Tuk
Tuk
Tuk
Terdengar suara derit langkah sepatu di malam hari membuat Ajeng terbangun. Buru-buru Ajeng melepaskan pelukannya pada anaknya Qeera.
"Bobo yang nyenyak ya sayang. Mamah keluar sebentar." Ujar Ajeng pada putrinya yang telah tertidur lelap.
Ia keluar dari kamar Qeera dengan langkah pelan. Terlihat sepasang lelaki dan perempuan dengan mesranya memasuki kamar pribadi Ajeng dan suaminya.
"Mas Yudha." Ucapnya pelan sambil tangannya membekap mulutnya.
Namun dua sepasang manusia itu tidak menyadari ada Ajeng yang melihatnya dari kejauhan.
Lalu Ajeng mendekat kearah kamarnya yang pintunya sudah tertutup rapat. Namun masih terdengar jika ada yang berbicara dari dalam meski tidak terlalu jelas.
"Mau apa mereka? Siapa perempuan itu?" Gumamnya sambil telinganya ia tempelkan dipintu.
Terdengar suara ******* disana. Membuat Ajeng memejamkan matanya. Hatinya tiba-tiba sesak. Jelas suara itu sedang melakukan layaknya hubungan suami istri.
Ia pun membuka pintu itu yang memang tidak dikunci. Dan mungkin juga ini merupakan kesialan untuk sepasang dua manusia itu.
Ajeng sangat shock melihat dua manusia itu yang sungguh tidak baik untuk dilihat.
Keduanya telah berada dalam satu selimut yang tentunya pakaian mereka pun sudah teronggok dilantai. Ajeng pun mendekat.
"Kamu tega Mas, kamu jahat." Teriak Ajeng menatap nanar pada Yudha lalu menatap perempuan yang berada dibawah Yudha. Yudha turun dan duduk disamping perempuan itu.
"Siapa kamu? Dengan beraninya masuk kedalam kamarku dengan suamiku? Dasar perempuan murahan." Bentak Ajeng dengan menarik rambut perempuan itu.
"Hentikan Ajeng. Jangan sakiti Fiona." Bentak Yudha yang tubuhnya masih bersembunyi dibalik selimut.
"Ohh jadi namamu Fiona?" Sentak Ajeng yang tangannya belum mau melepaskan rambut Fiona. Ia terus menariknya sehingga Fiona merasakan sakit dikepalanya.
"Awww sakiiiiittt." Lirih Fiona yang matanya melirik pada Yudha, meminta perlindungan.
"Ajeng aku bilang lepasin." Kembali Yudha membentak.
"Kamu lebih memilih perempuan ini?" Tunjuk Ajeng pada Fiona. "Dibanding aku istri sah kamu?" Rahang Ajeng mulai mengeras.
"Tapi dia juga istriku."
"Apa?"
"Ya, kami telah menikah siri dua minggu yang lalu. Maaf aku tidak ijin dulu padamu."
Ajeng pun rubuh dihadapan mereka, sambil tangan kanannya memegang dadanya merasakan sakit yang teramat dalam, sungguh sesak dan pahit menerima kenyataan bahwa suaminya kini telah menikahi perempuan lain tanpa ijin dan sepengatahuannya.
Ajeng terus terisak tanpa dipedulikan oleh Yudha yang malah mengusap rambut Fiona yang masih berada disampingnya.
Ajeng memalingkan pandangannya melihat adegan mesra suaminya. Ia pun mencoba bangkit.
"Aku tunggu kalian dilantai bawah." Ujar Ajeng dengan suara serak akibat isakan yang tidak mau berhenti.
Ia pun keluar dari kamar itu dan terus menyeka sudut matanya.
Ajeng terlebih dahulu kembali kekamar sang anak, memastikan bahwa Qeera masih tertidur. Dan untung saja Qeera masih lelap dengan tidurnya.
Ia pun segera menuju lantai bawah dan langsung duduk diatas sofa tempatnya bersantai menunggu dua manusia tak tahu diri itu.
"Mas, kamu bilang, kamu belum menikah. Tapi apa ini?" Tanya Fiona sambil mengenakan pakaiannya.
"Maaf, aku berbohong, karena jika aku jujur takut kamu tidak mau menikah denganku." Ujar Yudha yang sudah rapih dengan pakaiannya.
"Pantes kamu inginnya kita nikah siri dulu. Jadi ini alasannya?" Fiona mendengus kesal.
"Sudahlah tak perlu dipikirkan. Aku melakukan ini semua semata karena sangat mencintaimu. Cinta ini dari dulu tidak pernah padam untukmu" Ucap Yudha dengan merangkul Fiona.
"Tapi marahnya itu bikin aku takut Mas. Lihat kepalaku jadi sakit karena ulahnya tadi." Rengek Fiona manja.
"Kita harus hadapi dia, apapun yang terjadi." Ujar Yudha.
"Tapi jangan tinggalin aku Mas."
"Iya sayang, karena kamu mantan terindah Mas dari dulu, tapi sekarang jadi istri terindahku." Ujar Yudha tersenyum sambil menggandeng Fiona menuju lantai bawah.
Yudha dan Fiona menuruni anak tangga satu persatu tak lupa adegan mesra selalu mereka lakukan.
Kini keduanya telah berada dibelakang Ajeng. Lalu mereka pun duduk berdampingan dihadapan Ajeng dengan tangan yang masih saling tertaut.
Ajeng membetulkan duduknya. Menarik napas perlahan, mencoba supaya tidak terbawa emosi dengan pembicaraan mereka nantinya.
"Langsung saja pada inti." Tukas Ajeng. "Apa yang membuatmu tega menghianatiku dari belakang bahkan tanpa izinku kamu telah menikahinya. Kurang apa aku ini Mas?"
"Tidak, kamu pun tidak ada kurangnya dimataku. Alasanku jelas karena cinta, dan jika aku ijin dulu padamu maka pernikahanku ini tak akan terjadi karena kamu pun pasti tidak mengijinkannya." Tukas Yudha menatap Ajeng yang dibalas tatapan juga olehnya.
"Baik, jadi hanya karena cinta? Dan asal kamu tau. Jika kamu ijin dulu padaku akan menikahinya mungkin tak akan sesakit ini karena mungkin aku sudah menguatkan hatiku jika tiba-tiba suamiku menikahi perempuan lain tanpa sepengetahuanku. Tanpa ijinku. Tapi apa kenyataanya? Sakit Mas. Sungguh sakit hati ini." Isak Ajeng menatap keduanya.
"Maafkan aku."
Hanya itu ucapan yang terlontar dari bibir Yudha sambil menundukkan kepalanya. Ada rasa tak tega melihat sang istri terisak karena ia pun masih mencintainya meski rasa cinta itu lebih besar pada Fiona.
"Ceraikan aku." Sentak Ajeng yang isakannya sudah mulai mereda.
"Tidak. Aku tidak akan menceraikan kamu."
"Lalu maumu kita serumah bertiga begitu? Maaf, aku tidak setangguh perempuan-perempuan lain yang dengan ikhlasnya dipoligami."
"Tapi bukankah poligami itu boleh?"
"Ya, jika memang atas ijin istri pertama dan tidak mendzoliminya. Jelas disini kamu telah mendzolimi aku, menikahinya secara diam-diam."
"Tapi aku bisa adil."
"Mas, poligami itu bukan hanya perkara tentang adil, tapi harus ada keikhlasan dihati keduanya dan masih banyak lagi. Aku tak yakin jika pernikahan kita dilanjut aku dan istri barumu itu akan baik-baik saja. Karena sampai kapanpun aku gak rela jika harus berbagi suami." Ujar Ajeng dengan nada sedikit kesal.
"Dan kamu Fiona." Ajeng menatapnya tajam. "Sungguh perbuatanmu telah mencoreng nama baikmu sendiri. Yang sayangnya harus jadi pelakor diantara rumah tanggaku dan Mas Yudha."
"Maaf mbak. Sungguh aku tak tau jika Mas Yudha telah menikah. Bahkan aku baru mengetahuinya sekarang. Jika saja Mas Yudha jujur dari awal. Aku pun pasti menolaknya" Jawabnya dengan menundukkan kepala tanpa berani menatap Ajeng sedikitpun.
"Apa aku harus percaya?"
"Fiona benar, dia tidak tau kalau aku sudah menikah, karena aku berbohong padanya." Ujar Yudha.
Ajeng menoleh pada suaminya. Matanya yang sudah mengering itu pun seketika kembali berembun.
"Demi ingin menikahi dia kamu tega berbohong Mas?" Ajeng mengusap wajahnya dengan kasar sambil menarik napas berat. "Entah apa yang ada dipikiranmu saat ini Mas, kamu bukan Mas Yudha yang dulu lagi, kamu jahat." Teriak Ajeng sambil bangkit dan melangkah menuju kamarnya.
"Mbak." Ucap Fiona mengulurkan tangannya hendak meraih tangan Ajeng.
"Sudahlah, biarkan dia sendiri dulu." Ujar Yudha sambil merangkulnya.
"Tapi kamu memang jahat Mas. Jika aku yang berada diposisi dia, akupun tak akan segan meminta cerai darimu." Fiona menundukkan kepalanya sambil menyeka sudut matanya. Sungguh hatinya sebenarnya sangat iba pada Ajeng. Tapi semua telah terjadi.
Ajeng memasuki kamarnya dan menutup pintu, ia rubuh dibalik pintu dengan isakan yang kembali terdengar. Ia tak tau harus bagaimana. Bahkan kedua orangtuanya pun sudah tidak ada, ia anak tunggal. Orangtuanya meninggal karena sebuah kecelakaan saat Ajeng baru saja lulus kuliah.
"Kamu tega Mas, apa salahku. Sehingga kamu tega melakukan ini semua padaku." Gumam Ajeng dengan terus terisak menyandarkan tubuhnya pada pintu. Ia pikir dengan menikah hidupnya akan bahagia dan tak lagi kesepian karena ia akan ikut kemanapun suaminya membawanya pergi. Tapi apa? Apa ini yang disebut bahagia
Pagi pun menyapa. Tapi Ajeng masih berkutat mempersiapkan keperluannya juga anaknya karena ia memilih pergi dari rumah itu, rumah yang selama ini membawa kebahagiaan dan kenyamanan baginya juga merasa disayangi oleh perlakuan suaminya.
Tapi apa sekarang? Di usia pernikahan yang menginjak enam tahun ia dikejutkan dengan kenyataan pahit. Ia tidak kuat jika harus serumah dengan madunya. Lebih baik ia pergi dan membawa sang anak dengan bekal yang selama ini ia kumpulkan atas jerih payahnya sendiri. Karena selama ini ia diam-diam berjualan online apa saja. Dan uang yang dikumpulkan pun sudah lumayan besar.
Ia melakukan itu semata karena jika ada masalah keuangan dalam rumahtangganya jadi uangnya bisa digunakan untuk kebutuhannya. Namun nyatanya bukanlah masalah ekonomi yang ia hadapi tapi penghianatan suaminya.
"Nak bangun sayang, kita sarapan dulu." Ucap Ajeng membangunkan sang anak.
Qeera pun terbangun dan melihat ibunya.
"Bunda kenapa? Kok matanya sembab?" Tanya Qeera, anak itu sudah berusia lima tahun dan sedang duduk dibangku sekolah TK.
"Tidak nak, bunda hanya kurang tidur. Ayo kita sarapan." Ajaknya sambil mengusap kepala Qeera.
"Jam berapa ini bunda? Sekarang hari senin, Aku harus sekolah."
"Sekarang Qeera gak sekolah dulu ya? Tapi besok sekolah lagi." Ucap Ajeng dengan lembut.
"Kenapa? Aku maunya sekolah." Qeera menatap bundanya serius.
"Bunda ada keperluan diluar, tapi Qeera harus ikut, gak usah bersama Sus Rini lagi."
"Kemana?" Tanya Qeera karena memang anak itu selalu banyak tanya.
"Ke suatu tempat. Yasudah sekarang Qeera siap-siap ya." Ajeng membantu Qeera untuk bangun lalu mengajaknya sarapan lebih dulu didalam kamar setelah itu mandi.
Dilantai bawah ...
"Mas, mbak Ajeng kok belum turun juga?" Tanya Fiona yang sudah duduk di kursi untuk sarapan. Ia tak tau kalau Ajeng sudah bangun lebih dulu membuatkan sarapan untuk putrinya tapi tidak lagi untuk suaminya.
"Biar saja lah, nanti juga turun." Jawab Yudha duduk di sebelah Fiona.
"Gak boleh gitu lah Mas, dia istrimu juga." Ujar Fiona sambil mengambilkan roti tawar lalu diolesi selai coklat untuk Yudha.
Lalu terlihat Ajeng dan Qeera sedang menuruni tangga, juga satu koper yang dibawanya.
Yudha dan Fiona melihat ke arah ibu dan anak itu.
Seketika Yudha yang hendak memasukkan lagi rotinya kedalam mulut pun ia urungkan dan meletakkannya lagi diatas piring, lalu mendekat pada Istri dan anaknya.
"Kalian mau kemana?" Tanya Yudha heran sambil mengerutkan dahinya.
Tapi Ajeng tak menghiraukan pertanyaan Yudha dan tetap melanjutkan langkahnya.
"Apa ini yang disebut seorang istri yang baik. Ditanya pun tak mau menjawab." Ujar Yudha yang kini sudah berada dibelakangnya.
Ajeng berhenti dan mengambil napas berat, lalu menoleh kebelakang.
"Untuk apa aku disini jika hanya untuk merasakan penderitaan." Paparnya.
"Penderitaan apa? Kamu disini aku nafkahi, apapun yang kamu mau aku turuti. Bahkan hampir seluruh gajiku kamu yang pegang." Ujar Yudha.
"Percuma bicara sama yang tidak punya hati." Ajeng membalikkan badannya lagi hendak melangkah.
"Pikirkan anak kita," Yudha melangkah dan berdiri dihadapan Ajeng dan juga Qeera.
"Bunda, Ayah, jangan berantem," Ujar Qeera melihat keduanya. Karena anak sebesar itu bisa mengerti kalau orangtuanya sedang tidak baik-baik saja.
Ajeng menunduk lalu duduk mensejajarkan putrinya. "Tidak nak, Ayah sama Bunda cuma salah paham, sekarang Qeera sama sus Rini dulu ya?" Ucap Ajeng lalu memanggil pengasuh, menyuruh Qeera untuk dibawa keluar sebentar.
Setelah memastikan Qeera hilang dari pandangan, Ajeng memejamkan matanya, mencoba menetralkan perasaannya, bahwa ia harus bisa bangkit tanpa suami seperti Yudha.
"Kamu dan Qeera tidak boleh pergi dari sini." Tukas Yudha.
"Tapi keputusanku sudah bulat. Dan tolong jangan halangi aku," Ajeng hendak melangkah.
"Tidak, kalian akan tetap disini, aku tidak mau hidup Qeera kekurangan,"
"Setelah apa yang kamu lakukan, kamu baru memikirkannya? Ayah macam apa kamu ini." Ajeng menggelengkan kepalanya. "Dan kamu jangan khawatir, aku akan pastikan Qeera pun tidak akan merasa kekurangan meski tidak lagi bersama Ayahnya."
"Kalau kamu bersikuku tetap ingin pergi. Silakan kamu pergi, tapi jangan bawa Qeera,"
"Mas, dia itu anakku, aku gak mungkin meninggalkan dia," ucap Ajeng mendengus kesal, juga menahan sesak.
"Tapi dia juga anakku," bentak Yudha.
"Aku tak habis pikir apa yang ada dikepalamu saat ini. Kamu lelaki paling egois yang pernah aku temui. Sampai kapanpun aku tidak akan meninggalkan anakku,"
"Kalau itu mau mu, kamu tetap harus tinggal disini. Cobalah kalian saling kenal dulu, Fiona tak seburuk itu."
Fiona mendekat dan menyentuh pundak Ajeng. "Mbak,"
"Diam kamu." Bentak Ajeng sambil menepis tangan Fiona.
"Lihat. Fiona pun mau belajar menerima kamu." Tukas Yudha.
"Sebaik apa pun madu ku, dia tetap duri dalam kehidupanku, karena sampai kapanpun aku gak rela dimadu." Ucap Ajeng menatap tajam pada Yudha lalu melangkah cepat dan menabrak bahu Yudha hingga sedikit terhuyung.
Yudha mengejarnya keluar, terlihat Ajeng menggenggam tangan Qeera.
"Bunda kok nangis? Bunda, kita mau kemana? Bunda, aku gak mau pergi. Aku gak mau jauh dari Ayah." Pertanyaan demi pertanyaan Qeera lontarkan. Namun Ajeng tak menjawabnya. Ia terus melangkah dengan menenteng kopernya.
Yudha yang mendengar ucapan Qeera bahwa tak ingin jauh darinya, segera ia memanggil satpam untuk menghalangi kepergian mereka.
"Pak, pak Hendra, tolong jangan biarkan Ajeng dan Qeera pergi. Biarkan dia disini." Perintah Yudha pada satpam yang bekerja dirumahnya.
"Baik pak," Jawab Hendra lalu mendekat kearah Ajeng dan juga Qeera.
"Ayo bu,, kita masuk," ajak Hendra berdiri dihadapan keduanya.
"Tidak pak, saya ingin pergi, tolong jangan halangi saya,"
"Ini perintah pak Yudha, saya hanya menjalankan tugas." Hendra menunduk sopan.
"Bapak tau masalah kami? karena semalam bapak sempat masuk kerumah kan?" Tanya Ajeng
Hendra menganggukkan kepalanya.
"Lalu apa yang akan bapak lakukan jika diposisi saya?"
Hendra melihat iba pada Ajeng, ia pun menundukkan kepalanya kemudian menoleh pada Yudha.
"Jangan dengarkan dia, disini aku yang gaji kamu, bawa mereka kedalam kalau kamu tidak ingin saya pecat." Ujar Yudha.
"Maaf bu, ibu dengar sendiri Pak Yudha gimana, mari saya antar kedalam." Hendra mengangguk sopan.
"Bunda, Qeera gak mau pergi, Qeera inginnya sama Ayah juga." Qeera merengek sambil memeluk kaki sang bunda.
Lalu Qeera menangis sesenggukan, ia ingin tetap ada dirumah itu.
Ajeng yang melihatnya ia menyeka sudut matanya. Secinta itu Qeera pada Ayahnya, padahal Ayahnya lelaki tak tahu diri, hanya mementingkan syahwat, tidak memikirkan dampak dari semuanya.
Dengan terpaksa, Ajeng pun menuruti keinginan putrinya. Ia akan mencoba sabar dan perlahan membuat Qeera mau untuk ia ajak keluar dari rumah itu.
"Terimakasih Ajeng." Ucap Yudha ketika Ajeng melintas di hadapannya.
"Ini semua demi Qeera, kalau saja dia mau aku ajak pergi, pasti aku sudah pergi jauh dari rumah ini." Tukas Ajeng menatap Yudha dengan tatapan tajam.
Yudha tersenyum akhirnya ia bisa membuat Ajeng mau tinggal lagi bersamanya, meski bukan demi dirinya. Karena ia yakin kalau dirinya bisa berbuat adil pada Ajeng dan juga Fiona.
Selepas Yudha berangkat ke kantor. Ajeng memilih untuk tetap berdiam diri, tak melakukan aktifitas apapun. Biasanya ia memerintah sang asisten rumahtangga untuk keperluan makan malam bersama Yudha, juga membersihkan ruangan yang ia ingin bersihkan, karena meskipun ada ART disana, tapi Ajeng tak sepenuhnya menyerahkan semua pekerjaan padanya. Tapi ia kini sudah malas setelah masalah yang dia hadapi.
Ajeng memilih untuk duduk disofa yang ada ditaman bersama Qeera. Ya, di tengah rumah itu terdapat taman yang cukup untuk bersantai, juga ada sebuah kolam renang.
"Bunda, jangan nangis lagi," kata Qeera membuka percakapan, karena sang bunda diam saja dengan tatapan kosong. Ia lupa bahwa ada Qeera disampingnya.
Ajeng menoleh dan berusaha tersenyum didepan putrinya.
"Qeera minta maaf, udah bikin bunda sedih karena bunda gak jadi pergi." Desisnya menunduk lemah.
"Tidak sayang, bunda tidak apa-apa kok!" Jawabnya sambil tersenyum dan memegang pipi sang anak.
"Jam berapa ini? Sekarang sudah terlambat ya kalau pergi ke sekolah." Tukas Ajeng kembali.
"Meskipun masih ada waktu. Aku gak mau pergi ke sekolah Bun, besok pagi saja, boleh kan?"
"Iya sayang, boleh."
Mereka berpelukan dengan saling menunjukkan kasih sayang masing-masing. Dan disaat itu, Fiona mendekat ke arah mereka berdua.
"Tante boleh gabung?" Tanya Fiona yang sudah berdiri tak jauh dari mereka.
Ibu dan anak itu melerai pelukannya lalu menoleh ke arah sumber suara.
"Tante siapa?" Tanya Qeera bingung.
"Perkenalkan, Tante ...... "
"Sus, suster." Panggil Ajeng pada pengasuh putrinya. Sengaja memotong jawaban yang akan diucapkan Fiona. Ia tak mau anaknya tahu.
Pengasuh pun datang. "Iya bu," jawab Suster itu mengangguk sopan.
"Tolong bawa Qeera ke ruangan lain ya? ajak dia bermain apa saja yang dia mau." Titah Ajeng pada suster itu.
"Baik Bu," Suster itu pun mengajak Qeera untuk pergi bermain dengannya.
"Mau apa kamu?" Tanya Ajeng ketus setelah Qeera tidak lagi bersamanya dan tak menoleh pada Fiona sedikitpun.
"Mbak, aku kesini ingin bicara sama kamu. Aku ... ingin kita mengenal lebih dekat." Ujar Fiona lalu duduk di sisi Ajeng.
"Siapa yang suruh kamu duduk?" Tanya Ajeng kembali masih dengan kekesalannya. Tapi tatapannya tetap lurus kedepan.
"Kamu lupa? Ini juga rumahku sekarang." Jawab Fiona percaya diri.
"Oh ... maaf aku lupa, kamu pun istrinya Mas Yudha juga." Kata Ajeng mencoba tak terpancing.
"Lalu bagaimana tawaranku? Apa kita bisa kenal lebih dekat?"
"Untuk apa?" Jawab Ajeng yang memilih memainkan ponselnya, memamerkan barang yang akan dia jual di sosial medianya.
"Kita kan sama-sama istrinya Mas Yudha, jadi aku ingin kita seperti istri-istri yang lain, terlihat akur dan kemana-mana selalu bersama." Papar Fiona.
"Apa itu penting?" Tanga Ajeng tak sedikit pun melirik pada Fiona. Pandangannya tetap tertuju pada ponsel yang ia pegang.
"Penting! Karena ada kok, teman aku jadi istri kedua, tapi mereka terlihat akur dengan istri pertamanya."
Baru Ajeng menoleh menatap Fiona. "Sayangnya aku tak butuh itu." Cetus Ajeng.
"Kenapa? Aku yakin Mas Yudha bisa adil kok, aku pun tidak akan mengganggu kalian kalau Mas Yudha lagi bersama mbak Ajeng." Ujar Fiona masih dengan lembut.
"Berapa kali aku bilang, karena sampai kapanpun aku gak akan rela jika harus berbagi suami."
"Tapi semua sudah terjadi mbak, kamu harus menerima aku sebagai istrinya Mas Yudha juga." Ujar Fiona.
"Kalau begitu, aku yang akan mundur. Itu kan yang kamu mau?" Ajeng berdiri.
"Tidak mbak, aku bukan orang yang seperti itu."
"Atau kamu saja yang mundur, dan jangan pernah kembali lagi." Kata Ajeng, padahal dia tidak serius dengan ucapannya.
"Mbak pikir aku ini apa? Bisa datang dan pergi begitu saja," tukas Fiona sudah mulai kesal terhadap Ajeng.
"PELAKOR."
Mendengar kata itu, Fiona sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya. "Dengar ya, aku ini bukan pelakor." Bentak Fiona menatap tajam pada Ajeng.
"Ternyata keluar juga sifat aslimu." Ujar Ajeng tersenyum kecut.
"Aku tidak akan begini kalau kamu tidak memancingnya."
"Kalimat mana yang memancing? memang kenyataannya kan kamu itu pelakor." Ajeng menarik satu sudut bibirnya kesamping.
"Oke kalau itu mau mu," Fiona juga berdiri, lalu mengitari tubuh Ajeng sambil melihatnya dari atas lalu kebawah. "Aku ajak bicara baik-baik, tapi yang diajak bicara malah tak tau sopan santun, apa begini seorang istri yang baik untuk Mas Yudha, pantas dia memilih berpaling." Ujar Fiona menatap remeh pada Ajeng.
"Jangan salahkan aku jika bersikap menyebalkan. Dan kamu! Sekali pelakor ya tetap pelakor." Ucap Ajeng dengan emosi sambil menunjuk pada wajah Fiona.
"Kita lihat saja, siapa disini yang lebih di sayang Mas Yudha." Fiona tersenyum sambil menurunkan telunjuk Ajeng yang berada didepan wajahnya. Lalu hengkang dari hadapannya.
"Kamu salah telah berhadapan denganku Fiona. Karena aku pun rela jika harus berpisah dengan suamiku. Untuk apa aku mempertahankan lelaki seperti dirinya. Yang egois dan hanya mementingkan syahwatnya. Kita lihat saja nanti, siapa yang akan menyesal. Aku atau kamu!" Gumam Ajeng dengan tersenyum penuh keyakinan.
Siang menjelang. Ajeng akan mengantar pesanan pembeli dari sosial medianya. Ia pun keluar dari rumah dan hendak menaiki mobilnya.
"Maaf Bu, mau kemana?" Tanya Hendra mendekat dan mengangguk sopan.
"Biasa mau keluar." Ajeng yang hendak membuka pintu mobilnya, tangannya pun di cegah satpam itu.
"Maaf Bu, Bapak berpesan supaya ibu tidak boleh lagi keluar sendirian. Untuk sementara biar saya yang antar, tapi nanti akan ada sopir baru untuk mengantar ibu kemanapun." Papar Hendra yang tatapannya terlihat iba pada majikannya.
"Dengar ya Pak, saya tidak peduli dengan dia lagi, mau saya kemanapun itu hak saya, dan ini juga mobil saya." Ajeng sangat kesal dengan peraturan baru suaminya.
Ya, memang itu mobilnya, hadiah dari Yudha untuknya, di anniversary pertama mereka.
"Maaf Bu, tapi saya ... "
"Hanya menjalankan tugas, karena takut di pecat? Tenang saja, aku akan meminta supaya kamu tidak di pecat dari sini, karena aku yakin Mas Yudha tidak serius dengan ucapannya, lagipula cari satpam yang benar-benar jujur itu sekarang susah." Ujar Ajeng memberikan keyakinan bahwa Hendra tak akan di pecat dari sana.
"Baiklah, tapi kalau bapak marah pada saya, ibu yang bertanggung jawab ya." Akhirnya Hendra pasrah dan percaya pada majikan perempuannya.
"Kalau soal itu, kamu tenang saja." Ajeng segera menaiki mobilnya, tak mau berlama-lama lagi, takut pembeli menunggu lama.
Fiona melihatnya dari kejauhan, lalu berniat mengadu pada Yudha, bahwa Ajeng tidak menuruti semua perintahnya. Dan tak lupa ia memotretnya dengan kepergian Ajeng bila di minta bukti oleh suaminya.
Qeera pun akhirnya mencari ibundanya. karena belum juga menemuinya.
"Tante, bunda mana?" Tanya Qeera yang sudah berdiri dibelakang Fiona. Pengasuhnya ijin ke toilet, sehingga tak tahu jika Qeera sudah keluar dari ruangan bermainnya.
"Bundamu pergi keluar." Jawab Fiona manis.
"Tante siapa sih? Kenapa ada disini?"
"Tante ... perkenalkan! Tante istri ayahmu juga." Fiona duduk, mensejajarkan tinggi Qeera.
"Istri ayah kan cuma bunda."
"Iya, tapi sekarang istri ayah ada dua, selain bunda yaitu aku yang ada dihadapanmu juga."
Fiona tersenyum menatap anak itu.
"Terus tante namanya siapa?"
"Namaku Fiona. Nggak apa-apa kok panggil bunda juga, sekarang kan bunda Qeera ada dua."
"Emang boleh ya kalau punya bunda dua? Karena semua temanku hanya punya bunda satu. Gak ada yang punya bunda dua" Ujar Qeera yang memang masih polos dan lugu.
"Boleh, buktinya bunda Ajeng dan bunda Fiona." Sengaja Fiona seperti itu, berharap Qeera bisa dekat juga dengannya. Dan memudahkannya untuk menyingkirkan Ajeng dari hadapan Yudha.
"Tapi aku gak mau punya bunda dua." Qeera berteriak sambil berlari, lalu menuju kamar sang bunda, kemudian menangis tersedu disana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!