NovelToon NovelToon

I Love You, Pak Ceo!

Aku Butuh Uang

"Apa yang kamu inginkan?"

Tatapan tajam dan menusuk itu tampak jelas menyoroti seorang gadis dengan pakaian yang mulai terlihat lusuh.

Bukan tanpa alasan, pakaiannya menjadi seperti itu melainkan karena beberapa waktu lalu dirinya harus menghadapi dua satpam yang terus menarik tubuhnya.

"Aku butuh uang."

"Keluargaku sudah lama tidak makan. Aku tidak ingin keluargaku terus menderita seperti sekarang. Adikku juga perlu melanjutkan pendidikannya. Dia dikeluarkan karena tidak bisa membayar uang bulanan sekolahnya."

Dengan gamblang, gadis itu tanpa rasa ragu mengatakan semua itu tepat di hadapan pemuda berjas hitam rapi itu.

Ia tampak menelisik masuk ke dalam indra penglihatan gadis itu, mencoba mencari kebohongan yang mungkin tengah disembunyikan oleh gadis itu.

"Itu urusanmu, bukan urusanku. Lalu, kenapa aku harus memikirkan masalah yang jelas-jelas tidak ada kaitannya denganku. Gadis kampung," balas pemuda itu sadis tak berhati.

Pemuda itu tampak menyadarkan tubuhnya di kursi kebesarannya itu. Wajahnya dipenuhi seringai membuat gadis di hadapannya terlihat memasang ekspresi lebih tegas dari sebelumnya.

Ia lalu melirik ke arah papan tulisan kecil yang ada di hadapannya itu, mengeja setiap huruf yang tertulis di sana.

"Saya tau, anda memang tidak ada hubungannya dengan masalah saya. Tapi, yang saya tau adalah hanya anda yang bisa membantu menyelesaikan masalah saya ini. Saya mohon tolong bantu saya, Pak Richard."

Tampak dari raut wajahnya, ia terus memohon. Dalam tekadnya, ia tidak akan berhenti sebelum tujuan utamanya ke kantor besar ini tercapaikan.

"Setelah berani membentak satpam yang memiliki hubungan dengan kantor ini. Ternyata kamu juga tidak memiliki rasa sopan terhadap pemilik dari perusahaan ini, ya. Gadis yang sangat tidak berpendidikan," ucap Richard kembali menyeringai menatap rendah ke arah gadis di hadapannya itu.

Ia lalu berdiri memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. Mendekatkan tubuhnya pada gadis yang duduk tenang di kursinya itu.

"Apa kamu pikir saya akan mau membantu gadis kurang ajar sepertimu?" tanya Richard begitu ia memutar kursi yang diduduki gadis itu untuk menghadap ke arah dirinya.

Wajahnya datar membuat gadis di hadapannya itu terlihat menelan saliva-nya dengan susah payah.

"Saya akan melakukan apapun yang anda katakan. Tapi, tolong bantu saya. Hanya anda harapan saya satu-satunya. Saya berjanji, tidak akan menolak setiap kali anda meminta saya untuk melakukan apapun," tutur gadis itu kembali memberikan tatapan meyakinkannya.

Richard lalu berdecak. Memutar kasar kursi yang diduduki gadis itu hingga membuat sang gadis merasa mual.

"Begitu saja kau sudah lemah. Apakah kamu yakin saya bisa memberikanmu perintah apa saja? Apa kau yakin bisa memenuhi setiap apa yang saya perintahkan kepadamu?" tanya Richard semakin menyudutkan.

Sekuat tenaganya, gadis itu berusaha membuang rasa mual yang dirasakannya kala itu. Ia lalu bangkit dan mensejajarkan tubuhnya pada pemuda yang memang sebetulnya lebih tinggi dari dirinya.

"Saya siap melakukan apapun yang anda katakan. Saya yakin, bisa melaksanakan semuanya. Asal Pak Richard memberikan imbalan berupa sejahteranya keluarga saya. Saya rela melakukan apa saja asalkan keluarga saya tidak lagi dihina dan berekonomi rendah," balas gadis itu penuh percaya diri.

Sementara Richard, ia lantas memandang gadis itu kembali dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Sebelum akhirnya, ia berbalik meninggalkan gadis itu yang tetap bergeming tak beranjak dari tempatnya.

***

"Bu? Apa makanan kita hari ini? Apa aku harus mencari singkong lagi saja?" tanya seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 15 tahun itu.

Wanita yang dipanggil Ibu oleh pemuda itu pun sontak mengalihkan pandangannya ke arah sang anak. Hatinya terasa mencelos saat pertanyaan tentang makanan itu terucapkan dari mulut anak bungsunya itu.

"Sabar ya, Riko. Ibu juga sudah usahakan hari ini. Tapi, mungkin kita harus makan singkong lagi hari ini. Kamu gak apa-apa kan kalo makan itu saja dulu hari ini? Ada sisa singkong rebus kemarin yang sudah Ibu panaskan tadi. Kamu makan itu saja ya," tutur wanita paruh baya yang bernamakan Sri itu.

Meski ada rasa tak rela dalam mengatakan iya perihal makanan mereka, namun nyatanya Riko memilih untuk mengiyakan saja apa yang dikatakan oleh Ibunya itu.

Bagaimana juga, hanya itu yang bisa dilakukan olehnya saat ini. Tidak ada lagi yang lainnya.

Dengan langkah yang gontai, Riko berjalan ke arah meja makan yang sudah mulai usang itu.

Ia lalu membuka tudung saji makanan itu dan mendapati singkong rebus yang menjadi menu-nya setiap hari.

Meski rasanya tenggorokannya sudah mulai menolak untuk memakan makanan yang sama itu, namun perutnya berkata sebaliknya.

Jika ia ingin kenyang maka hanya itulah jalan satu-satunya yang bisa ia ambil.

Tin! Tin! Suara klakson kendaraan yang Riko yakin bukan sepeda motor itu pun sontak menyita perhatiannya.

Ia lalu bangkit dan bergegas untuk mengecek sendiri jika indra pendengarannya tidak salah dalam menangkap suara bunyi itu.

"Siapa, Nak?" tanya Bu Sri dari arah belakang Riko.

Pemuda itu pun mengedikkan bahunya tidak tau. Pasalnya, seluruh kaca di mobil hitam itu tidak juga diturunkan sedari tadi.

Membuat Riko tidak tau siapa orang yang ada di dalam mobil itu.

"Terima kasih, Pak. Hati-hati," tutur seorang gadis yang tiba-tiba saja turun dari mobil mewah itu.

Riko pun terkesiap. Matanya membulat sempurna ketika dari mobil mewah itu keluar seorang gadis yang sangat dikenali olehnya.

Ia yakin, jika matanya tidak sedang bermasalah saat ini. Riko begitu mengenali gadis dengan rambut yang dikuncir kuda itu.

Dia adalah kakak kandung dari Riko. Riko sangat ingat jika ia memiliki ikatan darah dengan wanita itu.

"Ana? Kamu diantar siapa, Nak? Ini? Ya ampun, ini apa Nak? Bagaimana kamu bisa membawa pulang banyak barang seperti ini, huh?" tanya Bu Sri tampak khawatir ketika anaknya pulang dalam keadaan yang berbeda.

Masih hangat di dalam ingatan Bu Sri jika tadi Ana meminta izin untuk pergi sebentar, mencari udara segar.

Sekarang, tiba-tiba saja dia pulang dengan menaiki mobil mewah.

Ana tersenyum seakan masih tak ingin menjawab semua kebingungan yang terpancar di wajah dua keluarganya itu.

"Sekarang kita masuk ke dalam dulu yuk. Ana baru aja beli Pizza nih. Riko? Kamu pasti lapar, 'kan? Ayo, kita makan pizza-nya bareng-bareng," ajak Ana membawa masuk Ibu dan adiknya itu.

Meski semula sang Ibu menuntut untuk diberi penjelasan lebih dulu. Namun, Ana dengan nada lemah lembutnya mampu memghipnotis sang Ibu untuk menuruti apa yang ia katakan.

Riko yang memang masih lapar pun dengan tatapan layarnya menatap rakus ke arah box yang ada di hadapannya saat ini.

Sudah dari lama, Riko sangat ingin memakan Pizza yang sering kali hanya bisa dipandangnya sedari jauh, berharap suatu saat ia bisa menikmatinya juga.

Berbanding terbalik dengan Riko, Bu Sri justru terdiam tak ingin menyentuh apa pun.

Ana yang peka tampak menghela nafas sejenak.

"Ana baru saja diterima kerja di sebuah perusahaan karena gak sengaja nemuin dompet pemilik perusahaannya, Bu. Dia ingin berbalas budi pada Ana. Jadi, Ana diberi pekerjaan dan hadiah seperti ini. Besok kita juga akan pindah rumah," tutur Ana penuh dengan dusta.

Ada rasa bersalah di hatinya, tetapi nyatanya memang hanya itu saja yang bisa ia katakan. Biarlah ia berbohong demi kebaikan semuanya.

***

Akan Melakukan apa pun

"Saya akan lakukan apa saja demi keluarga saya, Pak. Saya yakin bisa mengerjakan apapun yang Pak Richard minta kepada saya."

Masih hangat di dalam benak Richard semua kalimat dengan nada memohon itu terucap dari mulut seorang gadis berpenampilan kampung itu.

Sejurus kemudian Richard seolah membandingkan apa yang terjadi di hidupnya.

Kehidupan Richard mungkin bisa dibilang tergolong sangat mewah. Ia bisa membeli apapun yang ia inginkan tanpa takut besok akan makan dengan lauk apa.

"Apa aku sebegitu terkenalnya, ya? Sampai-sampai gadis kampung itu bisa mengetahui tentang diriku. Apa keluarga sangat penting? Kenapa dia bisa memiliki pikiran seperti itu? Gadis udik yang nekat. Bisa-bisanya dia hanya berjalan kaki dari pelosok desa itu," gumam Richard masih tetap memikirkan gadis yang tiba-tiba saja datang ke kantornya itu.

Saat itu, Richard masih belum ada di kantor. Ia terlambat karena harus menemani Bundanya pergi ke pasar. Begitulah memang Bundanya akan meminta apapun kepadanya tanpa perduli dengan terlambat atau tidaknya ia datang ke kantornya.

Setelah semua drama yang dibuat oleh Bundanya, ternyata drama baru harus disaksikan lagi oleh Richard.

Tepat saat mobil mewahnya berhenti di teras kantornya, seorang gadis dengan pakaian yang sudah tampak lusuh terlihat dipegangi oleh dua satpam kantornya.

Gadis itu terlihat memberontak namun diabaikan begitu saja oleh Richard. Ia ingin melewati drama itu namun dengan cepat, dirinya di cegat oleh gadis itu.

Setelah cukup lama Richard menyaksikan perdebatan satpamnya dengan gadis itu akhirnya Richard memutuskan untuk menghentikan semua drama itu.

Ia terpaksa harus membawa gadis itu bersamanya, mengintrogasi apa maksud dari kedatangan gadis lusuh itu ke kantornya.

Sama seperti yang sudah terpikirkan oleh benaknya, gadis itu datang memang untuk meminta uang kepadanya.

Ia sama saja seperti orang-orang yang datang kepadanya. Namun, entah kenapa kali ini Richard merasa ada yang berbeda.

Dari tampangnya, terlihat gadis itu yang sungguh-sungguh meminta bantuan Richard. Semua terbukti, saat gadis itu mengatakan akan melakukan apa saja demi kebutuhan keluarganya layak.

Richard sempat tak ingin menghiraukannya namun desakan dari gadis itu yang tak kunjung berhenti membuat Richard akhirnya mengalah.

Ia mengiyakan saja perkataan dari gadis itu dengan mengajukan beberapa persyaratan.

Tanpa membacanya lebih dulu, gadis itu langsung saja mengiyakan dan menandatangani berkas perjanjian yang ditulis manual oleh Richard itu.

Namun di sana ada materai yang menandakan sah-nya perjanjian itu.

Tak tega membiarkan wanita itu pulang sendirian dalam keadaan yang sudah hampir disebut sebagai orang gila itu. Richard pun sontak menanyakan alamat rumah dari gadis itu.

Kebetulan Richard ada janji untuk melakukan survei di daerah yang tak jauh dari pelosok desa tempat gadis itu tinggal. Maka dari itu, Richard pun mengantarkan gadis itu.

Sesuai perjanjian yang sudah dibuat, ia pun sontak memberikan beberapa barang dan kebutuhan yang gadis itu perlukan.

"Apa ada dengan dirimu, Richard? Kenapa kau harus memikirkan perihal gadis itu? Padahal jelas kau tidak ada kaitannya dengan gadis itu. Kenapa juga kau harus repot-repot membantunya? Ah, sudahlah. Untuk apa aku memikirkan perihal gadis kampung itu. Akan lebih baik jika aku memikirkan perihal apa yang aku lakukan kepada gadis yang akan menjadi budakku itu. Aku tidak akan memberikan uang kepadanya secara cuma-cuma begitu saja. Harus ada imbalan yang dilakukan gadis itu untuk membalasnya," gumam Richard mengembangkan seringai di wajahnya.

Seperti sudah siap untuk melakukan apa saja yang ingin ia perintahkan pada gadis itu, di esok hari.

***

"Gimana, Dek? Suka sama tas barunya?" tanya Ana pada sang adik yang terlihat begitu bersemangat memasukkan alat tulis ke dalam ranselnya itu.

Riko pun tersenyum sebelum akhirnya memeluk erat tubuh kakak perempuannya itu.

"Terima kasih kak Ana. Aku benar-benar senang banget bisa kembali sekolah lagi. Kak Ana emang paling the best!" ucap Riko memberikan dua jempolnya sekaligus untuk sang kakak.

Ana pun terkekeh ringan sudah lama raut wajah bahagia itu tak dilihat oleh Ana. Hatinya menghangat saat keluarganya kini sudah tidak lagi mengeluh dan tampak buruk seperti beberapa waktu yang lalu.

Walaupun memang untuk semua kebahagiaan di wajah keluarganya ini, Ana harus membayar semuanya dengan mengorbankan kebahagiaannya.

Rasanya semua itu tidak menjadi sebuah masalah besar untuk Ana.

Asalkan ekonomi keluarganya bisa membaik dan tidak lagi di pandang rendah oleh tetangga sekitar. Rasanya Ana sudah merasa cukup untuk turut bahagia juga.

"Ya udah, sekarang kamu cepat tidur, ya. Besok kan hari pertama kamu masuk ke sekolah lagi. Besok juga Kak Ana bakalan tunjukin rumah baru kita. Kamu yang semangat ya belajarnya. Jangan malas belajar, oke?" tutur Ana yang membuat Riko menganggukkan kepalanya semangat.

Ana pun beranjak dari posisinya berniat keluar dari dalam kamar adiknya itu. Saat Ana baru saja akan pergi, seorang wanita paruh baya ditemukan oleh Ana sudah meneteskan air matanya sedih.

Buru-buru Ana mendekatinya, menggelengkan kepalanya kecil seakan tidak setuju dengan tingkah wanita itu yang menangis tersedu seperti sekarang.

"Bu, air mata ini sudah cukup mengalir selama ini. Sekarang, air mata kesedihan ini udah gak boleh lagi keluar. Sang pencipta sekarang sudah mengizinkan kita keluar dari masa sulit itu. Jadi, Ibu gak boleh lagi kayak gini. Hanya boleh ada senyuman di wajah cantik ini," tutur Ana dengan mata yang tampak berkaca-kaca.

Bu Sri pun menghapus cepat jejak air mata itu. Ia menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya Ana mengantarnya ke tempat tidur yang hanya berlapiskan tikar itu.

Ana menahan isaknya. Anak mana yang mampu melihat Ibu yang sudah merawatnya selama ini justru tidur di tempat yang tidak layak seperti sekarang.

Ana benar-benar merasakan belati seolah menancap tajam di dalam hatinya. Perih memang namun kini Ana sudah berjanji pada dirinya jika ia tidak akan pernah membiarkan keluarganya kesusahan lagi.

Ia akan melakukan apa saja demi mengubah kondisi ekonomi keluarganya itu. Apa saja.

"Ini hari terakhir kita berada di tempat yang menyedihkan ini ya, Bu. Ana janji setelah ini, Ana gak akan biarin keluarga kita menderita lagi. Ana akan lakuin apa aja demi kebahagiaan Ibu sama Riko. Kalian berdua adalah alasan mengapa Ana masih bernafas sampai sekarang," gumam Ana menitipkan air matanya.

Sesaat setelah ia menyelimuti sang Ibu dengan sarung tipisnya, Ana pun beranjak pergi.

Ia lalu berjalan ke arah meja kayu yang sudah lapuk itu. Mengambil ponsel kuno bermerek Nokia itu.

Ana lalu menekan setiap huruf yang ada di hp jadulnya itu. Kadang kala, hp itu bisa mati dengan sendirinya.

Namun, dengan kesabaran yang penuh. Ana pun tetap mencoba untuk menekan huruf itu hingga menyusun sebuah kalimat.

[Besok datanglah ke rumah. Aku menunggumu. Berkat kamu, semuanya berjalan dengan semestinya kembali.]

Tulisnya sembari tersenyum aneh.

***

Janji Ana

Ana pun kini sudah siap dengan pakaian yang ia rasa telah menjadi baju terbagus yang dirinya miliki.

Baju lengan panjang yang berkancingkan dua di tengahnya beserta rok di bawah lutut membuatnya tak jauh-jauh dari ciri khas gadis desa pada umumnya.

Senyuman yang begitu lebar pun mengembang sempurna di wajahnya saat ini. Ana merasa begitu bahagia karena hari ini adalah ari pertama dirinya bekerja.

"Ana pasti bakalan jadi cewek yang sukses dan kaya suatu hari nanti. Mulai dari nol sampai nanti jadi 100 atau bahkan sampai milyaran," sugesti Ana memandang pantulan wajahnya melalui pecahan kaca kecil yang selalu dibawa olehnya itu.

Ana lalu mengangkat wajahnya memasukkan kembali jimat kacanya itu ke dalam saku roknya.

Decak kagum tak kunjung berhenti dari mulutnya sedari tadi. Ia bahkan tampak mengedip-ngedipkan matanya berulang kali. Mencoba meyakinkan jika apa yang dilihatnya kali ini adalah sebuah kebenaran bukan tipu-tipu semata.

"Gak heran kalo perusahaannya sampai gede banget kemarin. Sesuai aja sama rumahnya yang juga gak kalah gede. Bahkan Pak Richard juga gede. Badannya," ucap Ana pelan sebelum akhirnya mengangkat tangannya, mengetuk pagar hitam yang menjulang tinggi itu.

"Ini orangnya bakalan denger apa gak ya? Atau aku kencengin sekalian aja kali ya? Iya bener banget kayaknya ngetuknya harus lebih kenceng lagi biar orangnya denger," dialog Ana pada dirinya sendiri.

Ana pun langsung saja menggedor-gedor pagar rumah yang menjulang itu, menimbulkan suara yang begitu berisik sekali.

Untunglah saat itu tepat sekali dengan Richard yang datang habis dari olahraga keliling kompleks sekitar perumahannya itu.

"Heh! Apa yang kamu lakukan, gadis udik!" tegas Richard yang membuat Ana sontak melambaikaikan tangannya seraya menampilkan deretan gigi putih nan rapinya.

Richard yang melihat reaksi gadis itu segera menariknya dan langsung menekan bel yang tak jauh dari tempat Ana berdiri.

Tak lama seorang satpam mulai membuka pagar yang menutupi rumah itu.

"Sekarang kamu tunggu di pos satpam. Saya akan mandi lalu bersiap dulu," tutur Richard yang membuat Ana menganggukkan kepalanya menurut.

Namun, saat Richard baru saja akan melangkahkan kakinya. Ana justru turut mengikutinya dari belakang.

"Kamu gak dengerin apa yang saya bilang?" tanya Richard yang membuat Ana mengerutkan keningnya bingung.

"Emangnya kenapa, Pak? Saya denger kok kalo Pak Richard suruh saya nunggu di Pos Satpam, kan? Iya Pak saya bakalan nunggu di sana. Tapi, karena tadi saya buru-buru. Datang ke rumah Bapak ini tanpa makan apapun. Jadi, niatnya saya pengen minta makan sama Ibu Bapak. Baru nanti habis itu saya balik lagi kesini," balas Ana dengan raut wajah tanpa dosanya.

Richard membelalak. Entah apa yang ada di dalam pikiran wanita itu saat ini.

Setelah kemarin datang secara tiba-tiba dan meminta dirinya untuk membantu ekonomi gadis itu. Sekarang, ia bahkan dengan lancang ingin meminta makan di rumahnya Richard.

"Apa kamu sudah kehilangan akal sehatmu? Apa kau tidak bisa berpikir dengan benar? Bagaimana mungkin saya akan mengizinkan kamu masuk ke dalam. Sudah tunggu di sana! Jangan coba-coba untuk melanggar perintah saya. Kamu lapar atau tidak, itu bukan urusan saya. Salah sendiri kenapa kamu bisa datang ke rumah saya pagi-pagi. Entah darimana kamu mendapatkan alamat rumah saya," tutur Richard terdengar begitu sadis.

Richard pun beranjak tanpa mengatakan apapun lagi membuat Ana hanya bisa mengembuskan nafasnya panjang.

Memegangi perutnya yang sudah bersuara menjerit meminta untuk diberikan makan.

***

Lama Ana menunggu pemuda itu dalam posisi lapar berat.

Gadis itu pun sampai tertidur di pos satpam saat ini.

"Bangun! Kita berangkat sekarang!" tegas Richard menjatuhkan kotak makan tepat di sisi gadis itu.

Ana tersentak, ia lalu tampak mengeliat tanpa ada raut jaim-nya sedikit pun.

"Ini buat saya, Pak?"

Wajah bantal Ana pun sontak berubah ceria saat mendapati kotak makan berada tepat di hadapannya.

"Cepat berangkat!"

Richard pun melangkah pergi meninggalkan Ana begitu saja. Ia masuk ke dalam mobil mewahnya tanpa perduli dengan kondisi Ana yang masih setengah sadar itu.

Dengan terburu-buru sampai sempat terjatuh hingga membuat bajunya sedikit kotor, Ana segera ikut masuk.

Namun, tiba-tiba saja Ana terdengar menggedor-gedor mobil pemuda itu.

"Apa-apaan sih kamu, udik?!" tutur Richard membentak.

"Saya gak tau gimana cara buka pintunya, Pak. Ini pertama kalinya saya lihat mobil kayak begini. Kenapa bisa geser gitu?" balas Ana apa adanya.

Sementara Richard hanya bisa bersabar karena mau bagaimana pun perjanjian itu sudah terlanjur ditandatangani oleh dirinya sendiri.

Mobil itu pun akhirnya dijalankan, membelah jalanan di pagi hari yang tidak terlalu padat itu.

"Apa pekerjaan saya hari ini, Pak? Apakah saya akan bekerja di hadapan tv besar itu?" tanya Ana membuat Richard ambigu.

Richard mencoba mengerti apa yang dimaksud oleh gadis itu sampai akhirnya ia teringat akan komputer. Sepertinya komputer lah yang tengah dimaksud oleh Ana kala itu.

"Kamu akan tau saat kita sudah sampai di kantor nanti. Ingat, di dalam perjanjian kita sudah tertera jika kamu menyetujui apapun yang saya katakan. Kamu tidak bisa mengajukan komplen apapun. Jika kamu memang ingin berhenti maka kamu harus membayar sebuah kompensasi. Paham?" terang Richard yang kembali diangguki oleh Ana.

Padahal sebenarnya, Ana sendiri tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kompensasi itu.

Di sepanjang perjalanan, Ana tampak melahap dengan rakus nasi goreng yang ada di dalam kotak nasi itu.

Selama beberapa bulan ini, Ana belum pernah makan nasi goreng lagi. Terakhir ia makan nasi dengan lahap seperti ini sekitar 5 sampai 6 bulan yang lalu. Sesaat sebelum Ayahnya-tulang punggung keluarga mereka itu meninggal dunia.

Sangat jarang bagi Ana dan keluarganya makan nasi. Jika pun ada mungkin benar-benar hanya nasi saja. Sisanya lebih banyak makan singkong rebus saja.

"Letakkan saja di dalam sini. Biar nanti Bi Ina yang akan mengurusnya. Dia selalu mengecek mobil ini sebelum saya berangkat. Ayo pergi," tutur Richard tanpa menatap ke arah Ana sedikit pun.

Wajahnya datar seakan menandakan jelas betapa Richard sangat tidak suka dengan kehadiran dari Ana.

Banyak karyawan yang setelah itu berbaris sejajar memberikan salam dan menyambut kedatangan dari Richard.

Apa yang dilihat oleh Ana kala itu adalah salah satu kebiasaan dari perusahaan yang dikendalikan oleh Richard itu.

Sebelum ke ruangannya. Richard pun menggiring Ana ke suatu tempat. Sudah berulang kali Ana menanyakan mereka akan kemana namun pemuda itu hanya diam dengan masih terus berjalan.

Sampai tak lama setelah itu, sampailah mereka pada suatu ruangan yang saat dibuka begitu gelap.

Ana pun mengekor tepat di belakang pemuda itu.

Jreng! Begitu lampunya dinyalakan. Tampak ruangan kotor, penuh debu dan jaring laba-laba di dalamnya. Banyak tumpukan barang juga di sana. Bahkan ada kotoran juga di sana membuat Ana menelan salivanya kasar.

"Bersihkan sampai benar-benar bersih," ucap Richard enteng.

"Tapi, Pak. Saya ...."

Sebelum Ana mengajukan tolakannya. Richard dengan cepat mengeluarkan lembar kertas print-annya.

"Jika menolak, silahkan bayar kompensasi sebesar 1 milyar. Bisa?"

Ana pun membulatkan matanya saat itu juga. Apa-apaan ini? Apakah ia meminta diberikan uang sampai sebanyak itu? Kenapa pemuda itu sekarang seolah seperti memerasnya? Apa yang sudah Ana putuskan sebelumnya?

Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya di dalam benaknya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!