Luna Syehra Putri Irawan, gadis berusia 22 tahun itu sedang mematut dirinya di cermin standing di dalam kamarnya. Senyumnya mengembang seraya bergerak ke kanan dan kiri melihat apakah penampilannya sudah sempurna atau belum.
Malam itu untuk pertama kalinya Luna berdandan dengan begitu cantik. Ia ingin memberikan kejutan kepada sang kekasih, Raihan Aditya Dermawan.
Dress ketat berwarna navy yang menampilkan lekuk tubuhnya, panjang dress itu hanya sampai batas lutut, ada belahan di bagian bawahnya, bagian atas dress itu terbuka menampakkan kedua pundaknya. Untuk wajahnya Luna hanya mememoleskan make-up tipis dan rambutnya yang bergelomban Luna biarkan terutai karena kekasihnya sangat menyukai rambutnya yang terurai.
"Sudah cantik."
Luna tersenyum saat melihat pantulan sahabat baiknya di cermin yang ada di hadapannya.
"Kau dari mana saja?" Luna menoleh melihat sahabatnya, Tiara baru saja masuk ke dalam kamarnya.
"Aku pergi untuk mencari makan. aku ingin mengajakmu, tapi sepertinya kau sangat sibuk," jawab Luna.
Luna merespon ucapan Tiara dengan senyuman yang malu-malu.
"Terima kasih untuk gaunnya. Ini sangat pas di tubuhku," ucap Luna.
"Sama-sama. Aku yakin Reihan pasti akan terpesona melihat penampilanmu malam ini," ucap Tiara.
Tentu saja karena biasanya Luna setiap hari memakai pakaian formal.
"Ini sudah jam 7. Pergilah sekarang! Jika tidak kau akan kemalaman," ucap Tiara.
"Kau benar. Tapi ... penampilanku tidak berantakan, 'kan?" tanya Luna gugup.
"Perfect."
"Ya ampun, Tiara. Aku sangat gugup. Jantungku bahkan berdetak dengan sangat cepat." Luna menarik tangan Tiara agar sahabatnya bisa merasakan debaran jantungnya.
"Jangan seperti ini. Malam ini kau akan memberikan kekasihmu sebuah kejutan. Jangan sampai kau tiba-tiba terkena serangan jantung," ledek Tiara.
"Ck, kamu ini jangan membuat aku bertambah gugup," ucap Luna.
"Cepat pergi sana. Eh jangan lupa kadonya." Tiara memberikan kotak lumayan besar dengan dibungkus pita berwarna hitam.
"Oh iya, aku lupa." Luna menepuk keningnya sendiiri lalu mengambil kado yang diberikan oleh Tiara.
Dengan senyum yang mengembang Luna melangkah keluar dari rumahnya, ia menunggu taksi online yang sudah di pesannya.
Beberapa menit menunggu taksi onlinenya datang. Luna masuk ke dalam taksi dan duduk di bangku penumpang belakang. Bersamaan dengan taksi itu melaju Luna menarik napas panjang lalu membuangnya kembalikembali untuk meredam rasa gugupnya.
Sepanjang perjalanan bibir Luna dihiasi oleh senyuman. Ia memerhatikan kado yang ia bawa untuk sang kekasih. Luna berharap Raihan menyukai kado darinya.
Malam itu adalah hari anniversary hubungan mereka yang ke 5 tahun. Luna sangat menantikan hari itu, karena Raihan berjanji akan melamarnya tepat di hari anniversary mereka yang ke lima.
Rasa bahagia itu bahkan membuat Luna menjadi hilang akal, ia berpikir akan rela jika Raihan nantinya meminta tubuhnya.
"Mba kita sudah sampai," ucap sopir taksi.
Luna terlonjak membuat semua khayalannya sirna. Luna melihat sekelilingnya, benar saja taksi yang ia sudah naiki berhenti di depan lobi apartemen yang Raihan tinggali. Karena mengkhayal Luna sampai tidak menyadari jika dirinya itu.
"Terima kasih, Pak." Luna membayar ongkos taksi sebelum turun.
Setelah turun Luna memandangi pintu masuk ke apartemen. Ia kembali menarik napas panjang untuk menghilangkan rasa gugupnya. Kedatangannya sama sekali tidak Luna beritahukan pada Raihan.
Luna pun berjalan masuk, ia berjalan menuju ke lift. Ditekannya tombol di dinding untuk membuka pintu lift. Setelah menunggu sesaat lift pun terbuka. Luna segera masuk lalu menekan tombol angka lima belas.
"Kenapa lama sekali?"
Padahal baru 5 detik yang lalu lift itu tertutup.
Hanya ada Luna sendiri di lift itu. Luna bersandar pada dinding lift, ia kembali mengkhayal kemungkinan yang akan terjadi nanti. Khayalan yang terlalu indah itu membuat Luna tersenyum-senyum sendiri.
"Aku benar-benar tidak sabar melihat reaksi Raihan nanti," ucap Luna dalam hati.
Luna melihat lampu lift sebentar lagi menujukkan angka lima belas. Gadis itu melihat dinding lift yang seperti cermin. Luna kembali merapikan penampilannya, ia tidak ingin Raihan melihatnya berantakan.
Setelah lift menujukan angka 15, Luna pun keluar. Ia berjalan menyusuri lorong-lorong tempat itu. Seperti sebelumnya karena rasa tidak sabarnya membuat lorong itu terasa panjang. Luna terus berjalan sambil menggerutu. Sampai pada akhirnya Luna menarik napas lega ketika ia sampai di depan pintu apartemen Raihan.
Untuk memasuki apartemen itu membutuhkan akses. Beruntung Raihan sudah memberinya pasword pintu masuknya.
Luna menekan tombol lalu masuk setelah pintu terbuka. Waktu sudah menujukan pukul 8 malam ia berharap Raihan sudah pulang dari kantor. Sebenarnya Luna ingin memberikan kejutan Raihan, tetapi saat ia masuk makin ke dalam ia dikejutkan oleh benda-benda yang tidak asing baginya sebuah tas, lipstik, blazer, dan pakaian dalam, semua itu milik seorang wanita.
"Ini milik siapa?" Luna mengambil pakaian dalam yang tercecer di lantai.
Meskipun membuka tas milik orang lain itu tidak baik, tetapi Luna merasa penasaran pemilik dari benda-benda itu. Luna mengobrak-abrik isi tas itu dan menemukan sebuah dompet berwarna merah, ada kartu nama bertuliskan Jenita Anggareni
"Jadi ini milik mba Jeni?" Luna sangat mengenal pemilik tas itu, dia adalah sekertaris Raihan.
"Apa pakaian ini juga milik mba Jeni, tapi kenapa berserakan di sini?"
"Apa jangan-jangan?" Pikiran negatif langsung menghampiri Lina, tetapi dengan cepat Luna menipisnya "Tidak ini tidak mungkin, Raihan bukan pria seperti itu!"
Akan tetapi Luna merasa penasaran dengan kenapa bendan-benda bisa berserakan Luna berjalan mengendap-ngendap agar tidak menimbulkan suara. Ia berjalan menuju salah satu kamar yang pintunya tidak tertutup rapat.
Saat ia sampai di depan kamar Luna terkejut oleh suara teriakan bukan teriak kesakitan, tetapi terdengar seperti teriakan kenikmatan.
"Pak, bukan di situ!"
Itu suara mba Jeni
"Ya, Pak di situ."
Suara kenikmatan itu kembali terdengar. Bukan hanya suara Jeni saja, tetapi Raihan juga. Mata Luna sudah dipenuhi oleh air mata. Bisa di pastikan dalam sekali kedipan saja air mata itu bisa jatuh.
Luna mengintip dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Cairan bening keluar dari matanya saat melihat Raihan mengungkungi Jeni. Tubuh keduanya sama sama polos tanpa sehelai benang.
Kesakitan Luna makin terasa saat melihat ekspresi Raihan dan Jeni, bagaimana mereka begitu menikmati apa yang sedang mereka lakukan.
Dada Luna terasa sesak seperti terhimpit oleh batu besar. Kakinya tiba-tiba terasa seperti jeli, lemas seperti tidak bisa lagi menahan berat tubuhnya. Luna berjalan mundur tidak sengaja tangannya menyenggol hiasan di atas lemari kabinet. Hiasan itu jatuh dan menimbulkan suara yang nyaring
Siapa itu?
Siapa yang tidak terkejut melihat dengan mata kepalanya sendiri Pria yang dicintai bercinta dengan wanita lain.
Luna yang merasa terkejut tak kuat menahan rasa sakitnya. Ia berjalan mundur dan tidak sengaja menyenggol hiasan di atas lemari kabinet. Hiasan itu jatuh ke lantai dan menciptakan suara yang begitu nyaring.
"Siapa itu?"
Luna terkejut mendengar suara Raihan dari balik kamar. Ia ingin berlari, tetapi kakinya rasanya terpaku ditempat itu. Luna menoleh melihat pintu kamar terbuka memunculkan Raihan dari balik pintu.
Luna membeku ketika melihat Raihan keluar hanya dengan bertelanjang dada.
Rasa terkejut bukan hanya dirasakan oleh Luna, tetapi juga oleh Raihan. Saat membuka pintu ia melihat serpihan hiasan yang terbuat dari kaca berserakan di lantai. Di dekat serpihan itu ada sepasang kaki. Raihan mengarahkan pandangannya dari bawah ke atas. Matanya langsung bertemu dengan mata Luna yang sudah basah oleh air mata.
"Luna?"
"Siapa, Sayang?"
Luna makin sakit saat mendengar suara Luna melihat penampilan Jeni yang berantakan dan hanya memakai kemeja milik Raihan. Bahkan dengan berani Jeni memeluk pinggang Raihan.
"Maafkan kami, Luna. Kami tidak bisa menahan ini tadi." Meskipun suaranya seperti ada penyesalan, tetapi ekspresi wajahnya Jeni sama sekali tidak menunjukkan penyesalan.
"Kamu jahat, Rai!" maki Luna.
Dengan sisa tenaganya Luna pergi tanpa menghiraukan panggilan dari Raihan.
"Luna, tunggu! Dengarkan penjelasan aku dulu!" Raihan berlari untuk mengejar Luna.
Luna tidak menggubris panggilan dari Raihan. Ia terus berlari dengan air mata yang mengalir deras dari matanya. Karena terburu-buru hak sepatunya patah membuatnya terjatuh.
"Aww!" pekik Luna.
"Luna, kau tidak apa-apa?" Reihan membantu Luna berdiri, tetapi langsung ditolak oleh Luna.
"Jangan sentuh aku!" Luna mendorong Raihan. Meksipun merasa sakit karena terjatuh, tetapi melihat pengkhianatan Raihan lebih menyakitinya.
"Luna, aku mohon dengarkan penjelasan aku dulu," bujuk Raihan.
"Apa yang mesti aku dengarkan? Aku melihat semuanya!" Luna kembali berlari setelah membuang sepatunya.
"Luna, tunggu!" Reihan melihat Luna pergi dan berniat untuk mengejarnya. Akan tetapi saat ia keluar ia sadar keadaannya. Tidak mungkin baginya mengejar Luna dalam keadaan setengah telanjang.
Reihan kembali ke kamar ia membuka lemari untuk mengambil kaos. Ia lalu menyambar kunci mobil di atas meja nakas. Saat akan pergi Jeni menghalanginya.
"Kau mau ke mana?" tanya Jeni.
"Bukan urusanmu!"
Reihan berlari keluar kamar tanpa memperdulikan Jeni yang terus mencoba untuk menghalangi. Meskipun terlambat mengejar Luna, itu lebih baik dari pada tidak sama sekali.
Reihan menekan tombol lift dengan tidak sabaran. Rasa tidak sabar itu membuat Raihan ingin menjebol pintu lift.
"****, kenapa lama sekali!"
Raihan pergi ke tangga darurat untuk turun dari tempat itu. Sampai di lantai 12 Reihan keluar dari tanggal darurat bertepatan dengan pintu lift yang terbuka.
Setelah pintu lift terbuka Raihan langsung masuk tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya.
"Apa Anda tidak bisa pelan-pelan?" ucap salah satu pria yang tertabrak oleh Raihan.
"Maaf, aku terburu-buru." Tidak ingin membuang waktu mendengarkan makian pria itu, Raihan dengan cepat menutup pintu lift.
Akhinya Raihan sampai di baseman. Dengan cepat ia melangkah ke tempat mobilnya terparkir. Setelah itu Raihan mengendarai mobilnya dengan cepat.
Mobil yang Raihan kendarai masuk ke jalanan, bergabung dengan kendaraan lainnya. Susana jalanan saat itu cukup padat. Sambil berusaha mengendalikan laju mobilnya Raihan melihat sekeliling berharap bisa menemukan Luna.
Sampai saat kemacetan berakhir Raihan belum juga menemukan Luna, ia pun memutuskan untuk pergi ke rumah Luna dengan harapan bisa menemukan perempuan yang ia cintai di sana.
Raihan sampai di tempat tinggal Luna, sebuah rumah sederhana. Dengan tidak sabar Raihan mengetuk pintu, tetapi yang muncul bukan Luna, tetapi Tiara.
"Di mana Luna?" Raihan masuk begitu saja mencari keberadaan Luna, tetapi tidak menemukan keberadaannya.
"Raihan, ada apa?" Tiara bingung saat Raihan tiba-tiba datang dan menanyakan keberadaan Luna.
"Luna di mana?" tanya ulang Raihan.
"Bukankah dia pergi ke apartemen mu?" tanya balik Tiara.
"Jadi kau tahu? Kenapa kau tidak mengatakan jika Luna akan datang ke sana?" Raihan menaikan volume nada bicaranya.
"Karena dia ingin memberimu kejutan," jawab Tiara. "Ada apa? Apa ada yang terjadi di antara kalian?" tanya Tiara.
Raihan tidak menjawab, tetapi justru menggeraam dan menjambak rambutnya kasar.
"Raihan katakan ada apa? Apa yang kau lakukan pada Luna?" tanya Tiara, tetapi Raihan hanya diam. "Dengar Raihan, kau mungkin sepupuku, tapi aku akan melenyapkanmu jika kau sampai meyakiti Luna."
"Diamlah, Tiara!" Raihan memilih pergi saat mendapatkan somasi dari Tiara.
Raihan kembali mengendarai mobilnya. Sepanjang malam ia mencari Luna, tetapi tidak ada hasil. Tubuhnya sangat lelah hingga ia memutuskan untuk kembali ke apartemennya.
Sampai di apartemen, ternyata Jeni masih ada di tempat itu. Raihan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan pandangannya melihat ke langit-langit kamarnya. Ia merasa lelah dan frustrasi hingga dirinya tidak mempedulikan keberadaan Jeni.
"Di mana kau Luna," batin Raihan.
"Dari mana saja kau?" tanya Jeni.
"Mancari Luna. Aku harus menjelaskan semuanya," jawab Raihan.
"Kau menemukannya?" tanya Jeni.
"Tidak." Jawaban Raihan membuat Jeni tertawa puas.
"Untuk apa mencarinya? Lagipula dia sudah melihatnya untuk apa menjelaskan semuanya," ucap Jeni.
Mendengar ucapan Jeni, Raihan menjadi murka. Ia bangun dan mencengkram kedua sisi wajah sekertarisnya.
"Kau harus ingat statusmu, Jeni! Kau hanya wanita yang aku bayar. Aku mau bercinta denganmu karena napsuku saja. Jangan berpikir karena ini kau bisa mengusaiku dan ikut campur dengan semua urusanku!" Raihan menatap tajam Jeni.
Raihan melepaskan cengkramannya. Ia ingin pergi, tetapi Jeni menghalanginya. Wanita itu tanpa malu memeluk Raihan.
"Sayang, untuk apa memikirkan pacarmu yang tidak berguna itu? Lebih baik kita selesaikan apa yang belum selesai semalam." Jeni berusaha memancing kembali hasrat Raihan, tetapi sayangnya gagal dan justru membuat Raihan semakin marah.
"Jangan pernah berani kau bicara buruk tentang Luna dengan mulut kotormu itu!" Raihan mencoba melepaskan diri dari Jeni, tetapi wanita itu tidak mau melepaskannya.
"Sayang, biarkan pacarmu itu sendiri. Dia pasti syok melihat apa yang kita lakukan semalam. Ayolah lupakan dia sejenak. Aku janji akan memuaskanmu lebih dari biasanya," bujuk Jeni.
"Minggir kau wanita sialan!" Reihan yang sudah kehabisan kesabaran mendorong Jeni hingga terjatuh ke atas tempat tidur.
"Raihan, kau tidak bisa meninggalkan aku begitu saja. Kau harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kau lakukan padaku!" Ucapan Jeni berhasil menghentikan langkah Raihan.
Pria itu berbalik dan menatap Jeni layaknya ingin membunuh mangsanya.
"Pertanggungjawaban apa maksudmu? Saat kita pertama kali melakukan hubungan itu kau juga sudah tidak perawan lagi." Raihan tersenyum miring seolah sedang mengejek Jeni. "Dan kau harus ingat, kau mendapatkan bayaran untuk ini, jadi apa bedanya kau dengan wanita-wanita malam di luaran sana."
Raihan menyeret Jeni keluar dari kamarnya lalu melemparkan ke sofa. "Bereskan barang-barangmu dan pergi dari sini. Dan satu lagi jangan datang lagi ke kantor. Mulai detik ini kau bukan lagi sekertarisku."
Jeni menatap Raihan dengan rasa tidak terima.
Ini belum berakhir Raihan, aku pastikan kau akan bertekuk lutut di hadapanku.
Jeni pun keluar dari apartemen Raihan
"Luna, tunggu dengarkan penjelasan aku dulu!"
Luna tidak menggubris panggilan dari Raihan. Ia terus berlari, karena terburu-buru salah satu high heels-nya patah dan langsung membuatnya terjatuh.
"Arghh!" pekik Luna.
"Luna, kau tidak apa-apa?" Reihan membantu Luna berdiri, tetapi ditepis oleh Luna.
"Jangan sentuh aku!" Luna mendorong Raihan dan kembali berlari setelah membuang sepatunya.
"Luna, tunggu dengarkan penjelasan aku dulu." Raihan menatap kepergian Luna, sebelum ia kembali ke kamarnya. Karena tidak mungkin baginya mengejar Luna setengah telanjang.
*****
Perempuan mana yang tak sakit hati melihat kekasihnya bercinta dengan wanita lain. Luna hancur berkeping-keping pada saat itu, gak gelas kaca yang hancur dan sudah tidak bisa di satukan lagi. Niatnya untuk memberikan kejutan justru berbalik padanya, ia mendapatkan kejutan begitu pahit dari sang kekasih.
Luna berlari ke lift, tetapi pintu lift lama sekali terbuka. Luna menoleh takut Raihan masih mengejarnya sebab dirinya belum siap untuk bertatap muka kembali dengan pria itu.
Luna memilih berlari ke arah tangga darurat. Berjalan dengan kacau, hampir saja ia terjatuh jika saja tangannya tidak cepat berpegangan pada birai tangga.
Lelah berlari menuruni anak tangga Luna berhenti. Ia bersandar pada dinding sambil terus menangis. Kakinya sudah tidak lagi menopang beban tubuhnya membuat tubuh Luna merosot. Luna terduduk di lantai sambil terus menangis.
Masih teringat jelas di benak Luna bagaimana kekasihnya mengkhianatinya. Dadanya terasa sesak mengingat adegan panas Raihan dan Jeni. Rasa tidak kuat menahan kesakitan itu membuat Luna memukuli dadanya beberapa kali.
"Kamu jahat, Rei!" Suara teriakan Luna menggema di lorong tangga darurat.
Pada saat itu juga Luna bari menyadari kebodohannya. Luna merasa bodoh dengan tindakannya malam itu, ia pikir kekasihnya akan bahagia melihat penampilannya. Lebih bodoh lagi Luna siap untuk memberikan tubuhnya jika Raihan memintanya. Luna benar-benar sudah siap menyerahkan mahkotanya kepada Raihan meskipun mereka belum resmi menikah. Akan tetapi kenyataan pahit harus ia terima. Sang kekasih sudah lebih dulu menikmati tubuh perempuan lain.
Luna menekuk kedua kakinya, memeluknya lalu menyembunyikan wajahnya di antara lututnya. Luna terus menagis sampai sesegukan. Hingga rasa lelah datang membuat Luna tertidur di tempat itu begitu saja di tempat itu.
Keesokan harinya Luna terbangun karena mendengar ponselnya berdering. Kepalanya terasa sakit, dan matanya terasa perih. Semua itu membuat Luna enggan membuka matanya.
Ponselnya kembali berdering membuat kesadarannya pulih. Berapa kali Luna mengerjapkan matanya agar bisa beradaptasi dengan cahaya yang ada di tempat itu.
Ponselnya kembali berdering, Luna meraih tas-nya lalu mengambil benda pipih dari dalamnya. Pada layar ponselnya menunjukkan ada puluhan panggilan tidak terjawab dari Tiara dan juga Raihan.
Luna tidak memperdulikan itu. Ia fokus pada layar ponselnya lalu tersenyum getir saat melihat foto dirinya bersama Raihan yang ia jadikan wallpaper ponselnya.
Awalnya ia mengira yang ia lihat semalam hanya mimpi. Namun saat melihat tempat dan keadaan dirinya, barulah ia yakin jika pengkhianatan Raihan adalah nyata
"Kenapa kau tega sekali padaku, Rai?" Cairan bening kembali keluar dari matanya.
Tak ingin larut dalam kesedihan, Luna segera menghapus cairan bening di pipinya. Ia harus segera bangkit dari keterpurukan itu.
"Aku harus bisa melupakan Raihan. Aku pasti bisa hidup tanpanya." Luna memberikan dorongan semangat pada dirinya sendiri.
Luna mencoba berdiri. Sangat sulit karena kakinya terasa kaku. Luna mencobanya kembali, ia berpegangan pada dinding dan akhinya Luna berhasil berdiri. Saat akan melangkah tiba-tiba saja Luna merasakan perih di lututnya.
"Kenapa sakit sekali?" Luna sedikit membungkukkan badannya, melihat ada luka di lututnya.
Awalnya Luna bingung dari mana asal luka di lututnya itu. Setelah mengingat-ingat Luna baru sadar lututnya terluka pasti karenadirinya sempat terjatuh saat mencoba keluar dari apartemen Raihan.
"Ck, aku tidak mungkin turun ke lantai dasar lewat tangga darurat," gumam Luna.
Luna keluar dari tangga darurat karena tidak mungkin baginya untuk turun melewati anak tangga dalam kondisi lututnya yang terluka apalagi dirinya masih berada di lantai sepuluh.
Luna berjalan dengan tertatih dan juga berjalan sambil berpegangan pada dinding. Setelah berusaha keras akhirnya Luna sampai di depan lift. Luna menekan tombol turun yang ada di dinding. Beberapa saat kemudian pintu lift terbuka. Luna melangkah masuk, tetapi langkahnya terhenti saat pandangannya menangkap sosok Raihan di dalam lift. Keduannya langsung bertatap muka.
"Raihan." Luna berucap tanpa mengeluarkan suara.
"Luna." Raihan merasa lega bisa bertemu dengan Luna.
Luna mengurungkan niatnya untuk masuk ke lift. Ia berbalik, berlari untuk menghindar dari Raihan tetapi kondisinya tidak memungkinkan untuk berlari cepat sehingga dengan mudah Raihan menyusulnya.
"Luna, tunggu!" Raihan menghentikan langkah Luna.
"Jangan menyentuhku, Rai." Luna menarik tangannya dari Raihan.
"Oke, baiklah aku tudak akan menyentuhmu. Sekarang jawablah, kau ke mana saja? Aku mencarimu semalam, aku juga menghubungimu tapi kamu tidak menjawabnya," tanya Raihan.
"Bukan urusanmu. Pergilah Raihan, aku tidak ingin bertemu denganmu lagi," ucap Luna.
"Luna, tolong dengarkan penjelasanku dulu." Raihan mencegah Luna untuk pergi.
"Apa yang ingin kau jelaskan, Rai?
Apa yang aku lihat semalam itu sudah cukup," tolak Luna. "Jangan halangi aku untuk pergi."
Luna berjalan mundur, tetapi luka di lututnya membuat Luna kehilangan keseimbangan. Beruntung Raihan menangkap tubuh Luna membuat gadis itu tidak terjatuh ke lantai.
"Jangan menyentuhku! Arrgh!" Luna mencoba menjauhkan Raihan dari dirinya, tetapi justru membuat dirinya hampir terjatuh. "Lututku."
Raihan membelalakan matanya melihat ada luka di lutut Luna. Tanpa berpikir panjang Raihan mengangkat tubuh Luna.
"Turunkan aku!" ucap Luna.
Raihan tidak menghiraukan ucapan Luna.
"Turunkan aku, Raihan! Aku tidak sudi kau menyentuhku!" ucap Luna.
"Diamlah! Lututmu terluka. Ini harus segera diobati atau bisa infeksi nanti," ucap Raihan.
Dengan susah payah Raihan berhasil membawa Luna ke dalam apartemennya meksipun perempuan itu selalu memberontak. Raihan mendudukkan Luna di tepi tempat tidur lalu meninggalkannya untuk mengambil kotak p3k di laci meja nakas. Raihan kembali ke tempat Luna. Ia duduk di lantai di hadapan Luna menuang cairan antiseptik di atas kapas.
"Aku aku bisa mengobati lukaku sendiri." Luna menolak saat Raihan ingin mengobati luka di lututnya.
"Diamlah, Luna!" ucap Raihan.
"Aku tidak sudi disentuh olehmu!" ucap Luna.
Raihan tidak peduli, ia memegang betis Luna agar mempermudah dirinya mengobati luka di lutut wanita yang dicintainya.
"Aww!" Luna memekik saat cairan antiseptik itu menempel di lututnya yang terluka.
Raihan meniup luka di lutut Luna agar sang kekasih tidak merasakan sakit.
"Apa sangat sakit?" tanya Raihan dengan suaranya yang lembut.
Tidak ada respon apapun. Luna memilih melihat ke arah lain. Luna meneteskan air mata melihat perlakuan manis Raihan. Hal itu yang selalu membuat Luna meleleh.
"Luna, jangan lemah. Raihan sudah mengkhianatimu. Jangan terpengaruh oleh perlakuan manisnya," pikir Luna.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!