangkat kedua bahu tanda pasrah akan nasibnya menjadi junior di perusahaan itu. 

"Yang sabar Dara, bu Raras memang terkenal tegas." 

"Iya." 

"Ya sudah, aku pulang dulu. Ingat! Jangan pulang sampai larut malam." Ujar Tita yang bergidik ngeri membayangkan suasana kantor di malam hari yang sangat horor. Sementara Dara hanya mengangguk dan tidak mengindahkan ekspresi yang ditunjukkan oleh temannya itu. 

Dara menatap punggung Tita kian menjauh, kembali fokus mengerjakan berkas dan mempelajari setiap kesalahannya. 

"Semoga saja ini terselesaikan hari ini juga." Dara menghela nafas sambil menyandarkan punggungnya di kursi kerja, mengistirahatkan tubuh beberapa saat dan kembali mengerjakannya. 

Jarum jam terus bergerak, matahari terbenam dan meninggalkan suasana gelap malam yang mencekam. Dara berkutat pada layar komputer, jari jemari tangan yang lihai mengapresiasi pekerjaannya. Rasa kantuk kembali menyerangnya hingga menguap beberapa kali, pekerjaan yang masih tersisa membuatnya tak sanggup menyelesaikan. 

"Sebaiknya aku buat kopi." Monolog Dara yang langsung beranjak dari kursi kerjanya menuju ruangan pantry. 

Setiap kaki melangkah dan sejauh mata memandang tak melihat seorang pun berada di sana, suasana malam yang begitu sunyi menjadikan tempat itu terlihat horor. Dara tak peduli akan sekitarnya, terus berjalan menuju ruangan pantry untuk membuat kopi menemaninya lembur bekerja. 

Suara sendok yang berputar di dalam gelas cangkir menjadi nyanyian sementara menemani Dara, seorang gadis yang berusia 24 tahun yang sangat beruntung dapat bekerja di perusahaan induk ternama. Banyak yang ingin bekerja tapi hanya sedikit di terima, keberuntungan bagi seorang gadis yatim piatu memulai awal karir sekaligus tempat mengais sesuap nasi kebutuhan hidup. Dia kembali mengingat bagaimana perjuangannya dalam menghidupi dirinya sendiri, hidup di panti asuhan membuatnya menjadi kepribadian mandiri dan juga tangguh dalam menghadapi kerasnya kehidupan. 

Saat Dara berbalik, dia tak sengaja menabrak sebuah dada bidang hingga tak sengaja kopi yang baru saja di seduhnya tertumpah mengenai pria itu. Sontak kedua pupil matanya membesar dan segera meletakkan secangkir kopi, langsung membersihkan jas dari seorang pria yang tak sengaja di tabrak olehnya. 

"Maaf, aku tidak sengaja." Ucap Dara merasa bersalah dan langsung membersihkan sisa tumpahan kopi di jas milik pria itu.

Pria itu hanya terdiam tanpa mengeluarkan ekspresi, wajah datar yang menatap kecemasan dari seorang gadis tak sengaja menumpahkan kopi di jas mewah yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu. 

"A-aku akan membersihkan jasmu." Dara berharap pria itu mau mengampuninya, saking rasa kecemasan melanda membuatnya sangat takut.

"Tidak perlu." Jawab pria itu dingin dan menepis tangan lentik di hadapannya. 

Kedua mata Dara hampir tak percaya mendengar suara yang sangat di kenali olehnya, suara yang sangat mirip dengan mantan kekasihnya dulu saat masih menginjakkan kaki di bangku sekolahan menengah atas. 

"Suara itu…sepertinya aku mengenalnya. Hah, mungkin hanya mirip saja." Dara masih berpikir positif sambil memberanikan dirinya untuk menatap pria yang menjadi korban. 

Keduanya saling berkontak mata dan ada rasa terkejut di dalamnya, dua orang yang kembali di pertemukan setelah sekian tahun tak bertemu. Ada perasaan canggung dan berbagai perasaan yang bercampur aduk, namun Dara segera sadar dengan mengalihkan pandangannya. 

"Ya Tuhan, mengapa dia ada di sini?" Dara merasa dunia begitu kecil, dia menggigit jari telunjuknya dan menyembunyikan wajah kecemasan. 

Pria itu juga sama terkejutnya dengan Dara, seorang gadis yang pernah menjalin kasih saat sekolah menengah atas. Namun dia segera mengembalikan raut wajahnya seperti semula seolah-olah tak mengingat masa lalu. 

"Aku akan mencuci jasnya." Celetuk Dara tanpa menatap wajah dari pria yang menjadi korbannya. 

"Aku baru saja membeli jas ini, noda kopi tidak mudah hilang."

"Aku akan berusaha untuk menghilangkan nodanya." 

"Tidak. Aku ingin kau menggantinya." Ucap pria itu yang langsung to the point. 

Dara menganga tak percaya melihat sifat angkuh dan arogan dari mantan kekasihnya, padahal dia sangat mengenal pria itu yang selalu bersikap manis dan romantis saat mereka menjalin hubungan. 

"Menggantinya?" 

"Hem. Aku baru membelinya beberapa hari yang lalu, bahkan gajimu selama beberapa tahun tak akan mampu menggantinya." 

"Heh, tak bisa di percaya." 

"Kau harus menggantinya atau kau di pecat dari perusahaan." 

"Memangnya kau siapa yang berani mengancamku?" tantang Dara tak habis pikir saat pertemuan mereka malah membuatnya sangat rugi. 

Pria itu mengeluarkan sebuah kartu nama yang membuat Dara terdiam bahkan kedua bola mata hampir terlepas dari tempatnya. Dia melihat nama Erick Adelmo, seorang CEO di perusahaan tempatnya bekerja. 

"Oh astaga, dia CEO dari perusahaan ini? Mengapa aku tidak tahu hal ini." Batin Dara yang menelan saliva susah payah seakan tersangkut di tenggorokannya, melihat posisi sang mantan kekasih yang merupakan atasannya. Dari sikap acuh tak acuh malah menimbulkan malapetaka yang bisa menghancurkan karir yang baru di bangun. 

"Kau masih sama seperti dulu, masih saja acuh dengan sekitar mu." Ucap Erick yang tersenyum miring. 

Dara memundurkan langkah saat Erick berjalan menghampirinya, hingga tubuhnya terapit di dinding membuat keduanya sangat dekat. Dia kembali menelan saliva saat kedua tangan kekar berada di sisi kiri dan kanannya, tak ada jalan keluar untuk kabur dan hanya bisa pasrah. 

"Kenapa kau meninggalkan aku?" Erick menatap tajam pada wanita dari masa lalu yang pernah menorehkan luka di hatinya. 

"Itu sudah sangat lama, jadi lupakan saja." Jawab Luna pelan yang menundukkan wajahnya. 

"Kau harus mengganti jas ini atau kau akan aku jebloskan ke penjara." Ancam Erick seraya melepaskan mangsanya dan berbalik pergi meninggalkan tempat itu. 

Dara kembali menelan saliva dan mengusap dadanya, dia tak menyangka kalau Erick adalah CEO di perusahaannya. "Tamatlah riwayatku, aku pasti menjadi bulan-bulanannya." Batinnya yang merasa sangat sial. 

Bab 2 - Menolong wanita tua yang pikun

Keesokan harinya..

Dara bersiap-siap berangkat ke kantor, cukup lama dia memandang ke arah cermin melihat pantulan wajahnya yang tak bersemangat. Impiannya yang bekerja di perusahaan besar malah menjadi awal kesulitan setelah mengetahui siapa CEO yang merupakan mantan kekasihnya dulu, hubungan yang terpaksa di akhiri karena suatu alasan.

Tas kecil genggaman tangan di raih olehnya, membuang pikiran negatif dan kembali bekerja. Hubungan di masa lalu tak akan mempengaruhi awal karirnya, tak peduli sesulit apapun rintangannya. 

"Semoga hariku cerah dan tidak bertemu dengan pria itu." Tekad yang dimiliki oleh Dara menjadi penyemangatnya untuk melepaskan aura negatif. 

Sesampainya di kantor, Dara merasakan sebuah tangan di pundaknya. Dia segera menoleh dan menatap sang pelaku yang tak lain adalah temannya, Tita. 

"Pagi." Sapa Tita tersenyum manis.

"Pagi." 

"Bagaimana semalam? Apa kamu bertemu hantu penunggu di kantor?" tanya Tita setengah berbisik.

"Ya, bisa dikatakan seperti itu dan bahkan sangat seram." Sahut Dara menganggukkan kepala sambil memikirkan pertemuannya dengan Erick. 

"Benarkah?" Tita sangat antusias jika membahas hal-hal mistis, tetapi sebenarnya dia penakut. 

"Ya. Sudahlah, aku tak ingin membahasnya sekarang." 

"Ck, kau tidak asik." Ujar Tita sedikit kecewa akibat rasa penasarannya tak terobati. 

Dara tersenyum kemenangan saat melihat ekspresi yang di tunjukkan oleh Tita, menyeret tangan gadis itu dan membawanya menuju meja kerja mereka. 

Setidaknya hari ini dia beruntung karena tak mendapatkan pekerjaan tambahan yang membuatnya lembur, akhirnya dia bisa santai setelah mengerjakan pekerjaan. 

"Akhirnya pekerjaanku selesai." Dara membayangkan akan singgah ke rumah panti asuhan, dimana dirinya dibesarkan di sana. 

Sudah waktunya pulang, Dara mengemasi barang-barang yang berantakan di meja kerja, sangat bersemangat akhirnya bisa berkunjung menemui ibu dan adik-adiknya di panti asuhan. 

"Aku sangat merindukan ibu, sudah lama aku tidak ke sana." Monolognya dengan harapan penuh. 

Seorang pria datang dengan tergesa-gesa menghampiri Dara. "Tunggu sebentar!" 

Dara menghentikan langkah kakinya menatap pria berjas hitam, mengerutkan kening tak tahu memiliki urusan apa.

"Ada apa Tuan Noval?" Tanya Dara sopan.

"Tuan Erick ingin menemui anda." Jawab pria yang menjadi asisten CEO.

"Eh, kenapa dia ingin menemuiku? Apa ini masalah jas itu?" batin Dara yang tak tahu apa yang ada di pikiran mantan kekasihnya itu, menatap pria di hadapannya yang di kenalnya sebagai asisten CEO. "Baiklah." 

Di sepanjang perjalanan Dara hanya terdiam sambil memikirkan kekacauan apa yang di perbuat oleh Erick, mantan kekasihnya sekaligus bos di perusahaan tempatnya bekerja. 

"Masuklah ke dalam, tuan Erick sudah menunggu anda." 

Dara menganggukkan kepala, menarik nafas dalam dan mengeluarkannya secara perlahan sembari membuka pintu. Langkah kaki yang di sertai beberapa doa berharap dia tidak akan di pecat hanya karena kesalahan sepele. 

Dia menatap seorang pria yang berkutat pada layar komputer, jari jemari begitu cepat saat mengaplikasikan pekerjaannya. 

Erick menghentikan pekerjaannya sejenak, melirik sekilas ke arah seorang gadis yang dulu pernah menyakitinya. Terukir senyum tipis tak terlihat oleh siapapun di wajahnya, entah rencana apa yang muncul di otaknya. 

"Duduklah!" titahnya. 

"Ada apa Tuan memanggilku?" tanya Dara penasaran. 

"Kau di pecat." Terang Erick terlihat santai tapi berbanding terbalik dengan Dara yang sangat terkejut. 

"Di pecat hanya karena masalah semalam? Noda jas itu bisa hilang." Ucap Dara yang bernada tak terima dan merasa tertindas, karir yang baru di bangun beberapa bulan akhirnya kandas. 

"Tapi aku tidak ingin memakai barang yang sudah kau nodai." 

Dara mengusap wajahnya karena tak percaya jika Erick membalaskan dendam akibat dirinya pernah meninggalkan pria itu tanpa alasan yang jelas. Dia menganggukkan kepala menyetujui perkataan pemecatan itu dengan lapang dada walau di hati masih terbesit simpangan kata kasar yang tertahan di sana. 

"Sepertinya kau belum move on dari masa lalu. Sesuai perkataanmu," Dara hendak melangkah pergi tapi tertahan oleh sebuah tangan. "Ada apa?" tanyanya sedikit ketus sambil melempar tatapan kesal. 

"Biar aku antar kau ke depan pintu." 

"Dasar kekanak-kanakan," lirih pelan Dara sinis dan pasrah dirinya langsung di seret keluar dari ruangan itu. 

Erick tersenyum senang melihat kekesalan yang terlukis di wajah cantik sang mantan kekasih, semenjak pertemuan semalam membuatnya kembali berpikir ulang. 

"Kita tidak memiliki urusan lagi, jangan pernah menunjukkan wajahmu itu." 

"Ck, kalau aku tahu kau CEO di perusahaan ini aku juga tidak ingin bekerja di sini." Kekesalan mencuat setelah mendengar perkataan tajam dari sang mantan kekasih. 

"Orang yang bersalah akan menunjukkan ekspresi seperti itu." Erick menunjuk wajah Dara dan kembali memasukkan tangannya di saku samping celana, tersenyum menyeringai mengingat hatinya yang pernah terluka oleh gadis itu. 

Dara tak memperdulikan perkataan dari Erick dan pergi dari perusahaan itu, impiannya kandas di saat itu juga. Dia memutuskan pergi dan pergi membawa beberapa barang-barangnya, beruntung para karyawan sudah pulang dan tak membuat kejadian itu sangat memalukan. 

"Pria sialan, hanya bisa menindas orang rendah sepertiku." Dara berteriak sambil menadahkan kepala ke atas menatap langit yang sekali lagi membuatnya merasa tidak adil. 

Baru saja Dara bekerja di perusahaan besar tapi dirinya malah sial, kini dia tak tahu akan langkah selanjutnya. Namun satu yang pasti, tidak ada kata menyerah dalam kehidupannya. 

"Heh, dia pikir dia itu siapa? Aku bisa melamar pekerjaan di perusahaan lain." Dara kembali meluapkan emosinya dan berkata begitu yakin walau hatinya masih tersisa keraguan disana. 

Hari semakin malam, Dara tak berniat untuk pulang melainkan duduk di sebuah taman dan menikmati suasana. Namun pandangannya tertuju pada seorang wanita tua yang membutuhkan pertolongan, dia segera berlari untuk membantu dan melupakan sejenak permasalahan pribadi. 

"Nenek tidak apa-apa?" tanya Dara membawa wanita tua itu untuk duduk di kursi. 

"Memangnya aku kenapa?" tanya wanita tua yang berusaha mengingatnya. 

"Nenek hampir pingsan dan aku membawa Nenek ke sini." 

"Benarkah? Ya Tuhan, aku selalu saja lupa akan sesuatu." Wanita tua itu menepuk pelan keningnya, usia yang tak muda lagi dan penyakit pikun selalu saja menghampirinya.

Dara menatap wanita tua dengan intens, berpikir bagaimana menolongnya. "Hem, siapa nama Nenek dan dimana Nenek tinggal? Aku akan mengantarkan pulang." Tawarnya berniat untuk membantu. 

"Namaku Diana, tapi aku lupa alamatku." 

"Bagaimana aku membantunya? Hari semakin larut dan itu tidak baik untuk kondisinya sekarang." Rasa iba menyelinap di dalam hati Dara yang teris bertarung dengan pikirannya, bagaimana dia bisa tega meninggalkan wanita tua seorang diri disana. "Begini saja, bagaimana kalau Nenek ikut ke rumahku saja untuk sementara waktu?" 

Wanita tua itu menganggukkan kepala menyetujui pendapat gadis muda, dia tidak memiliki tujuan dan memilih untuk ikut bersama Dara. Sementara di tempat lain keadaan tampak kacau karena kehilangannya, membuat heboh dan langsung bertindak berharap menemukannya. 

"Kalian semua tidak becus, cari sekarang sampai dapat." Titah seorang pria membentak para bawahannya yang lalai akan pekerjaan mereka. 

Bab 3 - Masuk penjara dengan kasus konyol

Dara membawa wanita tua itu menuju ke rumahnya yang tak berada jauh dari sana, sebuah rumah yang berukuran sangat kecil terpampang jelas di hadapan mata. 

"Ini rumahku, Nek." Ucapnya bersemangat sambil menuntun wanita tua itu semakin dekat. 

Tampak wanita tua itu mengerutkan kening saat melihat situasi rumah yang sangat sederhana. "Apa ini layak di tempati? Bahkan ini terlihat seperti kandang ayam." Ujarnya yang berkomentar. 

Dara merasa nyelekit di dalam hatinya saat wanita tua itu mengatakan gubuknya persis seperti kandang ayam, jika itu orang yang usia di bawahnya pasti akan membalas perkataan yang sangat menyakiti telinga. 

"Ya Tuhan, berikan aku kesabaran menghadapi nenek Diana." Batinnya yang diam-diam mengusap dadanya. "Setidaknya Nenek tidak akan kehujanan juga kepanasan, bermalamlah di sini." Balasnya sambil memperlihatkan senyuman manis. 

"Ya, kau benar." Nenek Diana terlihat sangat sedih memikirkan tempatnya bermalam, paling tidak dia bersyukur ada orang yang membantunya. 

"Ayo masuk, Nek."

"Ya."

Sekali lagi Dara memperhatikan raut wajah nenek Diana yang seakan tak rela untuk bermalam di tempatnya, andai dia memiliki hati hitam pasti sudah mengusir orang tua yang banyak pemilih itu. Dia menghela nafas sembari berusaha bersikap sabar, segera berpamitan untuk membereskan tempat tidur. 

"Apa kau yakin aku harus tidur di tempat itu? Bagaimana jika pinggang ku sakit?" nenek Diana kembali mengeluarkan perkataan yang menyakitkan telinga saat menatap tempat tidur kecil yang hanya di alas dari kasur kapuk usang. 

"Ya Tuhan, pertebal kesabaranku." Batin Dara meringis. "Maaf Nek, hanya ini yang ada." 

"Aku tidak akan bisa tidur di tempat kecil itu, tulang-tulangku pasti terasa nyeri. Juga aku tak lihat adanya AC, pasti sangat gerah. Oh ya ampun, apa ini layak di tempati? Aku tak menyangka jika orang sebaik dirimu tinggal di tempat yang layak di sebut kandang ayam." Nenek Diana mengelus pucuk kepala Dara dengan sangat lembut, merasa kasihan dan bersimpati dengan kondisi si penolongnya.

Dara cengengesan dan menepis tangan keriput secara perlahan, melihat penampilan dari sang nenek juga tak memadai. Seorang wanita tua berjalan seorang diri dengan penampilan berantakan, malahan dia mulai bertanya apakah nenek Diana orang kaya atau bukan. 

"Tidak perlu mengasihaniku Nek, aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini." 

"Hah, kau wanita yang tangguh dan aku sangat menyukaimu."

"Wah, aku anggap itu sebagai pujian. Terima kasih, Nek." Dara tersenyum sekilas.

Meski tampak ragu untuk menginap disana, nenek Diana masih memiliki nurani akan niat baik gadis muda yang mau menolongnya. Sebuah tangan memeluk tubuh tuanya menjadikan suasana sangat hangat dan nyaman, mendapatkan kenyamanan itu sangatlah berharga. Walau sekarang dia tidak mengingat dimana alamat rumahnya, tapi secuil ingatan kalau dia bukanlah orang susah. 

Dara memeluk tubuh nenek Diana dan memejamkan kedua mata, hingga keduanya tertidur sangat lelap sekali. 

Di pagi hari, Dara terbangun dan tersenyum saat mendengar suara dengkuran dari nenek Diana. Perlahan dia melepaskan pelukannya, dan beringsut dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk mencuci wajah dan menggosok gigi. Setelah semua selesai, lanjut memasak sarapan pagi untuk memberikan jamuan pada tamunya. 

Aroma masakan yang menggugah selera tercium di seluruh ruangan, nenek Diana perlahan membuka matanya sambil memegang perut keroncongan. 

"Wanginya sangat enak, sepertinya lezat." 

"Eh, Nenek sudah bangun?" jawab Dara sedikit terkejut kedatangan tiba-tiba dari tamunya.

"Hem, kau masak apa?" tanya nenek Diana bersemangat sembari memegang perut yang sedari tadi berbunyi menandakan minta di isi. 

"Hanya nasi goreng, ini masakan yang tercepat." 

"Hem." 

Dara memperlakukan nenek Diana sangat baik, dia berniat mencari keluarga sang nenek setelah sarapan mereka selesai. 

Mereka sarapan dengan khidmat, Dara tersenyum senang melihat porsi makan wanita tua itu yang sangat lahap memakan nasi goreng buatannya. Pagi yang begitu tenang terganggu oleh suara tendangan pintu cukup keras, membuat mereka tersentak kaget. 

Dara menghentikan suapan di mulutnya dan berdiri melihat kedatangan beberapa orang berbaju hitam, menatapnya sebagai seorang pelaku utama. 

"Siapa kalian?" 

"Ternyata Nyonya ada di sini." Salah satu pria berbaju hitam datang menghampiri nenek Diana tapi dihalangi oleh Dara yang tidak percaya pada orang-orang itu. 

"Kalian tidak bisa membawanya begitu saja, siapa kalian?" Dara berusaha melindungi nenek Diana, tidak tahu apakah tindakannya sudah benar. 

Seorang pria tampan membelah kerumunan, menjadi pusat perhatian saat dia melepaskan kacamata hitam. Sepasang bola mata yang sangat indah pernah di puji oleh Dara, sontak kedua pupil matanya membesar di kala mengetahui siapa pria itu yang tak lain adalah Erick Adelmo, sang mantan kekasih. 

"Nenek kenapa bisa sampai kesini?" tanya Erick mencemaskan nenek Diana. 

"Nenek?" Dara mengerutkan dahi masih mencerna perkataan itu. 

"Ya, dia nenekku. Oho, aku tahu tujuanmu sekarang Nona. Kau menculik nenekku!" tuduh Erick. 

"Aku tidak menculiknya, nenek Diana aku temukan hampir pingsan di jalanan dan menolongnya dengan membawanya kesini." Jelas Dara yang tentunya tak ingin di salahkan.

"Kenapa kalian ribut, kepalaku terasa pusing mendengarnya." Sela nenek Diana menengahi perdebatan itu. 

Erick memegang kedua bahu sang nenek dan menatapnya dalam. "Kenapa Nenek bisa sampai di sini? Apa Nenek di culik oleh gadis itu?" 

"Hei, aku bukan penculik." Bantah Dara protes. 

"Diam kau, aku sedang bicara dengan nenekku." Cetus Erick menatap Dara tajam. "Apa Nenek mengenal gadis itu?" 

Lama nenek Diana terdiam memberikan jawaban, sedangkan Dara mencoba untuk menunjuk dirinya sendiri dan menceritakan awal pertemuan mereka semalam. 

"Bisakah kau diam? Kau mengganggu sekali." Kesal Erick. 

"Aku tidak mengenalnya." Jawab nenek Diana sembari menatap Dara cukup lama berusaha untuk mengingatnya. 

"Hah, ternyata dugaanku benar. Kau menculik nenekku, dasar penculik licik." Tuduhan yang di lontarkan oleh Erick berhasil menambah kekesalan di hati Dara. 

"Itu bukan cerita sebenarnya," Dara tak menyangka jika wanita tua yang telah di tolongnya mengatakan hal sebaliknya, entah apa dosanya di masa lalu hingga terikat pada sang mantan kekasih. 

"Jangan banyak bicara." Bentak Erick yang sangat marah, menuntun neneknya keluar dari tempat itu. "Bawa gadis itu ke penjara!" 

"APA? Hei, kau tidak bisa memperlakukanku seperti itu." Peotes Dara berteriak sambil menatap kepergian Erick dan nenek Diana, menyisakan dirinya dalam keadaan bermasalah. 

"Sekarang anda ikut dengan kami." Beberapa orang menyeret Dara dengan kasar, keributan yang di timbulkan itu mengundang banyak orang untuk menontonnya. 

"Hei, kalian salah paham. Aku bukan penculik…aku bukan penculik." 

"Penjara pasti penuh jika maling mengaku." Sahut salah satunya. 

Di dalam sel penjara, Dara menatap kesal ke arah pria yang sudah menjebloskan nya. 

"Ck, berhentilah menatapku seperti itu."

"Kau pantas menerimanya." 

"Pantas? Wanita cantik sepertiku tak mungkin menculik seorang nenek-nenek." 

"Dan karena wanita cantik pula bisa menghancurkan hati seorang pria, tentu saja menculik suatu hal yang mudah di lakukan olehnya." Sambung Erick yang masih mengingat perbuatan Dara yang pergi meninggalkannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!