"Kepada malam, ajari aku untuk tetap mencintainya dalam diam, ajari aku untuk tetap bertahan dalam penantian jika dia memang takdirku, namun tolong lepaskanlah semua rasa untuknya dari hatiku jika ternyata dia tidak tertakdir untukku"
Langit yang pekat menjadi saksi, lolosnya air mata yang sudah tak mampu dia tahan. Monolog di hatinya terus berlanjut, bermunajat pada Sang Pencipta.
Liani Salsabila, kepergiannya ke negeri asing tidak lantas membuatnya mampu melupakan cintanya pada lelaki yang sudah berhasil mencuri hatinya.
Memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di negeri orang, bermaksud menghindar dari semua kenangan yang tak mampu membuat dirinya keluar dari rasa mencinta yang begitu dalam hingga menimbulkan luka yang menganga tatkala tak terbalas.
"Selamat menikmati sebuah kerinduan, tanpa adanya pertemuan"
Mungkin itu adalah ungkapan yang tepat untuknya selama dua tahun ini. Sibuknya rutinitas akademik yang ditempuhnya nyatanya tidak mampu membuatnya melupakan nama yang sangat ingin dia hapus dari hati dan pikirannya.
Semakin lama semakin terkenang setiap perhatian yang pernah diberikan oleh sang lelaki. Setiap kali ada yang mendekati, pikirannya langsung membandingkan. Lagi-lagi sang lelaki, Muhammad Ahsanul Amal menjadi standarnya.
"Kamu merindukannya?" pertanyaan seseorang semakin memantik rasa rindunya. Dia hanya mampu mengangguk lemah sebagai jawaban.
"Keindahan yang menyesakkan dada, namun percayalah setiap orang memiliki proses masing-masing untuk menuju akhir yang bahagia" wanita paruh baya yang terlihat awet muda itu merengkuh gadis berhijab jingga yang kini bergetar bahunya.
"Sudah dua tahun Umma, tapi kenapa di hati ini masih ada namanya?" bahu Liani kembali terguncang, mengingat betapa sulit dirinya untuk melupakan sosok yang dengan susah payah dia hindari dan tinggalkan.
"Bukalah hati dan pikiranmu. Sadari hikmah dari setiap hal yang tertakdir untukmu. Ingat, beban tidak akan salah memilih pundak, semuanya sudah diatur apik oleh Sang Pembuat Skenario"
"Sekarang cobalah membuka diri, mulai dari menentukan kriteria seperti apa yang kau harapkan untuk seseorang yang akan mendampingimu. Harus selektif memilih, dia tidak hanya akan menjadi teman hidupmu tetapi menjadi partner ibadahmu" nasihat dan pesan tulus kembali terlontar dari perempuan yang sudah dianggapnya sebagai ibu itu.
Selama di perantauan, Liani bersyukur sudah dipertemukan dengan orang yang seiman dan sefrekuensi dengannya. Jadilah kini mereka begitu dekat, saling mencintai dan menyayangi karena Allah hingga menumbuhkan saling peduli dan saling menjaga.
Wanita yang dipanggil umma itu pun mengurai pelukannya sesaat setelah Liani terlihat lebih tenang. Hari-hari santai yang dilaluinya menjelang kepulangan selalu dibumbui dengan tangis yang tak mampu ditahannya hanya karena sebuah kerinduan. Dan umma selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap kata yang terucap karena keresahan yang melanda hatinya.
"Mulai sekarang, simpan rindumu, simpan sampai pada saatnya Allah mengirimkan seseorang yang akan menerima dan merawat rindumu dengan sangat baik" Umma mengakhiri sesi sharing and caringnya, dia menghapus air mata yang masih tersisa di sudut mata Liani.
Malam ini adalah malam terakhir dia berada di negeri orang. Tiket pesawat pemberangkatan menuju Jakarta sudah siap mengantarnya ke tanah air tercinta.
"Mengenalmu tanpa sengaja, mencintaimu secara tiba-tiba, mengikhlaskanmu secara terpaksa, lalu melupakanmu dengan air mata. Itulah yang aku rasakan tentangmu Kak" Liani kembali bermonolog dalam hatinya.
Pagi waktu di sana telah menyapa, Liani sudah bersiap untuk pergi ke bandara. Umma dan teman se-asramanya siap mengantar Liani menuju bandara.
"Hiduplah dengan baik, sebuah sekolah sudah menanti baktimu. Nanti akan ada keponakan umma yang menjemputmu di bandara sana. Dia dipercaya orang baik untuk mengelola yayasan miliknya di Jakarta, semoga kamu bisa menemukan hidup barumu di tempat itu" ucap umma dengan penuh kelembutan sambil merangkul Liani dan berjalan beriringan menuju mobil yang sudah siap membawa mereka ke bandara.
Sebelumnya Liani disodorkan dua pilihan, dia menjadi pengajar di universitas tempatnya menuntut ilmu dan tetap berada di negeri orang atau kembali ke tanah air dan mengamalkan ilmunya untuk turut mengelola sebuah yayasan yang juga menjadi salah satu sponsor beasiswanya.
Dengan berbagai pertimbangan juga mendapatkan masukan dari beberapa orang yang memang cukup dekat dengannya, Liani akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah air. Dia memilih akan menetap di Jakarta dan mengabdi di sebuah yayasan yang sudah merekrutnya. Berharap semua hal yang pernah dilaluinya di masa lalu tidak ditemukan di tempat baru nanti.
"Terima kasih banyak umma, terima kasih atas semua kebaikan umma padaku selama ini. Semoga Allah selalu menjaga dan melindungi umma dimanapun berada" do'a tulus Liani ucapkan untuk orang yang selalu bersama dan memahaminya selama berada di negeri asing itu.
"Aamiin, do'a yang sama untukmu juga putriku" mereka saling berpelukan, umma memang tidak akan mengantar sampai bandara karena harus menerima kunjungan tamu yang akan datang ke asrama.
"Hati-hati di jalan ya, jaga diri baik-baik" pesan terakhir umma pun mengantar kepergian Liani bersama empat orang rekannya yang akan turut mengantar ke bandara.
Tepat menjelang senja Liani pesawat yang membawa Liani mendarat di tanah air. Dengan menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan Liani mulai berjalan, menginjakan kembali kakinya untuk pertama kali di tanah air tercinta setelah dua tahun berada di negeri orang. Dia berjalan menarik koper dan menggendong ranselnya menuju pintu keluar dimana orang yang menjemputnya sudah menunggu.
"Mbak Liani Salsabila?" seorang pemuda tampan berperawakan tinggi tegap dan berpakaian formal jas lengkap dengan dasinya datang menghampiri.
"Iya, saya Liani Salsabila. Anda...?" Liani membenarkan ucapan pemuda itu,
"Alhamdulillah, saya Fajar Mbak. Saya diminta Bu Aisyah untuk menjemput Mbak" jawab pemuda itu sopan, Liani mengira pasti pemuda di hadapannya itu lebih muda darinya.
"Mas Fajar ini keponakan Umma Aisyah ya?" Liani bertanya untuk sekedar memastikan, sebenarnya dia sudah tahu jika orang yang akan menjemputnya adalah keponakan Bu Aisyah, wanita yang lebih akrab dipanggilnya Umma.
"Benar Mbak, saya keponakannya Uwa Aisyah" jawab Fajar sambil meraih gagang koper milik Liani yang ada di hadapannya.
"Oh iya, terima kasih ya sudah menjemput dan membantu saya" Liani berterima kasih sekali pada Fajar, dia bersyukur selalu dipertemukan dengan orang-orang baik dimanapun dia berada.
"Sama-sama, Mbak. Saya senang akhirnya orang baru yang dijanjikan pihak yayasan sudah datang. Pembangunan asrama putri sudah hampir selesai, beberapa minggu lagi target peresmiannya. Kedatangan Mbak Liani sangat pas sekali" Fajar terlihat mengakrabkan diri dengan Liani, sebelumnya dia sudah mendengar banyak hal tentang gadis yang berdiri di hadapannya itu dari uwanya, sehingga merasa sudah cukup mengenal Liani. (uwa panggilan di Sunda untuk kakak dari ibu atau ayah kita)
"Alhamdulillah, semoga ke depannya kita bisa bekerja sama dengan baik dan tidak menyia-nyiakan kepercayaan pihak yayasan" ucap Liani dengan mengulas senyum,
"Aamiin" balas Fajar yang juga tersenyum menatap Liani.
Mereka pun berjalan beriringan menuju tempat mobil yang dikendarai Fajar diparkirkan.
"Semoga kepulanganku ini adalah keputusan yang tepat. Aku yakin sesalah apapun keputusan, tanggung jawab akan membuatnya lebih baik. Aku harus siap menerima apapun konsekuensi dari keputusanku untuk kembali ke tanah air. Seberat apapun sebuah konsekuensi, tekad yang kuat akan membuatnya lebih ringan. Karena serumit apapun persoalan hidup, kebijaksanaan akan membuatnya lebih sederhana dan sebesar apapun sebuah tantangan hidup keberanian akan membuatnya lebih kecil. Sebanyak apapun masalah yang kelak akan aku hadapi, kedewasaan akan mampu memaknainya dengan indah. Laa takhaf walaa tahzan, innallaha ma'ana."
Liani terus menyugesti dirinya, dia tidak mau hatinya kembali lemah. Tekadnya kuat, akan meninggalkan masa lalunya untuk tetap di belakang dan dia akan fokus pada masa depan yang membentang di hadapannya.
"New life, new hope!" serunya pelan,
☘️☘️☘️
Mampukan kali ini Liani benar-benar melupakan masa lalunya dan memulai kehidupan baru di tempat baru dengan orang-orang baru?
Nantikan kisah Liani dan Ahsan selanjutnya....
"BAITUR RAHMAH"
Tulisan besar dengan desain yang sangat indah menyambut Liani ketika sampai di gerbang utama yayasan tempatnya akan mengabdikan diri. Dia berhasil lolos seleksi akademik maupun wawancara untuk menjadi salah satu pengelola yayasan yang terbilang masih baru namun berkembang dengan sangat pesan.
Lembaga pendidikan formal dan informal dengan jenjang mulai dari pendidikan anak usia dini hingga sekolah menengah atas sudah lengkap di sana. Saat ini santer dibicarakan jika yayasan ini pun tengah mengajukan perizinan untuk mendirikan perguruan tingginya juga.
Rasa kagum terucap dalam hati betapa megah dan indahnya bangunan yang berdiri kokoh di hadapannya ini. Bangunan yang menjadi kantor pusat manajemen yayasan Baitur Rahmah yang merekrutnya untuk menjadi bagian dari yayasan besar ini.
"Ini adalah gedung kantor manajemen yayasan Mbak, setelah melewati gedung ini Mbak baru akan melihat deretan gedung yang digunakan untuk sekolah dan kegiatan keagamaan lainnya. Mari Mbak..." Fajar lebih dulu keluar dari mobil dan mengajak Liani yang masih terkagum-kagum pada bangunan di hadapannya itu.
"Sebelah sana jalan menuju Mesjid Baitur Rahmah, akan terlihat jelas kalau kita datang dari arah sana" Fajar menunjuk jalan di samping gedung megah itu yang merupakan akses menuju masjid agung yayasan, mereka kebetulan datang dari arah berlawanan sehingga tidak melewati masjid yang juga tak kalah megah dan indah itu.
"Masya Allah, tabarakallah" Liani kembali memuji keagungan Yang Maha Kuasa atas salah satu karya makhluk-Nya yang begitu menakjubkan itu, area parkir yang cukup padat membuatnya hanya melihat sebagian akses jalan menuju mesjid itu.
"Maaf Mbak, sekarang sedang berlangsung pengajian. Setiap ahad pagi kami biasa menggelar pengajian akbar yang terbuka untuk umum" jelas Fajar karena terdengar suara moderator dari pusat suara yang bersumber dari mesjid mempersilahkan narasumber kajian ahad ini untuk memulai ceramahnya.
Liani hanya manggut-manggut mendengar semua penjelasan Fajar, dia masih fokus pada pintu lobi gedung manajemen yayasan yang membuatnya de javu.
Pikirannya melayang ke beberapa tahun silam, saat pertama kalinya dia dan sahabatnya Shanum memasuki yayasan tempatnya mengajar sebelum kepergiannya ke negeri orang untuk melanjutkan studi.
Yayasan yang tidak hanya memberinya pengalaman dan sumber penghidupan, tapi juga kisah cinta yang membuatnya memilih untuk pergi ke negeri orang tersebut.
"Mbak, mau langsung ke rumah mukim atau mau menunggu dulu di ruangan Mbak?" pertanyaan Fajar berhasil membuat Liani keluar dari lamunannya,
"Iya, bagaimana?" karena melamun Liani menjadi kurang fokus pada pertanyaan Fajar,
"Saya harus ke mesjid mengikuti kajian, mbak mau langsung ke rumah mukim atau mau menunggu dulu di ruangan Mbak?" Fajar mengulangi pertanyaannya dengan senyum ramah karena dia tahu jika sejak tadi Liani hanya menatap ke arah pintu masuk lobi gedung perkantoran manajemen yayasan.
"Oh, kalau begitu boleh tidak aku ikut dulu kajian?" tanya Liani serius, dia pun penasaran dengan mesjid agung yang menjadi icon yayasan ini sekaligus ingin mulai merasakan berada di aktifitas rutin yang ada di yayasan karena dirinya pun selanjutnya akan menjadi bagian dari mereka.
"Tentu saja, tentu saja boleh mbak. Mari!" dengan senang hati Fajar menjawab, dia senang ternyata Liani memang sangat mudah menyesuaikan diri, benar kata uwanya yang pernah bersama Liani di luar negeri, jika wanita yang ada di hadapannya adalah orang yang sederhana, ramah dan mudah bergaul.
Semua barang-barang milik Liani dibiarkan masih berada di bagasi mobil Fajar, Liani hanya membawa tas kecil yang digendongnya dan juga ponsel di genggamannya.
Mereka berjalan beriringan dengan Liani yaang berjalan mengikuti kemana arah Fajar melangkah. Beberapa karyawan yang bertugas di area depan, mulai petugas kebersihan, petugas keamanan dan petugas piket menundukkan kepala saat berpapasan dengan Fajar. Petugas piket di meja resepsionis yang kebetulan dua orang akhwat bahkan sempat memerhatikan Liani yang berjalan di belakang Fajar.
"Silahkan mbak masuk melalui pintu ini" Fajar menunjuk pintu masuk khusus akhwat untuk menuju bagian lantai dua mesjid.
"Saya akan masuk melalui pintu sebelah sana" akses khusus ikhwan, lebih tepatnya pintu yang hanya dilalui pimpinan dan orang tertentu saat ada acara seperti ini.
Liani pun memasuki pintu yang ditunjuk Fajar, dia melihat banyak sekali akhwat yang mengikuti kajian ini. Liani mencari-cari barisan yaang masih bisa ditempatinya.
"Ukhty Liani?" seorang gadis berjilbab marun menyapanya ramah,
"Iya benar" jawab Liani dengan sorot mata bertanya,
"Alhamdulillah, assalamu'alaikum Ukhty. Selamat datang di yayasan Baitur Rahmah" sambutan ramah diiringi dengan senyum menyambut kehadiran Liani di mesjid itu. Gadis itu berbicara pelan karena tidak ingin mengganggu jama'ah akhwat lainnya yang sedang menyimak kajian itu.
"Saya Naura, Ustadz Fajar meminta saya untuk menemani Ukhty" jelas gadis yang bernama Naura. Sebelumnya Fajar memang sudah mengiriminya pesan agar Naura menemani Liani yang ingin mengikuti kajian.
"Mari ikut saya" bisik Naura, mereka pun berjalan menuju tempat yang dimaksud Naura.
Ceramah seorang ustadz yang cukup tenar di media sosial menjadi daya tarik tersendiri dalam kajian ini. Tidak heran jika para jama'ah pengajian kebanyakan adalah para pemuda dan pemudi. Kendati pun demikian tidak sedikit para sepuh yang duduk di barisan terdepan turut menyimak kajian ini dengan antusias.
Liani pun membuka tas yang didalamnya terdapat tablet yang biasa dia gunakan untuk mencatat ketika belajar. Tidak ada lagi pembicaraan antara dirinya dengan Naura. Setelah bersalaman dengan gadis-gadis seusia Naura yang duduk berdekatan dengannya, mereka kembali fokus menyimak kajian yang sedang berlangsung begitupun dengan Liani.
"Laa yukallifullahu nafsan illa wus'aha...sesungguhnya Allah tidak akan menguji manusia di luar batas kemampuan dirinya"
Nyess....potongan ayat al-Qur'an yang dibacakan sang penceramah seolah menyirami hati Liani yang sedang gersang. Dia mengusap dadanya dengan bibir yang basah dengan ucapan dzikir. Tema yang dibahas sangat menarik bagi Liani, ketika musibah menjadi berkah. Dia menulis kalimat itu dengan huruf kapital di catatannya.
"Dikisahkan bahwa ada seekor burung pipit yang bertasbih mensucikan nama Allah setiap hari, namun beberapa hari berlalu suara tasbihnya tidak lagi terdengar" Liani pun lanjut mendengat ceramah sang Ustadz.
"Maka para malaikat pun bertanya: ' Ya Rabb, mengapa suara tasbih burung pipit itu tidak terdengar lagi?',
"Allah subhanahu wata'ala pun menjawab: 'kalian akan segera tahu jawabannya, sebentar lagi dia akan datang dan mengadu kepadaku, karena dia tidak punya tempat mengadu selain aku.'
Mendengar kisah yang dituturkan sang Ustadz Liani semakin antusias. Dia sangat penasaran dengan kelanjutan kisah burung pipit itu.
"Tak berapa lama berselang, burung pipit itu terlihat berdiri di atas ranting sebatang pohon. Para malaikat mengamati dan menunggu apa gerangan yang akan diucapkan burung itu, namun ternyata dia ia hanya diam..."
Tidak hanya Liani, para peserta kajian yang lainnya pun semakin antusias mendengarkan cerita itu. Terbukti dengan suasana hening yang tercipta di dalam mesjid yang megah dan luas itu.
"Kemudian Allah berkata kepadanya:'sampaikanlah apa gerangan hal yang menyesakkan dadamu!"
"Ya Rabb, aku mempunyai sebuah sarang kecil tempat beristirahat, Engkau telah mengambilnya. Engkau kirimkan angin kencang yang memporak porandakan semuanya. Ucap burung pipit itu sambil mengucurkan air mata menahan rasa sedih yang sangat dalam, yang membuat penduduk langit terdiam penuh haru..." semua orang yang berada di masjid pun turut haru mendengarnya dan semakin penasaran, termasuk Liani.
"Allah subhanahu wata'ala kemudian berkata: 'Sebetulnya ketika kamu sedang terlelap, ada seekor ular yang mendekati sarangmu dan siap memangsa. Maka sengaja kukirimkan angin untuk membalikan sarangmu agar kamu terbangun, terbang dan selamat. Betapa besarnya ancaman yang telah kujauhkan darimu!"
"Air mata burung pipit itu pun semakin menggenang, kali ini bukan karena sedih dan kecewa, namun karena sangat terharu. Suara tangisnya membelah keheningan langit, alangkah Maha Lembutnya Engkau Ya Rabb. Ucap burung pipit itu,
"Kesimpulan para hadirin yang dirahmati Allah, jangan sedih ketika Allah menghalangi engkau untuk mendapatkan sesuatu yang engkau cintai. Andai engkau menyadari bagaimana Allah mengatur urusanmu niscaya hatimu akan larut salam cinta-Nya. Betapa Agungnya Engkau Ya Rabbi..." sang Ustadz tertunduk sejenak, semakin menciptakan keheningan di salam mesjid itu.
"Segala puji bagi Allah atas segala kondisi, segala puji bagi Allah yang telah menjauhkan diriku dari hal-hal yang aku sukai, sekarang aku menyadari bahwa semua itu akan menyengsarakanku. Akhirnya si burung pipit pun dengan tulus bersyukur atas segala kesakitan dan kekecewaan yang menimpanya sesungguhnya adalah keselamatan dan kebaikan yang tidak terkira yang Allah kemas dengan cara yang tak biasa."
Liani seketika tertegun, dia merasa nasibnya tidak jauh beda dengan si burung pipit dalam kisah yang disampaikan sang ustadz. Tangan kanannya kembali memegangi dada.yang berdetak keras, berpikir dan bertanya-tanya sudahkan dia mengambil hikmah dan kebaikan dari yang dialaminya tersebut dan mensyukurinya.
Liani pun membenarkan bahwa tidak semua nikmat yang Allah berikan dikemas dalam peristiwa bahagia, bisa jadi Allah ingin menguatkan kita terlebih dahulu dengan uji cobanya untuk menerima kenikmatan dan kebahagiaan yang jauh lebih besar.
"Hadirin yaang dirahmati Allah, begitulah jika cobaan hidup datang dan menghampiri kita. Selalu berprasangka baik pada Rabb-mu dan berserah dirilah. Bertawakallah, boleh jadi semua yang hadir itu karena itu adalah yang terbaik untuk hidup kita, agar kita tetap selalu bersyukur dan pengingat diri untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik."
"Kapasitas kita hanya ikhtiyar dan do'a, perihal dikabulkan Allah tahu kapan waktu yang pas. Wallahu'alam bishshawab, barokallohuli walakum, assalamu'alaikum warohmatulloh wabarokatuh" sang Ustadz pun mengakhiri sesi ceramahnya dengan ucapan salam yang disambut dengan serempak dan gempita oleh seluruh jama'ah taklim.
"Astaghfirullah, ampuni hamba Ya Rabb" gumam Liani dalam hatinya, ceramah yang disampaikan sang ustadz sungguh telah mencerahkan hatinya.
"Dulu kamu menjadi do'aku yang paling serius, sekarang kamu menjadi ikhlasku yang paling tulus" Liani menatap langit-langit kamar yang berwarna putih tampak masih baru.
Dia sudah sampai di kamarnya. Sebuah rumah dinas dengan desain minimalis menjadi tempat Liani bermukim di yayasan yang akan menjadi tempatnya mendedikasikan diri dan waktunya mulai sekarang.
Kajian Ahad pagi selesai tiga puluh menit sebelum dzuhur. Liani tidak menyangka jika dirinya akan dikenalkan di khalayak ramai seperti tadi. Dia lupa jika umma Aisyah pernah bilang kalau keponakannya adalah orang kepercayaan pemilik yayasan untuk mengelola dan bertanggung jawab penuh terhadap keberlangsungan yayasan tersebut dengan semua amal usahanya.
Fajar meminta waktu pada sang pengatur acara untuk berpidato. Kurang lebih selama lima belas menit Fajar berbicara di atas podium, seharusnya di awal acara dia berdiri dan berbicara di sana tetapi karena harus menjemput Liani membuat dia meminta pada panitia untuk mencancel sambutannya.
Liani sempat kaget ketika Fajar meminta maaf karena keterlambatannya menghadiri majelis ilmu pagi ini. Perasaan bersalah pun tumbuh di hati Liani, terlambatnya Fajar karena menjemput dirinya di bandara.
Hal selanjutnya yang membuat Liani terkejut adalah ketika di akhir pidatonya Fajar memperkenalkan Liani.
"Hadirin yang saya hormati, hari ini menjadi hari yang penting untuk yayasan kita. Karena selain sebentar lagi kita akan mengesahkan gedung asrama putri, hari ini kita juga sudah kedatangan seorang guru yang akan menjadi penanggungjawabnya. Di penghujung pidato ini saya mohon izin untuk memperkenalkannya. Beliau adalah Ustadzah Liani Salsabila" Liani sangat kaget saat namanya disebut melalui pengeras suara yang terdengar seantero yayasan.
Dengan perasaan malu namun bangga, Liani pun berdiri dan sedikit membungkukkan badan sebagai sapaan penghormatan walaupun tidak semua jama'ah dapat melihatnya karena memang tempat duduk ikhwan dan akhwat terpisah.
Tok...tok...tok...
"Assalamu'alaikum" suara ketukan pintu diiringi ucapan salam membuyarkan lamunan Liani. Dia bergegas bangun dari tidurnya dan segera berjalan menuju pintu.
"Wa'alaikumsalam" jawab Liani yang kemudian membuka pintu rumah dinas itu.
"Ustadzah, saya diminta Ustadz Fajar untuk mengajak ustadzah makan siang di ruang makan umum. Mari, Ustadzah" Naura, guru akhwat yang sudah cukup lama mengabdi di sana kembali menjadi orang suruhan Fajar untuk berkomunikasi dengan Liani.
"Baik, kalau begitu tinggu sebentar saya mau membersihkan diri dulu" pinta Liani sopan dan dijawab anggukan oleh Naura.
"Eh...tidak apa-apa kalau menunggu? maaf tadi saya rebahan dulu sebentar jadi belum sempat mandi" Liani semakin akrab dengan Naura, dia tidak segan berbicara jujur pada wanita yang baru ditemuinya itu melihat perangai Naura yang memang baik dan enak diajak bicara.
"Tentu saja ustadzah, saya akan menunggu" jawab Naura diiringi senyum ramahnya.
☘️☘️☘️
Hari-hari yang dilalui Liani di tempat barunya semakin menyenangkan. Dia semakin berbaur dengan banyak orang di sana. Sebagai ustadzah yang cukup senior dari segi pendidikan dan pengalaman membuat Liani dengan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Tanpa terasa sudah hampir tiga bulan Liani berada di tempat itu.
Keberadaan Liani di sana memberi warna tersendiri, semua orang menyukainya. Selain cantik dan ramah Liani juga adalah guru yang menyenangkan untuk murid-muridnya. Tidak hanya itu, keberadaannya yang baru tiga bulan di sana sudah membuat dia memiliki banyak teman bahkan serasa saudara.
Fajar tersenyum saat secara tidak sengaja mendengar beberapa orang membicarakan Liani. Dia pun sering melihat Liani yang beraktivitas dengan penuh semangat. Setiap orang memiliki kesan positif terhadap ustadzah baru itu. Dia senang, Liani dapat menikmati keberadaannya di sana.
"Apakah kamu sudah menemukan calon?" seorang laki-laki paruh baya namun terlihat masih gagah dan berwibawa duduk berhadapan dengan Fajar. Beliau adalah Pak Hakim, pendiri sekaligus pemilik yayasan yang dikelola Fajar.
Secara rutin Pak Hakim mengunjungi tempat itu, selain untuk memantau keadaan yayasan Pak Hakim juga sangat senang mengisi hari pensiunnya dengan melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan yang diadakan yayasan terutama kajian di Masjid Baitur Rahmah yang hampir setiap hari selalu ada.
"Belum Pak" jawab Fajar dengan wajah tertunduk, dia sangat segan jika sudah berhadapan dengan pimpinannya itu. Walau bagaimana pun Pak Hakim adalah orang yang sangat Fajar hormati. Beliau berteman baik dengan almarhum ayahnya. Saat mengetahui sahabat baiknya itu meninggal, Pak Hakim merasa bertanggungjawab dan ingin membantu keluarga yang ditinggalkannya.
Pak Hakim menjamin pendidikan anak-anak sahabatnya itu sampai perguruan tinggi dan kini Fajar sebagai anak sulung sudah berhasil membuktikan dirinya menjadi orang yang sukses da membanggakan dengan kehidupan yang cukup baik. Saat ini dia bahkan menjadi orang kepercayaan Pak Hakim dan putranya.
Kedua adiknya pun saat ini sedang menempuh pendidikan atas bantuan beasiswa dari Pak Hakim. Fajar sangat menghargai beliau, dia bahkan menganggapnya seperti ayahnya sendiri. Apalagi Pak Hakim selalu bilang agar dirinya dan adik-adiknya tidak perlu sungkan jika ada keperluan sekecil apapun.
"Bagaimana dengan ustadzah baru itu?" pertanyaan Pak Hakim sontak membuat kepalanya mendongak.
"Liani..." gumamnya pelan namun Pak Hakim masih mendengarnya walau tidak terlalu jelas,
"Siapa namanya?" tanya Pak Hakim penasaran,
"Ustadzah Liani maksud Bapak?" tanya Fajar memastikan,
"Entahlah, aku tidak tahu" jawab Pak Hakim tenang, dia pun menyandarkan punggungnya dan menatap Fajar semakin intens.
"Saya tidak tahu Pak, mungkin ustadzah Liani juga sudah punya calon" sahut Fajar dengan polosnya, padahal dia tahu betul dari cerita uwa nya jika Liani tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
"Kalau begitu kamu coba selidiki dulu tentangnya" Pak Hakim pun berdiri dari duduknya dan bersiap untuk beranjak pergi.
"Bapak mau kemana?" refleks tanya Fajar yang melihat Pak Hakim sudah bersiap.
"Aku mau berjalan-jalan mengelilingi yayasan, kamu mau menemaniku?" Pak Hakim sekaligus bertanya dengan senyum menyeringai,
Fajar menarik nafas panjang, sepertinya kali ini dia menaruh sedikit curiga dengan rencana jalan-jalan Pak Hakim untuk berjalan mengenali yayasan. Tapi dia pun tak kuasa menolaknya. Dengan perasaan yang tak menentu Fajar akhirnya menemani Pak Hakim berkeliling komplek yayasan.
"Tentu saja Pak, dengan senang hati. Mari, Pak!" jawab Fajar cepat, dia pun berdiri dan siap menemani Pak Hakim berkeliling yayasan.
Mereka pun berjalan beriringan dengan Fajar sebagai pemandu jalan.
"Bapak mau mulai dari mana?" tanya Fajar sopan saat mereka sudah berada di lobi kantor yayasan,
"Aku ingin memulainya dari tempat cucuku belajar!" ujar Pak Hakim bersemangat.
"Baik Pak, kalau begitu mari kita menuju Taman Pendidikan al-Qur'an yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari kantor yayasan.
Sangat kebetulan ketika memasuki area gedung TPQ, dari kejauhan Fajar sudah melihat sosok yang sejak tadi menjadi bahan obrolan antara dirinya dengan Pak Hakim.
Deg.... ada rasa yang tak biasa menghampiri hati Fajar saat tahu jika sekarang ini mereka akan bertemu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!