NovelToon NovelToon

The Village Secret

Desa Lembah Wangi

Suasana pagi hari di sebuah desa yang terletak di salah satu kaki gunung di pulau jawa itu terlihat asri dan juga teduh. Beberapa warga tampak berlalu lalang begitu sibuk dengan aktifitas paginya masing-masing.

Ada beberapa bapak tua yang hendak pergi ke ladang dengan menenteng cangkul di pundaknya, serta hilir mudik anak-anak yang tengah berlarian untuk pergi bersekolah.

Pemandangan yang terlihat biasa jika sekilas kita melihatnya tanpa mengetahui bagaimana sebenarnya desa tersebut. Hampir 95% penduduk yang bermukim merupakan warga asli yang lahir dan besar di sana.

Hampir tidak ada warga baru yang menetap di sana selain 1 keluarga yang baru saja 3 hari pindah ke sana. Mereka adalah keluarga pak Herman yang saat ini menetap di sebuah rumah yang terletak tidak jauh dari kantor desa.

Rumah tersebut merupakan rumah dinas yang di sediakan untuk tenaga medis yang bertugas di desa tersebut. Pak Herman atau yang dikenal warga sebagai dokter Herman adalah warga baru yang kedatangannya cukup di sambut dengan baik di sana.

Dokter Herman tidak datang seorang diri ke desa tersebut, ia memboyong semua anggota keluarganya untuk tinggal dan menetap di sana. Istrinya yang bernama bu Nirmala dan juga kedua putri kembar mereka Vania dan Vanisa yang saat ini duduk di bangku sekolah menengah atas.

**

Di rumah pak Herman,

Pagi ini bu Nirmala tampak sibuk membuatkan sarapan untuk keluarganya sementara kedua putri nya sedang bersiap untuk pergi ke sekolah mereka yang baru.

"Nia, Nisa ibu sudah buatkan sarapan untuk kalian. Cepat kesini! " ujar bu Nirmala sedikit berteriak memanggil kedua putri nya.

"Iya bu, sebentar." jawab Nia sang kakak sembari berjalan keluar dari kamar.

Sebenarnya si kembar memiliki seorang kakak laki-laki, namun ia tidak bisa ikut tinggal di desa tersebut lantaran baru saja di terima bekerja di sebuah rumah sakit di kota besar.

Ia adalah seorang dokter spesialis bedah Jantung yang sangat berbakat. Karena itu pak Herman merasa enggan untuk mengajaknya ikut pindah bersama mereka.

Dokter Herman sudah memutuskan pensiun sebagai ahli bedah Jantung karena kecelakaan yang pernah ia alami sekitar 1 tahun lalu. Yang menyebabkan ia tidak bisa menggunakan tangannya secara maksimal untuk menjalani operasi.

Karena itu ia memutuskan setelah pemulihan jika ia akan pindah ke sebuah desa kecil, dimana ia akan mengabdikan seluruh sisa hidupnya sebagai dokter yang benar-benar mengabdikan diri untuk masyarakat.

Itulah bagaimana akhirnya keluarga mereka terdampar di sebuah desa yang bernama "Desa Lembah Wangi". Tempat dimana mereka akan memulai kehidupan mereka yang baru.

"Nia, mana adikmu? " tanya bu Nirmala sembari menyajikan segelas susu hangat di depan putrinya.

"Iya bu, Nisa baru selesai ini." jawab Nisa yang berjalan dengan malas-malasan ke ruang makan.

"Pagi-pagi muka cantik anak ibu kok udah di tekuk aja." ujar sang ibu sembari menata piring di meja makan.

"Yah ibu, pura-pura gak tahu aja kalau si Nisa tuh masih bete gara-gara kita pindah kesini." celetuk Nia di sela menyuap sendok yang berisi nasi goreng di tangannya.

Sedangkan yang di bicarakan hanya diam sambil mendelik menatap tajam sang kakak yang selalu bersikap menyebalkan baginya.

Sementara bu Nirmala hanya bisa menghela nafas pelan melihat kedua putrinya.

"Nisa, bukankah kita sudah membicarakannya dengan baik-baik tempo hari dan kita semua sudah sepakat." ujar ibu dengan lembut membuat nisa tertunduk dengan wajah yang sendu.

Ia tidak berani lagi menjawab apalagi mendebat keputusan kedua orangtuanya itu. Mereka pun melanjutkan sarapan paginya tanpa pembicaraan sedikit pun.

Semuanya terlihat sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dan setelah mereka selesai sarapan bersama, pak Herman datang dengan seorang anak laki-laki yang cukup tampan namun terlihat pendiam.

pak Herman pun memperkenalkan anak laki-laki tersebut dengan keluarganya sebagai anak kepala desa di sana. Namanya adalah Angga, usianya selisih 1 tahun lebih tua dari si kembar.

Angga merupakan anak kepala desa yang kebetulan bersekolah di sekolah yang sama dengan si kembar. Karena ini adalah hari pertama mereka, pak Herman pun berinisiatif meminta tolong pada Angga untuk berangkat bersama si kembar.

Karena mereka belum mengetahui dimana sekolah mereka yang baru, dan mereka juga belum mengenal jalan di desa tersebut. Angga pun menyanggupi permintaan pak Herman tersebut.

Akhirnya mereka bertiga berangkat ke sekolah menggunakan 2 buah sepeda motor yang berbeda. Nia dan Nisa berboncengan bersama dengan sepeda motor maticnya sementara Angga menuntun mereka di depan dengan sepeda motor bebek yang terlihat sederhana.

Sepanjang perjalanan Nia dan Nisa tampak tertegun melihat beberapa pemukiman yang mereka lewati untuk menuju sekolah. Angga pun nampak terlihat dingin dan hanya fokus mengendarai sepeda motor nya itu.

"Nia, lo ngerasa aneh gak sih dengan suasana di desa ini." ujar Nisa sembari memperhatikan di kiri kanan jalannya yang masih begitu asing.

"Apaan sih Nis, pagi-pagi udah parno aja lo. Kebanyakan nonton film horor sih lo." timpal Nia sang kakak sambil mengendarai sepeda motor nya.

"Ih, gue serius tahu. Perasaan gue tuh gak enak tahu begitu kita sampai di desa ini. Emang sih pagi-pagi gini semua pemandangan kayak gini kelihatannya indah-indah aja. Tapi bayangin deh lo, kalau malem-malem nanti kita harus lewatin jalan kayak ginian lagi. Yakin lo masih bilang indah?" sungut Nisa kesal pada kakak kembar nya itu.

"Iya sih, tapi ya udah lah jangan mikirin hal yang terlalu jauh dulu. Kita kan baru di sini, karena itu kita masih asing dan gak nyaman sama suasananya. Nanti juga lama kelamaan gue yakin kok enggak." timpal Nia berusaha meruntuhkan kekhawatiran adiknya itu.

Sementara Nisa hanya terdiam menyimak ucapan kakak nya, dan tiba-tiba mereka melihat sebuah jembatan seperti penghubung desa yang melewati sebuah sungai dan bendungan yang cukup besar.

Terdapat beberapa pepohonan besar di sekitar bantaran sungai, membuat suasana di jembatan tersebut nampak cukup gelap walaupun di siang hari.

Seorang nenek tua terlihat memperhatikan mereka dengan tatapan tajam dari pinggir jembatan. Ia tampak berdiri sambil berpegangan pada tongkat dengan tubuh yang sudah membungkuk. Ia mengenakan setelan kebaya tua dengan kain yang lusuh dan tanpa memakai alas kaki.

Nia dan Nisa berusaha untuk menyapa dengan ramah pada nenek tersebut dengan tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Sampai akhirnya tiba-tiba mereka di kagetkan dengan seekor kucing berwarna hitam yang melompat tepat ke depan motor mereka.

Sontak saja kedua nya berteriak sambil Nia menekan keras kemudi rem agar motor berhenti. Suara decitan motor begitu keras di selingi suara teriakan kedua nya membuat Angga pun berhenti untuk melihat si kembar di belakangnya.

BRUUGGH,

Angga langsung turun dan berlari menghampiri si kembar yang telah jatuh dari sepeda motor dan membantunya. Nia dan Nisa tidak terluka parah hanya beberapa luka lecet di lutut dan tangannya.

"Kalian gak apa-apa? " tanya Angga sembari membantu membangunkan mereka yang terduduk di jalan dengan separuh badan tertimpa motor.

Teror tengah malam

Pukul 2 siang si kembar telah kembali ke rumah. Perjalanan dari sekolah ke rumahnya hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Di desa lembah wangi tidak ada fasilitas sekolah menengah atas.

Karena itu, si kembar bersekolah di SMA Harapan yang berada di luar desa. Sama seperti kebanyakan anak-anak di desa tersebut mereka bersekolah di sana.

"Assalamualaikum." ujar si kembar kompak.

"Waalaikumsalam." jawab ibu dari dapur.

Dengan langkah pelan keduanya berjalan memasuki ruangan tengah dimana terdapat beberapa sofa yang sudah tampak usang. Setelah melepas tas di punggungnya, mereka pun duduk di sana.

"Gimana sayang hari pertamanya di sekolah? Suka sama sekolahan kalian yang baru kan?" tanya ibu sambil meletakkan 2 gelas es jeruk peras di depan keduanya.

"Aduh, ibu tahu banget kita lagi haus. Makasih bu." ujar Vania tanpa menjawab pertanyaan ibunya.

Segera ia ambil segelas es jeruk peras tersebut dan langsung meminumnya hingga tandas. Sementara Nisa memilih untuk tidak bersuara sembari mengikuti apa yang saudara kembarnya itu lakukan.

Sementara ibu hanya tersenyum melihat tingkah kedua putrinya. Ibu pun memilih mendekat dan duduk di sebelah Vania dan Vanisa.

"Loh kaki sama tangan kalian kenapa di plester begitu?" tanya ibu sedikit terkejut.

"Gak apa-apa kok bu, tadi pagi cuma jatuh aja. Tapi udah di obatin kok tadi sama Angga." jawab Nisa menjelaskan.

"Kok bisa, kalian jatuh dimana?" tanya ibu lagi penasaran.

Sementara Nia dan Nisa sempat saling pandang selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab pertanyaan ibunya itu.

"Di jalan bu tadi mau ke sekolah, maklum di tempat baru jadi tadi aku bawa motornya gak konsen. Banyak curi-curi pandang sepanjang jalan ke sekolah tadi." jelas Vania kemudian tersenyum menenangkan ibunya.

"Ya sudah bu, kita mau ke kamar dulu ya. Mau bersih-bersih terus istirahat sebentar." pamit Nisa sambil mengambil tas yang teronggok di meja.

"Iya bu Nia juga capek banget. Nanti kita lanjutin lagi ngobrolnya." ujar Nia menimpali saudara kembarnya.

"Ya sudah, nanti kalau mau makan lauknya sudah ada di meja makan. Nasinya kalian ambil di dapur masih ada di rice cooker ya." ucap Ibu memberitahu.

"Iya bu." jawab si kembar dengan kompak.

Perlahan mereka berjala menuju kamar masing-masing. Walaupun mereka kembar, sejak SMP mereka enggan berbagi kamar dan memilih untuk mempunyai kamar masing-masing.

Jika Nia terlihat sedikit tomboy, lain halnya dengan Nisa. Ia sangat feminim dan sangat suka berdandan. Meski sifat dan kegemaran mereka bertolak belakang, tapi mereka selalu terlihat kompak dalam segala hal.

Keduanya merupakan siswi yang cerdas dan berprestasi di sekolah lama mereka. Bahkan mereka juga aktif di beberapa organisasi kesiswaan seperti OSIS, Pecinta alam dan juga Pramuka.

~

Malam harinya semua telah berkumpul di ruang makan. Tidak ada percakapan selama mereka makan, semua tampak sibuk dengan piringnya masing-masing.

Sampai akhirnya acara makan malam hari kedua keluarga pak Herman di rumah baru tersebut selesai. Kini mereka berpindah ke ruang keluarga dimana sebuah TV tabung berukuran 42 inchi terpampang di hadapan semuanya.

Sambil menonton TV, keluarga pak Herman pun tampak berbincang-bincang. Udara malam di desa sangatlah dingin membuat mereka memilih untuk mengenakan sweater masing-masing.

"Gimana Nia, Nisa sekolah kalian yang baru? Apa kalian suka?" tanya pak Herman sambil menyesap teh hangat di tangannya.

"Sekolahnya lumayan jauh dari sini tapi udah masuk daerah perbatasan mau ke kota. Suasana di sekolah dan teman-temannya juga gak rese sih, Nia sih suka-suka aja." jawab Nia membuat Nisa sedikit menghela napas kecewa.

Ekspresi wajah kecewa Nisa tak luput dari pengamatan pak Herman dan istrinya.

"Ada apa Nisa? Sepertinya pendapat mu berbeda dengan kakakmu." tanya pak Herman lagi.

Nisa pun tampak melihat wajah kedua orang tuanya sebelum akhirnya menjawab.

"Nisa bukannya gak suka sih, cuma belum ngerasa nyaman aja. Tapi Nisa akan berusaha untuk menyesuaikan diri di sini pak, bu." jawab Nisa dengan jujur.

Sejak awal memang hanya Nisa lah yang menentang keras rencana kepindahan mereka ke desa ini. Nisa tidak mudah beradaptasi dengan suasana baru apalagi dengan orang-orang baru.

Di banding Nia yang tampak cuek dan pemberani, Nisa lebih tertutup dan pemalu. Karena itu, ia merasa enggan untuk pindah karena ia selalu kesulitan menyesuaikan diri di tempat baru.

"Ya sudah, bapak minta maaf sekali lagi jika kalian merasa terbebani dengan keputusan bapak untuk pindah ke tempat ini. Tapi bapak harap, kalian bisa merasa nyaman di sini. Bapak janji, jika kalian sudah menyelesaikan sekolah SMA di sini kalian boleh menentukan dimana pun kalian ingin berkuliah nanti."

"Beneran pak?" tanya Vania dan Vanisa dengan bersemangat.

"Iya, bapak janji." jawab pak Herman sembari tersenyum menatap kedua putrinya.

Setelah berbincang-bincang selama hampir 1 jam akhirnya mereka membubarkan diri dan pergi ke kamar masing-masing.

Jika Nia langsung bersiap untuk pergi tidur, lain halnya dengan Nisa ia memilih untuk mengambil salah satu novel kesayangannya di dalam sebuah kotak yang belum sempat ia bongkar.

Tanpa terasa kantuk mulai menyerangnya, padahal baru beberapa bab ia membaca novel tersebut. Hampir pukul 12 malam Nia memutuskan untuk pergi tidur.

Sebelum itu, ia memutuskan untuk mencuci muka dan menggosok giginya terlebih dahulu. Kamar mandi di rumah tersebut terletak di bagian paling belakang rumah sejajar dengan dapur.

Karena Nia adalah seorang gadis yang pemberani, ia tidak merasa takut sedikitpun untuk pergi ke kamar mandi sendiri. Padahal suasana rumah sudah sangat sepi, beberapa lampu di ruangan sudah di matikan.

Ketika sampai di kamar mandi, Nia segera melakukan ritual hariannya sebelum pergi ke tempat tidur. Sama-sama telinganya mendengar suara langkah kaki seperti di seret di belakang rumah mereka.

Awalnya Nia tampak Cuek dan berusaha mengacuhkannya. Namun lama kelamaan suara tersebut semakin terdengar jelas. Dengan cepat Nia menyelesaikan kegiatannya di kamar mandi.

Begitu selesai ia tampak celingukan di depan kamar mandi, matanya menerawang setiap penjuru dapurnya yang tidak terlalu besar namun cukup nyaman untuk di gunakan.

Di sebelah kanannya terdapat sebuah pintu yang terhubung ke halaman belakang rumah mereka. Di sana tidak ada apa-apa selain kebun berukuran tidak terlalu besar. Ada beberapa pohon buah dan pohon pisang di sana.

Nia menimbang-nimbang tampak berpikir, haruskah ia mengecek suara gaduh yang sejak tadi terdengar di telinganya. Tapi semenjak ia keluar dari kamar mandi, suara tersebut menghilang.

Tidak ada suara apapun selain suara binatang seperti jangkrik yang mengisi pendengaran nya. Akhirnya Nia mengurungkan niatnya untuk mengecek halaman belakang rumahnya dan memilih untuk kembali ke kamar.

Ketika ia duduk di atas ranjang dan bersiap untuk tidur. Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan di tembok rumahnya. Bersamaan dengan bau busuk yang menyengat indra penciuman nya.

Sejujurnya Nia agak merasa takut, karena ini pertama kalinya dia merasakan hal seperti itu. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri akhirnya Nia memutuskan untuk mengacuhkannya, dan segera memejamkan matanya.

Dug, dug, dug, dug.

Namun lagi-lagi suara ketukan di tembok kembali mengganggunya. Bahkan bau busuk yang menyengat di hidungnya semakin terasa. Akhirnya Nia memberanikan diri untuk mengeceknya.

Ia berjalan ke arah jendela kamarnya yang berada di sisi kanan tempat tidur. Dengan tangan gemetar dan keringat bercucuran ia mulai mencoba menyibak gorden yang menutupi jendela berukuran 2x1 meter tersebut.

Terlihat pemandangan kebun dan persawahan yang gelap gulita. Tidak ada cahaya sama sekali, belum sempat tangannya membuka jendela ia di kagetkan dengan ketukan di pintu kamarnya.

Tok tok tok,

" siapa? " tanya nia takut-takut.

Tidak ada jawaban selama beberapa saat. Tapi ketukan terdengar kembali membuat Nia spontan menutup gorden jendelanya kembali dan berjalan menuju pintu kamarnya yang di ketuk semakin kencang.

Ceklek, pintu perlahan terbuka.

Deg,

Deg,

Deg,

Tbc,

Teman baru

Pagi hari pun tiba, kini semua orang tengah berkumpul menikmati sarapannya masing-masing. Hanya Nia yang tampak lesu sembari mengaduk-aduk makanan di piring nya.

"Nia, kamu kenapa? Sakit? atau makanannya kamu gak suka?" tanya ibu sambil memperhatikan.

"Enggak kok bu, makanannya enak. Cuma Nia agak kurang berselera makan, badan agak greges." jawab Nia beralasan.

Sementara Nisa pun hanya diam saja menatap aneh ke arah kakak nya itu. Tidak biasanya Nia murung seperti itu, padahal tadi malam sebelum tidur ia tampak baik-baik saja.

"Kalian sudah hafal jalan ke sekolah?" tanya pak Herman.

"Sudah pak." jawab si kembar kompak.

"Oh, ya sudah berarti gak perlu bantuan nak Angga lagi kan untuk berangkat ke sekolah hari ini?" tanya pak Herman lagi memastikan.

Nia dan Nisa kompak hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Setelah selesai sarapan si kembar pun langsung bersiap untuk berangkat ke sekolah. Baru saja Nia mendorong motornya keluar dari rumah, Angga sudah tampak mendekati pekarangan rumah mereka dengan motornya.

"Kalian udah siap?" tanya Angga.

"Sudah, tapi kenapa kamu kesini? Aku sama Nisa udah hafal kok jalan ke sekolah." jawab Nia membuat Angga sedikit tak enak hati mendengar ucapan Nia yang terkesan jutek.

Nisa pun yang menyadari perubahan ekspresi di wajah Angga langsung menyenggol lengan kakaknya agar tak lagi bicara.

"Maaf kak Angga, maksud Nia itu takutnya kakak jadi repot harus jemput kita dulu kesini. Iya kan Nia?" ujar Nia sambil melemparkan pertanyaan dengan mata menajam menatap saudaranya itu.

"I.. iya kak." jawab Nia paa akhirnya.

"Oh, gak apa-apa kok. Saya gak ngerasa di repotin sama kalian. Kalau kalian sudah siap, ayo kita berangkat sekarang biar gak telat." ajak Angga sembari menyalakan mesin motornya kembali.

"Nis, lu aja ya yang bawa motornya. Gue lagi males." ujar Nia sembari menyerahkan kunci motornya ke tangan Nisa.

Nisa pun menyambut kunci motor tersebut setelah mengangguk menyetujui permintaan kakaknya.

Akhirnya mereka pun berangkat ke sekolah bersama seperti kemarin. Tiba di jembatan penghubung desa, dimana tempat kemarin mereka terjatuh Nia dan Nisa tampak memperhatikan sekitarnya.

Mereka berharap tidak bertemu atau melihat nenek tua menyeramkan yang tiba-tiba saja menghilang secara misterius. Karena itulah Nia sedikit terkejut ketika seekor kucing hitam melompat ke arahnya bersamaan dengan menghilang nya nenek tua tersebut.

Bahkan yang membuat mereka terkejut adalah, Angga tidak sama sekali melihat keberadaan nenek tua yang saat itu berpapasan dengan mereka di jembatan.

Karena itulah mereka memilih untuk tidak terlalu banyak bicara dan membahas masalah tersebut. Mereka tidak ingin membuat diri mereka sendiri ketakutan dengan hal-hal yang belum pasti.

Siapa tahu saja memang Angga tidak melihat keberadaan nenek tua tersebut karena terlalu fokus pada jalanan. Mereka tetap berusaha berpikir positif dengan kejadian tersebut.

20 menit kemudian akhirnya mereka sampai di sekolah. Nia dan Nisa berada di kelas yang berbeda. Sejak dulu memang mereka terbiasa tinggal di kelas yang berbeda. Dan itu membuat mereka nyaman karena tidak perlu bersaing tentang nilai.

"Kak, kita duluan ya langsung ke kelas." ujar Nia sambil menarik Nisa yang baru saja meletakan helmnya di motor.

"Oh, iya. " jawab Angga sembari tersenyum menatap kepergian keduanya.

Nia dan Nisa pun tampak berjalan beriringan menuju kelas mereka yang letaknya bersebelahan. Walaupun di daerah pedesaan, sekolah tersebut merupakan sekolah cukup besar dan cukup bagus.

Jarak dari sekolah tersebut ke pusat kota sekitar 1 jam menggunakan motor. Karena itu dari beberapa desa terdekat banyak yang sekolah di sana karena tidak banyak sekolah apalagi sekolah menengah atas di daerah tersebut.

Setelah hampir sampai di kelas, Nia pun langsung menghentikan langkahnya.

"Nis, ada yang pengen gue ceritain. Nanti istirahat kita ketemu di kantin ya." ujar Nia yang langsung di tanggapi oleh Nisa dengan anggukan kecil .

Nisa pun tampak melangkah malas memasuki kelasnya. Ia pun langsung menuju ke arah pojok di barisan ke dua. Tampak seorang gadis tomboy duduk di sebelahnya.

"Baru dateng Nisa?" tanya Dara teman sebangku nya.

"Iya." jawab Nisa singkat membuat Dara enggan melanjutkan percakapan.

Menurutnya Nisa sangat pendiam dan sulit di dekati. Tapi walaupun begitu Dara berusaha memaklumi, mungkin saja Nisa memang orangnya pendiam dan pemalu. Apalagi dia anak pindahan di sekolah ini, mungkin masih butuh waktu untuk beradaptasi pikirnya.

Lain halnya dengan Nisa yang tertutup, Nia lebih mudah beradaptasi dan bergaul di lingkungan yang baru. Begitu masuk kelas 2 orang gadis langsung menghampirinya.

Mereka adalah teman baru Nia di kelas tersebut. Namanya adalah Putri dan Anita. Sementara yang duduk sebangku dengannya belum datang. Namanya adalah fitri.

Dan Fitri ini merupakan anak dari desa lembang wangi juga seperti nya. Rumahnya juga tidak terlalu jauh dari rumah Nia dan Nisa. Sementara Putri dan Anita merupakan anak dari desa lain yang bersebelahan dengan desa mereka.

"Baru dateng?" tanya keduanya kompak.

"Iya, lah Fitri mana? belum dateng?" tanya balik Nia pada kedua temannya.

"Belum Nia, paling sebentar lagi juga dia dateng." jawab Putri.

"Nah tuh panjang umur dia, udah dateng aja orangnya." ujar Anita di iringi tawa ketiganya.

"Kenapa kalian ketawa bareng gitu? Seneng amat kayaknya. Ngetawain aku ya? " tanya Fitri menyelidik.

"lya, kita ketawain kamu. Abis panjang umurnya banget sih kamu tuh, baru di omongin udah dateng aja. ”

"Emang kalian ngomongin apa soal aku? " tanya Fitri sembari melepaskan tas nya di meja.

"Enggak ngomongin apa-apa kok fit cuma kita tadi lagi nungguin kamu aja yang belum dateng." jawab Nia seadanya yang langsung di angguki oleh kedua temannya yang lain.

Tak lama setelah itu seorang wanita paruh baya dengan setelan batik dan celana panjang berkerudung putih pun memasuki kelas. Beliau adalah wali kelas Nia di kelas XI IPA 1 .

Jam pelajaran pun di mulai, semua murid tampak mengikuti pelajaran dengan khusyuk. Nia pun menatapi suasana sekitar nya karena melihat suasana kelas yang hening.

Teman-teman sekelasnya rupanya merupakan murid-murid yang rajin. Terbukti dengan tidak adanya satu orangpun yang mengobrol atau melakukan kegiatan lain di dalam kelas.

Pemandangan seperti itu sangat kontras berbanding terbalik dengan suasana kelasnya di sekolah yang lama. Ah, mengingatnya membuat Nia seketika merindukan teman-teman nya.

Sepulang sekolah nanti ia memutuskan akan menelpon teman-teman nya di Jakarta. Nia sangat merindukan mereka, walaupun di sini ia sudah mendapatkan teman baru tetap saja ia tidak akan melupakan teman-teman nya yang lain.

Waktu istirahat pun telah tiba, Nia pun teringat untuk bertemu Nisa di kantin sekolah. Fitri mengajaknya untuk ke kantin juga, dan Nia pun berjalan beriringan dengan Fitri di ikuti Putri dan Anita di belakangnya.

Begitu sampai di kantin, terlihat Nisa sudah menunggunya. Awalnya Nia memperkenalkan Nisa kepada teman-temannya. Mereka begitu takjub begitu melihat Nia dan Nisa yang bersisian dengan wajah serupa.

Karena di sekolah mereka jarang ada sepasang anak kembar. Sekalipun ada mereka tidak kembar identik seperti Nia dan Nisa. Hampir 95 % wajah mereka terlihat serupa.

Yang membedakan hanya penampilan keduanya yang terlihat berbeda. Dan postur tubuh Nia yang lebih tinggi 3cm di banding Nisa. Semua orang yang tidak mengenal mereka dengan baik pasti akan salah mengenali jika tidak ada name tag terpasang di seragam mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!