Shanshan, nama populer yang telah dibangun dari masih kanak-kanak. Shanshan, bocah yang dahulu membintangi film fantasi, kini beranjak dewasa.
20 tahun usianya.
Gadis cantik dengan wajah kebarat-baratan itu memiliki manik biru, bingkai mata almond, bentuk bibir plum mungil, hidung mancung, alis melengking, pipi mulus sedikit chubby.
Yang mana jika semua goresan keindahan wajah itu disatukan, mengulas sebentuk kecantikan nyaris sempurna untuk ukuran manusia.
Body gitar Spanyol tercetak jelas dibalik balutan rok mini putih gading dan blouse merah muda berbahan lembut.
Sepatu heels yang juga merah muda, senada dengan warna tas yang ditentengnya. Surai nan lurus warisan ibunya, tergerai jatuh sepanjang liukan punggung bawahnya.
Untuk make up, semua yakin, Shanshan tak banyak mengenakan goresan make up. Gadis itu, lebih menyukai perawatan kulit saja.
Sedikit sentuhan warna peach di bibir, cukup membuatnya menjadi wanita super istimewa.
Indah ayunan kakinya meliuk seirama pinggul terbentuknya, semua mata tertuju pada raga setinggi 167 cm itu.
Shanshan duduk pada kursi cafe yang telah lama menunggunya.
Wangi dari kopi sedu yang terkucur dengan asap yang masih mengepul, juga roti yang baru keluar dari pemanggang.
Aroma menyenangkan yang menguar dari kedai ini cukup merelaksasi pikiran.
Sapaan akrab dia tujukan teruntuk Farah, Berg, dan satu temannya lagi bernama Aruna.
Bukan tanpa alasan mereka berkumpul di sini, Shanshan harus mendiskusikan praktikum mikrobiologi yang kemarin tak jadi ia ikuti.
Kedokteran menjadi universitas pilihannya; dan sudah akan memasuki semester tujuh.
Di lain sisi Shanshan juga memiliki profesi sebagai aktris dan model beberapa brand ternama.
Mata kuliah yang tertinggal, Shanshan ulik kembali dari teman-teman terbaiknya.
Di California sini, Shanshan tinggal bersama Caroline ibu tirinya dan Alex sang ayah kandung.
Sementara di Indonesia negara kelahiran, Shanshan memiliki Lilyana Bachir Ibu kandung dan Axel: ayah tiri yang kasih sayangnya sudah melebihi ayahnya sendiri.
"Ini tas siapa?" Shanshan menatap ransel hitam yang ditumpuki buku-buku tebal, juga se-juntai tasbih yang me-lungkrah di atasnya.
"Emyr," jawab Berg. Dengan bahasa Inggris kebanyakan mereka berbicara.
"Ke mana orangnya?"
"Shalat," sahut Farah. Dari sekian banyak teman dekatnya di California, hanya Farah dan Aruna yang se-muslim.
"Oh." Shanshan manggut-manggut. Emyr juga muslim, tapi tidak dekat bahkan terkesan tidak pernah bertegur sapa.
"Far, Berg, Run. Aku pulang dulu."
Pandangan Shanshan beralih pada lelaki yang tergesa-gesa mengemasi buku-buku dan tasbih ke dalam tasnya.
Ke tiga temannya di-ucapi kata pamit, sedang ia sama sekali tidak dipandangnya.
"Shanshan baru datang dan kau langsung pulang," tegur Farah. Berg dan Aruna mengangguk. "Iya, kopi mu juga belum datang kan?"
"Aku banyak urusan," sahut Emyr. Ia sedikit melirik ke arah Shanshan lalu berpaling sinis kembali.
Shanshan mendengus kasar, ia bangkit dari duduk setelah Emyr bergerak keluar dengan langkah terburu-buru.
Bagaimana bisa, ada pria dewasa yang terus menghindari dirinya. Dan perilaku buruk Emyr yang ini cukup kentara baginya.
"Heh, siapa, Emyr!" Sebenarnya Shanshan tahu benar nama pemuda itu, tapi gengsi membuat dirinya tak ingin terlihat akrab.
Tiba di mobil miliknya, lelaki berkulit kuning langsat itu menoleh. Lirikannya sedikit mengenai wajah Shanshan, namun dibuang kembali beberapa detik kemudian.
"Kau ini kenapa sih?"
"Ada masalah?"
"Kau membenciku?" cecar Shanshan. Berapa kali saja Emyr membuang pandangan darinya, dan itu lumayan membuatnya tersinggung.
"Tidak," jawab Emyr. Tak acuh, Emyr membuka pintu mobilnya, lantas masuk dan duduk di jok kemudi.
"Lalu?" Shanshan menahan pintu itu supaya tak bisa tertutup. "Kenapa setiap kali ada aku, kau pergi begitu saja?"
Emyr menghela tampa menatap. "Kau berlebihan kalau menganggap ku punya masalah dengan mu," sanggahnya.
"Bullshitz," gelak sumbang Shanshan, sudut bibirnya menarik seringai kesal. "Kamu yakin tidak mau menatap ku hah?"
"Astaghfirullah!" Emyr menyebut ketika gadis cantik itu meraih pipinya untuk dihadapkan pada bagian dadanya.
Sejurus kemudian, pandangan kembali Emyr alihkan ke sembarang arah. Dan itu membuat Shanshan berdecak lidah.
"Kau pikir aku setan?" ketusnya. "Aku bahkan dinobatkan sebagai Miss berlian, kau tahu, semua anggota tubuh ku, aset mahal!"
Emyr terkekeh seperti mencibir. "Bongkahan berlian wajib mahal, tapi kebanyakan wanita justru bangga saat dipandang setara dengan kerikil yang tiada harganya."
"What?" Shanshan tercenung. Pintu mobil itu akhirnya tertutup tanpa ia sadari. Ia terdiam dengan seribu bahasa ketus dan umpatan kasar di dalam batinnya.
"Shan." Tepukan Farah mengenai pundaknya.
"Lihatlah dia ini!" Shanshan menunjuk geram mobil Emyr yang telah berlalu. "Sopan sekali bicaranya!"
"Sudah lah." Berg menengahi, ia tahu kekesalan Shanshan tidak berdasar, toh nyatanya selama ini Emyr baik-baik saja.
Yah, tapi mungkin berlebihan bagi Shanshan, sebab setiap kali Shanshan datang Emyr selalu tiba-tiba pergi tanpa alasan yang jelas.
Bahkan ucapan Emyr yang barusan, lumayan membekas bagi hati Shanshan. Apa maksud dari kata-kata Emyr?
"Kerikil?"
Kali ini Shanshan harus mendatangi tempat tinggal pemuda dingin itu. Ia harus mengklarifikasi, bahwa ia tidak sama dengan kerikil di jalanan.
Kendati pekerjaannya seorang model, tapi tak sekalipun kulit-kulit Shanshan tersentuh oleh tangan nakal laki-laki.
Jangan hanya karena pakaian yang terbuka, ia disamakan dengan kerikil jalanan yang terinjak injak kaki penuh dosa.
"Kasih aku alamatnya!"
"Ngapain sih?" Farah menyahut heran.
"Udah kasih ajah, aku mau datengin dia malam ini juga!"
...{[<<
Seperti rencana awal, Shanshan mendatangi apartemen milik Emyr. Tepat di depan pintu; berjam-jam Shanshan mengalut, gelisah ia membolak-balik ayunan kakinya.
Sesekali menatap ke arah lift, mungkin akan ada sosok yang keluar dari sana. Namun tidak, tiga jam berlalu Emyr tak kunjung pulang.
Farah dan Aruna yang mengabarkan, Emyr masih di luar; mengurus para lansia yang membutuhkan bantuan medis.
Emyr memang memiliki kegiatan yang lumayan padat. Selain rajin beribadah, pemuda yang kerap dipanggil Gus itu, tak sungkan memberikan bantuan pada orang yang membutuhkan.
Sampai tiba saatnya, lift itu terbuka, dan benar saja, sosok tampan dengan tinggi 180 keluar menenteng tas ransel di sebelah pundaknya.
Shanshan menatap wajah Emyr lekat, jika dilihat secara keseluruhan, tak ada minus dari laki-laki itu.
Rahang yang bagus, bibir tak merokok cukup segar dipandang, sorot mata yang tajam, alis kerang tegas, juga batang hidung yang ter-ulas nyata.
Dalam pikiran waras-nya Shanshan mengakui, ia sedang terpesona pada ketampanan milik pria dingin ini.
Bukannya menyapa, Emyr justru acuh melanjutkan langkah dan masuk ke dalam apartemen tanpa sedikitpun menegurnya.
Yang bahkan sudah sangat lama membuang waktu berharganya untuk hal yang tidak penting.
Shanshan mengepal geram tangan mungilnya, ternyata dirinya benar-benar terlihat seperti hantu di mata pria sombong itu.
Ting tong...
Gigi Shanshan menggertak geram saat menekan bel apartemen milik Emyr. Tak begitu lama, pintu putih itu terbuka.
Emyr berdiri, masih tak mau benar-benar menatapnya. "Shan?"
"Shan." Shanshan meleyotkan bibirnya, mengikuti sebutan Emyr barusan. "Kurang lumutan aku di sini?"
"Kamu menunggu ku?"
"Pikir mu aku kurang kerjaan, berdiri seperti orang bodoh di depan pintu apartemen mu!"
Tak acuh, gadis itu ngeluyur masuk ke dalam apartemen Emyr.
Emyr menghela napas, ia mengikuti langkah Shanshan tanpa menutup pintunya. "Aku belum mempersilahkan mu masuk Shan."
"Kelamaan," ketus Shanshan. Lihatlah, rupanya Emyr mengenal namanya. "Apa kau juga tidak mempersilahkan ku duduk?"
Emyr mengangguk kepalanya setelah berpikir beberapa detik. "Duduk lah."
Pemuda tampan itu berjalan menuju sebuah pintu, lantas memasukinya: dan keluar membawa sehelai mukena atasan.
Shanshan mengamati sekitar, di apartemen ini, apakah ada penghuni lagi selain makhluk rupawan di hadapannya?
"Pakai lah!"
Shanshan terkekeh getir, aneh tentu saja. Dia kira mukena tersebut bukan untuk dirinya.
"Kita bukan mahram, tidak baik berdua mengobrol di tempat yang sepi, apa lagi kalau kamu dalam keadaan seperti ini."
Shanshan berkerut kening, apa maksud dari Seperti Ini? Shanshan duduk bertamu dengan sopan, menurutnya pakaian ini tidak terlalu vulgar. Lagi pun, mereka hidup di California.
"Kau mengejek ku?"
Sebelum lebih lanjut bertengkar, Emyr kekeuh: memaksa gadis itu mengenakan mukena bercorak batik milik kakaknya.
Kendati awalnya menolak, Shanshan menurutinya: demi bisa berbicara empat mata dengan Emyr.
Mata Emyr mengerjap sekilas lalu menatap fokus gadis di hadapannya. Ada sirat kekaguman setelah Shanshan memakai mukena darinya.
Cantik adalah definisinya.
Shanshan merasa aneh, ini pertama kalinya Emyr mau menatap dirinya sebegitu lama. Yah, meski pada akhirnya mata itu kembali membuang pandangan ke arah lain.
"Katakan apa maksud kedatangan mu?"
"Soal siang tadi," ketus Shanshan.
"Yang mana?" Kali ini, kembali Emyr menatap gadis itu.
"Yang kamu bilang aku kerikil!"
"Kamu tersinggung?" Emyr meredup ekspresi, dan terlihat kilatan sesal di matanya yang seolah menyala. "Maaf," ucapnya tak segan.
Shanshan mengernyit, bukankah siang tadi Emyr tak begitu mau menatapnya? Lalu malam ini pemuda itu meminta maaf?
"Kamu punya dua kepribadian?"
Emyr tersenyum, yah senyum yang begitu manis dipandang; lengkungan bibir itu menyejukkan bagi siapa saja yang melihat.
"Tidak ada alasan apa pun. Aku cuma sedang menjagamu dari pandangan laknat ku, maaf kalau membuat mu tersinggung," ucapnya.
Emyr mengakuinya, berharap tak lagi ada kesalahpahaman di antara mereka. Jauh-jauh Shanshan ke sini, pasti karena rasa singgung yang sangat menyiksa hati.
Pengakuan Emyr mengejutkan gadis ini, tentu saja. Shanshan kira pemuda sok suci itu akan mengolok-oloknya lebih parah dari siang tadi; rupanya tidak.
"Ibarat berlian, alangkah akan lebih mahal jika tidak banyak yang bisa memilikinya bukan? Aurat mu juga lebih mahal jika tidak banyak yang melihatnya. Masya Allah, kau bahkan terlihat lebih cantik saat mengenakan mukena seperti ini," terang Emyr.
Batin Shanshan mencela dirinya sendiri. Baru kali ini ia melihat sisi lain Emyr yang selama tiga tahun terakhir membuatnya geram dengan segala tingkah acuhnya.
"Sudah malam, aku antar kamu pulang saja. Gadis seperti mu, tidak pantas ada di rumah pemuda seperti ku."
"Zina tidak melulu soal bersentuhan, tapi bercampurnya laki-laki dan perempuan di tempat sepi juga sudah mendekati zina."
Kali ini Shanshan tak tersinggung. Ia tahu, Emyr seorang pemuda yang mengusir halus dirinya, hanya karena tidak ingin berbuat jahat padanya.
Pantas, jika Farah dan Aruna terus memuji, Emyr memang berbeda, Emyr cukup berbeda dari kebanyakan temannya.
Disaat semua orang ingin menatap kemolekan tubuhnya, pemuda itu menjaganya dari tatapan neraka.
Sejatinya lebel manusia biasa masih tertambat pada siapa saja, termasuk Emyr dzemir.
Kendati lirih dalam batin, lubuk hatinya mengakui, bahwa sikap kanak-kanak yang dimilikinya terbilang naluriah.
Ya Tuhan, kenapa ia menjadi maklum pada sikap Emyr yang kemarin masih terlihat jahat?
Apakah karena kelembutan itu? Atau mungkin karena penjelasan menyentuh itu? Entah saja.
Jelasnya, tidak sia-sia dia datang kemari. Sekarang ia tahu; sisi lain Emyr yang tidak pernah ia tahu.
...----------------...
Bulan-bulan berlalu bergantian, setelah meng-upgrade penampilannya, Shanshan dan Emyr bisa dekat layaknya Farah dan Aruna.
Memang belum berjilbab, setidaknya pakaian Shanshan tak lagi menimbulkan keresahan bagi Emyr yang insan biasa.
Selama ini, Farah dan Aruna memang tak pernah berpakaian terbuka. Pantas jika Emyr hanya mau berteman dengan mereka.
Bukan soal itu. Pada nyatanya, Emyr memiliki kegelisahan lain saat harus bertatap muka dengan gadis bernama Shanshan.
Jantungnya terus berdetak kencang saat pandangannya tertuju pada gadis itu. Dan ini lumrah terjadi ketika satu hati terjatuh pada hati lawan jenis.
Siapa yang mampu memungkiri, Shanshan cukup ideal dijadikan pelabuhan terakhir.
Terlepas dari pekerjaannya sebagai model dan aktris. Shanshan gadis yang baik, terlebih gadis itu berjiwa sosial tinggi.
Di Indonesia sana, Shanshan memiliki panti asuhan, rumah singgah, juga rumah sehat bagi yang membutuhkan tanpa dipungut bayaran.
Emyr kagum akan hal itu. Pekerjaannya bukan sekedar untuk memperkaya diri, sejatinya Shanshan sudah kaya sedari lahir.
Dua ayah kembarnya; Axel dan Alex memiliki kekayaan yang lebih dari berlebih untuk sekedar memanjakan putri pertama Lilyana.
"Emyr."
"Hmm."
Shanshan berada di tepi sungai, duduk di kursi kayu ala cafe; menikmati secangkir teh hijau bersama teman spesialnya.
Emyr tampan dengan celana jeans biru terang, kaos putih, juga sepatu sneaker dan sorban berwarna senada yang tersangkut di lehernya.
Biasanya, ia pakai kain lembut itu untuk alas ketika menghadap Illahi Rabbi, di lima waktu yang dia temui di luar rumah.
Ujung sorban itu beterbangan ditiup angin senja. Keduanya duduk menghadap tanpa menatap.
Cangkir tebal berkelir hitam kemerahan cukup membuat Shanshan iri, saking lekatnya manik Emyr mengamati.
"Apa aku berlebihan jika aku mencintaimu?"
Emyr mendongak, sekilas dalam hening netra mereka bertemu lekat. Emyr tak kaget, tapi juga tak merespon ucapan Shanshan.
"Kenapa diam?"
Sekali lagi pandangan Emyr turun. Jujur, ia juga memiliki perasaan yang sama, tapi ada seseorang yang sudah Abah-nya siapkan.
"Kau menolak ku?" cecar Shanshan.
"Apa kau siap mengubah sekali lagi penampilan mu?"
"Maksudnya?"
Shanshan mencecar bola mata yang ingin sekali ia tatap seksama. Jangan menghindar, ia ingin menuntut jawaban dari sirat kejujurannya.
Sekejap saja jemari Shanshan menyentuh kulit di ujung jari-jari Emyr. Tak lama Emyr mendongak seraya memundurkan tangannya.
"Kalau kau mengaku mencintai ku. Aku jamin, rasaku padamu pun sama tulusnya."
Emyr melepas sorban yang melingkar di lehernya. Lantas, mengenakannya pada kepala gadis itu. Cantik, seperti hari-hari sebelumnya.
"Aku tidak mau bermain-main dengan mu Shan, lebih baik biar aku bawa kamu ke Abah, lalu... Ku pinang kau dengan bismillah," ujarnya.
Shanshan membelalak, tidak kah ini terlalu cepat? Mereka bahkan belum lulus kuliah.
Sedikit pergolakan batin terburai. Shanshan tak salah mendengar, Emyr memang berniat menikahi dirinya.
Rupanya, rasa yang ia simpan selama beberapa bulan terakhir, terbalas dengan indahnya.
Namun, lagi-lagi ia bertanya-tanya: apakah tidak terlalu tergesa-gesa? Lantas, apa maksud Emyr tentang mengubah sedikit lagi penampilannya?
Mungkinkah ia harus rela menutup keindahan rambut lurusnya, juga meninggalkan pekerjaan model dan bakat aktingnya?
Siapkah dirinya untuk itu semua?
Belum lagi, jika ia harus menjadi istri Emyr yang notabennya seorang santri, anak dari kiyai besar di pulau Jawa.
Namun, berpacaran; bukan budaya yang disetujui oleh Emyr tentunya.
Penampilan boleh jadi kekinian, tinggal di California mengambil jurusan kedokteran, tapi Emyr cukup taat agama, perangainya.
Mungkinkah Shanshan mampu menjadi istri seorang Gus, sementara ia bukan siapa siapa.
Dosa masih bergelimang, pantas kah mereka bersama dalam biduk rumah tangga?
Ah, kenapa rasanya Shanshan takut akan masa depan pernikahan?
Setelah cukup memantapkan hati berbulan lamanya, Shanshan menjawab ajakan Emyr untuk pulang ke pulau Jawa, itu pun atas restu dari Alex, Axel juga Lilyana selaku orang tua.
Emyr pemuda yang baik, bahkan berani meminta izin secara langsung pada Alex; untuk membawa anak gadisnya.
Siapa yang menolak calon mantu seperti Emyr? Emyr tampan, sopan, rajin beribadah, dilihat dari sudut mana pun Emyr jelas punya masa depan.
Setidaknya Shanshan tidak perlu dikhawatirkan akan mengalami hal serupa dengan Lilyana ibunya.
Jet pribadi sengaja Papa Axel kirim, demi menjemput putri cantik pertamanya.
Syukurlah, perjuangan Emyr hanya cukup memperkenalkan Shanshan pada Abah dan Ummi saja.
Begitu pesawat sudah siap mendarat. Shanshan masuk ke dalam kamar miliknya, lalu keluar dengan hijab cantiknya.
Satu kata yang tak bisa Emyr sangkal: ia terpesona oleh kecantikan wanita dambaan pertamanya. Gadis baik yang mampu membuatnya jatuh hati untuk pertama kali.
Duduk bersisian dengan Shanshan, Emyr tak tenang. Terlihat punggung Emyr terangkat dari sandaran lalu di hentakannya kembali.
Emyr gelisah, sesekali mengusap dahi tak berkeringat. Sedikit melirik Shanshan, lalu kembali beralih pandang.
“Kamu kenapa?”
Pertanyaan Shanshan hanya mendapatkan jawaban perilaku. Kain sapu tangan itu Emyr gunakan untuk membungkus tangan mungil Shanshan, sebelum ia menggenggamnya.
“Astaghfirullah, maaf Shan.” Shanshan terkikik saat Emyr berpindah tempat duduk yang lumayan jauh dari joknya.
Tak ingin mendekati zina, selalu saja hal itu yang Emyr jaga teruntuk wanita tercintanya.
Tibalah mereka pada sebuah kota di daerah Jawa. Mereka mendatangi Pondok pesantren; tempat di mana Emyr kecil berlarian.
Berjalan berdampingan keduanya menuju koridor yang mengarah pada kamar khusus tamu perempuan.
Di perjalanan, hampir semua mata tertuju pada keduanya, sedikit terkejut akan fenomena ini.
Untuk yang pertama kalinya, anak bungsu kiyai Zainy Dahlan terlihat membawa seorang gadis, terlebih gadis itu sangat seksi.
Bukankah ada rumor yang mengatakan bahwa Gus Emyr akan dijodohkan dengan Ning Adeeva?
Tak seperti pikir orang-orang yang kebingungan, Shanshan justru terus mengedar pandangannya.
Baru pertama kali Shanshan memasuki tempat seperti ini. Di mana ramai orang yang menatapnya tapi tak berani mendekat.
Sebagian besar santri tahu batasan saat ada tamu, tentu saja mereka segan pada putra bungsu kiyai besar mereka.
Seberapa pun inginnya para santri meminta foto bersama, tanda tangan, atau sekedar bersalaman dengan pemilik nama kondang Shanshan, mereka tahan sebisanya.
“Gus,” sapaan senyum manis dari santri ayahnya terkembang. Pemuda berusia 18 tahun itu menarik koper yang Emyr bawa.
“Gus, Gus!”
“Hmm?”
“Ayu tenan ee pacare.” Cantik bener pacarnya.
“Huss!” Satu santri lainnya menegur dengan desisnya. “Ora sopan!” Tidak sopan!
Emyr dan Shanshan hanya tersenyum kecil, percakapan pemuda-pemuda itu cukup lucu meski saling menoyor kepala temannya.
“Abah ada?” Emyr bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari arah lurusnya.
“Ada di dalam, Gus,” sahut satu santri remaja itu. Emyr cukup lega, setidaknya Shanshan akan segera bertemu dengan ayahnya.
Sebelum bertemu Abah dan Ummi, Shanshan disuruh beristirahat sejenak di salah satu bilik tamu.
Tiba sedari ashar, pukul delapan malam Shanshan baru dipanggil menghadap Abah Zainy Dahlan beserta Ummi Fatimah.
Duduk melingkar bersama beberapa anggota keluarganya, Emyr tersenyum menyambut kedatangan sang kekasih yang baru saja tiba diantar dua santriwati.
Malam ini Shanshan terlihat sangat cantik dengan dress dan hijab peach yang senada.
Tak sedikit orang-orang yang berdecak kagum melihat kecantikan gadis itu. Namun, tidak dengan Abah dan Ummi yang datar tanpa ekspresi.
“Assalamualaikum Abah, Ummi,” ucap Shanshan tersenyum.
“Waalaikumusalam.”
Datar dan dingin suara Abah membuat Emyr dan Shanshan sedikit lebih canggung dari sebelumnya.
“Bah, ini Shan...,”
“Abah tahu, Abah sudah kenal siapa namanya!” sergah Abah. "Lah wong dia artis terkenal, putune wong sugih." cucunya orang kaya.
Emyr tertegun, dari mana Abah tahu soal Shanshan? Apakah sudah ada orang yang membocorkannya sebelum pertemuan ini terjadi?
“Assalamualaikum Abah, Ummi.” Salam yang terdengar lembut itu mengalihkan perhatian setiap insan yang ada di ruangan.
"Waalaikumusalam."
Shanshan dan Emyr mengernyit, kenapa harus ada tamu lain yang datang di tengah perbincangan penting mereka?
Tak seperti saat Shanshan masuk, Abah dan Ummi tersenyum menyambut kedatangan wanita cantik berkerudung hitam.
Dilihat dari wajahnya, usia wanita itu masih seumuran Shanshan dan Emyr; 21 tahunan kira-kira.
“Duduk Adeeva,” sambut Ummi Fatimah. Gadis itu tersenyum lalu duduk di sisi Shanshan yang terdiam tak paham.
“Nak Shanshan.” Ummi menatap Shanshan dengan sedikit senyuman saat menepuk pelan paha Adeeva. “Kenalkan dulu, ini Adeeva, calon istri Emyr.”
Shanshan tercengang, sebelum sanggup beralih menatap Emyr yang juga shock dengan bulatan matanya.
Bukankah kedatangannya ke sini untuk meminta restu, lalu kenapa ayah dan ibu Emyr justru memperkenalkan gadis lain padanya.
Permainan macam apa ini?
“Ummi, Abah, punten, tapi Emyr bawa Shanshan ke sini untuk meminta restu, kami saling mencintai, kami mau menikah,” kata Emyr.
“Dengan Dek Shanshan yang terkenal ini hmm?” Ada sedikit gelak meremehkan yang terdengar dari mulut Abah.
Tradisi turun temurun pesantren ini, anak kiyai menikah dengan anak kiyai juga. Lantas, dengan tak tahu malu, Emyr membawa artis yang foto-fotonya masih membuka aurat.
Lebih-lebih, Shanshan dikabarkan lahir di luar pernikahan. Bukankah Abah harus berpikir ribuan kali untuk menerimanya?
Shanshan masih tercenung, entah, ia bingung harus berkata apa, situasinya benar-benar di luar ekspektasi. Dengan tidak sopannya gadis bernama Adeeva tersenyum di atas sakitnya.
“Tentu saja Bah,” jawab Emyr.
“Sudah Abah bilang, cari wanita yang melebihi Adeeva, dari cantiknya, hartanya juga agamanya, itu Sunnah nabi.”
Shanshan berkaca-kaca, seumur hidup baru pernah ada orang yang memandang rendah dirinya.
“Gimana bisa Dek Shanshan ini tahu agama kayak Adeeva, lah wong ibunya saja hamil sama siapa... nikah sama siapa... keluarga broken.” Bibi Emyr menyeletuk.
Shanshan teriris, pertama kalinya ia datang untuk meminta restu pada calon mertua, dan diperlakukan tidak layak baginya.
Tamu yang seharusnya disambut dengan senyum dan jamuan, Shanshan justru mendapat cemoohan tersirat.
Bila takdir yang menggariskan, lalu di mana letak kesalahannya? Dia bahkan tidak meminta dilahirkan dari keluarga yang kacau.
“Temen mu yang artis ini, bisa hapal Qur’an ora Gus, bisa mendalami kitab-kitab ora Gus, bisa ngajar ngaji seperti Adeeva ora Gus?” cecar Paman Emyr seraya tergelak.
Bibi Emyr menutup mulut dan tawa remehnya. “Lah, gimana bisa dek Shanshan ngajar ngaji, kalo kerjanya cuma foto-foto, pamer aurat di depan kamera?” sindirnya.
Hati Shanshan remuk. Secara tidak langsung, keluarga Emyr membandingkan Adeeva dan dirinya yang hanya bisa berpose tanpa tahu agama.
Emyr menggeleng, seharusnya tak perlu ada paman dan bibinya yang modelan kompor meleduk. Abah dan Ummi pasti terpengaruh oleh ucapan sampah mereka.
“Shanshan memang belum belajar lebih dalam lagi, tapi akan belajar, gunanya Emyr sebagai seorang suami, salah satunya untuk hal itu,” sanggah Emyr.
“Tapi pernikahan mu dengan Ning Adeeva sudah direncanakan jauh jauh hari Gus!” timpal Ummi. “Mbok, jangan buat Ummi sama Abah malu.”
Jauh-jauh hari? Shanshan tergagu bisu, jika saja ia tahu akan seperti ini kejadiannya, takkan mau Shanshan datang ke pesantren ini.
“Kamu harus menikah dengan wanita yang satu trah, berasal dari keluarga santri seperti Adeeva, bukan aktris yang mengumbar aurat di semua mata media, sungguh tidak pantas Gus!” akhirnya keluar dari mulut Abah.
Kendati Abah menggunakan bahasa daerahnya, sedikit-sedikit Shanshan tahu apa arti percakapan mereka.
Pilu, bak sembilu kalimat itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!