Annalia Louise, gadis berusia 18 tahun, baru saja mengalami patah hati yang menyakitkan. Setelah diselingkuhi pacarnya, rasa percaya dirinya hancur berkeping-keping. Ia adalah pelajar di SMA Cendekiawan, sekolah yang dikenal ketat dan prestisius. Meski di luar tampak tegar, dalam hati Anna terpuruk. Ketika dia mencoba beradaptasi dengan kesedihannya, kehidupannya kembali terguncang ketika tiba-tiba ayahnya mengumumkan rencananya yang mengejutkan.
"Na, ayo makan, sayang!" teriak bunda dari meja makan, suara hangatnya mengalun lembut dalam suasana rumah yang tenang.
"Iya, Bun," jawab Anna dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kesedihan di dalam hatinya.
Sesampainya di meja makan, ayah Anna, seorang pria berwibawa yang selalu memegang peranan penting dalam hidupnya, meminta perhatian Anna. Dia terlihat serius dan terkesan berat dengan sesuatu yang ingin dia bicarakan.
"Anna, ayah mau berbicara serius," kata ayahnya, matanya menatap tajam ke arah Anna, seolah menunggu reaksi yang jelas.
"Kenapa, Yah?" jawab Anna, bingung dan sedikit khawatir.
"Anna sekarang udah besar, kan?" Ayahnya bertanya, dan Anna mengangguk pelan, merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dalam nada bicara ayahnya.
"Ayah ingin menjodohkan kamu dengan anak teman ayah." Ucapan itu membuat Anna terhenyak. Seolah dunia di sekitarnya berhenti sejenak.
"Ayah tahu mungkin ini terlalu cepat untuk Anna, tapi ayah berharap Anna mau." Ayahnya melanjutkan, wajahnya tampak serius.
"Iya, Nak. Bunda juga mau Anna menerima perjodohan ini," tambah bunda, menatapnya dengan lembut namun tegas.
"Kenapa ayah tiba-tiba jodohin Anna?" tanya Anna, bingung dan terkejut. Dia merasa seolah hidupnya diputuskan oleh orang lain.
"Dulu, bunda sama ayah sepakat untuk menjodohkan kamu dengan anak teman ayah ketika kamu masih kecil," jelas ayahnya, memberi sedikit latar belakang.
"Apakah bunda dan ayah bahagia kalau Anna terima perjodohan ini?" Anna ingin memastikan bahwa keputusan ini bukan semata-mata untuk memenuhi harapan orang tua tanpa memperhatikan perasaannya.
Bunda Anna tersenyum lembut, lalu mengangguk. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak."
"Anna pikirin dulu ya, Yah," kata Anna, mencoba meredakan ketegangan dalam dadanya. Dia merasa tidak siap untuk keputusan sebesar itu.
"Besok kita makan malam dengan teman ayah. Kamu bisa kan?" tanya ayahnya lagi.
"Bisa," jawab Anna, meski hatinya merasa berat.
Setelah makan malam, Anna kembali ke kamarnya. Begitu pintu kamar tertutup, dia tidak bisa menahan air mata yang sudah menunggu untuk mengalir. Ia menangis sejadi-jadinya, merasakan kepedihan di hatinya.
‘Gue takut tidak bisa jalani semua ini,’ batin Anna. Pikiran itu terus berputar, membuatnya semakin bingung. Dia tidak hanya menghadapi patah hati, tetapi kini juga dihadapkan pada kemungkinan menikah dengan seseorang yang bahkan belum dikenalnya.
---
Di tempat lain, seorang remaja juga tengah berkumpul dengan teman-teman geng motornya. Jevandra Cruz, yang akrab dipanggil Jevan, adalah salah satu anggota geng motor Granger yang cukup terkenal di kalangan remaja. Geng ini dipimpin oleh Jevan, dan diwakili oleh Farel, dengan anggota inti lainnya seperti Gilang, Bagas, dan Kevin. Mereka memiliki reputasi sebagai geng yang solid dan berani, tetapi sekarang, Jevan sedang bergulat dengan pikirannya sendiri.
“Jev, lo nanti ke markas?” tanya Gilang, salah satu anggota geng yang paling dekat dengannya.
“Enggak dulu, ada acara sama nyokap bokap,” jawab Jevan, merasa tidak bersemangat.
“Tumben, bos. Biasanya lo enggak pernah absen,” kata Gilang, curiga dengan keadaan Jevan.
“Gue enggak tahu, deh,” jawab Jevan, mengalihkan perhatian.
Jevan masih teringat ucapan ayahnya kemarin. “Jevan, papa mau kamu terima perjodohan ini,” kalimat itu terngiang di kepalanya, mengganggu konsentrasinya. Sementara teman-temannya sedang asyik berbincang dan bersenang-senang, pikiran Jevan melayang jauh, merenungkan nasibnya yang tiba-tiba berubah.
"Jev, lo baik-baik aja?" tanya Bagas, menyadari tatapan Jevan yang kosong.
“Gue… lagi mikir,” jawab Jevan, berusaha tersenyum meskipun hatinya penuh dengan kebimbangan.
"Apa masalahnya? Cewek mana yang lo taksir? Jangan bilang lo jatuh cinta!" Kevin menggoda, tetapi Jevan hanya tertawa tawar.
"Bukan itu, gue dijodohin," katanya akhirnya, menghela napas berat.
“Dijodohin? Siapa yang berani jodohin lo? Lo kan masih muda!” seru Gilang, kaget.
“Yah, begitulah. Kata bokap, ini sudah keputusan yang diambil sejak lama. Gue juga enggak bisa protes,” jawab Jevan, merendahkan bahu.
“Lo harus berjuang, bro! Ini hidup lo!” Farel ikut menimpali, memberikan semangat.
“Gue tahu, tapi yang bikin bingung, kenapa harus sekarang? Kita masih SMA!” Jevan berusaha menjelaskan kekhawatirannya. Dia merasa terjebak dalam rutinitas dan harapan orang tua, tanpa bisa menentukan jalan hidupnya sendiri.
Sementara itu, pemikiran Anna dan Jevan serupa. Keduanya berada di ambang peralihan dari dunia remaja menuju tanggung jawab yang lebih dewasa, meskipun mereka tidak saling mengenal. Keduanya dihadapkan pada situasi di mana perasaan mereka seolah tidak dihitung dalam keputusan yang dibuat oleh orang-orang di sekitar mereka.
---
Setelah percakapan tersebut, Jevan merasa hatinya semakin berat. Dia tidak bisa membayangkan hidup dengan seseorang yang tidak dia kenal. Apakah ini akan menjadi perjalanan yang penuh cinta atau malah kehampaan? Dalam keheningan malam, dia merenungkan langkah selanjutnya.
"Sial!" gumamnya, mengacak rambutnya. “Kehidupan ini kadang terlalu rumit.”
Di sisi lain, Anna juga merasakan hal yang sama. Meskipun di luar dia terlihat tenang, di dalam hatinya penuh kegelisahan. Setelah satu malam penuh air mata, Anna berusaha bangkit di pagi harinya. Dia tahu dia harus bersiap untuk pertemuan malam nanti.
‘Gue harus berusaha,’ tekad Anna, berusaha menata kembali pikirannya. Dengan semangat yang mulai muncul, dia bersiap menghadapi apa pun yang terjadi, termasuk pertemuan dengan calon suaminya yang tidak dikenal.
Malam itu, Anna berdandan dengan sederhana namun anggun. Dia memilih dress putih selutut yang menonjolkan kesan polos, lengkap dengan sepatu hak tinggi yang memberinya sedikit rasa percaya diri. Namun, di balik penampilannya yang anggun, hatinya dipenuhi kegelisahan.
"Cantik sekali anak ayah," puji ayahnya, Pak Satria, dengan penuh bangga saat melihat Anna keluar dari kamarnya.
Anna tersenyum kecil, namun matanya terlihat sedikit khawatir. "Bun, Anna takut," gumamnya sambil menatap bundanya, Bu Lita, yang hanya membalas dengan senyuman menenangkan.
"Tenang, sayang," ujar Bu Lita sambil mengusap bahu Anna. "Percaya sama bunda, ya? Calonmu pasti orang baik."
Anna mengangguk meski ragu, mencoba meyakinkan dirinya bahwa segalanya akan baik-baik saja. Ayahnya mengajak mereka keluar rumah, dan dengan langkah yang sedikit berat, Anna mengikuti orang tuanya menuju restoran tempat pertemuan keluarga itu dijadwalkan.
Sesampainya di restoran, Anna melihat seorang wanita tersenyum hangat dan menghampiri mereka.
"Jeng, ini anakmu ya, Anna? Cantik sekali," puji wanita itu, yang ternyata adalah calon besan orang tuanya, Tante Salia.
Anna tersipu malu. "Selamat malam, Tante Salia," sapanya.
"Ya ampun, kamu cantik banget, Anna!" ujar Tante Salia penuh kagum, sebelum kembali menatap ke arah suaminya. "Anak kita mana, Pa?"
"Sebentar lagi sampai, mungkin sedikit terjebak macet," jawab suaminya.
Untuk mengisi waktu, Tante Salia mulai mengobrol dengan Anna. "Kamu sekolah di mana, sayang?"
"SMA Cendekiawan, Tante," jawab Anna sopan.
"Oh, wah! Kebetulan sekali, anak tante juga sekolah di sana, kelas 12 juga!"
Anna terkejut mendengar itu. "Kalau boleh tahu, namanya siapa, Tante?"
Sebelum Tante Salia sempat menjawab, tiba-tiba ada suara seorang laki-laki datang. "Maaf, saya terlambat," ujarnya, terdengar sedikit kelelahan.
Anna menoleh dan langsung terkejut melihat sosok laki-laki di depannya. "Lo!" ucapnya bersamaan dengan laki-laki itu, yang tak lain adalah Jevandra, sosok yang tak asing baginya dari sekolah.
Orang tua mereka hanya tersenyum, tidak menyadari ketegangan yang tiba-tiba muncul antara Anna dan Jevan. "Wah, kalian sudah saling kenal rupanya!" ucap Ibu Salia dengan senyum lebar.
"Ah, nggak, cuma kenal nama saja," jawab Anna cepat, mencoba menutupi kecanggungan.
Jevan segera duduk dan bersalaman dengan orang tua Anna. Di tengah obrolan, ayah Anna, Pak Satria, memulai pembicaraan serius. "Baiklah, om ingin menanyakan tentang pendapat kalian berdua mengenai perjodohan ini."
Anna dan Jevan saling pandang. Jevan segera meminta izin kepada orang tua mereka. "Om, Tante, boleh saya bicara sebentar dengan Anna di taman?"
Pak Satria dan Bu Lita mengangguk, memberikan izin. "Silakan, nak. Pikirkan dengan baik, ya."
Di taman yang sedikit sepi, Anna dan Jevan duduk berhadapan. Hening sejenak, masing-masing terdiam. Jevan yang pertama kali memecah kesunyian.
"Kenapa lo mau menerima perjodohan ini?" tanyanya langsung, matanya menatap Anna dalam.
Anna menarik napas dalam. "Gue cuma mau bahagiain orang tua. Gue tahu ini yang terbaik menurut mereka, dan gue mau coba menghormati keputusan mereka. Kalau lo sendiri?"
"Alasan gue sama. Gue nggak mau ngecewain orang tua," jawab Jevan dengan nada serius. "Walaupun, jujur, gue nggak yakin bisa menjalani ini dengan baik."
Anna mengangguk pelan. "Gue juga takut. Kita bahkan nggak saling cinta. Gue takut nanti ini cuma bakal jadi beban buat kita."
Jevan terdiam, berpikir sejenak. "Gue tahu ini sulit. Tapi mungkin, dengan berjalannya waktu, kita bisa saling memahami. Mungkin cinta bisa muncul seiring waktu."
Anna tersenyum tipis, mencoba menenangkan hatinya. "Tapi gue punya satu permintaan."
"Apa itu?" tanya Jevan penasaran.
"Hubungan ini, untuk sementara kita rahasiakan dulu di sekolah. Gue nggak mau ada yang tahu sampai kita berdua siap."
Jevan mengangguk. "Oke, gue setuju. Gue juga lebih nyaman begitu."
Dengan perasaan sedikit lebih ringan, mereka kembali ke restoran. Setibanya di meja, ayah Anna langsung bertanya dengan penuh harap, "Jadi, bagaimana, Anna?"
Anna menatap wajah kedua orang tuanya, yang tampak begitu berharap. Dia akhirnya mengangguk pelan. "Anna setuju, Ayah, Bunda."
Bu Lita segera memeluk putrinya. "Alhamdulillah," ucapnya dengan penuh rasa syukur.
Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Orang tua mereka kembali membuat keputusan mengejutkan.
"Kalau begitu, kita akan adakan pernikahannya satu minggu lagi," ujar Pak Satria dengan nada yakin.
Mendengar itu, Anna dan Jevan tersentak. "Apa?!" teriak mereka bersamaan, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.
"Pa, Ma, bukannya itu terlalu cepat?" protes Jevan, yang tampak benar-benar tak siap dengan kecepatan keputusan ini.
"Ayah dan Bunda berpikir lebih cepat lebih baik. Tidak perlu menunda-nunda kalau memang ini sudah keputusan yang baik," jawab Pak Satria tenang.
Anna dan Jevan hanya bisa saling pandang, mencoba mencerna kenyataan bahwa hidup mereka akan berubah dalam waktu secepat ini. Mereka merasa pasrah, meski ada ketakutan dan ketidakpastian dalam diri masing-masing. Mereka menyantap hidangan makan malam sambil diam-diam tenggelam dalam pikiran masing-masing, memikirkan masa depan yang tiba-tiba begitu dekat di depan mata.
'Secepat inikah hidupku berubah?' pikir Anna dengan hati yang masih berdebar. Pandangannya teralihkan pada Jevan, yang juga tampak berpikir keras. Mereka berdua sadar, dalam waktu satu minggu, kehidupan mereka akan berubah selamanya.
“Morning freind!” sapa Alea saat melihat Anna datang.
“Morning to!”
“Minggir! Minggir!” Cheryl datang dan mendorong tubuh Jevan menjauh dari Anna.
Jevan hanya memutar bola mata malas saat melihat kedatangan Cheryl.
“Gue kangen banget sama lo!” ucap
Cheryl sambil memeluk Anna.
“Lebay! Baru tiga hari gak ketemu udah kangen aja.”
“Heh! Tiga hari itu lama buat kita, yang gak key!” kata Cheryl sambil. Menyenggol lengan Alea, sedangkan Alea dia hanya manggut-manggut tak jelas.
“Sayangg!” teriak seorang wanita sambil berlari kecil menghampiri Jevan dan memeluknya.
“Lo tadi ngapain keluar dari mobil Jevan?” tanya Valen Agatha pacar dari Jevan.
“Bukan urusan lo!” jawab Anna ketus.
“Inget ya! Lo jangan deket-deket sama pacar gue,” ujar Valen sambil merangkul tangan Jevan.
“Oh iya, ngapain juga gue cemburu sama lo! Lo ‘kan gak level sama gue,” sambung Valen sambil mengibaskan rambutnya.
“Mendingan lo gak usah belagu deh, inget! Kalok gue udah bertindak gak akan ada yang bisa ngehalangin gue, paham!” tutur Anna sambil berlalu pergi dan sedikit menabrak bahu Valen.
“Is nyebelin! Kamu kok gak belain aku sih yang!” ucap Valen kesal.
“Ya gimana mau belain, lo ‘kan tau sendiri si Anna ratu hukuman,” kata Jevan sambil berlalu pergi meninggalkan Valen yang mencak-mencak sendiri.
Anna Allaily Hauri seorang ketua OSIS terbaik di sekolahnya dan juga pemimpin penegak hukum yang bernama Generation team, yang dibuat untuk menyidang dan menghukum siswa yang membuat masalah di sekolah.
Oleh karena itu semua siswa tak berani dengan Anna dan takut berurusan dengan Generation Team, karna jika Generation Team memberikan hukuman itu akan sangat memalukan karna hukuman yang akan diberikan sering tak masuk akal, jika ada yang keberatan tentang keputusan yang dibuat Anna maka ia akan menyuruh orang itu untuk menghadapinya sendiri.
Anna juga punya geng yang bernama Angel Girl yang beranggotakan 5 orang yaitu Anna, Alea, Cheryl, Fetty dan Selia.
Sedangkan Jevan William adalah seorang ketua geng motor yang sangat ditakuti di sekolah maupun diluar sekolah, Jevan juga seorang pembalap nasional yang namanya sudah dikenal banyak orang.
Geng Jevan bernama The Boy’s yang beranggotakan 7 orang yaitu, Jevan, Candra, Nathan, Viktor, Niko, Arka, dan Resvan, mereka bertujuh adalah anggota inti. Anggota lainnya berada di kelas lain dan di luar sekolah, dari anak jalanan, anak sekolah lain, dan tak banyak pula mahasiswa yang tergabung dalam The Boy’s.
“Gue masih gak nyangka! Kalok leader kita nikah sama si Anna,” ujar Niko sambil memakan kacang di atas meja.
“Percuma gak nyangka, toh udah
terjadi,” sambar Arka sambil duduk di dekat Niko.
“Yeeee, ngikut aja lu biji kuaci!” ucap
Niko sambil melempar kulit kacang ke
arah Arka, perlu kalian tau mereka
berdua tidak pernah akur.
“Gimana malam pertama? Lancar?”
tanya Candra sekaligus wakil ketua The
Boy’s.
“Udah deh gak usah kepo, tar kalo
gue ceritain kalian pada ngiler lagi!”
Jevan berbicara sambil tersenyum
simpul.
“Udah mulai keluar nih! Sifat sombongnya!” sindir Resvan yang membuat Jevan terkekeh.
Ting!
Satu pesan masuk di headphone Jevan.
...Anna
...
...Online ✅...
...
...
[Tar pulang sekolah belanja
Kebutuhan dapur]
^^^[Lo dimana?]
^^^
[Lapangan basket outdoor]
^^^[Tunggu! Gue kesana]
^^^
Jevan pun lansung meninggalkan ruangan yang bertulis ‘yang gak berkepentingan dilarang masuk, kalok masuk siap-siap nemenin Malaikat roqib jaga kubur!’
Setelah sampai di lapangan Jevan melihat Anna tengah mendribel bola basket.
“Mentang-mentang atlet! Mainnya bola mulu!” teriak Jevan mengundang atensi Anna.
“Mentang-mentang pembalap! Mainnya motor mulu!” balas Anna sambil berjalan kearah Jevan dan berdiri didepannya.
Jevan hanya terkekeh mendengar perkataan Anna.
“Ngapain ngajakin gue belanja?” tanya
Jevan To the poin.
“Emang gue harus ngajakin siapa? Suami orang?” bukannya menjawab Anna malah balik nanya dengan santai.
“Lo ‘kan bisa sendiri!”
“Terus kenapa kalok gue ngajak elo?
Lo ‘kan suami gue,” ucap Anna sambil
Menatap mata Jevan.
“Iya gue paham tentang itu, tapi gue seorang ketua The Boy's! Masa iya gue belanja, malu kalo diliatin anggota geng gue,” tutur Jevan berharap Anna tak jadi mengajaknya.
“Kalo lo gak mau ikut, gak papa kok,” Anna berbicara sambil meletakan bola basket ke tangan Jevan.
“Serius gak papa!” kata Jevan dengan wajah berbinar.
“Iya gak papa, gue bisa ajak si Raja
buat temenin gue,” ucap Anna sambil berlalu pergi.
Senyuman yang tadi menghiasi wajah Jevan kini menghilang hanya mendengar nama yang sangat ia tidak sukai, Raja itu temen kecil Anna guys! Jevan gak suka banget sama dia entah kenapa.
“Iya gue temenin! Gak usah ajak si babu itu!” teriak Jevan dengan wajah masam.
‘shit! Gue kalah lagi’ umpat Jevan
dalam hati.
Anna tersenyum penuh kemenangan saat mendengar Jevan, Anna tau jika dirinya menyebut kata Raja maka Jevan pasti akan sangat kesal dan menuruti permintaannya.
Kini Jevan dan Anna berada di pusat perbelanjaan, mengisi dua Troli dengan kebutuhan dapur dan lainnya. “Udah nih! Tinggal bayar,” kata Anna
Sambil menaruh barang terakhir di troli.
“Yakin ini doang? Gak mau yang lain?” tanya Jevan dengan alis terangkat sebelah.
“Udah, emangnya mau beli apa lagi?
Makanan udah, minuman udah,
kebutuhan rumah juga udah semua,”
jawab Anna sambil menghitung semua
belanjaannya.
“Lo gak mau cemilan gitu? Lo kan
suka banget ngemil!” tutur Jevan
santai.
“Tau dari mana lo, kalo gua suka
ngemil? Oh gue tau! Lo pasti cari
tau tentang gue kan?” tanya Anna
sambil mencolek tangan Jevan
berniat menggodanya.
“Enggak! Kata google, kalau gue mau
pelihara mahluk halus cewek! Harus
nyiapin sesajen berupa cemilan, biar dia betah,” jawab Jevan dengan muka flatnya.
Anna lansung menekuk wajahnya karna mendengar perkataan Jevan, ‘nyesel gue nanya! Nyesel!’ batin Anna kesal sambil mendorong trolinya ke
tempat snack berada.
Jevan mengulum senyum saat
melihat wajah masam Anna, suatu
kebahagiaan tersendiri bagi Jevan
saat melihat wajah Anna kesal karna
ulahnya.
“Kok kita berhenti disini?” tanya Anna
bingung karna mobil Jevan berhenti
didepan disebuah rumah besar.
“Udah ikut aja, nanti lo tau sendiri,”
Jawab Jevan sambil turun dari mobil
dan masuk ke rumah besar itu diikuti
Anna dibelakangnya.
Setelah masuk ke rumah besar itu,
Anna melihat banyak anak muda yang
berada disitu, ada yang main gitar,
Ada yang main game di handphone,
Ada yang bercanda dan banyak
aktivitas lainnya yang mereka
lakukan.
“Woi!” panggil Jevan yang membuat
atensi semua anak muda itu mengarah
kepadanya dan Anna.
“Woi boss! Tumben kesini bawa
cewek!” ucap salah satu anak muda itu
sambil berjalan ke arah Jevan dan
ber tos ala mereka.
“Istri gue,” jawab Jevan sambil
berlalu pergi dan duduk di sofa.
“Ooh teryata ibu negara guys! Kenalin
nama gue Mahen,” kata Mahen sambil
menjulurkan tangannya.
“Anna,” jawab Anna sambil menjabat
tangan Mahen.
“Oh ini Anna Allaily Hauri kan?” tanya
semua anak muda itu bebarengan
yang membuat Anna bingung.
Anna pun menganggukkan kepalanya ragu.
“Wah gila lo bos! Lo serius nikah sama
Anna!” teriak Mahen sambil berlari ke
arah Jevan diikuti semua anak muda
Itu dan mengerumuninya.
“Iya anjir! Udah deh gak usah
deket-deket! Bau matahari lo pada!”
teriak Jevan sambil mendorong
muka Mahen dan yang lainnya.
Setelah berhasil keluar dari
kerumunan itu Jevan berdiri dan
berkata. “Gak usah kaget gue nikah
sama Anna, pesona gue emang sadis!
Sehingga bisa menaklukkan seorang
Anna!”
Semua anak muda itu memutar bola
mata malas saat mendengar perkataan
Jevan.
“Ayok ke lantai atas!” ajak Jevan
sambil menarik tangan Anna.
“Kenapa mereka pada kaget gitu, saat
mereka denger kalo gue istri lo?”
Tanya Anna sambil menaiki tangga
menuju lantai atas.
“Lo itu terkenal disini, semua anak
sini itu suka sama lo dan ingin
macarin lo tapi ya itu, lo jarang
ngegubris mereka alhasil mereka
berfikir bahwa seorang Anna gak
akan pernah pacaran sama anak The
Boy’s!” jawab Jevan panjang lebar.
“Karna itu mereka kaget saat
tau gue jadi istri lo, mereka
pikir lo udah dapetin dan naklukin
gue gitu?” tanya Anna sambil melirik
Jevan yang ada disebelahnya.
Jevan hanya menganggukkan
kepalanya.
“Mereka gak tau aja, kalok gue nikah
sama lo bukan karna gue tertarik
sama setan berwujud manusia kaya lo, tapi karna gue gak mau liat mama
Dara sakit,” tutur Anna yang berhasil
mendapat tatapan tajam dari Jevan.
“Gak lucu ya njing!” seru Jevan
sambil menatap tajam Anna.
“Emang susah sih, kalok punya
muka cantik berlebihan kayak gue,
bawaannya disukai sama banyak
orang mulu,” ucap Anna seraya
berjalan mendahului Jevan.
“Sumpah gue nyesel ngomong kaya gitu ke lo Na!” teriak Jevan dengan
wajah kesal.
Angel Girls
Anna Allaily Hauri
Cheryl Artharin
Selia Margaret
Fetty Levany
Alea Zuvanari
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!