"Sampai kapan aku harus sabar, Mas?" tanya seorang wanita yang duduk berhadapan dengan suaminya dengan nada ketus.
Tatapan wanita itu terkesan sedang memendam amarah yang sebentar lagi akan meluap-luap. Bagaimana tidak, dia sudah sangat tidak tahan dengan kondisi yang dialami saat ini.
"Aku sedang usaha, Rin. Tolong jangan tekan aku terus-terusan."
Kedua netra wanita itu membulat sempurna ketika mendengar jawaban sang suami. Laki-laki itu dengan entengnya meminta agar dia tidak menekannya. Sedangkan dia sendiri hampir gila karena keadaan tidak kunjung membaik, dan malah semakin memburuk.
"Asal kamu tahu, Mas. Aku benar-benar pusing. Semua tabunganku sudah terkuras habis, bahkan perhiasan milikku juga sudah tidak tersisa. Sekarang, kita tidak punya cukup uang untuk membeli beras. Lalu kamu dengan entengnya bilang aku selalu menekan kamu!" sungut si wanita.
"Lalu aku harus apa? Kenyataannya aku belum mendapatkan pekerjaan. Aku juga pusing, Rin. Setiap hari harus mendengar kamu mengoceh dan menyalahkanku." Laki-laki itu menggebrak meja makan dengan sangat keras lalu melenggang pergi dari sana.
Sepasang suami istri itu adalah Robby Saputra, dan Zarina Febrianti. Mereka sudah berumah tangga selama 5 tahun. Akibat pandemi membuat sang suami kehilangan pekerjaan. Hal itu akhirnya Zarina terpaksa menggunakan semua tabungan miliknya untuk menyambung perekonomian keluarga.
"Kamu egois, Mas. Kamu tidak memikirkan perasaan dan mentalku!" teriak Zarina saat Robby justru meninggalkannya tanpa jalan keluar apapun.
Zarina hanya bisa menangis saat mendapat perlakuan dari Robby yang selalu menghindar ketika dia menanyakan tentang pekerjaan suaminya itu. Sedih, kecewa, dan marah menjadi satu. Menurut Zarina, sebagai seorang suami seharusnya Robby lebih bijak dalam menghadapi situasi ini.
Malam yang semakin larut membuat Zarina memutuskan untuk beristirahat. Berkali-kali dia mencoba memejamkan mata, tetapi dia sama sekali tidak berhasil mengarungi mimpi. Bahtera rumah tangga yang dulu begitu indah, kini berubah menjadi gubug derita. Hanya ada pertengkaran antara mereka.
"Sudahlah, aku tidak perlu memikirkan Mas Robby. Dia pasti tidak akan pulang malam ini," gumam Zarina kembali berusaha memejamkan mata.
Ya, setelah pertengkaran itu, Robby keluar dari rumah. Beberapa kali ketika mereka bertengkar Robby memang lebih memilih untuk meninggalkan rumah. Entah ke mana dan untuk apa, Zarina pun tidak memusingkan hal tersebut.
Keesokan harinya saat Zarina sudah selesai mengerjakan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga barulah Robby pulang. Laki-laki dewasa itu melenggang masuk tanpa memperdulikan sang istri yang tengah duduk di kursi kayu ruang tamu.
"Dari mana? Semalaman tidak pulang, cari kerja?"
Pertanyaan itu seketika menghentikan langkah Robby yang hendak masuk ke kamar. Laki-laki itu mendengus kesal karena paham bahwa istrinya itu akan kembali membahas perihal pekerjaan.
"Udah dapat kerjaan, 'kan?" tanya Zarina lagi saat Robby masih diam saja.
"Belum," jawab Robby singkat.
Laki-laki itu hendak kembali mengayunkan langkah untuk masuk ke kamar. Namun, lagi-lagi Zarina menghentikannya dengan ucapan pedas.
"Harga diri laki-laki itu bekerja. Kalau tidak bekerja dan tega membuat istri sengsara, ya jangan jadi suami."
Robby menatap tajam sang istri yang duduk dengan mata dan tangan yang fokus bermain ponsel. Laki-laki itu berjalan mendekat lalu merebut ponsel milik istrinya. Hal itu tentu saja membuat Zarina mendongak dan menatap jengkel sang suami.
"Kamu sudah berani menghina harga diriku, Rin? Jika kamu merasa mencari pekerjaan itu mudah, silahkan kamu cari sendiri pekerjaan di luar sana. Jangan selalu menuntut aku setiap hari!" bentak Robby dengan suara tinggi.
Zarina bangkit dari duduknya dan langsung merebut kembali ponsel miliknya. Tatapan wanita itu semakin mengerikan. Dadanya kembang kempis menahan amarah yang membara di jiwa.
"Kalau kamu sudah tidak sanggup menafkahi aku dan malah menyuruhku bekerja, ceraikan saja aku, Mas. Untuk apa aku memiliki suami pengangguran yang menyuruh istrinya sendiri banting tulang?"
Melihat keberanian Zarina yang semakin hari semakin besar membuat Robby tersulut emosi. Apa lagi ketika wanita itu memintanya untuk menceraikannya. Tanpa sadar Robby mengangkat tangannya dan hampir saja melayangkan tamparan di wajah cantik sang istri.
Zarina yang merasa suaminya itu akan menamparnya pun reflek memejamkan mata. Dia sudah pasrah jika harus mendapat kekerasan rumah tangga setelah 5 tahun menikah dengan laki-laki itu. Namun, beberapa detik kedua matanya terpejam dia sama sekali tidak merasakan apapun.
Dia pun mencoba membuka kedua matanya perlahan. Tangan Robby masih melayang di udara. Melihat kedua mata sang istri berkaca-kaca, perlahan Robby menurunkan tangan yang hampir menyakiti wanita itu.
"Ma-af," sesal Robby.
Sadar atas kesalahannya yang hampir melakukan kekerasan dalam rumah tangga Robby pun memasang mimik wajah bersalah. Namun, Zarina justru berlari masuk ke kamar. Wanita berparas cantik itu menutup serta mengunci pintu kamarnya.
"Rin, aku minta maaf. Buka pintunya, Rin," pinta Robby sambil mengetuk pintu.
Zarina yang berada di dalam kamar pun menangis tersedu-sedu. Dia tidak menyangka bahwa Robby akan berniat menyakitinya. Teriakan serta gedoran pintu yang dilakukan oleh Robby sama sekali tidak digubris oleh wanita itu.
"Rin, buka pintunya. Aku hitung sampai tiga, kalau kamu tidak membukanya, terpaksa aku dobrak pintu ini."
Wanita itu menyeka bulir bening yang mengalir di pipinya. Ancaman dari Robby membuat dia semakin tidak ingin melihat ataupun berbicara kepada laki-laki yang sudah menikahinya itu.
Dia merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan lalu mengambil tas serta kunci motornya. Robby masih menghitung sampai nomor 2 di luar sana. Tidak lama pintu terbuka, tetapi apa yang dia lihat membuatnya heran.
Sang istri berdiri dengan tatapan datar. Tidak hanya itu, di tangannya juga memegang sebuah tas. Robby sempat melihat jejak air mata yang tertinggal di sudut mata wanita tercintanya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Robby dengan perasaan bersalah.
"Keluar." Zarina mendorong tubuh suaminya yang menghalangi jalan lalu mengayunkan langkah keluar dari sana.
"Keluar buat apa?" tanya Robby lagi yang kali ini sama sekali tidak ditanggapi oleh Zarina.
Wanita itu pergi dari rumah dengan mengendarai motor maticnya seorang diri. Selama perjalanan air mata tetap mengalir dari kedua sudut mata indah itu. Zarina pun beberapa kali menyeka dengan kasar. Dia sama sekali tidak ingin terlihat lemah dihadapan siapapun, termasuk para pengendara lain yang mungkin saja peka terhadap kesedihannya.
Untuk menenangkan diri Zarina memutuskan untuk singgah di sebuah taman kota. Menikmati udara pagi di tempat indah tersebut. Mungkin dengan menatap hamparan bunga akan sedikit menghibur hatinya.
Ketika sedang asik memandangi kupu-kupu yang hinggap di tangkai bunga berwarna-warni di depannya, suara denting ponsel mengalihkan perhatiannya. Zarina mengambil ponselnya di dalam tas untuk memeriksa siapa yang mengirimkan pesan singkat padanya.
"Selamat pagi, Cantik. Sedang apa pagi-pagi begini?"
Isi pesan singkat dari seseorang yang dikenal melalui media sosial itu hanya dibaca oleh Zarina. Wanita itu sama sekali tidak berniat untuk membalas pesan yang hanya berisi tentang basa-basi tersebut.
Tidak mendapatkan balasan dari Zarina membuat si pengirim pesan singkat pun menelepon wanita itu. Biasanya Zarina memang sering berbalas pesan dengan teman onlinenya.
"Ada apa?" tanya Zarina tanpa basa-basi.
"Loh, kok ketus gitu. Suara kamu juga kaya abis nangis. Kamu lagi ada masalah?" tanya si penelepon.
"Enggak ada, Dafis. Aku baik-baik saja," elak Zarina mencoba berkelit.
"Aku enggak percaya. Kamu pasti lagi ada masalah kan!" desaknya kepada Zarina.
Dikarenakan Dafis terus saja mendesaknya pada akhirnya Zarina membiarkan teman onlinenya itu untuk datang menemuinya di taman setelah mereka melakukan obrolan melalui panggilan Vidio. Dafis bersikeras untuk datang ke taman untuk menemuinya.
Tidak butuh waktu lama 30 menit kemudian Dafis sudah sampai di taman. Laki-laki yang merupakan teman online yang baru dikenal oleh Zarina itu segera mencari keberadaan wanita yang akan dia temui.
Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan begitu melihat keberadaan sang wanita. Dia mengayunkan langkah mendekati wanita yang duduk menyendiri di salah satu kursi taman.
"Hai, bener Zara, 'kan?" tany Dafis memastikan. Meskipun dia yakin karena mereka beberapa kali sempat melakukan video call.
Zarina mendongak menatap laki-laki yang berdiri di hadapannya. Senyum tipis dia berikan sebagai jawaban atas pertanyaan Dafis. Laki-laki itu sempat tertegun sesaat setelah melihat betapa manisnya senyuman Zarina.
Begitu yakin bahwa wanita yang memiliki senyum manis itu benar-benar Zarina, Dafis pun tanpa basa-basi langsung duduk di ruang kosong kursi panjang tersebut.
"Kamu ngapain disini sendirian?" tanya Dafis memulai obrolan.
Zarina menoleh sekilas lalu kembali fokus pada pemandangan di depannya. Rasa sesak, sedih, dan kecewa itu tidak mungkin dia ceritakan kepada laki-laki asing yang baru dikenal olehnya.
"Aku ganggu ya?" tanya Dafis lagi saat Zarina tidak menjawab pertanyaannya.
"Enggak, kok!"
"Kalau enggak, kenapa dari tadi enggak mau jawab pertanyaanku?"
"Aku baik-baik saja, Dafis. Hanya masih ingin menikmati pemandangan alam aja," elak Zarina mencoba menutupi perasaannya saat ini.
"Aku enggak percaya. Kamu kelihatan sedih, loh!" timpal Dafis dengan yakin.
Zarina menatap laki-laki yang duduk di sampingnya itu seraya tertawa kecil. Dia harus bisa menyembunyikan perasaannya saat ini. Tidak mungkin dia jujur tentang permasalahan yang sedang dia hadapi bersama sang suami.
"Kamu kok jadi kaya cenayang," cibir Zarina dengan senyum manisnya.
Lagi-lagi Dafis terhipnotis oleh senyuman wanita yang duduk disampingnya itu. Begitu manis dan memabukkan. Dia yakin laki-laki manapun pasti akan tergila-gila setelah terkena pesona wanita cantik itu.
Zarina mengernyitkan dahinya saat melihat Dafis justru diam dengan tatapan mata yang tidak lepas dari bagian bibirnya. Wanita itu pun merasa canggung karena sadar bahwa Dafis tengah memperhatikan bibir tipis berwarna merah muda miliknya.
"Dafis, jangan tatap aku seperti itu. Aku malu," tegur Zarina seraya mengalihkan pandangannya.
Dafis mengerjapkan kedua netranya setelah sadar dari lamunan indah yang sempat menguasai dirinya. Bayangan dia mengecup bibir mungil itu menari-nari di otaknya.
"Ah, maaf. Kamu cantik, Zara. Lebih cantik dari pada di foto dan Vidio yang kamu kirimkan," puji Dafis kepada wanita cantik itu.
Mendengar pujian yang terlontar dari pria tampan di sampingnya muncul rona merah di pipi Zarina. Wanita itu tertunduk menyembunyikan wajahnya yang tampak malu-malu.
Obrolan mereka berlanjut dengan asik tanpa mengingat waktu yang sudah beranjak siang. Teriknya matahari bahkan tidak dihiraukan oleh keduanya. Mereka baru tersadar jika hari sudah sangat siang ketika terdengar suara aneh yang ternyata berasal dari cacing-cacing yang berdemo di perut si wanita.
Keduanya kompak tertawa saat sama-sama mendengar suara yang menunjukkan bahwa perut Zarina ingin segera di isi dengan makanan. Meskipun merasa sedikit malu karena terciduk kelaparan oleh laki-laki di sampingnya, tetapi gurauan Dafis bisa sedikit menetralisir perasaan tidak enak itu.
"Kita makan dulu, yuk!"
Dafis berinisiatif untuk mengajak Zarina makan siang. Selain memang sudah waktunya, dia juga masih belum rela jika nantinya wanita itu akan berpamitan pulang dan mengharuskan mereka berpisah secepat ini.
Wanita cantik itu tidak langsung mengiyakan ajakan Dafis. Dia masih menimang keputusan untuk mengikuti ajakan Dafis atau pulang ke rumahnya saja. Namun, ketika lagi-lagi teringat dengan pertengkarannya dengan Robby membuat wanita itu akhirnya menerima ajakan laki-laki di sampingnya.
"Boleh, mau makan apa?"
"Ngebakso aja, yuk. Kayanya seger deh panas-panas gini," usul Dafis dengan cepat.
"Ide bagus. Aku juga lagi malas makan nasi," timpal Zarina menyetujui.
Mereka akhirnya berjalan kaki menuju sebuah warung bakso yang terletak tidak jauh dari taman kota itu. Keduanya sepakat untuk tidak menaiki motor karena untuk mempercepat perjalanan. Jika mereka menaiki kendaraan, itu akan membuat mereka terpaksa mengitari jalan karena memang jalan itu adalah satu arah.
Sesampainya di warung bakso itu ternyata tempat itu sudah ramai oleh para pelanggan. Beruntung sang pedagang tidak kehabisan ide dan menyediakan tempat lesehan yang digelar di bawah pohon mangga yang rindang.
"Kamu duduk dulu, biar aku yang pesan. Kamu bakso lengkap atau gimana? Terus minumnya apa?" cecar Dafis kepada Zarina.
Wanita itu sampai tertawa pelan melihat semangat Dafis yang hendak memesankan dia makanan. Laki-laki itu seperti seorang detektif yang tengah mengintrogasi targetnya.
"Malah ketawa, sih, Zar!"
"Aku bakso tanpa mie kuning, terus minumnya es jeruk aja, deh!"
"Okey. Tunggu sebentar, yah!"
Dafis meninggalkan Zarina untuk memesan makanan serta minuman. Begitu selesai memesan makanan untuk mereka berdua Dafis pun kembali menghampiri Zarina.
"Udah?" tanya Zarina saat Dafis sudah duduk di hadapannya.
"Iya, lagi di buatin. Sambil nunggu makanan datang, lanjutin lagi obrolan kita, ya." Laki-laki tampan itu menaruh tangan di atas meja.
Mereka berbincang-bincang tentang hal remeh temeh hingga tentang kehidupan pribadi mereka. Hanya satu yang disembunyikan oleh Zarina, yaitu statusnya yang sudah sah sebagai seorang istri.
"Jadi, kapan-kapan aku boleh main ke rumah kamu, 'kan?" tanya Dafis yang seketika membuat si wanita bungkam.
Zarina kebingungan untuk menjawab. Jika dia menyetujui permintaan laki-laki di depannya pasti rahasia tentang pernikahannya akan terbongkar. Namun, untuk menolak pun dia merasa tidak enak kepada Dafis.
Saat Zarina masih sibuk berperang dengan pikiran dan hatinya tiba-tiba pelayan datang membawa nampan berisi dua mangkok bakso dan dua gelas es jeruk. Pelayan itu menaruh pesanan pelanggannya di atas meja.
"Silahkan menikmati," ujar sang pelayan dengan sopan.
"Terima kasih," balas Zarina ramah.
Kedatangan pelayan itu bagaikan angin segar untuk Zarina. Tampaknya Dafis sudah lupa dengan pertanyaannya tadi dan Zarina tidak perlu memikirkan tentang rencana dari laki-laki itu.
"Ya udah kita makan dulu. Kamu udah keliatan kelaparan banget," kelakar Dafis menggoda Zarina.
Zarina menaruh saos dan sambal ke dalam mangkuk baksonya. Wanita itu memang sangat suka makanan pedas terlebih lagi makanan kuah. Sementara itu, Dafis memperhatikan si wanita yang menaruh terlalu banyak sambal ke dalam makanan berkuah panas tersebut.
"Kamu enggak takut sakit perut, Zar?" tanya Dafis seraya menghalangi wanita itu yang kembali mengambil wadah sambal untuk menambahkan rasa pedas di makanannya.
"Aku suka pedas, Fis, jadi tidak perlu khawatir." Wanita itu tetap berniat menambahkan rasa pedas di makanannya.
"Enggak! Udah cukup, Zara!" tegur laki-laki itu.
Perhatian kecil dari Dafis akhirnya membuat Zara luluh. Wanita itu menurut untuk tidak melanjutkan kebiasaan buruknya itu.
Keduanya menyantap makanan masing-masing. Dafis makan dengan tatapan yang tidak lepas dari wanita di depannya. Sedangkan Zarina yang memang kelaparan karena pagi tadi tidak sempat sarapan, makan dengan buru-buru. Rasa pedas yang berasal dari kuah panas itu bahkan sama sekali tidak mengganggu wanita itu untuk menyantap makanannya.
Cuaca panas serta rasa pedas itu membuat keringat membanjiri wajah cantik Zarina, terutama di bagian keningnya. Dafis yang melihat itu pun mengambil tissue dan tanpa permisi menyeka keringat yang membasahi wajah cantik wanita di depannya.
"Eh," pekik Zarina terkejut.
Wanita itu menghentikan kegiatannya yang tengah menikmati makanan favoritnya karena perlakuan Dafis yang tiba-tiba menyeka wajahnya menggunakan tissu tanpa permisi.
"Keringat kamu banyak banget, loh!" Dafis menunjukkan tissue itu sudah basah setelah menyeka wajah Zarina.
"Em, terima kasih."
Rasa canggung tiba-tiba hadir di benak Zarina setelah Dafis bersikap terlalu dekat dengannya. Laki-laki itu bertingkah seolah mereka adalah sepasang kekasih yang sudah wajar melakukan hal seperti itu.
Berbeda dengan Zarina yang merasa canggung, Dafis justru seperti tidak merasa perlakuannya itu sudah keluar dari zona wajar dalam berteman.
Keduanya benar-benar terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang melakukan kencan pertama. Setelah selesai menyantap makanan sejuta umat itu mereka kembali ke taman. Awalnya hanya untuk mengambil motor mereka masing-masing. Namun, ternyata Dafis justru mengajaknya untuk kembali menikmati suasana taman yang kebetulan sedang sepi tersebut.
Laki-laki itu seakan peka dengan gerak-gerik Zarina yang masih enggan pulang ke rumahnya. Meskipun dia tidak tahu penyebab wanita itu merasa tidak betah di rumahnya, tetapi tujuannya saat ini hanya untuk menghibur teman onlinenya itu.
"Dav, kamu enggak apa-apa nemenin aku seharian di tempat ini?" tanya Zarina yang merasa tidak enak.
"Enggak apa-apa, aku juga lagi libur kerja jadi bisalah kalau cuma nemenin kamu di sini. Kalau perlu sampai malam juga aku enggak keberatan," jawabnya tanpa ragu.
Zarina memukul pelan lengan Dafis karena merasa laki-laki itu sedang bergurau. Tidak mungkin mereka menghabiskan waktu hingga malam di tempat itu. Wanita itu sempat tersenyum manis ke arah Dafis saat laki-laki itu menatapnya sebelum dia kembali mengalihkan pandangan.
Melihat betapa manisnya senyuman Zarina, Dafis tanpa sadar sedikit memajukan wajahnya perlahan. Laki-laki itu semakin mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah si wanita. Niatnya hanya ingin mengecup pipi wanita di sampingnya. Namun, sepertinya dewa amore sedang berpihak padanya.
Ketika wajahnya sudah sangat dekat dengan pipi wanita itu, tiba-tiba Zarina menoleh. Pada akhirnya niat awal yang hanya akan mengecup pipi justru berlabuh di bibir mungil wanita itu. Zarina tertegun ketika kedua bibir itu menyatu dengan sempurna.
Merasakan Zarina tidak menghindar ataupun menolak penyatuan bibir itu, Dafis pun berniat menggigit kecil bibir si wanita agar membuka jalan untuknya mengabsen setiap inci di dalam bibir itu.
Bukannya membuka mulutnya Zarina yang baru tersadar justru reflek mendorong tubuh Dafis menjauh darinya. Jantung wanita itu berdetak lebih kencang, darah dalam dirinya juga ikut mendidih saat mendapat serangan tiba-tiba dari laki-laki lain selain suaminya.
"Kenapa, Zar?" tanya Dafis dengan tidak tahu malunya.
"Kamu ngapain cium aku?" tanya balik Zarina setelah berhasil menguasai dirinya.
"Loh, memangnya kenapa? Toh kamu tidak menolak tadi."
"Maaf, aku harus pulang!" seru Zarina yang merasa perbuatannya itu diluar batas.
Wanita itu bangkit lalu berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan Dafis dengan perasaan kesal. Laki-laki itu tentu saja sudah berharap akan berhasil menikmati bibir mungil menggoda Zarina. Namun, ternyata tidak semudah itu menaklukkan wanita itu.
Sementara itu, Robby tengah mondar-mandir di teras depan rumahnya. Laki-laki dewasa itu beberapa kali memeriksa jam di ponsel miliknya. Hingga hari sudah gelap seperti ini sang istri belum juga kembali ke rumah. Hal itu tentu saja membuat Robby khawatir dan semakin merasa bersalah.
"Aku telepon aja kali ya?"
Laki-laki itu segera menghubungi nomor ponsel istrinya untuk menanyakan keberadaan wanita itu. Namun, sepertinya Zarina justru menolak panggilan darinya setelah beberapa kali mengabaikan panggilan itu.
"Kamu marah banget sama aku, Rin. Maaf, aku benar-benar khilaf," gumam Robby dengan rasa bersalah.
Robby baru bisa menghela napas lega setelah melihat sang istri pulang dengan mengendarai motornya. Laki-laki itu segera menghampiri wanita tercintanya itu.
"Sayang, kamu dari mana? Kenapa baru pulang? Aku khawatir."
Robby mencecar Zarina dengan banyak pertanyaan. Namun, tidak ada satupun yang di jawab oleh wanita itu. Setelah memarkirkan motornya Zarina justru melenggang masuk ke kamar. Wanita itu mengabaikan apapun ucapan yang keluar dari mulut suaminya.
Begitulah mereka mengakhiri harinya dengan buruk. Permasalah itu sama sekali tidak menemukan titik terang. Sejak hari itu hubungan Robby dan Zarina semakin buruk. Mereka sering kali bertengkar bahkan hanya karena hal-hal sepele sekalipun.
Keadaan justru berbanding terbalik dengan hubungan Zarina dan Dafis. Wanita itu luluh setelah Dafis meminta maaf dan menjelaskan situasi yang sempat terjadi antara mereka. Laki-laki itu mengaku tidak sengaja mencium bibirnya.
Hari demi hari terlewati begitu saja. Zarina semakin dekat dengan laki-laki bernama Dafis yang kini lebih dapat memberikan rasa nyaman untuknya. Terlebih lagi Dafis tidak segan untuk memberinya uang tanpa dia memintanya lebih dulu.
Mereka sering bertemu diam-diam menghabiskan waktu bersama layaknya kekasih. Zarina seolah lupa dengan statusnya yang sudah memiliki suami. Sejak perkenalannya dengan Dafis, Zarina bahkan selalu menolak Robby ketika suaminya itu hendak meminta haknya sebagai suami.
Suatu hari Zarina mendapat pesan singkat dari Dafis yang mengabari bahwa dirinya tengah sakit. Merasa khawatir dengan keadaan pria yang sudah memberinya kenyamanan itu Zarina memutuskan untuk mendatangi rumah laki-laki itu.
Zarina mengetuk pintu sebuah rumah yang sepertinya memang adalah tempat tinggal laki-laki itu dari alamat yang di kirimkan oleh Dafis. Tidak lama kemudian pintu terbuka dan menampakkan tubuh Dafis yang hanya mengenakan handuk kecil yang menutupi area bawahnya saja.
"Ah, kamu!" pekik Zarina seraya menutup kedua matanya menggunakan tangan.
Dafis yang tidak mau kedatangan sang wanita terciduk oleh warga pun langsung menarik tangan wanita itu untuk masuk ke rumahnya. Akibat terlalu keras menarik tangan Zarina wanita itu sampai menabrak dada bidang yang polos tanpa sehelai kain itu.
Mendapatkan kesempatan emas untuk memeluk Zarina, Dafis pun melingkarkan tangan kekarnya di pinggang sang wanita dan dengan sengaja semakin mengerat agar tubuh mereka saling menempel erat satu sama lain.
"Dafis, lepas." Zarina berusaha berontak. Namun, Dafis dengan cepat menghalangi tangan Zarina yang berniat memukul dada bidangnya.
"Kamu seksi, Zara." Dengan sengaja Dafis berbisik tepat di telinga Zarina.
Saat mendapat bisikan itu tubuh Zarina menegang. Seperti ada aliran listrik yang tiba-tiba menyengatnya. Darahnya berdesir dengan jantung yang berdegup kencang.
Tidak menampik kenyataan bahwa sebenarnya tubuh itu merindukan sentuhan dari lawan jenisnya. Hanya saja rasa kesal dan amarah kepada suaminya yang menjadikan dirinya keras dan selalu menolak saat Robby berusaha menyentuhnya.
Tidak mendapat reaksi penolakan dari Zarina membuat Dafis mengartikan bahwa wanita itu mungkin setuju dengan keinginannya saat ini. Dafis menuntun Zarina untuk duduk di karpet empuk di ruangan itu. Tanpa basa-basi laki-laki itu mencium bibir Zarina dengan lembut.
Zarina benar-benar terbuai oleh sentuhan lembut dan cumbuan dari Dafis. Tubuhnya seakan tidak rela jika dia menolak kegiatan laki-laki yang sedang berada di atas tubuhnya itu.
Hal yang seharusnya tidak terjadi pun akhirnya di lakukan oleh kedua orang itu. Mereka bahkan melakukan penyatuan tanpa hubungan apapun selain pertemanan. Tidak hanya itu saja, Dafis dan Zarina melakukan perbuatan keji itu berulang kali dan berpindah-pindah tempat.
"Dafis, kita sudah salah melakukan ini," sesal Zarina yang berada di dekapan tubuh polos Dafis di dalam kamar berukuran 3x3 itu.
"Tidak ada yang salah, Sayang. Kita saling memberi dan merasakan kenyamanan, 'kan?"
"Tapi … kita bukan suami istri, Dafis."
"Kita akan menikah, Zara."
Saat keduanya tengah berbincang tentang hubungan mereka tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Dafis segera melepaskan dekapannya di tubuh wanita yang sudah memberikan dia kehangatan itu. Hanya dengan memakai handuk yang tadi sempat terlepas, Dafis membuka pintu rumah.
Netranya seketika membulat sempurna saat melihat siapa yang berada di ambang pintu rumahnya. Tidak ada satupun kata yang mampu diucapkan oleh laki-laki tampan itu ketika di depannya sudah ada seorang wanita yang memegang koper di tangannya.
"Aku pulang, Sayang."
Ketika wanita itu hendak menghambur ke pelukan Dafis, Zarina keluar sudah memakai pakaiannya yang sempat terlepas.
"Dafis, siapa yang datang?" tanyanya penasaran bahkan sebelum melihat seorang wanita yang hampir memeluk Dafis.
Zarina menghentikan langkahnya saat melihat seorang wanita dengan koper besar di sampingnya. Tangan wanita itu seperti sedang akan memeluk Dafis.
"Kamu siapa? Ngapain di rumahku bersama suamiku?" tanya si wanita dengan nada tinggi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!