NovelToon NovelToon

Cinta Yang Tak Terkatakan

Bab.1 Pertemuan Saka dan Ayuna

Lembayung jingga semakin jatuh ke arah kaki langit. Senja sudah tua sebentar lagi hari menjadi gelap. Tak akan ada aktivitas lagi di sekitar pantai, tapi sekarang Ayuna malah ditahan oleh seorang pemuda jangkung dengan rambut ikal dikuncir yang membuat garis tegas wajahnya semakin nyata.

“Ayun, kamu mau kan kita pergi, kabur bersamaku daripada dikawini si Tuan Takur?” lontar pemuda itu membuat Ayuna terlonjak.

“Ka, ka,,,,,kabur? Kenapa harus kabur ?” sentaknya terbelalak. Si pemuda itu, Saka meghempaskan napas dengan kasar.

“Bukannya sudah kejelaskan tadi? Almarhum ayahmu punya hutang puluhan juta, dan dia akan menjadikan Kamu istri ke lima sebagai ganti hutang yang belum dibayar-bayar!” Saka sedikit kesal karena gadis di hadapannya lelet seperti ini.

Ayuna terhenyak, kali ini tubuhnya tersandar pada batang pohon kelapa. Pandangannya beralih pada sosok Herdi yang juga berada di situ sedari tadi hanya diam saja.

“Itu betul Yun, tadi malam kami sudah konfirmasi ke Uwa Mirja. Tuan Takur akan segera melamarmu, Dia hanya menunggu hasil penjualan sawit kiriman terakhir untuk mengadakan pesta.” Herdi akhirnya bersuara.

Ayuna mengerutkan kening mendengar istilah yang di pakai Herdi, apa itu artinya konfirmasi? Mentang-mentang jadi kader desa yang sering ikut acara di kecamatan, teman se SMP nya itu sok pakai kata-kata asing di telinga Ayuna

“Sepertinya Kamu tidak percaya padaku? Bagaimana ya, caranya meyakinkan Kamu bahwa maksudku baik. Tidak pantas Tuan Takur itu menjadikanmu penebus hutang. Jadi ikut lah denganku ke Banua supaya masa depanmu lebih layak,” cetus Saka sesaat menatap gadis dihadapannya lalu berpaling memandang ke arah laut. Ujung sepatu botnya dikais-kaiskan ke pasir pantai.

Ayuna menciut. Tentu saja ia ragu. Bagaimana bisa mempercayai laki-laki yang baru dikenalnya kemarin?

Teringat kejadian kemarin sore ketika Ayuna dan Dijah yang sedang mengemas jemuran ikan kering di tatakan, mereka disapa oleh sekelompok pemuda yang sepertinya datang dari luar desa. Salah satu pemuda itu menanyakan arah rumah Kepala Desa. Setelah memberitahu Rayuna dan Dijah pun segera berlalu pulang ke rumah.

Baru saja masuk ke dalam rumah, dari teras terdengar suara heboh para tetangga yang lagi nongkrong, maklum rumah Ayuna berada di dalam gang kecil yang rapat oleh hunian sederhana.

“Ngapain Kaka mencari Yuna?” Hasni nyeletuk nyaring,

“Nnggg…Itu Dik, saya mau beli ikan kering yang dijemurnya tadi!” si pemuda menyahut sekenanya lalu disambut tawa cekikikan oleh Hasni dan kawan-kawannya. Masa cogan sukanya makan ikan kering?

“Yunaaa! Ada cogan mau borong ikan kering nih, hihihi …….”

Ayuna bergegas keluar disusul istri Uwa Mirja. Di ambang pintu berdirilah pemuda yang tadi bersama teman-temannya mencari rumah Kepala Desa.

“Kamu Ayun kan? Ayuna Raflianti? Saya masih mengenali wajahmu,” pertanyaan itu membuat Istri Uwa Mirja dan Ayuna saling berpandangan. Bagaimana orang asing ini bisa mengetahui nama lengkapnya.

“Anak ini rupanya mengenal keponakan saya?” Uwa Ratna istrinya Uwa Mirja memastikan lagi.

“Benar Bu, Nama saya Saka. Saya teman kecil Ayun waktu di Banua. Rumah kami tetanggaan, Saya kenal baik dengan Ibunya Ayun.” Pemuda itu memperkenalkan dirinya dan sepenggal kalimatnya membawa terbang ingatan Ayuna pada masa kecilnya lebih lima tahun yang lalu.

Percakapan mereka tidak sempat diperpanjang karena Saka sudah ditelpon oleh teman-temannya di rumah Kepala Desa. Pemuda itu berjanji akan datang lagi nanti malam. Dan ternyata justru Uwa Mirja yang menyusul ke rumah kepala desa. Setelah Uwa Mirja mendengar bahwa tetangga masa kecil Ayuna berada di desa mereka, Uwa Mirja jadi ingin mengetahui kabar kakak iparnya, yaitu ibunya Ayuna.

“Kamu masih mengingat ini?” suara Saka membuyarkan lamunan Ayuna. Mereka bertiga saling diam dalam pikiran masing-masing. Herdi yang duduk berjongkok mendekat ikut melihat apa yang ditunjukkan Saka.

Pada layar ponsel nampak sebuah foto Saka berdiri dengan melipat tangan di dada. Latar belakangnya adalah sebuah rumah berpagar tinggi bak istana. Rumah dengan pilar-pilar beton yang menjulang, terlihat sangat mewah dengan halaman luas melebihi lapangan sepak bola.

“Kamu ingatkan, dulu di samping sini adalah rumahmu. Kamu dan Ibumu juga sering ke rumah besar ini, apalagi kalau lagi ada acara bahkan kamu sering menginapkan ay,” penuturan Saka bagai membongkar paksa memori sedih yang tak ingin diingat-ingatnya lagi.

Berpisah dengan wanita yang melahirkan dan merawatnya hingga berusia sebelas tahun, setelahnya tak sekali pun mengetahui lagi keadaan ibunya hingga sekarang usianya menginjak delapan belas tahun.

“Tapi tidak ada yang tahu, Ibu sekarang di mana?” Ayuna mengerjapkan matanya yang basah. Gadis itu masih memiliki sebagian memori masa kecilnya di rumahnya dan istana yang merupakan kediaman majikan ibunya.

“Kita akan mencari Ibumu Ay, kita bisa bertanya pada tetangga sekitar atau kalau perlu kita bisa mencari lewat medsos, zaman sekarang masalah kehilangan sanak family atau putus kontak mudah diusahakan pencariannya. Betulkan Di?” Saka menoleh ke Herdi minta dukungan pemuda desa itu untuk meyakinkan Ayuna.

“Iya Yun, aku akan berusaha membantu Kamu. Aku bersedia ikut mengantar Bang Saka dan Kamu keluar wilayah sawit sampai ke jalan poros kabupaten.”

"Tapi Uwa Mirja....."

"Beliau sudah tahu dan katanya terserah padamu, Ay! Seharian ini Aku menunggu Uwa Mirja pulang dari melaut. Aku bukan menculikmu! Hanya mengamankan, dan supaya jangan ribut maka Herdi usul kita berembug di sini. Siapa tahu ada mata-mata Tuan Takur di sekitar rumahmu yang mengawasi?" Saka memotong tak sabar. Ayuna terhenyak. Pandangannya beralih pada Herdi.

“Nggak papa kamu menemaniku, Di? Soalnya aku…takut,” Ayuna menurunkan volume suaranya di ujung kalimat, tapi tetap bisa didengar oleh telinga saka. Herdi mengangguk mengiyakan.

Ayuna merasa nelangsa. Betapa getir nasib yang membawanya pada kawin paksa untuk melunasi hutang. Sekonyong-konyong sekarang teman dimasa lalunya datang dan mengajak pergi jauh? Bagaimana pun perasaannya tetap was-was mengambil jalan ini.

“Berarti malam ini kita berangkat ya? Supaya besok pagi langsung meluncur keluar kabupaten.” Saka mengambil keputusan atas dua orang di hadapannya. kepala Saka sendiri sudah sangat pusing, sejak tadi malam dirinya tidak karuan tidur oleh hal tak terduga yang ditemuinya di desa ini.

Bermula dari rombongan tim kerjanya yang kesasar di pusaran kebun sawit yang berlapis-lapis. Hari yang sudah sore semakin gelap ketika mobil mereka berputar-putar di jalur yang sama, ditambah tidak ada sinyal internet yang tertangkap oleh tebalnya lapisan pohon sawit. Akhirnya mereka terdampar di desa ini. Lebih mengejutkan lagi bagi Saka, seorang gadis yang ditemuinya kemudian adalah bagian dari masa lalunya yang tak terlupakan!

Bab.2 POV Saka (plot mundur)

Malam hari sebelum pertemuan Saka dengan Ayuna dan Herdi.

“Besok pagi Kalian balik duluan, aku masih di sini.”

“’What?! Nggak salah kamu betah di desa pesisir yang sunyi gini?” Dallas kaget mendengar keputusan Saka. Mereka berempat terjebak bermalam di desa terpencil ini. Beruntung Pembakal berbaik hati menampung tidur di rumahnya, tetapi tetapi suasana senyap seperti malam ini, bernyamuk dan tanpa sinyal internet membuat mereka ingin secepatnya balik ke kota.

“Aku kepikiran Ayuna, nasibnya jelek betul dipaksa kawin seperti kabar yang dibawa Uwa Mirja tadi.” Saka mengedarkan pandangan pada ketiga rekan kerjanya. Mereka berada di salah satu kamar di rumah kepala desa yang di daerah sini dipanggil Pembakal oleh warga.

“Jadi prihatin juga mendengar kisahnya. Hutang bapaknya ditebus dengan bersedia jadi istri si Tuan Takur?” Eko ikut bicara. Cerita menyedihkan semacam ini memang biasa terjadi pada kondisi ketidakberdayaan di kalangan masyarakat pedesaan.

“Kira-kira dia mau atau tidak ya, diajak pergi dari sini?”

“Hahh, Elo pikir semudah itu bawa kabur anak gadis orang?” Giliran Cipung yang melempar bantal ke arah Saka. Tidak mengira kawannya punya ide seserius itu, agak nekat menurutnya.

“Sudah pastilah aku ngomong dulu ke Uwa Mirja. Beliau yang sekarang jadi wali pengganti orangtuanya. Apa mereka tega menyerahkan Ayuna jadi istri kelima?”

Ketiga rekannya mengangkat bahu tak bisa mereka-reka. Cara berpikir penduduk desa ini pasti berbeda dengan orang luar seperti mereka. Perjodohan atau kawin paksa bagi penduduk desa adalah salah satu cara menyelesaikan konflik, berbeda dengan kebebasan berpikir dan bertindak penduduk urban. Kemerdekaan hidup sangat dielu-elukan orang kota.

“Kamu pikirkan dulu dengan tenang Ka, setelah dibawa dari sini selanjutnya bagaimana nasib gadis itu?” saran Eko bijak. Kedua rekan Saka yang lain memberi kode dua jempol. Situasi yang mendasari Tindakan Saka dapat mereka maklumi karena mendengar dari Uwa Mirja langsung, bahwa dalam waktu dekat Ayuna akan di lamar oleh Tuan Takur yang menuntut bayar hutang ayahnya yang sudah meninggal dunia. Sebelumnya Uwa Mirja mendapat kabar kedatangan Saka dan teman-temannya, sedangkan Saka ternyata mengenal dengan baik Ayuna sebagai teman masa kecilnya. Tepatnya Ayuna adalah putrinya bu Midah yang menjadi ART di rumah keluarga Saka.

Saka terdiam oleh arus pikirannya. Dua jam yang lalu dirinya mendengar langsung Ayuna akan dinikahkan secara paksa. Padahal baru sore harinya gadis itu dilihatnya lagi setelah bertahun-tahun.

Paras cantik Ayuna di masa kecil memang sudah berubah, hampir tak dikenalinya ketika sore tadi mengangkat jemuran ikan-ikan kering. Nama Ayuna yang disebut ketika temannya memanggil gadis itu, menyentak dan membulatkan Saka pada keyakinannya.

“Di mana sekarang kak Midah berada, apakah Nak Saka bisa menyampaikan pesan bahwa Yuna akan segera menikah?” terngiang lagi kata-kata Uwa Mirja Ketika datang menemui Saka di rumah Kepala desa.

“Sudah dilamar kah si Ayuna? Maaf Mang, saya sih, baru dengar-dengar dari obrolan warga.” Kepala desa yang menyela, menjawab kebingungan Saka.

“Begitu lah Pak, Tuan Takur sudah mendatangi Saya dan bilang bahwa pernikahan akan digelar bulan depan setelah dia terima pembayaran sawit,” sahut Uwa Mirja seraya menghela napas berat.

Keempat pemuda yang sedang ngobrol bersama mereka saling pandang. Sebutan Tuan Takur membuat tegak pendengaran mereka, agak ngeri karena panggilan semacam itu mewakili sosok dengan kekuasaan, keinginan yang tidak bisa dibantah, bisa jadi dilengkapi dengan sikap kejam dan keji.

“Maaf sebelumnya saya ikut bicara, tapi sebagian warga memang menggosipkan kabar Ayuna dikawinkan untuk melunasi hutang almarhum ayahnya. Benar ya Mang, besarnya sampai puluhan juta. Kasihan Ayuna ,” Kali ini Herdi yang sebelumnya diam juga angkat bicara. Dia tadi dimintai tolong mengantarkan Uwa Mirja ke rumah kepala desa. Amang adalah panggilan akrab untuk Uwa Mirja, lelaki yang berusia lima puluh tahunan itu terlihat lebih tua disebabkan beban hidup.

“Jadi bagaimana Nak? Bisa Amang minta tolong sampaikan pesan ke Kak Midah?” Uwa Mirja Kembali ke tujuan semula, berharap Saka bisa menjadi penyambung lidah.

“Bu Midah sudah tiga tahun berhenti bekerja di keluarga kami. Tanah dan Rumah Beliau sudah dijual kepada Ayah, Sedangkan Saya bekerja di luar daerah jadi tidak lagi mengetahui kabar beliau.” Jawab Saka. Sekarang baru disesalinya kenapa kalau pulang ke rumah keluarga besarnya, ia jarang mau berkomunikasi basa-basi dengan anggota keluarganya yang lain. Bu Midah tak di ketahui lagi di mana rimbanya.

Uwa Mirja Nampak kecewa, tak lama beliau pun pamit pulang. Sementara kawan-kawan Saka melanjutkan ngobrol dengan kepala Desa sambil menghabiskan minum kopi. Obrolan seputar desa, pembangunan khususnya bidang ekonomi dan pelayanan dasar yang menjadi perhatian pemerintah.

Sebenarnya kedatangan rombongan Saka bertujuan ke desa tetangga meninjau lokasi kegiatan CSR yang diusulkan oleh desa tersebut. Sebelumnya mereka membahasnya di tingkat kabupaten dan menindaklanjuti observasi langsung ke lapangan. Apabaila kondisi yang diusulkan terbukti memiliki potensi dan nilai kebelanjutan maka tim Saka akan memfollow up ke divisi lain terkait CSR di perusahaan yang menaungi mereka bekerja.

Niat baik dan kepedulian mereka, sayangnya tidak didukung dengan persiapan dan koordinasi matang. Seharusnya setelah selesai rapat di kabupaten mereka bisa minta damping pihak kecamatan bukannya nekat sore hari masuk ke kawasan perkebunan sawit yang menjebak layaknya labirin. Maklumlah anak muda bermodal semangat 45, padahal mereka belum pernah ke area itu sebelumnya.

"Silakan istirahat dulu Nak, besok kita bisa lanjut ngobrol. Tidak buru-buru balik ke kabupaten toh?" kepala desa menyudahi obrolan sekitar pukul. 23.30 Wita.

Malam yang bertambah larut, kesenyapan desa pesisir yang di apit oleh pinggir laut dan salah satu sisi kawasan perkebuan sawit membawa rasa kantuk lebih cepat datang. Dallas, Eko dan Cipung langsung terlelap begitu tubuh mereka direbahkan di atas Kasur dalam kamar rumah kepala desa.

Lain halnya dengan Saka, pikiran pemuda itu masih terpaut pada Ayuna, gadis cantik bertubuh semampai dan rencana kawin paksanya yang menggenaskan.

Ayuna Raflianti yang rentang usianya lima tahun lebih muda dari dirinya. Ayun, begitu panggilan Saka untuk gadis itu. Sementara kebanyakan orang lain memanggilnya Yuna.

Di rumah orangtuanya yang sebesar istana, Saka sering merasa kesepian. Ibu kandungnya tidak tinggal bersamanya, sejak lulus sekolah dasar Saka menetap bersama ibu tiri dan saudara sebapak di kediaman mewah itu atas kemauan ayahnya yang tak bisa dibantah.

Ayuna lah yang menjadi adik sekaligus teman semasa remajanya, karena di lingkungan tempat tinggalnya yang eksklusif, agak sulit bagi Saka memperoleh teman sebayanya.

Memori masa kecil Saka perlahan merambat memenuhi benaknya.

Bab.3 Kenangan Tujuh Tahun Silam

Tujuh tahun yang lalu, Saka secara tidak sengaja menyaksikan peristiwa yang penuh dengan tangisan dan teriakan mengecam. Bu Hamidah yang bekerja sebagai ART di rumah keluarganya menangis sesegukan mempertahankan Ayuna dalam pelukannya. Sementara tak jauh dari situ sesosok lelaki berumur empatpuluhan terlihat marah dengan suara lantang.

"Jangan dipaksa Bang, Yuna tidak mau ikut Abang..." suara Bu Midah memelas kepada mantan suami sekaligus bapak kandung Ayuna.

“Cukup Midah! Kamu sudah membawa kabur anakku sejak masih bayi. Aku juga punyak hak terhadap Ayuna, jadi jangan coba menghalangiku membawanya sekarang!”

“Tapi mau kau bawa kemana anakku? Katakan, Aku tidak mau berpisah jauh dengan Ayuna…” kata-kata Bu Midah hilang tertelan tangisan.

“Itu urusanku! Bukannya kamu juga tidak meninggalkan pesan apa-apa ketika meninggalkan rumah. Heh, Kau tidak lupa kan?”

“Kumohon Bang Harlan, tolong izinkan ku merawat Ayuna. Dia masih anak-anak, biarkan dia bersamaku….hiks hiks hiks “

“Kau pikir cuma kau yang mampu merawatnya?! Dari dulu Kau ini merasa paling benar saja!" Harlan malah bertambah kalap. Dengan kasar tangannya menarik tubuh Ayuna hingga terlepas dari rengkuhan ibunya. Anak perempuan berusia sebelas tahun itu tentu saja menangis ketakutan. Terseok-seok langkahnya mengikuti tarikan sang bapak di lengannya.

“Bang Harlan, tunggu Bang…! Katakan kemana kalian pergi….?” Bu Midah mengejar sambil mengusap airmata.

Saka tertegun di tempatnya berdiri. Kejadian bagai drama sinetron itu berlangsung di area servis rumah keluarganya yang sangat besar dan megah. Penghuni dalam rumah tak akan mendengar pertengkaran ART dan mantan suaminya yang saling memperebutkan anak gadis mereka.

Halaman rumah keluarga Saka yang melebihi lapangan sepak bola menjadi saksi bagaimana Ayuna tak berdaya setengah diseret dibawa paksa oleh bapaknya. Bu Midah mengejar dan menggapai mencoba meraih kembali putri satu-satunya, tapi kekuatan dan kecepatannya tak bisa mengimbangi laki-laki itu.

Setelah melewati pintu gerbang yang menjulang tinggi dan terbuka sedikit, Harlan menggendong anak perempuannya dan masuk ke dalam sebuah mobil yang sudah parkir di pinggir jalan raya. Mobil menderu melaju meninggalkan seorang ibu menangis pilu di balik pagar.

Saka seolah terhipnotis, bahkan tanpa sadar langkahnya terus saja tanpa sadar mengikuti mereka. Perasaannya seperti diremas kuat melihat tangis kesedihan Bu Midah. Hanya saja dirinya seperti tak punya kekuatan untuk melakukan sesuatu.

Semenjak itulah Saka tak pernah lagi bertemu Ayuna. Hanya kenangannya saja yang senantiasa hadir, terutama bila hari-hari berikutnya sering melihat Bu Midah termenung merindukan putrinya.

“Bang Saka, kalau nanti Ayun sudah es-em-pe, berangkat dan pulang sekolahnya boleh kah nebeng naik motor dengan Abang Saka?” entah berapa kali Ayuna melontarkan pertanyaaan yang sama bila mereka sedang bersama.

Masa itu paling sering mereka bertemu di sekitar teras samping yang berhadapan dengan jalan aspal menuju area servis. Saka juga sering menyapa gadis cilik itu bila dia sedang ada keperluan ke dapur.

“Berangkatnya pasti bisa bareng Ay, tapi jam pulang sekolah es-em-pe dan es-em-a itu beda tigapuluh menit. Memang Kamu nggak cape menunggu?”

“Ya, enggak papa. Kan bisa sambal main game?” Ayuna mengerling jenaka. Dia sangat senang apabila Saka mengajaknya main game di ponsel. Tak jarang Tuan Mudanya itu meminjamkan ponselnya sekaligus membelikan quota internet supaya Ayuna bisa main game untuk mengisi waktu di antara kesibukan ibunya di rumah majikan mereka.

Ayuna memanggil dengan sebutan ‘Abang’ pun atas suruhan Saka. Panggilan itu membuatnya merasa memiliki adik yang disayanginya.

“Ayun, Kamu mau nggak bilang ke Ibumu, Bang Saka pengen makan Soto daging?” lain kali maka Saka yang merayu Ayuna supaya menyampaikan keinginannya pada bu Midah. Dia sendiri kadang sungkan meminta langsung ke perempuan yang bertugas masak dan belanja di rumah keluarganya.

“Beres Bang Saka, Ayun soalnya juga suka makan Soto daging pakai perkedel. Hehehe” Ayuna terkekeh menggemaskan.

Satu atau dua kali momen yang begitu membahagiakan Ayuna, pada saat sejumlah artis ibukota tampil membawakan lagu di panggung besar di halaman rumah mewah keluarga Saka. Keluarga Saka yang kaya raya memang sering mengundang tamu artis-artis ibukota untuk memeriahkan acara yang mereka gelar.

Saka sebagai tuan muda di rumah besar itu, dengan mudah menerobos ke depan memastikan Ayuna bisa melampaui kerumunan penonton yang berjubel menyaksikan pertunjukaan musik dan joget.

Begitulah kebersamaan mereka, Saka sang tuan muda berusia enambelas tahun, remaja kelas 1 SMA masih polos dan rendah hati. Pertemanannya dengan Ayuna, gadis cilik putri bu Midah yang bekerja melayani keluarga besar Saka.

Kehilangan Ayuna membekas di hati remaja laki-laki itu, bukan hanya karena tidak ada lagi gadis cilik yang melerai kesepian dan kecangungannya di rumah besar yang mewah. Kepergian Ayuna dibawa paksa oleh bapaknya juga selalu mengingatkan Saka bagaimana perpisahan dengan ibu kandungnya.

“Bang Saka pergi kemana saja sih? Ayuna kok tidak bisa ketemu berapa hari ini?” Ayuna juga yang cerewet menanyainya bila Saka tak terlihat batang hidungnya selama dua sampai tiga hari.

“Abang pergi menemui Ibu, tinggalnya jauh dari sini. Jadi harus menginap Ay,” Saka mencoba jujur saja. Karena ia tidak bisa mengarang alasan yang lain.

“Lho, bukannya Ibu Bang Saka ada di rumah ini? “

“Iya, Ibu Bang Saka kan ada dua orang Ay….tapi tidak perlu cerita ke siapa-siapa lagi ya?”

“Masa sih? Kok bisa begitu? Ayun saja cuma punya satu ibu, itu lho namanya bu Midah.” Tentu saja Ayuna tak bisa segera mengerti. Saka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lantas dialihkannya topik pembicaraan mereka pada hal yang lebih menarik bagi gadis cilik itu. Saka segera mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi game yang biasa dimainkan Ayuna.

Saka berharap beberapa tahun ke depan, Ayuna sudah bisa mendengarkan dan memahami curhatan hatinya. Atau Ayuna mungkin bisa sekalian menghiburnya?

“Ayahmu menikahi Ibu bertujuan mencari garis keturunan laki-laki Saka, Kakakmu yang sebapak sudah tiga orang perempuan, tapi Ayahmu tetap menginginkan anak laki-laki untuk ahli warisnya, asbahnya dalam urusan agama” Ibunya berulangkali menjelaskan hal itu pada Saka.

“Tapi kenapa Ibu tidak bisa tinggal bersama Kami, atau Saka saja yang pindah ikut Ibu di sini?”

“Suatu saat Kamu akan mengerti situasinya Nak, selain itu Kau harus menerima kemauan Ayah untuk tinggal bersamanya. Ayah ingin membimbingmu Saka, sedikit demi sedikit belajar tentang usaha Tambang Batubara dan usaha lainnya yang dimiliki. Dan yang terpenting Ayah ingin seluruh keluarga besarnya dan semua relasi usahanya mengenalmu dan terbiasa dengan keberadaan Kamu sebagai anak laki-lakinya, Saka Guna Ramadhan!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!