NovelToon NovelToon

Secret

~Secret~

Kepergian seseorang yang berarti cukup menguras hati. Bukan hanya hati, tapi fisik dan sikap. Waktu yang terus berjalan tak mampu merubah apapun, meskipun nyatanya semuanya telah berubah.

Kedatangan seseorang diharapkan mampu menggantikan posisi orang yang pergi itu. Tapi nyata, tak membantu apapun.

Not different.

Gak ada yang berubah.

Tak ada yang berbeda, masih sama.

Hatinya mati, sudah tak bisa lagi menerima sesuatu yang namanya 'cinta'. Hatinya mati rasa, masih belum bisa merasakan sesuatu yang berharga.

Tapi, ternyata pikirannya salah.

Nyatanya, dia mampu menggantikan perempuan itu dari hatinya. Dia mampu membuat senyum yang sudah lama hilang dari bibirnya, muncul kembali. Dia mampu, membuka hatinya kembali bahkan menggesernya sedikit untuk dia tempati.

Dan saat hatinya mulai menerima ini semua, pikirannya kembali membuat semuanya semuanya semakin rumit.

Masalalu

Kepergian

Kepercayaan

Kedatangan

Bahkan sampai sebuah

Secret

Kembali mengobrak-abrik hati dan perasaannya.

Lalu, dia harus bagaimana?

1 : Hari Pertama

“OH MY GOD!”

Pekikan itu berasal dari seorang perempuan dengan kaos oblong dengan kemeja yang mengikat di pinggangnya. Black jeans dan speakers putih menjadi pelengkap penampilannya hari ini. Rambut hitam legam itu bahkan di biarkan tergerai begitu saja karena empunya lupa akibat keterlambatan di hari pertamanya ini.

Huh ... Huh ... Huh ...

Napas itu masih memburu hebat. Dia berdecak, menumpu kedua tangannya di atas lutut. Beberapa saat dia terdiam, mencoba menetralkan napasnya yang tak karuan. Dia langsung mengangkat kepalanya, mengibaskan rambutnya.

Dia menyelipkan anak rambut yang menghalangi wajahnya, masih dengan berdecak pinggang dan perlahan memutar tubuhnya menelusuri tempat luas ini. “Aduh ... Nyesel banget gue kemarin gak dengerin Yola. Jadi nya gini kan? Gue bahkan gak tau dimana tempat acaranya.”

Perkenalkan, dia Tiffany. Tiffany Cahaya Putri, mahasiswa baru di salah satu universitas favorit di Kota ini. Wajahnya cantik, manis malah. Tapi, entah kenapa berbanding terbalik dengan sifatnya yang tomboi itu. Tomboi dan jauh sekali dari kata anggun. Huh. Biarlah. Sudah takdirnya mungkin.

Tiffany menghela napas kasar, kembali melangkahkan kakinya untuk mencari tempat dimana semua mahasiswa baru berkumpul. Toh, kalaupun dia terus menggerutu itu tak akan menyelesaikan apapun. Yang ada, dia semakin terlambat.

Senyum lebar langsung tercetak jelas di bibirnya saat matanya menemukan kerumunan semua orang yang diyakininya mahasiswa baru. Namun, senyuman itu perlahan sirna seketika saat melihat perbedaan yang kontras diantara mereka dan dirinya. Sontak, bola matanya membulat sempurna.

Ya Allah, bagaimana bisa dia lupa untuk memakai atribut yang sudah ditentukan oleh Senior?

Bagaimana bisa dia hanya datang dengan kaos oblong dan jeans?

Dimana kostum yang harus digunakannya?

Dan lihat, bahkan rambutnya malah tergerai disaat yang lain mengepangnya.

“Mati, gue.”

Tiffany mengucek mata, meringis pelan merutuki kebodohannya. Dia kembali mendongak, tersenyum miris dan memilih memutar tubuhnya perlahan berniat meninggalkan area kampus ini. Biarkanlah sehari dia absen, tak apa. Namun, baru saja kakinya melangkah nama nya kembali di serukan.

“TIFFANY!!”

Tiffany memejamkan matanya, merutuki orang yang baru saja memanggilnya itu. Dia kembali memutar tubuhnya, tersenyum menampilkan deretan giginya saat matanya menatap beberapa senior yang tengah berdecak pinggang menatapnya. Namun, tatapan tajam langsung dilayangkannya saat seorang dengan kaca mata gaya berlari kearahnya.

“Mau kemana?”

“Berisik lo!”

“Hah?”

***

Tiffany mengusap peluh di keningnya, dia langsung menyambar botol minuman berasa milik si perempuan berkaca mata. Dia meneguknya hingga tandas, tak mengindahkan dengusan dari si empunya itu.

Perempuan berkacamata itu, Yolanda. Teman dekat sekaligus sahabat Tiffany. Dia punya dua sahabat, Anjani dan Yolanda. Anjani itu bucin parah tingkat akut dengan sifat labil yang masih belum hilang meskipun dia sudah menikah. Sedangkan, Yolanda itu yang paling kalem dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Disaat semua sudah beraksi, otak Yolanda masih mencoba mencernanya.

Pemirsa paham, kan? Pasti paham.

“Haus banget, ya?” tanya Yolanda panggilan akrab perempuan itu sambil menatap polos Tiffany.

Tiffany menaikkan sebelah alisnya, “Lo pikir?” kesal Tiffany. Dia mengerutkan kening bingung melihat Yolanda yang tengah memperhatikan botol minuman kosong ditangannya.

Yolanda mendongak menatap Tiffany. “Iya, haus.” jawab Yolanda, dia mengangguk.

Huh! Tiffany memutar kesal bola matanya. Harus banget ya di respon sedemikian rupa? Ck, Yola... Yola... Bisa-bisanya Tiffany punya sahabat modelan Yolanda ini. Cantik sih iya, tapi sayang otaknya terkadang tak secantik wajahnya. Bahkan, bisa di pastikan Yolanda bisa dimasukkan kedalam list orang terlemot yang Tiffany kenal.

“Gue lapar, mau pesan makan dulu deh.”

“Iya, gue juga sih. Lo mau apa? Biar gue yang pesan.”

“Bakso aja deh.”

“Oke!”

Tiffany beranjak menuju penjual bakso, memesan dua porsi bakso untuknya dan Yolanda. Dan hanya butuh beberapa menit, dia sudah kembali dengan nampan berisi mangkok bakso beserta minumannya. Es teh dan jeruk hangat.

“Lo cemen banget sih. Makan bakso tuh yang pedes, biar ada sensasinya.” tukas Tiffany sambil menyendok kan sambel ke mangkuk baksosnya.

“Gak mau, nanti gak bisa dinikmatin.”

“Cemen.”

“Biarin, daripada sakit perut.”

***

Tawa itu tak henti-hentinya menggelegar di sepanjang lorong kampus, menjadikan mereka pusat perhatian. Namun, bukan Tiffany namanya kalau merasa terganggu dengan tatapan orang-orang terhadapnya. Dia sih bodoh amat orangnya.

Tawa itu bisa muncul karena Yolanda, karena koneksi otak perempuan itu yang sedang terganggu harus membutuhkan waktu lama untuk paham maksud ucapannya.

“Ya, abisnya, lo kalau di ajak ngobrol tuh makanya dengerin dengan seksama. Atau nanti gue cari deh di kang google ‘Cara agar koneksi otak secepat kilat’.”

Yolanda mencebik, kembali menyuapkan es krim ke mulutnya. Dia hanya mencebik tanpa merasa tersinggung atau apa. Dia sudah kenal betul dengan Tiffany dan cara bicara perempuan itu. Toh, dia tak mau membawa apapun ke hatinya. Dia tau mau jadi orang yang gampang sakit hati. Dan apa yang dikatakan Tiffany terkadang memang benar adanya juga.

Buk!

Tiffany menolehkan kepalanya kearah sumber suara. Dia terkejut saat melihat dua orang lelaki yang tengah adu jotos a.k.a berantem. Dengan cepat, dia melepas rangkulannya pada Yola kemudian bergegas menghampiri dua orang yang tengah berkelahi itu.

Yolanda terkejut bukan main, apalagi saat ini Tiffany mencoba menengahi perkelahian dua orang yang diyakininya merupakan senior di sini. Dia tak mencegah Tiffany, karena dia tahu. Bagaimana pun Tiffany tak akan mau mendengar jika di cegah. Terlalu keras kepala.

“Eh, udah stop! Stop!”

Dengan keberanian, Tiffany langsung menarik kerah baju lelaki yang tak henti-hentinya memukuli lawannya itu. Meskipun susah, namun dia berhasil. Buktinya sekarang dia sudah menarik mundur lelaki itu untuk menghentikan aksinya.

“Apa-apaan sih Lo!?” teriak lelaki yang kerahnya baru saja Tiffany tarik. Tangannya dihempaskan begitu saja oleh lelaki itu.

Tatapan datar dan kesal itu berbanding terbalik dengan Tiffany yang merasa cemas. Dia tak pernah bisa diam saja saat melihat perkelahian di depan matanya.

“Lo ngapain sih berantem? Mana ini area kampus.” tukas Tiffany kesal. “Dan lihat, itu lawan Lo udah kayak gitu dan Lo masih mau pukul? Sadar Lo?!”

Tiffany membalas tatapan tajam yang lelaki itu layangkan untuk nya dengan tak kalah tajam pula.

“Lo gak tau apapun. Jadi, minggir!”

Tiffany mengangkat dagunya, berdecak pinggang. “Enggak!”

“Dasar, cewek gak jelas!”

Setelah mengucapkan itu, lelaki tersebut pergi bergegas meninggalkan Tiffany yang kini hanya bisa terdiam. Dia tak peduli dengan orang-orang di kampus ini yang tengah memperhatikan sejak tadi. Dia tak peduli, sungguh. Tangannya mengepal, berdecak menatap kepergian lelaki itu.

“DASAR COWOK SONGONG!!”

***

Tiffany berjalan memasuki sebuah toko kue. Lonceng langsung berbunyi saat pintu itu di bukannya dan aroma kue-kue yang baru di angkat dari oven langsung menyeruak ke indera penciumannya.

Love Cookie

Nama toko kue yang merupakan toko milik almarhumah Ibunya. Ayahnya yang merupakan seorang dokter tidak punya banyak waktu untuk mengurus toko kue ini, alhasil dia sudah diberi kepercayaan mengelola toko ini sejak SMA.

Tiffany berjalan masuk, tersenyum menyapa beberapa pelanggan dan karyawan disini. Dengan cepat, dia bergegas menuju ruangannya untuk mengganti pakaiannya. Setelah itu, dia mengambil buku catatan keuangan dan memeriksanya secermat mungkin. Dan saat dirasa sudah cukup dan beres, dia bergegas keluar untuk melakukan pekerjaannya.

Tiffany memakai apron dengan logo tokonya. Berjalan menghampiri karyawan yang sedang mengisi kembali etalase dengan kue-kue yang sudah sold out. “Mbak, gantian ya. Biar aku yang jaga sekarang.” ucap Tiffany, dia menggeser tubuh salah satu karyawannya dan mengambil alih tugas memasukkan kue-kue yang baru saja keluar dari oven untuk dipasang di etalase.

Ting!

Tiffany mendongak, tersenyum lebar saat melihat seorang wanita berumur dengan gaya layaknya istri pengusaha besar berjalan menghampirinya.

“Hai, Fany.”

“Hai, tante.”

Tiffany keluar dari balik etalase untuk menghampiri wanita itu. Dia tersenyum lebar saat sudah berhadapan dengan pelanggan setianya itu. “Mau ambil pesanannya sekarang, tan?” Tanya Tiffany yang mendapat gelengan dari wanita itu.

Sinora Salim Carlos—Istri seorang pengusaha besar yang cukup berpengaruh dalam sektor perekonomian negeri. Siapa juga yang tak kenal JC Company? Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang properti dan media itu? Jika ada yang tidak tahu, coba cek google, pasti—

“Oh... Yaudah, Tante duduk dulu aja. Aku ambil minum dulu.”

Tiffany bergegas pergi mengambil kue dan minuman untuk mereka berdua. Tak butuh waktu lama, Tiffany datang dengan apa yang diniatkan awal olehnya. Dia meletakkan nampan berisi dua gelas minuman dingin dan sepiring kue yang dia yakini akan menjadi menu favorit Sinora ke depannya.

Sinora tersenyum senang menatap Tiffany, dia terus memperhatikan perempuan yang sedikit tomboi itu namun telaten menyiapkan ini semua di hadapannya. “Kamu tahu gak, kenapa Tante suka banget sama kamu?” tanya Sinora yang membuat Tiffany menghentikan kegiatannya.

Tiffany melanjutkan kegiatannya kemudian duduk di tempat semula, dia mendekap nampan kemudian menggeleng. “Kenapa emangnya, tan?”

“Tante tuh pengen banget punya anak perempuan, tapi sampai sekarang gak kesampaian. Tante cuma punya anak cowok, itu loh yang sering tante ceritain sama kamu.” ucap Sinora yang di angguki Tiffany. Memang benar adanya, Sinora sering sekali menceritakan anak laki-lakinya itu.

“Dan seperti yang kamu tahu, tante gak terlalu deket sama dia.”lirih Sinora, dia tersenyum kecut. “Memang kesalahan tante sendiri, tante dan papi nya terlalu sibuk kerja. Sehingga membuat hubungan diantara kami renggang, apalagi setelah kejadian 4 tahun yang lalu.” lanjut Sinora.

Tiffany menyentuh tangan Sinora yang diletakkan di atas meja. Dia tersenyum menatap Sinora. “Yaudah, tante anggap aja aku kayak anak tante. Lagi pula, aku juga udah anggap Tante seperti ibu aku.”

Deg.

Sinora tersenyum sambil mengerjapkan matanya. Dia beranjak dari duduknya kemudian menarik Tiffany ke pelukannya, memeluk erat dengan berbagai penyesalan di hatinya.

2 : Songong

Tiffany berjalan menuju motor matic yang terparkir di pekarangan toko kue nya. Dia menyampirkan tasnya, mengikat rambut panjangnya sebelum kemudian memakai helm dan duduk diatas motor legend itu. Dia mendongak, menatap langit cerah yang perlahan berubah menjadi gelap. Berbagai bangunan dengan lampu-lampu yang menghiasi setiap sudut jalan kota, membantu bulan menyinari kota ini.

Tiffany segera mengendarai motornya, melajukan motor itu membelah jalanan kota dengan lampu-lampu di setiap penjuru nya. Senandung pelan meluncur seperti biasa dari mulutnya, nyanyian lagu favoritnya menemaninya setiap kali dia pulang dengan suara pas-pasan nya. Namun, netra matanya malah menemukan keributan yang cukup membuat dia tak bisa mengacuhkan itu semua begitu saja. Dia segera membelokkan motornya ke tempat perkelahian, menguatkan hatinya bahwa dia berani.

Tiffany mengehentikan motornya, bergegas turun tanpa melepas helm nya. Dia segera berlari kearah orang-orang yang tengah berkelahi itu. Dia ternganga, tak percaya melihat pemandangan yang mengganggu matanya itu. Tiga orang, menyerang satu orang? Huh! Tiffany tak boleh membiarkan ini semua!

Tiffany mengedarkan pandangannya, berdecak saat melihat orang-orang yang merasa tak peduli dengan perkelahian ini. Dia tersenyum lebar, segera merongoh ponsel di tasnya dan langsung memencet tombol play sebuah bunyi sirine polisi.

Satu,

Dua,

Ti— ga ...

Tiffany tersenyum lebar melihat orang-orang itu kelimpungan karena bunyi yang sebenarnya berasal dari ponselnya. Dan tak butuh waktu lama, orang-orang itu pergi meninggalkan satu orang yang kini sudah terkapar tak sadarkan diri.

Bergegas kakinya melangkah menghampiri orang itu. Dia berjongkok, memutar wajah orang itu yang tertutup. Bola matanya membulat sempurna dengan rahang yang tiba-tiba terasa lemas, dia ternganga tak percaya.

“Cowok songong.”

***

Tiffany meletakkan secangkir teh manis hangat diatas meja, kemudian berjongkok untuk melihat wajah si cowok songong yang tak sadarkan diri itu. Iya, cowok songong yang berkelahi di area kampus dan malah memakinya saat dia memisahkan perkelahian itu. Cowok yang—

“Ganteng juga,” gumam Tiffany, dia mengendikan bahunya sambil terkekeh. Namun, dia langsung menggeleng keras, menepis pikiran konyolnya.

Percuma ganteng, kalau songong.

Hatinya memang membenarkan ucapannya yang baru saja terlontar itu. Lelaki itu mempunyai wajah diatas rata-rata, meskipun ada beberapa luka yang mengotori wajahnya namun ketampanan itu tak berkurang sedikitpun. Tangannya terulur menyentuh luka di sudut bibir lelaki itu yang sudah mengering, namun belum sampai tangannya menyentuh luka itu dia dikejutkan suara keras yang berasal dari si cowok songong.

“Mau ngapain Lo!?” tukas lelaki itu, dia memundurkan tubuhnya sambil menatap tajam Tiffany.

Secepat mungkin dia menegakkannya tubuhnya, menggeleng kuat atas tuduhan lelaki itu terhadapnya. “Enggak kok, gue gak mau ngapain-ngapain.” jawab Tiffany, dia membalas tatapan tajam itu tak kalah tajam pula.

Bisa dilihat, lelaki itu tengah mengedarkan pandangannya ke penjuru rumah ini. Dan seolah paham akan tatapan bingung itu, Tiffany kembali berucap.

“Lo di rumah gue. Tadi, Lo di keroyok sama tiga orang. Terus gue—”

“—lo ngapain bawa gue kesini? Mau sok pahlawan Lo?”

Tiffany ternganga mendengar pertanyaan bernada marah itu terlontar dari mulut si lelaki. Tak ada kah kalimat lain yang bisa di ucap? Terimakasih, contohnya. Bukannya malah ucapan ketus seperti itu.

Tiffany berdecak pinggang, menatap sebal lelaki di hadapannya. “Heh, Lo tuh gak ada terimakasih sama sekali, ya? Udah bagus gue tolongin Lo, kalau enggak udah sekarat Lo sekarang!” marah Tiffany, dia berdecak kesal.

“Gue gak minta Lo bantuin,”

Dia berdesis, memicingkan matanya sambil terus menatap tajam lelaki itu. “Nyesel gue bantuin lo.”

“Gak ada yang minta,”

Tiffany mengepalkan tangannya, ingin rasanya dia mengeluarkan kemampuan bela dirinya waktu sekolah dasar. Tangannya terasa gatal ingin menyumpal mulut itu, ingin menghajar orang tak tahu terimakasih itu. Dia hanya diam dengan kekesalan yang merajalela, netranya memperhatikan lelaki itu yang kini mencoba beranjak dari duduknya. Ingin acuh dan tak peduli, namun akhirnya pertahanannya runtuh. Dengan sigap dia langsung menahan tubuh yang tiba-tiba akan tersungkur saat mencoba berdiri.

“Makannya jangan sok kuat deh. Udah lemah gini aja, masih sok.” cibir Tiffany, dia membantu lelaki itu untuk kembali duduk.

Tangannya terhempas begitu saja dan itu semua ulah lelaki itu. “Gak usah sok baik Lo.” ucap tajam lelaki itu.

Lelaki itu kembali mencoba berdiri, berjalan sekuat tenaga menahan rasa sakit di perutnya akibat pukulan brutal dari musuhnya tadi. Namun, baru beberapa langkah dia kembali terjatuh dengan rasa sakit yang kian menjadi.

Sedangkan Tiffany, dia berniat ingin kembali menolong. Namun, saat ingat sifat sombong dan songong lelaki itu, dia urungkan niatnya itu. Yang hanya dilakukannya kini adalah diam dengan mata yang menatap lekat lelaki yang tengah meringis itu. Ada rasa iba dalam hatinya, namun dia mengusirnya cepat-cepat mengingat sikap lelaki itu tadi.

“Fany, itu kenapa?”

Mereka menatap kearah datangnya suara. Berdiri di ambang pintu, seorang pria paruh baya dengan kemeja dan tas kerja di tangan kanannya beserta jas putih yang tersampir di tangan kirinya. Itu adalah Ayah Tiffany yang merupakan dokter spesialis di salah satu rumah sakit besar Kota ini.

“Kamu gakpapa?”

Tiffany hanya menatap ayahnya yang tengah membantu lelaki itu untuk beranjak berdiri dan kini tengah di papah kembali menuju sofa yang sempat menjadi tempat lelaki itu tadi. Dia hanya bisa diam dengan bibir mencebik saat melihat tatapan tajam sang ayah.

“Ya, bukan salah aku, Yah. Padahal tadi aku udah bantuin kok, dia sendiri yang nolak dan malah marah-marah sama aku.”

Ayah Tiffany menggeleng mendengar pembelaan dari mulut putrinya itu. Dia menatap lelaki dengan wajah yang dipenuhi luka lebam, ringisan keluar dari mulut lelaki itu.

“Nama kamu siapa? Kamu berantem?”

Lelaki itu meringis, menatap pria paruh baya di depan matanya. Dia mengangguk. “Delfano, nama saya Delfano.”

***

Tiffany menatap Delfano yang duduk di sampingnya. Tatapan tajam sekaligus kesal masih di layangkan matanya untuk lelaki yang sejak tadi diam itu. Ogah sebenarnya untuk mengantarkan lelaki itu pulang, namun karena paksaan sang ayah dan keadaan lelaki itu, mau tak mau dia mengiyakan.

“Harusnya Lo tuh makasih sama gue, bukannya marah-marah.” tukas Tiffany, dia melirik sinis Delfano yang tak menghiraukannya. Lelaki itu memilih menatap lurus ke depan, ke jalanan yang cukup lenggang.

Rasanya Tiffany ingin mengumpat sekarang juga. Kalau boleh, dia ingin menurunkan dan menghajar wajah datar lelaki itu. Tapi, dia masih sayang dengan umurnya. Dia tak mau, besok sampai ada berita yang berjudul ‘Seorang gadis cantik dengan teganya memukul seorang lelaki tampan’. Mau ditaruh dimana mukanya?

Tunggu dulu! Tampan?

Huh!

Sepertinya dia butuh pergi ke psikolog untuk memeriksa keadaan nya kini. Bagaimana tidak? Otaknya sudah mulai gesrek karena sempat berpikir bahwa lelaki songong di sampingnya itu tampan. Ya, meskipun memang benar adanya. Tapi, harusnya dia tak sampai berpikiran seperti itu. Absurd dasar!

“Ini kemana, belok kanan apa kiri?” tanya Tiffany kesal, dia tak tau jalan menuju rumah Delfano. Tapi, lelaki itu sejak tadi hanya diam tanpa ada niatan untuk menunjuk jalan rumahnya.

“Kanan,”

Tiffany mendengus mendengar ucapan singkat dan datar itu. Dia langsung menginjak rem dengan cepat, berharap lelaki di sampingnya terkejut atau apa gitu. Tapi sepertinya lelaki ini tak punya rasa. Bahkan, wajahnya masih terlihat santai dan datar seolah sudah biasa.

Mobilnya berhenti di sebuah rumah mewah. Tiffany melirik Delfano yang masih setia menutup rapat mulutnya. Dia memutar tubuhnya, menatap tajam dan kesal lelaki yang kini mengerutkan kening menatapnya.

“Lo tuh, ngomong kek dari tadi. Gue gak tau rumah Lo yang mana, tapi Lo malah diam aja, bukannya nunjukin!” kesal Tiffany, dia menunjuk kesal wajah Delfano yang masih saja datar.

“Nomor 17,”

Jawaban singkat itu seakan ingin kembali membuat Tiffany mengumpat dan berteriak keras di depan wajah datar itu. Dia menghela napas pelan, kembali melajukan mobilnya dan berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah dengan nomor 17—tepat seperti apa yang diucapkan Delfano barusan.

Delfano langsung membuka seltbelt-nya, melenggang keluar begitu saja dengan tertatih-tatih tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Tiffany yang melongo melihat itu semua.

"Dasar, gak tau terimakasih!" teriak Tiffany di dalam mobil, dia langsung menancapkan gas mobilnya meninggalkan rumah Delfano ini.

***

Tiffany menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang, dia menatap langit-langit kamarnya yang ditempeli sebuah poster idolanya. Entah bagaimana bisa, salah satu wajah dari idola nya itu berubah menjadi wajah songong milik Delfano.

Iya, Delfano. Si cowok songong dan tak tahu terimakasih itu.

Tiffany menggeram kesal, “Ih, apaan sih!? Kenapa Lo ada disitu, cowok songong!” pekik Tiffany, dia langsung mengambil bantal dan melemparkannya ke udara, tepat pada wajah Delfano di sana.

Buk!

Bantal itu malah mendarat di wajahnya dan saat dia menyingkirkan bantal itu, wajah Delfano kembali terlukis di poster itu membuatnya semakin kesal.

“SEMOGA GUE GAK KETEMU LO LAGI!!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!