NovelToon NovelToon

Kepentok Cinta Petani Tampan

~ Hilang Kendali

...Selamat datang di karyaku yang ke 10. Karya kali ini akan sedikit berbeda dengan novel yang lainnya. Untuk panggilan aku, kamu, gue atau lu disesuaikan dengan siapa lawan bicaranya ya. Dan novel ini waktunya sebelum bulan puasa. ...

...Semoga suka...

...🍒🍒🍒...

Di atas pencakar' langit berubah perlahan-lahan menjadi jingga pekat. Ditemani awan yang bergerak lambat tergambar jelas di ibu kota sore itu. Sebagian budak korporat sudah pulang berkerja namun, ada pula yang masih berkutat dengan komputernya, menyelesaikan laporan yang belum rampung sama sekali.

Sibuk, pengap, jalanan ibu kota nampak semrawut seperti biasanya. Para manusia masih sibuk dengan dunianya masing-masing, begitupula dengan sepasang muda-mudi yang saat ini tengah mengarungi samudra kenikmatan bersama-sama di dalam sepetak kos.

Setelah pelepasan pertama, wanita yang masih sangat muda itu, mengambil selimut di bawah kasur lalu menutup tubuhnya hingga sebatas dada.

"Tom, sampai kapan kita kayak begini, lu tahu sendiri kan, gue sayang banget sama lu, gue mau status yang jelas, Tom." Wanita berwajah tirus itu menatap dalam pada pria di sampingnya.

"Sabar, Ra. Lu tahu sendiri kan kalau gue masih pacaran sama Rani, saudara tiri lu sendiri itu," ucap Tomi, sambil mendengus pelan.

Wanita yang di sapa Rara itu menggeram rendah. Secepat kilat ia mengubah posisi badan lalu duduk di atas kasur.

"Lah terus! Gue apa? Ya udah kalau begitu lu putusin Rani!" serunya dengan melipat kedua tangan dada. Melayangkan tatapan tajam pada pemuda yang jelas-jelas menjalin hubungan dengan adik tirinya, Maharani.

Tomi berdecih sejenak, lalu duduk juga di tepi ranjang dan menatap Rara.

"Ra, jangan kayak anak kecil napa! Gue nggak bisa mutusin Rani, dia sumber uang buat gue, kalau bukan karena dia gue nggak akan bisa beli mobil kesukaan gue. Lu tahu sendiri kan bokap gue batasin uang jajan gue!"

Rara melenggoskan muka ke samping, melihat awan yang bergerak lambat dari jendela kos. "Ya udah kalau begitu kita putus!"

Sebuah kalimat pamungkas baru saja meluncur bebas dari bibir kecil Rara. Sudah ribuan kali kata putus dilontarkannya.

Tomi tergelak. Secepat kilat menyentuh pundak Rara, hendak membujuk Rara seperti biasa yang ia lakukan sebelum-sebelumnya.

"Ra, please, gue juga sayang sama lu, ini hanya waktu saja setelah uang gue kekumpul buat beli rubicon, gue janji deh bakalan putusin Rani," ucapnya sambil menggerakkan dagu Rara agar mau menatap matanya.

Tanpa keduanya sadari, dari sela-sela pintu kos, sepasang mata berwarna hitam legam semakin menggelap. Kedua tangannya tampak terkepal kuat, menahan amarah yang membuncah di relung hatinya saat ini, tatkala melihat pacar dan kakak tirinya tengah bercumbu mesra di dalam sana.

"Non Rani," panggil seorang pria berambut klimis dari belakang. Dia menggerakkan kepala ke segala arah saat mendapat sinyal-sinyal akan ada peperangan di depan matanya sebentar lagi. Sebab ia ditugaskan sebagai supir pribadi putri majikannya malah harus terseret dalam masalah cinta anak muda.

Ya, wanita itu adalah Maharani, korban dari permainan Tomi dan Rara.

Gadis SMA berparas cantik dan memiliki tubuh molek ini, terlahir dari keluarga bergelimangan harta. Maharani atau biasa di sapa Rani merupakan anak dari salah satu pengusaha terpandang di ibu kota yang memiliki bisnis di bidang properti, makanan dan infrastruktur.

"Diam, Don!" Rani menoleh ke samping, melihat Dono malah latah-latah tak jelas sekarang.

Beberapa menit lalu, Rani ingin mengembalikan jaket Tomi yang ia pinjam saat di sekolah tadi. Sewaktu di kantin pakaian sekolahnya terkena cipratan saos.

Maharani masih bergeming di depan pintu kos. Melihat dan mendengar perbincangan Tomi dan Rara tentang dirinya dengan seksama. Dia sama sekali tak menyangka hampir tiga tahun berpacaran dengan Tomi. Pria itu ternyata hanya menginginkan uangnya saja dan berselingkuh bersama kakak tirinya.

Bagai di tusuk sembilu, hati Maharani terasa perih mendapati kalau Tomi tidak mencintainya dengan tulus selama ini.

Napas Rani semakin memburu, begitupula dengan deru napas sepasang insan manusia tengah beradu di dalam bilik kos, yang sekarang kembali melanjutkan pertempuran.

Sialan! Dasar sampah! Bodoh banget gue selama ini!

Tanpa pikir panjang, Maharani mendobrak pintu kos Tomi dalam satu kali hentakan.

Brak!

Dono kalang kabut, melihat anak-anak kos mulai keluar.

"Woi si@lan!" Tomi cepat-cepat menarik rudalnya dari tubuh Rara, hendak mengambil kain. Namun, belum juga tangannya bergerak, suara tepukan bergema di telinganya.

Tomi menoleh, matanya membulat sempurna, melihat sosok wanita berambut panjang tengah menatapnya tajam. "Sa-ya-ng," ucapnya, terbata-bata.

"Sayang, sayang palak lu peang!" seru Rani sambil menoleh ke arah Rara tengah tersenyum lebar melihat kedatangannya.

"Sekarang lu udah tahu kan kalau gue sama Tomi ada hubungan, jadi mending lu mundur deh!" kata Rara sambil melilitkan kain di badannya.

"Ra! Diam!" Tomi melototkan mata ke arah Rara. Kemudian beralih menatap Maharani. "Rani, gue bisa jelasin," ucapnya sambil melangkahkan kaki mendekati Rani.

Rara mendengus kesal.

"Non, nggak usah dengerin cecungguk itu! Hiiii geli saya, burung kecil saja belagu amat, besaran burung saya!" Dono memberanikan diri masuk ke dalam setelah mengintip sejenak dan memastikan tubuh Rara sudah ditutupi selimut.

"Diam lu!" bentak Tomi seketika, merasa terhina karena burungnya di hina. Padahal jelas-jelas burungnya memang kecil. Dia belum sadar jika dirinya masih dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun.

"Lu yang diam, Tom! Berani-beraninya ngebentak-bentak si Dono. Dia udah gue anggap paman gue sendiri! Benar kata Dono burung lu memang kecil kan!" Rani menoleh ke bawah perut Tomi, memperlihatkan burung pacarnya mengerucut kecil.

Mendengar hal itu, tentu saja Dono tertawa terbahak-bahak.

Sementara Rara mematung di tempat melihat para penghuni kos mengintip di depan pintu kos.

Tomi segera tersadar dan panik bukan main. Secepat kilat menutup burungnya dengan kedua tangannya. "Rani, percaya sama gue! Ini semua salah Suhadi!"

"Suhadi?" Maharani bertanya-tanya siapa Suhadi. Begitupula Rara dan Dono sekarang mengerutkan dahi.

"Iya." Tomi membuka cepat tangannya, menampilkan burungnya yang semakin mengecil. "Ini Suhadi, dia suka hilang kendali, Sayang." Lalu kembali menyembunyikan Suhadi lagi dengan tangannya.

Sebuah senyuman penuh arti terlukis di wajah Maharani saat baru mengerti siapa itu Suhadi.

Rara melonggo.

Dono mendengus pelan.

Penghuni kos yang celingak-celinguk di depan pintu, nampak menggaruk-garuk kepalanya sesaat.

"Iya, gue minta maaf, Sayang. Gue janji bakalan ajarin Suhadi untuk jadi anak pendiam, sumpah gue tadi di goda sama Rara," ucap Tomi kemudian, kala melihat Maharani tersenyum tipis padanya sekarang.

"Apa? Heh, Tom! Kok lu nuduh gue!" Rara melangkah cepat, mendekati Rani dan Tomi. "Asal lu tahu ya, Rani. Kami sudah dua tahun pacaran di belakang lu. Lunya aja yang dongo, mau aja dikibulin Tomi!"

"Apaan sih lu, Ra! Diem!" seru Tomi, melototkan mata.

Maharani semakin tersenyum lebar, padahal hatinya sekarang terkoyak-koyak mendapati satu fakta tentang kebusukan pacar dan kakak tirinya. Selama bertahun-tahun dirinya merasa dibodohi. Semakin berkobarlah rasa bencinya terhadap Rara.

"Dono!" panggil Rani setengah berteriak tiba-tiba.

"Iya, Non." Dono berlarian menghampiri Rani, sebab biasanya Rani akan memberikan dia perintah.

"Rani, gue sayang sama lu, maafin gue ya," ucap Tomi memelas, sambil tangan kanannya berusaha meraih tangan Maharani.

Namun, dalam sepersekian detik, Maharani melompat tinggi dan menendang burung Tomi dengan sangat kuat sambil berteriak nyaring,"Jurus tapak kuda! Ciat!!!"

"Argh!!!"

Detik itu pula Tomi mengeluarkan suara teriakan yang sangat nyaring dan menyayat hati.

Sepertinya burung Tomi patah.

Entahlah...

Tomi merosot ke bawah perlahan-lahan lalu menumpu badan dengan kedua lututnya di lantai. Mukanya tampak merah padam, menahan rasa sakit yang menjalar di antara pahanya.

Rara sangat terkejut melihat gerakan Maharani dan tak mengira saudara tirinya yang sangat manja itu bisa melakukan kekerasan terhadap Tomi. Pasalnya setahu Rara, Maharani sangatlah bucin pada Tomi.

"Nah, sekarang lu bilangin ke Suhadi kalau gue juga suka hilang kendali!" seru Maharani sambil menepuk pelan pipi Tomi.

"Aduh, patah nggak tuh Suhadinya," ucap Dono, kemudian beralih memandangi Maharani masih mode banteng.

"Dan lu!" Maharani menatap nyalang Rara.

Rara tampak gelagapan, hendak berlarian dari amukan Maharani. Namun, gerakannya kalah cepat sebab Maharani sekarang menjambak rambutnya seketika.

Tubuh Rara condong ke depan. Dia tengah berusaha menahan tangan Maharani agar tak menarik kuat rambutnya.

"Argh! Lepasin gue *****!" teriak Rara.

"Don, videoin pake hp lu, gue harus kasi bukti ke maminya si ***** ini, biar dia tahu, anak yang dia banggain-banggain ini malah berbuat zina sama pacar gue!" Bukannya menanggapi perkataan Rara, Maharani malah memberi perintah pada Dono.

"Ha? Hp saya Non?" tanya Dono.

"Ya, iya lah hp lu, hp siapa lagi, kagak mungkin hp makhluk halus di kosan ini! Hp gue lowbat, Dono!" seru Rani tanpa berniat melepaskan rambut Rara.

"Aduh Non, harus saya hp toh? Hp saya kameranya kurang bagus, Non."

"Terserah, mau burem kek, mau gelap kek, cepatan videoin mereka berdua sekarang!!!" teriak Rani sampai-sampai Dono latah lagi.

Secepat kilat Dono mengeluarkan handphone jadulnya lalu mengarahkan kamera pada Tomi yang masih terkulai lemas di lantai. Setelah itu ke arah Rara yang tengah di tarik Maharani untuk keluar dari kos.

Dono pun mengekori Maharani dari belakang tanpa menurunkan handphonenya.

Para penghuni kos di lantai satu berhamburan keluar dari kamar masing-masing saat mendengar bunyi keributan di lantai atas. Mereka penasaran apa yang terjadi.

"Argh! Rani lepasin gue!" Rara meringis sejenak saat rambutnya mulai berguguran.

"Apa? Gue kagak dengar lu ngomong apa barusan? Dasar pecun lu!" Maharani tersenyum sinis sembari menyeret paksa Rara ke lantai satu, berniat mempermalukan kakak tirinya di hadapan semua penghuni kos.

Sesampainya di lantai satu, Maharani keluar dari bangunan kemudian menyentak kasar tubuh Rara di pekarangan kos.

"Awh!" Rara tersungkur ke tanah. Melihat Maharani berdiri di hadapannya dengan berkacak pinggang.

"Lu semua dengerin gue ya! Cewek ini kagak tahu malu banget! Pacar adiknya sendiri aja di embat! Lu semua ingat-ingat nih si *****, siapa tahu aja pasangan kalian di embat sama nih cewek! Tadi mereka sawadikap di kosan atas!" Rani berkata sambil mengedarkan pandangan di sekitar, melihat para penghuni kos mulai berbisik-bisik.

"Ish, cantikan adiknya."

"Nggak banget deh, pacar adik sendiri di embat!"

"Aneh ya, padahal si Tomi nggak ganteng-ganteng banget."

"Malu-maluin dah!"

Saat mendengar cacian dari mulut penghuni kos, Rara naik pitam. Secepat kilat ia bangkit berdiri hendak melayangkan pukulan di wajah Rani. Namun, sayang sekali Dono malah mencegatnya.

"Jangan macam-macam kamu sama Non Rani!" Dono mencekal tangan Rara.

"Apaan sih! Dasar orang miskin!" kata Rara sambil meludah wajah Dono tiba-tiba.

Cuih!

Dono terlonjak kaget.

Maharani naik pitam, melihat perlakuan Rara terhadap Dono.

"Si@lan lu!" Maharani hendak mengangkat tangan ke udara.

Plak!!!

Bunyi tamparan terdengar sangat nyaring. Kedua mata Maharani terbelalak saat rasa panas menjalar di pipi mulusnya tiba-tiba.

Bukannya menampar Rara, malah dia yang mendapatkan tamparan entah dari siapa. Dengan cepat Maharani menoleh ke depan, melihat Papinya berdiri di hadapannya dengan sorot mata berkilat menyala.

~ Hukuman Untuk Rani

Kedua mata Maharani nampak berkaca-kaca. Tak menyangka Papinya menamparnya tiba-tiba, tanpa sebab dan tanpa akibat.

"Papi..." lirihnya pelan. "Kenapa Papi tampar Rani?"

Pria yang tubuhnya masih terlihat segar dan bugar itu, tak berniat menggubris pertanyaan putrinya barusan. Dia malah mengalihkan pandangan ke arah Dono.

"Dono, sini kamu!" panggil Samsul kemudian.

Dono salah tingkah. Kedua tungkai kakinya bergerak cepat mendekati majikannya.

Membungkuk sedikit, Dono menelan ludahnya berkali-kali. "Iy-a, Den," jawabnya sedikit terbata-bata.

"Bawa Rara pergi dari sini, sekarang hapus video yang kamu rekam barusan! Terus urusin semua orang di sini, jangan sampai mereka nyebarin kejadian ini ke semua orang! Paham!" titah Samsul.

Dono mengangguk pelan, curi-curi pandang sejenak ke arah Maharani, yang sekarang tengah meneteskan air matanya.

Penghuni kos dan beberapa warga yang sempat melintas di tempat kejadian langsung dibubarkan Dono. Setelah itu Dono memapah Rara masuk ke dalam mobil yang biasa ia gunakan untuk mengantar jemput Maharani.

Suasana mendadak hening sejenak.

"Sekarang kamu, masuk ke dalam mobil Rani!" Setelah melihat situasi sedikit kondusif Samsul menarik tangan putrinya.

"Nggak mau, Pi!" Maharani mengibas cepat tangan Samsul. Melayangkan tatapan tajam pada Papinya karena begitu kecewa atas sikap Papinya barusan.

"Jangan melawan kamu, Maharani!" Dengan mata berkilat menyala, Samsul menyeret paksa Rani menuju mobilnya.

"Argh! Lepasin! Gue mau kasi pelajaran sama anak lu itu ha!" Rani tak peduli lagi memanggil Papinya dengan sebutan elu dan gue. Hatinya benar-benar hancur, bagaimana seorang ayah kandungnya sendiri malah membela anak sambungnya itu.

Plak!

Sebuah tamparan lagi mendarat tepat di pipi Maharani.

Maharani sangat terkejut. Semarah itukah Papinya, menampar anaknya sendiri untuk kedua kalinya. Sorot mata Samsul sangat menakutkan bagi Maharani sekarang. Anak gadis itu tiba-tiba tak berkutik. Rasa sakit yang didapatkan dari perlakuan papinya barusan ternyata lebih sakit dari melihat perselingkuhan pacar dan kakak tirinya tadi. Maharani pun pasrah saat tangan di cekal dan di cengkram kuat oleh Papinya sekarang.

Di dalam mobil.

Maharani duduk di belakang kursi supir, sementara Samsul di sampingnya tengah menutup sambungan telepon dari Mirna, ibu tirinya.

"Jadi anak bandel banget kamu! Ngapain kamu mempermalukan Rara di depan umum! Seharusnya pulang sekolah, kamu langsung ke rumah, bukannya keluyuran! Sebentar lagi mau ujian Rani! Nilai kamu itu semuanya jelek! Mau jadi apa kamu nanti ha!" teriak Samsul tiba-tiba.

Dengan napas memburu, Maharani menoleh. "Apa? Keluyuran? Kata Papi, gimana dengan Rara, dia juga keluyuran. Dia juga nilainya jelek, kenapa harus aku yang di suruh belajar? Papinya nggak suka kalau aku mempermalukan anak kesayangan Papi itu! Asal Papi tahu Rara sama Tomi di kosan tadi berhubungan badan! Papi tahu nggak! Aku ini pacarnya Tomi, Pi!" balasnya, menggebu-gebu.

"Nggak ada yang nyuruh kamu pacaran! Ya itu terserah Rara, dia sudah besar! Di ibu kota sudah hal yang lumrah hubungan **** sebelum nikah!"

Maharani tercengang. Apa dia tidak salah mendengar? Papinya malah memaklumi perbuatan Rara.

Lidahnya kaku seketika, Maharani tak mampu berkata-kata lagi sekarang. Walaupun bertahun-tahun berpacaran dengan Tomi. Tapi dia tak pernah dia memberikan mahkotanya kepada Tomi. Sebab Maharani tahu betul, mahkota tersebut hanya untuk suaminya kelak.

Meskipun selama ini, Tomi selalu memaksanya, tapi Maharani tetap kekeh pada pendiriannya dan jika di ajak berhubungan badan akan selalu beralasan. Maharani tak mengerti dengan pemikiran Papinya.

Selang beberapa menit, mobil mewah berwarna hitam itu berhenti tepat di pekarangan rumah elit.

Dari pintu utama, seorang wanita berambut pendek berlarian menghampiri Samsul. Raut wajahnya seperti menahan amarah. "Sayang!"

Samsul merekahkan senyuman, melihat Mirna menapaki tangga rumahnya. Dia melirik Maharani sekilas, yang masih di dalam mobil, tengah termenung sedari tadi.

"Sayang, Rara luka-luka, sebenarnya apa yang terjadi? Tadi kata Dono, Rani nampar Rara, benar begitu?" tanya Mirna sambil memeluk Samsul sejenak.

Lima menit yang lalu, Rara dan Dono sudah datang terlebih dahulu ke rumah.

"Nanti kita cerita, sekarang kita ke dalam dulu."

Mirna mengangguk paham lalu merangkul cepat tangan Samsul.

Sebelum masuk ke dalam rumah, Samsul memberi kode supirnya, menyuruh Maharani untuk masuk ke rumah.

Dari dalam mobil, sang supir mengangguk patuh. Lalu memanggil Maharani.

"Non, sudah sampai, Den Samsul suruh Non masuk ke dalam rumah."

Lamunan Maharani buyar seketika saat namanya di panggil. Kepalanya celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri dan baru menyadari jika dirinya sudah di rumah.

Maharani tersenyum getir lalu mengusap cepat jejak tangisnya di pelupuk matanya. "Eh, iya, pak."

*

*

Plak!!!

Belum beberapa langkah Maharani bergerak masuk ke dalam. Maharani terlonjak kaget saat lagi dan lagi harus mendapatkan tamparan.

Maharani mengusap pipinya sesaat, menatap Mirna di hadapannya, tengah melayangkan tatapan tajam.

"Apa-apan lu!" Maharani berseru sambil melebarkan mata.

"Kamu yang apa-apaan? Kenapa kamu menyakiti anakku? Memangnya apa salah dia!" teriak Mirna dengan tangan terkepal kuat dan mata melotot keluar.

Maharani tersenyum sinis, melirik Samsul sekilas, yang sekarang duduk di sofa, ruang tamu. Pria itu tampak sedang berpikir keras, tak berniat melerai ataupun ikut campur urusan anak dan istrinya itu.

"Cih! Lu pura-pura kagak tahu atau apa? Anak kebanggaan lu itu, ngangkang sama pacar orang! Jadi wajar-wajar aja gue nampar dan jambak Rara! Kenapa? Lu nggak suka?" Maharani menantang balik Mirna.

Maharani tahu betul dulu Mirna adalah teman baik Ibunya. Wanita itu sangat lemah lembut dan memberikannya kasih sayang pada Maharani. Namun, seiring berjalannya waktu sikap wanita itu berubah. Entah apa yang terjadi, Maharani tak peduli karena ulah Mirna dan Rara membuat sikap Papinya berubah juga.

"Alah! Palingan itu akal-akalan kamu kan! Lagian mereka ngelakuin juga atas dasar suka sama suka!" seru Mirna.

Kali ini Maharani tak habis pikir, ternyata pemikiran Papi dan Mami sambungnya sama saja. Enggan menyahut, dia malah melenggoskan muka ke samping, melihat Dono di ambang pintu utama' tersenyum kikuk padanya.

Maharani memalingkan muka lagi ke sembarang arah. Tak berniat membalas senyuman Dono.

"Mas! Aku nggak mau tahu! Rani harus dikasi pelajaran! Kasihan Rara Mas, dia pasti trauma, Rara masih di dalam kamar Mas nggak mau keluar sama sekali dari tadi! Rani sudah keterlaluan! Nilainya jelek, bukannya belajar untuk ujian sekolah malah keluyuran nggak jelas! Usir saja dari rumah ini Mas!" Mirna membuka suara lagi.

Maharani menoleh. Tanpa pikir panjang melayangkan tamparan di pipi Mirna.

"Awh! Mas!" Mirna terkejut, secepat kilat menyentuh pipinya yang terasa panas sekarang.

"Jaga batasan lu, Mirna! Lu bukan siapa-siapa di sini, rumah ini milik Mami gue juga!"

"Maharani!!!" Dari sofa Samsul bangkit berdiri. Dengan tangan terkepal kuat, menghampiri Maharani dan Mirna.

"Apa? Mau tampar aku lagi? Silakan! Tuan Samsul Jamaludin!" Habis sudah kesabaran Maharani. Rasa hormat dan adabnya terhadap Papinya tak ada lagi mulai hari ini. Sebab untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Papinya berbuat kasar padanya.

"Kamu!" Samsul hendak mengangkat tangan ke udara.

"Den, jangan Den, kasihan Non Rani." Entah sejak kapan Dono berada di samping Maharani. Pria berkumis tipis itu tengah menahan tangan Samsul.

Samsul mendengus lalu menurunkan tangannya seketika. "Mulai besok kamu cuti sekolah, Rani. Papi akan mengirimmu ke desa, tinggal sama Bude Sri, biar kamu bisa merenungi perbuatan kamu itu!" serunya kemudian.

Mirna tersenyum lebar, mendengar perkataan suaminya itu.

Maharani tak menjawab. Tengah menahan diri agar tak mengeluarkan kata-kata kotor. Mau melawan pun percuma rasanya. Dia hanya mampu menarik dan menghembuskan napasnya dengan kasar.

Dono menatap sendu Maharani. Tangan kanannya langsung mengelus pelan punggung belakang anak majikannya itu.

"Mas, pipiku sakit," ucap Mirna tiba-tiba, dengan raut muka sedih.

Samsul menoleh lalu mengusap-usap pelan pipi istrinya itu. "Kasihan, maafin aku sayang, sini aku obatin biar berkurang sakitnya."

Semakin mendidih darah Maharani, melihat kemesraan Papi dan Mami tirinya itu. Tanpa banyak kata, dia berjalan cepat, mendekati tangga besar.

"Non!" panggil Dono. Melihat Maharani pergi dengan raut muka yang terlihat sangat sedih.

"Biarkan saja Don, lebih baik kamu telepon orangtua Tomi sekarang," ucap Samsul setelah mengelus-elus pipi Mirna barusan.

Dono mengangguk pelan. Kemudian berlalu pergi dari hadapan majikannya.

*

*

*

Malam pun tiba. Maharani belum juga beranjak dari tempat tidurnya sejak tadi sore. Sedari tadi dia menangis dalam diam, sambil memegangi bingkai foto kecil. Yang di dalam ada seorang wanita berkerudung warna pink tengah duduk di bawah pohon dan menebarkan senyuman hangat.

"Mami..." lirih Maharani dengan air matanya tak hentinya mengalir.

Sudah belasan tahun lamanya, Maharani menahan rindu kepada mendiang Maminya. Walaupun masih memiliki Papinya, dia merasa hidup sebatang kara. Sebab Papinya melupakan tanggungjawabnya sebagai seorang ayah. Kematian mendadak Maminya, membuat Maharani benar-benar terpukul dan kehilangan arah.

"Rani rindu Mami..." ucapnya sambil mengigit bibir bawahnya sedikit. Menahan rasa sesak yang menyeruak ke relung hatinya saat ini.

Entah apa yang terjadi besok harinya, hidup Maharani selalu penuh dengan kejutan. Pengkhianatan Tomi dan ketidakadilan yang ia dapatkan di dalam rumah ini. Membuat Maharani bertanya-tanya, apakah ada kebahagian untuknya suatu saat nanti.

Maharani nampak sesenggukkan sekarang. "Mami...." Tanpa sadar ia menutup perlahan kelopak matanya.

~ Menetap di Desa

Di ufuk timur, sinar mentari mulai menyembul keluar dari tempat persembunyiannya, hendak menyinari seisi bumi. Hujan tadi subuh pun menyisakan jejak-jejak embun di dahan pepohonan taman belakang' kediaman Samsul.

Lantai tiga, tepatnya di kamar Maharani. Gadis itu mendengkur halus sambil mendekap erat bingkai foto Maminya. Pakaian sekolah yang ia kenakan masih menempel di tubuhnya sedari malam.

Bunyi ketukan dari luar kamar, membuat tidur Maharani terusik seketika.

"Non Rani, bangun Non," panggil Dono sambil menempelkan telinga di daun pintu Maharani ingin mendengar apakah anak majikannya itu baik-baik saja di dalam.

Maharani melenguh sesaat. Dalam keadaan setengah sadar dia turun dari tempat tidur lalu melangkah cepat menuju pintu.

"Hoam, kenapa Don?" Maharani bertanya sembari menguap pelan.

"Ya elah, Non. Bau jigong tahu!" Dono tersenyum jahil.

"Biarin! Tapi tetap cantik kan?" Maharani menggerakan badan ke kanan dan ke kiri sejenak, meregangkan sedikit otot-ototnya yang sakit akibat posisi tidurnya semalam tak karuan.

"Ya deh, cantik, hehe, Non Maharani kan selalu cantik!" celetuk Dono sambil memperhatikan mata Maharani nampak sembab.

"Jelas!" Maharani mengangkat dagunya dengan angkuh sedikit. "Tumben bangunin gue pagi- pagi, ini kan hari minggu Don," selorohnya, kebingungan mengapa Dono menganggu mimpi indahnya barusan.

"Anu Non..." Dono tampak salah tingkah, sepertinya Maharani lupa akan perkataan Papinya kemarin.

Dahi Maharani berkerut samar. "Anu apa Don? Anu lu kenapa?"

"Si Ipul mah nggak apa-apa, Non." Dono malah cenggesan.

"Ha?" Maharani melonggo. "Ipul?"

"Hehe." Dono menoleh ke bawah sejenak. "Ini nih si Ipul namanya, Imut dan Powerpull."

Maharani memutar mata malas mendengar ocehan Dono yang terkadang ngalor ngidul. "Terserah lu dah, lah terus anu kenapa?" tanyanya lagi.

"Non lupa ya, kemarin Den Samsul nyuruh Non Rani ke kampung, mulai hari ini Non menetap di sana sama Bude Sri," ucap Dono sangat hati-hati. Dia serba salah saat melihat riak muka Maharani berubah drastis saat ini.

"Jadi Papi benar-benar asingin gue ke kampung? Apa gue bukan anak kandung Papi, ya Don?" ucap Maharani seketika.

"Hush! Non jangan ngomong gitu, Non itu anak kandung Aden Samsul Jamaludin. Den Samsul nyuruh untuk Non tinggal di sana pasti tujuannya baik."

"Kalau iya, kenapa dia malah kirim gue ke sana..." lirih Maharani dengan mata mulai berkaca-kaca.

Dono kalang kabut. Secepat kilat ia berpikir bagaimana caranya membuat Maharani tertawa.

"Balonku ada tiga, rupa-rupa warnanya, hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru." Dono bernyanyi di hadapan Maharani sambil menggerakkan tubuhnya ke segala arah.

Dengan berurai air mata, Maharani tertawa pelan. "Don, itu mah bukan tiga, tapi lima Don!" protesnya sambil mengusap cepat cairan bening di pelupuk mata.

"Hehe, tiga ya Non, maaf ya Non, maklum sekolah cuma sampai SD. Itupun cuma sampai kelas 1 SD." Dono terlihat senang, kala mendengar suara tawa Maharani. "Sekarang Non siap-siap ya, sebentar lagi kita berangkat, hitung-hitung Non liburan di sana hehe." Dono kembali menambahkan.

"Iya Don, elu baek-baek di sini, gue mau ke kampung, jadi di sini nggak ada yang jagain elu lagi!" seloroh Maharani, sedikit terhibur dengan tingkah Dono barusan.

"Hehe siap Non cantik!" Dono mengangkat dua jempolnya ke udara.

*

*

*

"Mas, hati-hati ya di jalan, maaf aku nggak bisa ikut soalnya nanti jam 10 pagi perkumpulan sama teman-teman." Mirna merekahkan senyuman manisnya pada Samsul, yang kini sudah di dalam mobil bersama Maharani.

"Iya, aku nggak lama kok, kamu jenguk Rara gih, suruh dia sarapan, kasihan dia belum ada makan dari semalam."

Cih! Gue aja dari semalam nggak makan, kagak lu pikirin! Bapak lucknut lu!

Maharani menatap lurus ke depan, enggan melihat kemesraan yang ditampilkan Samsul dan Mirna saat ini.

"Kamu jangan nyusahin Bude Sri ya di sana, Rani!" kata Mirna dengan ketus tiba-tiba.

Enggan membalas, Maharani malah memutar mata malas ke atas.

***

Setelah pamit pada Mirna, mobil pajero sport berwarna hitam itu melesat laju meninggalkan pelataran rumah Samsul.

"Rani, Papi minta kamu untuk jadi anak baik di sana, Bude cuma seorang diri di sana, jikaperlu ikutlah dia membajak sawah, tujuan Papi kirim kamu ke sana, maksudnya baik kok." Samsul mulai membuka suara kala di dalam mobil begitu hening.

Maharani tak merespon sama sekali. Dia tengah asik memandangi jalan raya dari kaca jendela.

Samsul menarik napas panjang, menatap putrinya dengan tatapan yang tak bisa terbaca sama sekali sekarang.

"Hehe, ya Non, siapa tahu saja di sana ada petani tampan, sekali berenang minum air." Dari kursi depan, Dono menimpali bermaksud ingin mencairkan suasana.

"Ya elah, Don. Sambil menyelam minum air, itu yang benar," kata Maharani cepat.

"Nah itu Non, hehe."

Saat melihat interaksi anaknya dan bawahannya, Samsul sedikit kesal. "Rani, kamu dengar kan kata Papi tadi."

"Iya dengar!" balas Maharani dengan ketus.

Samsul menarik napas panjang, kala Maharani seakan tak menghormatinya sama sekali sekarang.

Selang beberapa jam, Maharani sudah tiba di perkampungan yang letaknya sangat jauh dari ibu kota.

Maharani mengedarkan pandangan, melihat rumah berdinding kayu dan tampak asri tepat di hadapannya, yang lumayan indah, menurutnya karena ada tanaman bunga-bunga di depan teras. Namun, pemandangan di pekarangan rumah tiba-tiba membuat ia mual-mual.

"Non ayo turun," panggil Dono dari luar.

Maharani mengangguk lalu keluar dari dalam mobil.

"Ih, kok ada tai ayam si Don?" Dengan hati-hati Maharani melangkah, sebab di tanah berwarna kuning itu terdapat kotoran ayam yang bertebaran di mana-mana. Dia menutup hidungnya seketika.

"Kearifan lokal ini mah, Non." Dono mengangkat tas Maharani dari bagasi.

Maharani mendengus pelan.

"Sri, aku sudah datang!" panggil Samsul di depan pintu rumah tersebut.

Detik selanjutnya, pintu pun terbuka, memperlihatkan seorang wanita berwajah bulat menyambut kedatangan mereka. Siapa lagi kalau bukan Bude Sri, adik kandung Samsul.

"Wah sudah datang toh, ayo masuk!" Bude Sri mempersilakan Samsul, Dono dan Maharani masuk ke dalam.

Tanpa banyak kata, Maharani mengambil tasnya dari tangan Dono kemudian masuk ke dalam rumah terlebih dahulu melewati Bude Sri, Samsul dan Dono.

"Maaf Sri atas sikap Maharani memang seperti itu, makanya aku suruh dia tinggal di sini, biar kamu didik dia dengan benar, aku sudah capek meladeninya," ucap Samsul masih di depan pintu.

Bukannya marah, Bude Sri malah tersenyum simpul. "Iya, Bang. Ayo masuk dulu, aku buatin teh es pasti kecapean kan?"

"Nggak dulu deh, kebetulan aku juga harus kejar waktu Sri, aku mau ke kota sebelah juga, ngurus bisnisku." Samsul menolak dengan halus sambil mengedarkan pandangan di sekitar rumah Bude Sri.

"Oh gitu, yakin, nggak mau mampir sebentar," Bude Sri kembali menawarkan.

"Nggak usah, kamu bahagia tinggal di sini Sri?" Samsul menoleh ke kanan dan ke kiri. Seakan jijik melihat rumah berlapis kayu tersebut.

"Memangnya kenapa toh, Bang. Tentu saja aku bahagia walaupun suami aku sudah tiada tapi kenangan nggak bisa terlupakan Bang."

Samsul menghela napas mendengar perkataan adiknya itu, yang menurutnya aneh. Sudah tahu suaminya meninggal, malah menetap di kampung mendiang suaminya itu padahal dulu ia sudah menawarkan rumah pada adiknya itu.

"Em ya deh, aku pergi dulu." Samsul dan Dono pamit undur diri kemudian. Meninggalkan Bude Sri berdiri mematung di depan teras rumah.

"Rani, kok malah melamun?" tanya Bude Sri sambil membuka lebar pintu utama depan dan mengganjal pintu dengan batu agar tak tertutup kembali.

Maharani menarik napas panjang. "Ngelamunin hidupku, Bu–eh!"

Perkataan Maharani terjeda kala Bude Sri memeluknya tiba-tiba.

"Kamu udah besar saja, Rani. Bude kangen banget sama kamu, terakhir kamu ke sini pas kamu umur 10 tahun sama Mami kamu." Bude Sri mendekap erat tubuh Maharani.

Maharani tergelak. Sentuhan yang diberikan Bude Sri mampu membuat hatinya menghangat. Memang benar, sudah lama sekali ia tak bertemu Bude Sri. Dia pun tidak tahu mengapa Bude Sri tak pernah berkunjung ke Jakarta.

Maharani hanya tahu Bude Sri adalah seorang janda yang tidak memiliki anak, alias hidup sendiri di kampung suaminya ini.

"Kamu pasti capek kan? Sekarang kamu istirahat di kamar ya, kamar kamu di situ, maaf kalau kamarnya seadanya saja. Bude mau buatin kamu kue kesukaan kamu dulu." Bude Sri melepas pelukan lalu mengecup singkat kening Maharani. Meninggalkan Maharani yang membeku di tempat.

***

Sebelum merebahkan dirinya di atas kasur, Maharani memperhatikan keadaan kamarnya, yang berbanding terbalik dengan kamarnya dulu.

Terdapat kasur usang berukuran kecil, lemari kayu kecil, meja dan kursi munggil di setiap sudut ruangan. Dia menerka-nerka mengapa Bude Sri hidup sederhana, sementara dia tahu kalau Papinya adalah anak orang kaya.

Tak mau terlalu banyak berpikir, Maharani memutuskan untuk tidur saja meskipun kasur yang ia baring kini sangatlah tak nyaman dan sedikit bau apek.

Malam harinya, Maharani terpaksa terbangun saat Bude Sri menyuruhnya mandi dan makan malam bersama.

Di sela-sela makan, Bude Sri mengajak Maharani mengobrol, meminta Maharani untuk mengubah cara berbicara dan gaya pakaiannya. Maharani manggut-manggut saja, meskipun jarang bertemu, Bude Sri berhasil membuat Maharani patuh. Dia melihat Bude Sri seperti Maminya sendiri yang lemah lembut dan perhatian.

"Anggap saja Bude ini Mami kamu ya," ucap Bude kemudian meneguk air putih.

Maharani tersenyum hangat. "Iya Bude."

Setelah selesai makan, Maharani dan Bude Sri tak langsung ke kamar. Keduanya masih asik bercengkrama, melepas kerinduan terpendam selama ini. Sampai pada akhirnya rasa kantuk melanda keduanya dan akhirnya mereka memutuskan mengistirahatkan diri di kamar masing-masing.

*

*

*

Keesokan harinya, Maharani yang tengah-tengah menyelami ruang mimpinya merasa terganggu dengan suara ayam berkokok di pagi hari.

"Aduh, berisik amat dah!" Dengan mata terpejam, Maharani ngedumel sendiri.

"Rani, bangun, ayo ikut Bude ke pasar!" Bude Sri menyembul dari balik pintu kamar Maharani. Melihat Maharani masih tergolek di atas tempat tidur.

"Lima menit lagi Bude, tanggung nih," Maharani berkata tanpa membuka mata.

"Eh, nggak ada lima menit, lima menit, ayo keburu siang nanti!" Bude Sri duduk di tepi ranjang sambil mengelus pelan rambut panjang Maharani. "Ayo bangun, Nduk."

Mau tak mau Maharani membuka mata dan terpaksa ikut bersama Bude Sri, dalam keadaan muka bantal alias tanpa cuci muka dan gosok gigi.

"Rani, kamu nggak cuci muka tadi?" Bude Sri berjalan di samping Maharani.

"Nggak, ngapain Bude, Maharani selalu cantik apa adanya, udah yuk kita agak cepatan biar balik ke rumahnya juga cepat," ucap Maharani sambil mempercepat langkah kakinya, meninggalkan Bude Sri di belakang sendirian.

"Ayo Bude! Lambat banget sih, kayak siput tahu!" Maharani berseru tanpa melihat ke depan, tersenyum jahil pada Bude Sri.

Bruk!

"Awh!"

"Rani! Dewa!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!