NovelToon NovelToon

ADVENTURE From US

Prolog

"Geli banget sekolah bawa-bawa ginian!"

Sebuah gedung dengan palang nama bertuliskan 'SMA Celendation' tampak megah di tengah kota. Sekolah dengan ciri khas dihuni oleh anak genius itu terkenal sampai ke luar negara. Tampaknya dari luar seperti istana di film Disney. Gedung yang terbuat dari batu, lalu ditanami tumbuhan merambat sehingga membuat gedung tersebut tampak asri.

Bel yang menandakan telah masuknya jam pelajaran pun berkumandang. Para siswa tampak berlarian memasuki pagar sekolah agar tidak telat.

Salah satu siswa yang membawa sebuah toples besar berisikan gurita berlarian demi menerobos pagar yang sebentar lagi akan ditutup.

"Pak, please izinin saya masuk! Bapak nggak kasihan sama saya? Lihat dong Pak, saya udah effort banget nih, bawa-bawa gurita!"

"Salah kamu sendiri karena telat!" balas satpam, membuat siswa itu mendecih kesal.

Para siswa saling bertabrakan demi menerobos ke dalam sekolah walaupun pagar sudah ditutup.

"Jangan dorong-dorongan, dong! Kalau toples gurita gue pecah gimana?"

Jarden, siswa itu tak berhenti mengoceh sedari tadi sebab takut jika gurita yang ia bawa untuk praktikum rusak.

Di tengah keramaian, tiba-tiba saja sebuah tangan menarik Jarden. Noshi, gadis itu membawanya berlari keluar dari kerumunan secara tiba-tiba.

Jarden melepas tangan Noshi sampai membuat gadis itu menghentikan langkah.

"Lo mau ajak gue ke mana? Sarapan?"

"Kepedean lo! Gue mau ajak lo masuk lewat pintu belakang sekolah. Mau nggak?"

Tanpa bicara lagi Jarden mengangguk. Lalu mereka berlari bersama demi bisa menerobos gedung sekolah.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Kenapa sih, gue harus kebagian bawa gurita? Padahal semuanya tahu kalau gue paling geli sama makhluk itu!"

Setibanya di kelas Jarden misuh-misuh sembari meletakkan toples gurita di atas meja. Beruntung, sang guru belum memasuki kelas, jadi ia bisa dengan mudah menerobos dan tidak akan ketahuan kalau sebenarnya ia telat.

Kimy tertawa, lalu memperhatikan gurita yang ada di dalam toples milik Jarden.

"Guritanya lucu kok! Masih mending bawa gurita kali, dari pada disuruh bawa sel kanker?"

"Apalagi bawa jamur cordyceps! Lebih susah!" timpal Lavana dari belakang.

Jarden memicing ke arah Kimy dengan kesal. "Diem lo yang bawa kelinci!"

Ghez menaruh pistol kosongnya di atas meja setelah berlatih cara membidik yang benar.

"Makanya, pas awal masuk SMA lo pilih ekstrakurikuler menembak aja!"

"Lebih seru ekstrakurikuler panahan kali!" sahut Noshi yang duduk santai di atas kusen.

"Padahal sains fisika dan kimia seru, dan nggak bakal ada tuh disuruh bawa bahan-bahan aneh kayak gitu," Altezza menimpali.

Kimy melirik tajam ke arah Altezza yang sudah menjelekkan ekstrakurikuler-nya.

"Nggak seru! Seruan saing biologi dong! Iya nggak, Jarden?"

"Yoi!" balas Jarden, kemudian kedua siswa tersebut melakukan tos bersama.

"Sebenarnya kalian mau ngapain, sih? Kok bawa-bawa jamur, sel kanker, gurita, sama kelinci?"

Suara imut Vara muncul dari depan. Gadis itu tampak lucu dengan rambut yang diikat satu serta jepit pita.

Jarden menggedikkan bahu. "Katanya mau bikin percobaan parasit atau virus gitu. Gue juga nggak paham."

"Parasit? Apa nggak terlalu berbahaya kalau pakai sel kanker yang pertumbuhannya cepat?" ucap Ghez, entahlah firasatnya buruk.

"Justru itu. Kita pakai sel kanker karena pertumbuhannya cepat," balas Kimy.

Ghez masih diam, ingin rasanya melarang, tetapi ia sadar bahwa bukan siapa-siapa. Dirinya pun bukan bagian dari anak-anak ekstrakurikuler sains biologi.

Noshi yang peka akan Ghez lantas menepuk pundak lelaki itu. "Lo kenapa?"

Ghez menggeleng pelan. "Firasat gue nggak enak."

Noshi melirik ke arah jam dinding, rupanya sudah jam tujuh selawat sepuluh menit, tetapi sang guru belum menampakkan hilalnya. Lantas ia pun duduk di salah satu meja siswa, kemudian tertidur sampai sang guru datang nantinya.

...****************...

Menghembuskan nafasnya ke udara, gadis itu menatap sosok laki-laki yang berdiri di sampingnya dengan menggenggam erat jemarinya.

"Bagaimana kalau gue kehilangan dia?" gumam Noshi dalam hati dengan perasaan damai yang melandai saat menatap netra sang pemuda tersebut.

"Lihatin apa?" tegur Lucky hingga membuat Noshi mengerjap kaget.

"Kepo lo!" sarkas Noshi lalu mengindahkan bola matanya dari sang kakak.

"Lihatin wajah ganteng gue? Lo baru sadar kah? Dari zaman kita kecil juga gue udah cakep!" ucap Lucky berbangga diri seraya memamerkan senyum menawannya.

Sudut bibir cantik itu tertarik membentuk senyuman indah yang melengkapi paras menawannya. Tangan putihnya naik menghalangi sinar matahari pagi yang menerpa permukaan kulitnya. Sedikit mengikat rambut panjangnya yang berwarna cokelat hazel hingga menampakkan garis-garis tulang dan lekukan yang tampak sempurna di wajah juga lehernya.

Kedua lubang hidungnya menghirup udara segar untuk mengisi kekosongan paru-parunya yang kini turut terasa dingin karena udara yang masuk, lalu ia hembuskan kembali udara yang sudah bertukar kandungan dan menjadi hangat.

Di sini ia berada, tepat di depan sebuah gedung yang bertuliskan SMA Celendation pada tembok pembatas. Beberapa detik kemudian Noshi menjatuhkan pandangannya ke bawah, mendapati jemarinya bertaut dengan jemari besar. Mengangkat pandangannya ke atas, dapat ia temukan sosok tinggi pemuda di sampingnya. Tampak seperti siluet karena tubuh tingginya itu menghalangi cahaya matahari.

"Kamu bisa janji?"

Noshi sedikit terlonjak saat sebuah suara serak terlontar dari mulut Lucky. Lantas ia mengangguk tanpa mengerti apa janji yang dimaksud olehnya. Tak ingin membuang waktu lama, lantas keduanya segera memasuki sekolah.

Keduanya berjalan beriringan membelah keramaian koridor sekolah hingga tiba di lantai lima.

"Nanti pulang sekolah, lo jangan lama-lama. Gue males nunggu di depan kelas lo," pesan Noshi, sementara Lucky mengangguk seraya pelan rambut adik perempuannya.

"Ya udah, gih sana masuk kelas! Udah sana ditungguin seseorang, tuh!" ledek Lucky sembari menunjuk ke arah sesosok siswa di depan kelas sang adik dengan sebatang permen tertanggal di mulutnya.

Kesal dengan ledekan sang kakak, lantas Noshi memukul bahunya sampai terdengar ringisan kecil.

"Udahlah, males gue diledekin terus sama lo! Bye, Abang jelek!" ejek Noshi, lalu berlari menjauh dari sang kakak.

Baru dirinya berlari sebanyak lima langkah, suara ramai ciri khas sekolah mendadak senyap. Tak ada lagi kebisingan. Lantas Noshi mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru arah. Sepi, tidak ada para siswa yang berlalu-lalang. Bahkan sang kakak pun sudah tak nampak di tempatnya tadi. Gedung sekolah pun berubah menjadi kumuh, seperti gedung yang sudah lama ditinggalkan.

"Kok sepi? Gue masuk ke dimensi lain kah?" Noshi merinding sebadan-badan.

"HALLO!!" Ia berteriak, tetapi tetap saja tidak ada yang menyahuti.

Fiks, gue pasti masuk ke dunia lain! Begitu pikirnya.

Di tengah kebingungan, dapat ia rasakan seseorang menyentuh bahunya. Dengan cepat ia menangkap tangan orang tersebut.

"Ghez?" Terkejut, Noshi segera melepaskan pelaku yang telah mengagetkannya.

Sementara, pemuda yang diketahui bernama Ghez itu hanya tersenyum. Sorot matanya sulit diartikan.

"Lo mau ikut gue?" Ghez meraih tangannya, namun dengan cepat ia lepaskan kembali.

"Jelasin dulu ke gue ini ada apa? Kok tiba-tiba sepi? Padahal tadi ramai banget, lho! Gue masuk ke dimensi lain, ya?"

Hela napas panjang terdengar dari Ghez. Lantas pemuda itu berjalan meninggalkannya sendirian.

"Lho, kok ninggalin? Hey!" Tak mau sendiri, ia pun terpaksa berlari mengikuti langkah Ghez.

Ghez menyunggingkan senyum kala mendengar beberapa sungutan terlontar dari mulut Noshi.

Tidak lama dari itu, Ghez menghentikan langkah saat tiba di ujung koridor yang membatasi antara lantai lima dengan tangga darurat---membuat langkah Noshi turut berhenti.

Ghez memutar tubuh, lalu mencekal kedua bahu Noshi yang masih setia mengintili.

"Gue minta lo keluar dari sini sekarang juga kalau lo nggak mau kehilangan semua yang lo punya."

"Maksud lo apa? Bisa ngomong yang jelas langsung ke intinya?" sarkas Noshi sebal.

"Cepat keluar!"

"Nggak sebelum lo jelasin ke gue!" Bukan Noshi namanya jika tidak keras kepala.

"Ketika kejahatan manusia mengubah dunia dengan mencampur adukkan sains di dalamnya, maka manusia itu sendiri yang sebenarnya adalah pembuat kekacauan. Dunia akan kiamat jika kalian tidak bersatu!"

Noshi mematung cukup lama dibuatnya, mencoba mencerna tiap kata yang terlontar dari bibir Ghez. Apa maksud Ghez mengatakan hal yang sulit dimengerti seperti itu?

Malas karena Noshi tak kunjunc menunjukkan reaksi apapun, Ghez memutar bola matanya searah dan kembali berjalan. Namun, baru saja Ghez berhasil mendapatkan satu langkah, Noshi sudah mencekal tangannya tiba-tiba.

"Tunggu, Ghez!"

"Tolong antar gue ke abang. Bisa nggak?" pinta sang gadis yang kini menampakkan senyum kecil di bibirnya.

Ghez menunjuk ke atas, membuat lirikan mata Noshi berpindah menatap langit abu mendung. Pertanyaaan besar muncul di kepala. Ia melihat sang kakak dan para sahabatnya berlomba-lomba lari masuk ke sebuah pintu, semuanya tergambar di langit.

Lucky tampak berlari di belakang. Sebelum masuk, ia sempat melambaikan tangan pada Noshi.

"Nosh, pejamkan mata lo sebelum pintu tertutup---"

"Pintunya sudah tertutup ...." Entah perasaan dari mana, sedih tiba-tiba saja menghampiri. Sudut mata Noshi mulai mengeluarkan air, pandangannya menatap nanar ke arah Ghez.

"Ghez, kenapa Abang dan sahabat gue masuk ke dalam pintu? Mereka nggak ngajak gue? Pasti pintu itu adalah pintu masuk ke dunia asli! Pasti gue sekarang ini ada di dunia lain!"

"Please, gue mau pulang!" Noshi merengek. Ia beranggapan bahwa pintu yang ada di langit adalah pintu menuju ke dunianya.

Noshi menganggap dirinya ada di dunia lain yang sangat asing. Lihatlah, semuanya asing di sini. Mulai dari gedung sekolah yang berubah kumuh sampai lingkungan dengan suasana menyeramkan.

Noshi ingin pulang!

"Noshi ...."

"Ghez!!" Noshi membelalak kaget kala tubuh Ghez mulai memudar. Dengan cepat ia tarik tubuh pemuda itu masuk ke dalam pelukannya.

"Ghez, jangan tinggalin gue sendiri di dunia asing ini .... Bawa gue pulang ...."

...****************...

Noshi terbangun dari tidur lelapnya setelah sang guru membangunkan. Dahinya dipenuhi keringat serta napas yang memburu.

"Cuci muka, Noshi!" perintah guru tersebut, lantas Noshi pun bingkas dari sana untuk mencuci muka.

"Gue mimpi apa, ya, barusan?" gumam Noshi sembari melirik ke arah Ghez.

01

Pagi hari ini, para siswa SMA Celendation sudah berada di lapangan sekolah, sudah tiga hari semenjak kebingungan mereka di kelas mengenai sel kanker, gurita, kelinci, dan jamur cordyceps akhirnya terbengkalai sebab mereka terlalu malas untuk memikirkan hal itu. Hari ini, sesuai jadwal mereka akan mengadakan kemah selama tiga hari di hutan yang terletak lumayan jauh dari lokasi sekolah mereka.

Beberapa siswa mengeluh kepanasan karena kesal harus berbaris di lapangan dengan sinar matahari yang sedang terik. Mengapa tidak langsung naik bus saja? Menyebalkan sekali! Hal itu membuat Ghez dan Gian sengaja duduk di pinggir lapangan agar tidak kepanasan, tak jarang mereka ditegur oleh para guru maupun panitia kemah kali ini.

Namun, setelah mereka pergi maka Ghez dan Gian akan kembali ke tempat semula. Di mana tempat favorit para siswa untuk berteduh saat upacara.

"Panas banget, padahal masih pagi!" keluh Vara yang sudah penat berdiri di sini.

"Tau, tuh! Dia ngomong apa, sih, kok nggak kelar-kelar? Dia nggak tau apa, kalau gue pegel gini?!" tambah Kimy dengan tangan yang ia jadikan sebagai kipas.

"Bisa nggak, sih, kita langsung naik bus aja?!" dengus Lavana yang juga sama panasnya dengan mereka.

"Yang gue heran, kenapa setiap ada acara selalu dikumpulin kayak anak ayam gini?" sambung Noshi yang membuat tangan Vara melayang menoyor kepalanya, sehingga topi yang tengah dikenakan Noshi menjadi miring.

"Heh, enak aja lo ngomong anak ayam!" sembur Vara tak terima. Sementara Noshi hanya tertawa kemudian mencubit pipi gadis itu hingga ia menjerit kesakitan.

"Kan, lo, kecil. Makanya anak ayam!" ketus Noshi, lalu menjitak kening milik Vara.

"Diem, kek, woy!" bentak Jay yang merasa terganggu akan suara para gadis di sebelahnya.

"Untuk mempersingkat waktu, silahkan masuk ke dalam bus masing-masing sesuai kelasnya! Dan jangan sampai ada yang tertinggal!" Suara Pak Carlos menggelegar, membuat barisan para siswa akhirnya bubar dan masuk ke dalam bus sesuai kelasnya masing-masing. Mendengar perintah pak Carlos, Ghez langsung bangkit dari duduknya meninggalkan Gian yang masih terduduk di pinggir lapangan. Matanya memicing ke arah segerombolan siswa itu--mencoba mencari seseorang yang ia maksud.

Entah sengaja atau tidak, Kimy merasakan seseorang menggenggam tangan kanannya. Ia lantas menoleh ke arah pemuda tersebut yang ternyata adalah Ghez. Laki-laki itu terus menarik tangannya membawa Kimy membelah keramaian para siswa demi naik ke dalam bus. Sementara, Noshi yang melihat kejadian itu hanya memicingkan matanya kemudian menggedikan bahu tanda tak peduli dan segera masuk ke dalam bus.

Setibanya di dalam bus, Ghez masih asyik memilih-milih tempat duduk tanpa mempedulikan Kimy yang ia tarik sedari tadi hingga akhirnya Ghez memilih duduk di bangku tengah berdua dengan Kimy.

"Lo di dekat jendela atau di pinggir sini?" tanya Ghez sembari menaruh tasnya di bawah kursi bus.

"Di dekat jendela," jawab Kimy kemudian duduk di sana, disusul dengan Ghez yang juga mendaratkan bokongnya pada bangku bus.

Bersamaan dengan itu, atensi mereka teralihkan oleh suara keributan yang berasal dari bangku kedua dari depan. Tampak Vara dan Jay yang tengah memperebutkan kursi bus antara di pinggir atau di dekat jendela. Keduanya sama-sama tak ada yang ingin mengalah, semua siswa hanya memandanginya tanpa ingin melerai. Karena percuma jika kedua manusia itu dilerai, maka orang yang melerai akan terkena semburan dari mereka.

"Ih, lo nggak ngalah banget, sih! Gue maunya di dekat jendela!" bentak Vara tak mau mengalah.

"Dih, kan, gue yang duluan di sini! Lo sama Noshi sana, atau sama Lavana!" usir Jay yang membuat Vara semakin naik pitam.

"Dari awal juga gue maunya sama mereka! Karena mereka udah pada dapet tempat, makanya gue harus di sini!" geram Vara dengan tangan yang mencoba menarik lengan Jay yang setia berdiri di dekat jendela bus.

Arah pandangan Vara beralih ke belakang, melihat Joe dan Jarden yang tengah duduk berdua dengan damai di bangku belakang.

"Lo tukeran sama sama Joe! Biar Joe yang di sini! Lo, mah, nggak mau ngalah!" perintah Vara yang membuat Joe menoleh seketika--laki-laki itu hanya menggedikan bahunya, kemudian kembali memasang earbuds di telinganya.

"Ogah! Udahlah, lo di pinggir aja kenapa, sih?" keluh Jay yang pegal berdebat dengannya.

"Nggak mau! Ayolah, Jay, ngalah!" rengek Vara masih dengan tangan yang menarik lengan Jay.

"Hei, ini kenapa, sih?!"

Kedua remaja itu seketika terdiam mematung kala suara miss Bill terdengar tiba-tiba. Wanita berperawakan tinggi itu menghampiri keduanya karena merasa bising saat baru pertama kali masuk ke dalam bus.

"Kalian kenapa ribut? Ayo duduk, sebentar lagi bus akan jalan!" perintah miss Bill tegas.

Terkejut akan suara lantang dari miss Bill, keduanya langsung tergesa untuk duduk. Namun, Vara dan Jay kembali saling tarik-menarik demi memperebutkan tempat duduk. Melihat keributan itu, miss Bill hanya menggelengkan kepalanya dengan memijat dahinya frustasi. Ia begitu pusing melihat tingkah anak muridnya yang senantiasa ribut di mana pun, bahkan di kelas dengan masalah yang sangat sepele. Contohnya, saling berebut penghapus.

"Lama-lama Miss nikahkan kalian!"

"NGGAK!!!" jerit keduanya bersamaan, membuat seisi bus mengerjap kaget.

"Sekarang gini, Jay, kamu duduk di pinggir ngalah sama perempuan. Vara, cepat duduk di dekat jendela. Hentikan keributan kalian saya mau mengecek kondisi bus yang lain."

Setelah mengatakan itu, guru wanita tersebut segera berjalan cepat keluar dari dalam bus. Detik setelahnya Vara langsung mengambil duduk di dekat jendela dengan menebar senyum penuh kemenangan. Rasanya semesta memang berpihak padanya, sementara Jay hanya mendengus kesal dan menjitak kening gadis menyebalkan itu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Noshi!!" teriakkan Gian berhasil membuat langkah Noshi terhenti. Gadis itu menolehkan kepalanya sebatas bahu untuk melihat Gian yang berlari ke arahnya.

"Apa?" tanya Noshi dengan tangan yang sibuk mengikat rambutnya menggunakan ikat rambut yang tersimpan dengan baik di pergelangan tangan.

Setibanya di hadapan Noshi, Gian membungkuk dengan tangan yang bertumpu di lututnya sembari mengatur napas yang memburu, detik setelahnya Gian merogoh saku celananya bersamaan dengan Noshi yang mengangkat sebelah alisnya. Tak berselang lama, Noshi dapat melihat Gian yang mengeluarkan sebuah buku kecil. Melihat buku tersebut, lantas Noshi merampas buku kecil itu dalam genggaman tangan Gian dan memperhatikan kondisi buku miliknya tersebut.

"Lo nemu di mana?" tanya Noshi yang baru menyadari jika buku diary miliknya hilang.

"Dikasih Kimy. Tadi, Kimy nemu di lantai bus. Kayaknya jatuh dari saku lo," terang Gian menjelaskan.

Mendengar penjelasan dari Gian, Noshi hanya mengangguk kemudian memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi Gian. Sementara, Gian yang ditinggal begitu saja hanya merengut tak terima.

"Bilang makasih, gitu!" sindir Gian, membuat langkah Noshi kembali berhenti.

Noshi menolehkan kepalanya sebatas bahu, lalu berkata, "iya makasih." Kemudian Noshi kembali melanjutkan jalannya.

Di sisi lain, terdapat beberapa siswi yang tengah mendirikan tenda. Di antaranya terdapat Vara, Lavana, dan Kimy. Mereka bersama-sama membangun tenda sesuai arahan dari Vara, selaku anak pramuka dalam kelompok mereka walaupun gadis itu seringkali bolos dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka. Tak berselang lama dari itu, atensi mereka teralihkan oleh Noshi yang baru datang berbarengan dengan Michael yang juga menghampiri mereka dari arah yang berbeda dengan Noshi.

"Gian udah kasih bukunya ke lo?" tanya Kimy tiba-tiba saat Noshi membantu mengikat tali tenda di sampingnya.

"Udah. Makasih, ya, Kim! Gue nangis kayaknya kalau buku ini sampai hilang. Banyak banget kenangan keluarga gue di sini," ucap Noshi dengan senyuman tulus yang jarang ia tampakkan. Kimy hanya membalas senyuman Noshi dan kembali bergulat dengan tali tenda yang tengah ia genggam.

"Vara," panggil Michael, sementara Vara yang tengah serius memasang tenda sontak terkejut dan membalikkan badannya ke arah Michael di belakangnya.

"Apa?" Vara bertanya dengan tangan yang masih memasang tenda.

"Antar gue ke hutan sebentar, yuk!" ajak Michael, dan tanpa ia sadari Lavana mendengar ajakan Michael itu. Ia segera menghentikan aktifitas memasang tenda dan beralih atensi pada Michael dan Vara.

"Lo mau ngapain ngajak Vara?" tanya Lavana, ia hanya takut jika laki-laki itu berbuat yang tidak-tidak pada Vara. Karena yang ia tahu, Michael menyukai Vara semenjak mereka duduk di bangku kelas sepuluh.

Michael yang merasa diinterogasi oleh Lavana lantas menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu mengeluarkan sebuah botol kaca kecil. Bersamaan dengan itu, Vara dan Lavana hanya saling pandang satu sama lain seolah menandakan bahwa mereka saling menagih jawaban perihal apa isi dalam botol kaca yang digenggam Michael tersebut.

"Apa itu?" tanya Lavana bingung.

"Botol ini nggak ada isinya. Botol ini buat tempat biji-bijian yang mau gue cari. Jadi, niat gue ke hutan ini selain kemah, gue juga mau cari biji-bijian yang akan gue tanam di halaman rumah. Dan tujuan gue ngajak Vara, biar nggak tersesat. Dia, kan, ingatannya tajam. Boleh, nggak?" terang Michael jujur. Memang niatnya ke hutan ini selain kemah, ia ingin mencari tumbuhan yang indah di hutan dan akan ia tanam di halaman rumahnya untuk melengkapi koleksi tanamannya.

"Gue sih, terserah. Yang penting, kalian saling jaga diri aja soalnya ini di hutan," saran Lavana kemudian kembali membantu Kimy dan Noshi dalam memasang tenda.

Dan kini, perhatian Michael tertuju pada Vara seolah menanyakan kepada gadis itu bahwa ia ingin menemaninya atau tidak.

"Ya sudah, ayo! Nanti keburu malam," putus Vara pada akhirnya, lalu mereka berdua berjalan menjauh dari area kemah dan masuk lebih dalam  menyusuri hutan yang lebat.

Di sisi lain, Joe yang tengah mencari beberapa kayu bakar untuk acara nanti malam mendadak memberhentikan langkahnya kala melihat Vara dan Michael berjalan menyusuri hutan di sore hari seperti ini.

"Vara! Dia mau ngapain, ya?" gumam Joe bertanya pada dirinya sendiri kala Vara tak mendengar panggilannya.

Karena malas, Joe hanya menggedikan bahunya tanda tak peduli dan kembali melanjutkan perjalanannya. Namun, lagi-lagi kakinya berhenti kala ia merasakan telah menginjak sesuatu di bawah sana. Merasa penasaran, Joe mengangkat kakinya, lalu mengerenyitkan dahi heran lantaran melihat sebuah benda yang ia injak.

"Suntikkan?"

02

"Silahkan berjalan sesuai dengan kelompoknya! Dan pastikan, tidak ada yang tersesat ataupun tertinggal kelompok!! Pergi ber-sepuluh, kembali juga ber-sepuluh! Kalian paham?" Suara Pak Larry menggelegar karena dengan pengeras suara, memberitahukan peringatan kepada seluruh muridnya yang akan melaksanakan kegiatan berjalan menyusuri hutan di malam hari.

"Paham, Pak!" seru para siswa menyahuti suara Pak Larry.

Sementara itu, tampak salah satu kelompok yang berada paling ujung saling mengobrol dan tak terlalu mendengarkan pengumuman dari Pak Larry. Mereka masih asik bercanda gurau, hanya Lavana dan Altezza yang mendengarkan seluruh pengumuman dari guru.

"Heh, diam kek, lo pada manusia!" gertak Lavana kesal karena mereka benar-benar mengacuhkan segala pengumuman yang diberi.

"Lo dengerin pengumuman, nggak?" Bukannya meminta maaf, Jarden justru bertanya kembali yang membuat Lavana naik pitam. Lavana menarik napas panjang lalu menghembuskan kembali. Sementara itu, Jarden hanya menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal sambil memasang senyum kikuk.

"Ya, gue dengerin, lah!" sungut Lavana diiringi dengan kaki yang ia hentakkan ke tanah kesal.

"Oh, bagus, deh. Jadi gue nggak perlu amat dengerin pengumuman," celetuk Jarden. Lavana yang mendengar celetukan itu lantas menjitak kening laki-laki itu hingga korbannya hanya mengaduh kesakitan dibuatnya.

"Bego, bego," cibir Noshi dengan pandangan mata yang memicing ke arah Jarden.

"Ayo, cepat jalan! Kita mulai penyusuran hutan malam ini!" perintah Joe sebagai ketua kelompok mereka.

Beberapa dari mereka ada yang mengeluh malas untuk berjalan, takut dengan situasi hutan saat malam hari seperti ini, juga ada yang meracau tak jelas. Noshi yang berada di samping Ghez lantas berniat untuk menarik tangan laki-laki itu yang hampir terpeleset di lumpur. Namun, baru saja jemarinya akan meraih tangan Ghez, Ghez sudah lebih dulu menggandeng pergelangan tangan Kimy agar ia tak jatuh terpeleset. Melihat itu, Noshi hanya menggedikan bahunya tak peduli lalu kembali melanjutkan perjalanannya.

Suasana mencekam mulai menyerang mereka, dengan angin malam yang dingin menabrak dengan sengaja ke permukaan kulit hingga masuk menusuk hingga ke tulang. Suara-suara binatang seperti jangkrik dan belalang menambah kesan menakutkan yang semakin menghantui pikiran mereka selama perjalanan menyusuri hutan malam ini. Tak hanya itu, suara ranting dan dedaunan kering yang terinjak pun melengkapi suasana mencekam kali ini.

"Dingin banget," keluh Vara perlahan. Detik setelahnya ia memicingkan matanya ke arah hutan lepas dan bergidik ngeri kala melihat sosok hitam di balik pohon.

Melihat hal menyeramkan itu, lantas Vara memeluk lengan Jay yang berada tak jauh darinya. Merasa aneh dengan Vara yang tiba-tiba memeluknya, Jay segera melirik ke sana kemari untuk melihat sosok apa yang membuat jiwa penakut Vara timbul. Maniknya terus bermain-main hingga ia melihat sesosok hitam di balik pohon. Menepis semua pikiran tentang hantu, Jay semakin memicingkan matanya menatap sosok itu sambil terus berjalan. Perasaannya lega kala ia mengetahui bahwa sosok itu bukanlah hantu, melainkan karung hitam besar yang entah siapa yang menaruh di sana.

"Bukan hantu, itu cuma karung," bisik Jay tepat di telinga Vara.

Vara yang mendengar bisikkan Jay perlahan mendongakkan kepalanya ke atas, menatap manik Jay yang menampakkan sorot kejujuran.

"Oh, ya udah," ucap Vara singkat lalu melepaskan tautan tangan antara ia dengan Jay.

"Tunggu!" Suara lantang Joe sontak menghentikan langkah para temannya. Mereka saling pandang satu sama lain sebelum akhirnya menghampiri Joe untuk menanyakan apa yang terjadi.

"Ada apa?" tanya Lavana yang mengikuti arah pandang Joe.

"Kita kehilangan tanda!" seru Joe, membuat mereka membelalakkan mata kaget mendengarnya.

"Maksud lo, kita tersesat?" Altezza memperjelas.

"Iya, gue juga nggak tahu kenapa kita bisa kehilangan tanda. Terakhir kali gue lihat tandanya ke arah sini. Nggak mungkin kalau ada yang curangi kita, soalnya kita kelompok pertama yang jalan masuk ke hutan," beber Joe, membuat kepanikan menguasai jiwa dan pikiran mereka.

"Terus gimana?" tanya Kimy panik.

"Kita kembali ke arah sebelumnya." Setelah mengatakan itu, Joe mengambil langkah mendahului para temannya berjalan ke arah mereka datang sebelumnya. Disusul oleh para anggota kelompoknya dari belakang.

"Jangan-jangan hantu yang ngubah--"

"Sst! Lo, mah, hantu mulu pikirannya!" potong Jay di sela kepanikan Vara.

Kimy yang berada di samping Ghez segera menarik-narik ujung baju laki-laki itu kala Ghez tiba-tiba termenung dengan pandangan kosong ke depan. Ghez yang merasakan sesuatu menarik bajunya lantas mengerjap beberapa kali dan melihat Kimy yang dengan sengaja mengganggunya.

"Kenapa?" bisik Ghez segera.

"Jangan ngelamun kalau lagi di tempat kayak gini," peringat Kimy pada Ghez, lalu segera mengindahkan jemarinya dari ujung baju laki-laki itu.

Di samping itu, terdapat Gian yang masih asik memainkan dedaunan yang ia petik beberapa menit lalu. Noshi yang melihat itu lantas menyenggol bahu Gian--

"Apaan?"

"Jangan ambil daun sembarangan! Lo, kan, nggak tahu kalau daun itu bahaya atau nggak," ucap Noshi memperingati.

"Iya, buang Gian daunnya. Banyak tumbuhan di hutan yang berbahaya kalau dipegang!" sahut Jarden dari belakang--membuat Noshi dan Gian menolehkan kepalanya ke belakang sebentar.

"Ya udah." Gian segera membuang daun yang ia mainkan itu setelah mendengar peringatan dari para temannya. Karena ia juga tak mau sesuatu hal yang buruk menimpanya.

Sudah beberapa jam mereka berjalan, tapi rasanya mereka justru semakin menjauh dan tersesat ke dalam hutan. Sedari tadi mereka belum melihat adanya tanda dari para panitia yang sengaja dipasang agar mereka tak tersesat.

Entah sudah berapa lama mereka menyusuri hutan, bersamaan dengan itu Vara mendelik kaget ketika ia melihat ke arah jam tangan yang dikenakannya.

"Eh, udah jam dua malam!" pekik Vara panik yang membuat atensi para temannya beralih padanya.

"Serius?" tanya Noshi yang penasaran dan akhirnya turut melihat jam tangan milik Vara.

"Di depan sana bukit, kita bisa istirahat sebentar," tunjuk Altezza yang langsung disetujui oleh mereka.

Sepuluh pasang kaki itu segera melesat dari sana dan menaiki bukit untuk sampai di puncak bukit. Di sana, mereka bisa sekedar beristirahat sejenak dan melanjutkan perjalanan esok hari. Perjalanan yang panjang akan menyulitkan mereka, terlebih tak ada yang membawa handphone ataupun kompas sebagai media penunjuk arah.

###

"Kelompok satu ke mana?!"

Suara Pak Carlos menggelegar pagi ini. Sejak semalam hingga kini, kelompok satu atau lebih tepatnya kelompok yang di ketuai oleh Joevian belum kunjung kembali dari kegiatan jurit malam atau penjelajahan hutan semalam. Satu per satu siswa hanya saling berbisik menanyakan di mana keberadaan kelompok satu yang mereka pun tak mengetahuinya. Para orang tua siswa dari kelompok satu belum ada yang dihubungi karena kemungkinan mereka belum tersesat jauh dari hutan.

Tak ingin hal buruk terjadi pada anak muridnya, Pak Larry selaku kepala sekolah lantas menghubungi anggota penyelamat untuk menemukan keberadaan kelompok satu. Karena kejadian ini, acara kemah akhirnya dihentikan sementara dan membuat para siswa hanya diperbolehkan berkeliaran di sekitaran area tenda.

"Kata gue sih, mereka dibawa sama hantu!"

"Gila kali lo, mana ada sih, gituan!"

"Ada woi, ih lo nggak pernah nonton film hantu?"

"Diam, kenapa, sih! Berpikir yang positif!"

Para murid hanya saling mengobrol dan mempertanyakan di mana keberadaan kelompok satu yang hilang. Beberapa dari mereka ada yang sengaja menggunakan drone untuk bisa menemukan keberadaan kelompok satu.

Di sisi lain, sepuluh orang yang tersesat itu kini sudah kembali berjalan untuk keluar dari hutan setelah semalaman mengumpulkan energi dan berisitirahat untuk melepas penat tubuhnya. Sepuluh pasang kaki itu berjalan dengan lunglai bak zombie yang kelaparan. Mereka benar-benar lelah setelah beberapa jam berjalan dan tidak kunjung menemukan jalan keluar.

"Lihat itu, woi ada air!!" pekik Ghez riang dan segera melesat, disusul oleh para temannya mendekati genangan air tersebut yang berada di bawah pohon.

"Jangan diminum. Sumber airnya bukan dari gunung. Tapi dari pohon," tunjuk Altezza dengan jemari yang mengarah pada batang pohon itu.

Bersamaan dengan itu alis Kimy maupun Vara bertaut bingung. Kedua gadis itu bertatapan mata beberapa saat lalu mendekati pohon itu dengan hati-hati. Begitupun yang lainnya, mereka mengecek apa yang terjadi pada pohon tersebut sehingga bisa mengeluarkan air dari batangnya.

"Aneh nggak, sih? Kok air jernih keluar dari pohon?" selidik Jarden dengan mengetuk-ngetuk dagunya.

"Biasanya kan, dari gunung atau bukit kalau di hutan gini," sambung Lavana yang juga heran dengan peristiwa tak biasa ini.

"Tapi gue haus banget! Minum aja, lah, bodo amat!" putus Ghez pada akhirnya. Lalu ia mengambil daun mangkuk yang berada tak jauh dari pohon itu dan mengambil sedikit air untuk ia minum.

Baru saja Ghez ingin meminumnya, Noshi sudah lebih dulu menepis tangan Ghez hingga air yang berada di daun mangkuk itu berjatuhan ke bawah. Ghez mendelik kala Noshi justru menepis tangannya, matanya menatap sayang ke arah air yang sudah terbuang sia-sia.

"Kok lo bu--"

"Lo ngeyel banget, sih! Kalau ada apa-apa sama lo siapa yang mau tanggung jawab?" geram Noshi khawatir akan tindakan berbahaya yang dilakukan oleh Ghez.

"Benar kata Noshi, kita nggak tahu air ini dari apa, kan? Kalau ini getah gimana?" ujar Gian memperingatkan.

"Ghez, kalau mau mati nanti aja. Di sini repot nguburinnya soalnya nggak ada kain kafan," ledek Jay yang membuat semua mata terarah padanya.

Vara yang jengkel lantas menutup mulut laki-laki itu hingga tubuh Jay tertarik ke belakang. "Kalau ngomong yang bener-bener aja!" hardik Vara jengkel.

"Memang airnya jernih kalau dilihat pakai mata telanjang. Tapi, kita nggak tahu, kan, kalau dilihat pakai mikroskop?"

Mendengar ucapan Joe, Jarden menjentikkan jarinya kala menemukan sebuah ide bagus. Ia merogoh tasnya dan mengambil sebuah botol kaca kecil yang biasa ia gunakan untuk menyimpan sempel saat kelas club biologi berlangsung. Dengan hati-hati Jarden memasukkan sedikit air itu ke dalam botol, lalu ia tutup kembali dan simpan di dalam tasnya.

"Buat apa?" tanya Ghez yang melihat tingkah lakunya.

"Buat gue cek di mikroskop kalau kita sampai sekolah," balas Jarden.

Tak ingin membuang banyak waktu di sini, mereka kembali melanjutkan perjalanannya demi bisa keluar dari hutan belantara ini. Namun, baru saja Ghez hendak melangkah, kakinya tersangkut akar pohon yang besar sehingga membuatnya terpeleset dan terjatuh ke belakang, membuat kepalanya masuk ke dalam genangan air itu.

"Ghez!"

"Duh, eh, tapi rasa airnya kayak yang biasa kita minum! Cuma ada sedikit pahit, sih," ucap Ghez santai.

"Lo minum?!" pekik Altezza yang mulai naik pitam.

"Nggak sengaja. Udahlah, nggak bakal mati juga gue," balas Ghez santai lalu melangkah maju mendahului para temannya.

Malas untuk berdebat, akhirnya mereka kembali melangkah menjauhi area pohon tadi. Namun, tak dipungkiri Ghez merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada tubuhnya setelah beberapa detik ia menelan air itu. Rasa pusing mulai menyerang kepala, sehingga membuatnya hampir terjatuh jika Joe atau Kimy tak langsung menahannya kembali.

Bak ikatan batin, Noshi mulai merasakan ada hal aneh terjadi pada salah satu temannya. Lantas ia menoleh ke belakang, betapa terkejutnya kala ia mendapati Ghez yang tengah menyadarkan tubuh pada pohon sembari meremat kepalanya sendiri.

Mereka yang berjalan di belakang Noshi pun tanpa sadar mengikuti arah pandangnya yang mengarah ke belakang.

"Ghez!" Khawatir, lantas ia berlari menghampiri Ghez tanpa menghiraukan Gian yang masih setia menggenggamnya.

Para siswa yang lain pun turut berlari menghampiri Ghez. Mereka takut jika ada hal buruk menimpa Ghez.

"Lo kenapa?" Tanpa menunggu lama Kimy segera meletakkan punggung tangannya di kening Ghez untuk merasakan suhu badannya.

"Nggak panas, normal kok," jawab Kimy setelah mendapatkan pertanyaan dari para pasang mata yang menatapnya.

Vara mengernyit kala bau amin mulai merasuki indera penciuman. Tanpa sadar, Vara mendekati wajahnya pada Ghez untuk mengendus lelaki itu.

Jay menautkan kedua alisnya bingung, lantas menarik tubuh Vara untuk menjauh dari Ghez.

"Lo ngapain?!"

"Mulut Ghez bau amis, bau itu sama persis kayak bau air yang ada di pohon tadi. Tapi, bukan amis darah atau ikan. Lebih tepatnya bau jamur. Amis tapi kayak ada bau tanahnya," beber Vara yang membuat mereka berpikir sejenak.

"Jamur? Iya, gue pernah nggak sengaja nyium jamur di halaman rumah. Baunya emang sedikit amis tapi didominasi sama bau tanah," ucap Joe mengingat-ingat peristiwa beberapa hari lalu di halaman rumahnya.

"Mungkin itu bau amis dari air pohon yang Ghez minum tadi," celetuk Gian.

"Tapi, tadi mukanya Ghez udah dilap pakai tisu basah, kan? Harusnya nggak bau lagi," sambung Lavana.

"Nggak woy, bukan masalah bau amis jamur yang ada di mulut Ghez. Tapi, coba lo pada mikir. Emang ada air yang keluar dari pohon apalagi baunya kayak jamur gitu? Padahal, di sekitaran pohon tadi nggak ada jamur sama sekali, loh! Tempatnya juga panas untuk habitat jamur yang lembab," tambah Jarden, membuat mereka diam, dan saling menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam otak masing-masing.

Keheningan itu tak bertahan lama sampai Noshi kembali menjerit---

"Ghez pingsan!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!