Sayup ku dengar suara adzan shubuh sudah berkumandang. Palang merah sejak semalam tak membuat ku harus kembali terlelap melanjutkan mimpi. Ada banyak hal yang harus Aku selesaikan sejak membuka mata hingga terlelap malam nanti.
Lelah?, letih?. Rasanya kalimat itu amat sangat tak layak terbersit dalam benak sekalipun saat melihat pria yang menjadi cinta pertama Ku sudah bersiap dengan baju koko kesayangan nya lengkap dengan kopiah yang mulai tampak usang yang bertengger manis di kepala pria yang masih terlihat amat sangat tampan di usia nya yang masih jauh dari kata paruh baya.
"Assalamu'alaikum Ayah" Salam sapa ku di balas dengan senyuman tulus Ayah sang pemilik cinta pertama Ku.
Pria yang selalu ada untuk Ku sejak Aku di lahirkan dan kemudian di tinggalkan oleh Ibu ku sendiri demi pria yang jauh lebih kaya dari Ayah Ku.
"Waalaikumsalam Neng. Langsung mandi tidak usah buat sarapan Ayah mau beli nasi uduk Mbah Mun aja nanti". Aku mengangguk lalu segera beranjak menuju kamar mandi yang berada di ujung rumah petak yang Kami tempati setelah mencium punggung tangan kanan Ayah sebelum beliau berangkat ke musholla yang berada tak jauh dari tempat tinggal Kami.
Menjelang pukul enam, Ayah kembali kerumah dengan membawa sebungkus kantong plastik berisikan dua bungkus nasi dan beberapa gorengan pelengkap nya.
Segelas teh manis jambu hangat pun sudah Aku siapkan guna menjadi pelepas dahaga Kami saat menikmati sarapan Kami.
Ayah adalah segalanya buatku. Dia tak pernah mengeluh tentang hidup nya bahkan hingga saat ini, beliau lebih memilih mengurus ku dibandingkan mencari pendamping pengganti ibuku.
Karena itulah demi menjaga diri, sejak SMP Aku pun merubah penampilan ku dengan mengenakan kacamata tebal hingga menutupi kecantikan yang di warisan Ayah dan Ibu ku.
Ya banyak yang bilang Aku memiliki paras yang cantik, namun hal itu justru membuat Aku takut sendiri dengan kecantikan yang Aku miliki, walaupun Ayah selalu meminta Aku untuk berpenampilan apa ada nya tanpa harus menutupi kecantikan ku.
Tapi Aku justru sudah merasa nyaman dengan penampilan seperti ini, tak dianggap oleh para pria membuatku merasa aman dan nyaman karena tidak ada seorang pria pun yang tertarik kepada ku karena penampilan ku yang bisa di bilang jelek.
"Awas nanti malah jadi pakai kaca minus beneran Neng, karena keseringan pakai kacamata" Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Ayah, namun apalah daya Aku sudah sangat nyaman dengan kacamata tebal yang sudah menemani hari ku selama lima tahun ini.
"Lagi juga Neng mah aneh, punya wajah cantik kok malah di bikin jelek" Ucap Ayah sambil menggelengkan kepala nya dan kemudian mengenakan helm hijau yang selalaras dengan jaket yang selalu menemani hari nya selama di jalan mengangkut penumpang.
"Kalau penampilan Neng gini, gimana Ayah mau dapat menantu coba" Ujar Ayah kembali meledekku yang tengah mengenakan helm untuk penumpang ojek online nya.
"Tenang aja Ayah, InsyaAllah Allah sudah menyiapkan Neng jodoh yang seperti Ayah. Penyabar, penyayang dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Aamiin" Ujarku membalas ucapan Ayah dan membuat Ayah mencembikkan bibir nya.
"Kalau kaya gitu mah, jodoh Neng pasti usia nya lebih tua bukan yang sepantaran Neng atuh" Gerutu Ayah yang mulai melajukan motor nya dengan Aku yang sudah duduk manis di belakang Ayah Ku.
"Nggak apa-apa Yah kalau usia nya lebih tua dari Neng, yang penting dapat restu dari Ayah" Ayah terkekeh pelan mendengar ucapan Ku.
"Ya asal jangan jodoh nya Kamu itu Ki Asep, InsyaAllah Ayah setuju kalah jodoh Neng itu usia nya jauh lebih tua dari Neng". Sontak ucapan Ayah membuat ku dan Ayah tertawa selama di perjalanan.
"Kalau sempat nanti Ayah jemput ya Neng" Ucap Ayah saat Aku mencium punggung tangan kanan nya ketika tiba di gerbang sekolah.
"Nggak usah di jemput di sekolah ya Ayah. Soal nya sepulang sekolah nanti Neng ada kerja kelompok di Cafe Pelangi. InsyaAllah selesai jam empat sore." Ujar ku memberitahu Ayah.
"Jadi nanti Ayah langsung jemput disana saja ya?". Aku mengangguki ucapan Ayah.
"Buat tambahan uang jajan Neng" Aku tersentak ketika Ayah menyodorkan selembar uang kertas lima puluh ribu kepada Ku, padahal tadi di rumah Ayah sudah memberikan uang jajan Ku untuk hari ini.
"Nggak usah Ayah, buat pegangan Ayah saja. Tadikan Ayah udah kasih uang buat jajan Neng" Ujarku menolak pemberian Ayah.
"Takut kurang, Neng kan mau kerja kelompok di Cafe" Ujar Ayah memaksa.
"InsyaAllah cukup kok uang jajan yang Ayah kasih ke Neng tadi. Jadi uang nya di simpan aja buat pegangan Ayah" Ucap Ku kembali menolak uang yang Ayah berikan.
Terdengar helaan nafas pelan Ayah seraya memasukkan kembali uang tersebut kedalam saku jaket ojol nya.
" Ya sudah. Jangan lupa sholat ya Neng. Ayah berangkat dulu ya" Aku menganggukkan kepala ku dan kembali mencium punggung tangan kanan nya yang di balas Ayah dengan mengusap lembut pucuk kepala ku lalu menyalakan motor matic hitam kesayangan Ayah.
"Assalamu'alaikum" Ucap Ayah sebelum melajukan motor yang menjadi sahabat nya dalam mencari nafkah bagi Kami.
"Waalaikumsalam" Aku membalas salam Ayah pada saat motor mulai melaju meninggalkan Aku yang masih setia menatap punggung Ayah hingga tak tampak lagi karena terhalang laju kendaraan lain nya.
Aku pun bergegas memasuki sekolah yang mulai tampak ramai oleh beberapa siswa dan siswi yang membawa kendaraan.
Sahut menyahut bunyi klakson kendaraan saling menyapa sepanjang jalan yang Aku lalui hingga sebuah teriakan yang setiap pagi selalu kudengar itu pun kembali hinggap di pendengaran Ku.
"Hei culun"
Aku hanya bisa menghela nafas pelan ketika panggilan itu kini terdengar nyaring di telinga kananku dan langsung ku acuhkan seperti setiap hari nya.
"Widih jelek aja sombong apalagi cakep Lo!" Hardik si pemilik suara kembali yang lagi-lagi ku acuhkan dan semakin mempercepat laju langkah ku menuju kelas ku.
Seolah tak puas dengan segala ucapan dan hardikan nya sendiri si pemilik suara itu kini berdiri di hadapanku.
Tampan, ya harus Aku akui si pemilik suara yang suka sekali menghardikku itu memang memiliki wajah yang tampan, tinggi dan pasti nya label cowok terfavorit menjadi gelar nya di sekolah kami.
Aku mendongakkan kepala ku guna menatap cowok yang memiliki selisih tinggi dengan ku sepuluh centi meter dengan tatapan malas tak berminat.
Ya Aku memang memiliki tubuh yang cukup tinggi yaitu 168 cm dengan tubuh sedikit berisi namun sengaja kututupi dengan selalu memakai pakaian yang lebih besar agar tidak terlihat menggoda.
"Kenapa Lo liatin Gue kaya gitu. Naksir Lo sama Gue?" Ucapan di sertai tawa nya dan beberapa teman nya itu kubalas dengan berdecak kecil seraya menyunggingkan senyuman tipis mengejek kearah nya yang memang harus ku akui amat sangat tampan, namun sayang nya semua itu tak menarik perhatian ku.
"Harus nya pertanyaan itu Saya yang ajukan bukan Kamu!" Sentakku hingga membuat nya menatapku heran.
"Setiap hari, tidak setiap Kamu melihat Saya ada saja ucapan yang selalu Kamu ucapkan, walaupun ucapan itu menyakitkan, tapi seperti nya Saya berhasil menarik perhatian Kamu bukan?. Sampai-sampai Kamu selalu menyempatkan diri menghampiri Saya untuk sekedar menghina Saya!" Ucapku yang membuat nya langsung terdiam dan menatapku dengan tatapan tak percaya.
"Ngimpi!" Ucap nya yang Aku balas dengan senyuman kecil ketika dia berjalan meninggalkan ku bersama dengan para pasukan nya memasuki kelas, yang sayang nya kelas itu sama dengan kelas ku.
Jam sudah menunjukkan angka pukul 6 pagi, namun masih belum juga tampak barang hidung Rey adik semata wayang Ku.
Bunda sudah berkali-kali mengetuk pintu kamar Rey, namun remaja itu masih belum juga keluar dari kamar nya.
Bahkan sahutan panggilan Bunda pun tak dijawab nya.
"Kebiasaan udah kaya Kebo saja anak itu!" Aku menggerutu seraya berjalan menuju kamar nya.
Bruk
Bruk
Bruk
"Rey bangun!" Teriak Ku sambil terus menerus mengetuk pintu kamar nya, dan lagi-lagi tak terdengar balasan dari dalam kamar adikku.
Aku mendengus dengan kesal. Bukan ketukan lagi yang kuberikan di pintu nya namun gedoran pintu hingga pintu itu pun nyaris terdobrak kalau saja sang empu nya kamar tidak membuka pintu kamar nya.
"Sabar Bang, nggak usah dorong dorong pintu juga, kalau rusak pintu nya gimana Bang"
Wajah bantal lengkap dengan penampilan berantakan khas bangun tidur menghiasi penampilan adik ku ketika membuka pintu.
WaTaDos yang di tampilkan nya membuat telunjuk tangan kanan ku menoyor dengan kesal kening adik yang sial nya paling Aku dan Bunda sayang.
"Biar aja rusak kalau perlu Abang bongkar tuh pintu kamar biar di ganti sama hordeng aja, supaya kalau Bunda bangunin Kamu langsung di siram air nggak usah ketuk apalagi gedor pintu!" Ucapku kesal sambil berkecak pinggang membuat cengiran di wajah Rey berubah menjadi ketakutan.
"Jangan ngelunjak Kamu. Udah siang nih. Mana nggak sholat shubuh mau jadi apa Kamu hah?" Sentakku yang di balas cengiran khas Rey.
"Iya Bang Iya. Ini Rey juga mau mandi lalu sholat" Aku kembali menoyor kening si bungsu namun kembali hanya cengiran yang di balas nya.
"Udah siang. Mau sholat shubuh atau sholat dhuha hah?"
"Abang nggak mau tau, kalau besok Kamu masih kaya gini juga. Abang tarik motor Kamu dan Abang akan tarik semua fasilitas Kamu termasuk Abang pangkas 3/4 persen uang jajan Kamu!" Ancam Aku hingga membuat Rey menggelengkan kepala lengkap dengan tatapan memohon nya.
"Jangan Bang, Iya Rey janji besok nggak gini lagi. Mulai hari ini Rey bakal jadi anak rajin yang sholeh walaupun Rey bukan anak Pak Sholeh"
Pletak
Rey meringis kecil ketika ucapan nya selesai langsung ku sentil kening.
"Buruan mandi!" Titahku yang langsung membuat nya bergerak berlari menuju kamar mandi yang berada di dekat dapur.
"Astaghfirullah Rey. Ish jorok Kamu mah!" Terdengar teriakan Bunda ketika alarm si bungsu terdengar sepanjang pelarian nya menuju kamar mandi.
"Maaf Bunda, kebelet!" Aku kembali menggelengkan kepala melihat ulah Rey yang memancing teriakan Bunda yang tengah merapikan sarapan Kami.
"Biar Abang yang bawakan Bun"
Bergegas Aku pun membawakan dua buah piring berisikan nasi goreng yang sudah selesai Bunda buat, sementara Bunda membawa sebuah piring berisikan nasi goreng lain nya.
"Bang" Bunda memanggil pelan sambil mendudukkan tubuh nya di kursi makan.
"Iya Bunda" Aku membalas panggilan Bunda.
Terlihat keraguan di wajah Bunda, seperti hendak mengucapkan sesuatu namun takut membuatku tersinggung atau marah.
"Ada yang mau Bunda tanyakan?" Tanyaku melembutkan ucapan.
Bunda menghela nafas pelan lalu melihat ku dengan tatapan penuh kelembutan.
"Kapan Kita ke rumah Aisyah?"
Deg
Pertanyaan Bunda membuatku tersentak. Aisyah. Sebuah nama yang selama hampir dua tahun ini selalu Bunda sisipkan ketika Aku pulang menjenguk Bunda dan Adik ku.
Aku mendudukkan diri di lantai sebelah kanan Bunda. Dengan pelan Aku mengusap lembut tangannya yang mulai terlihat keriput di makan usia.
"Abang dan Aisyah nggak ada hubungan apa-apa Bunda. Jadi Kita nggak akan pernah pergi ke rumah Aisyah"
Terdengar helaan nafas Bunda pelan, dan meminta ku untuk bangun dan duduk di kursi yang berada di disamping nya.
Aku pun mendudukkan tubuh di kursi yang berada di samping kanan Bunda.
"Lho bukan nya Abang dekat dengan Aisyah?" Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Bunda.
"Kak Aisyah itu hampir dua atau tiga kali seminggu datang ke rumah Bang. Maka nya Kami pikir Abang mempunyai hubungan istimewa dengan Kak Aisyah"
Ucap Rey yang sudah rapi mengenakan seragam nya. Seperti nya anak ini hanya mandi cowboy yang hanya mencuci muka dan gigi nya saja karena ruangan yang tadi nya harum masakan Bunda kini berubah dengan bau parfum yang menyengat.
"Jorok banget Kamu Rey. Nggak mandi!" Kembali Aku menoyor kening Rey yang lagi-lagi hanya bisa nyenggir dan menikmati sarapan.
"Mandi Bang tapi express" Bunda terlihat menggelengkan kepala nya mendengar jawaban Rey.
"Bener Abang nggak ada hubungan sama Kak Aisyah?" Tanya Rey di sela menikmati sarapan nya.
" Nggak. Abang juga nggak pernah temuin Dia kalau Dia ke Cafe. Biar nanti Abang ngomong sama Aisyah supaya nggak kerumah lagi agar Kamu dan juga Bunda nggak salah paham dengan hubungan Abang dan Aisyah". Rey dan Bunda menganggukan kepala mereka pertanda menyetujui ucapan Ku.
"Oh iya Bang. Nanti Rey sama temen-temen mau mampir ke Cafe ya ada tugas kelompok" Aku hanya menganggukan kepala sambil mengenakan helm setelah pamit dengan Bunda untuk ke Cafe.
"Diskonan nya jangan lupa ya Bang" Aku berdecak kesal mendengar ucapan Rey yang terbawa angin ketika setelah pamit dan mencium punggung tanganku Dia melajukan motor sport nya meninggalkan halaman rumah.
Aku pun bergegas menaiki motor matic kesayangan ku menuju Cafe milik ku yang ada tidak jauh dari sekolah Rey.
Sesuai dengan apa yang Rey ucapkan saat akan berangkat sekolah. Tepat pukul satu siang Rey dan beberapa teman nya datang ke Cafe.
Terdengar suara Rey seperti sedang mengejek seseorang, membuat ku beranjak dari dapur untuk menghampiri Rey yang tengah berdiri tak jauh dari meja yang berisikan beberapa remaja perempuan yang terlihat merasa terganggu dengan sikap Rey kepada salah seorang rekan mereka.
"Ada apa ini?" Tanya ku saat melihat seorang remaja perempuan berdiri menantang di hadapan Rey.
Sontak Rey terkejut melihat ku yang sudah berada di hadapan nya. Beberapa teman Rey yang mengenalku menganggukan kepala nya menandakan memberi salam dan kuacuhkan hal itu, karena apa yang kulihat saat ini lebih menarik bagiku.
"Nggak ada apa-apa Bang. Cuma lagi ngobrol aja" Ujar Rey dengan nada ketakutan.
"Pala Lo ngobrol!" Rey mendelik ketika dengan tanpa permisi telunjuk kanan remaja putri yang berdiri di hadapan Rey menoyor kening Rey dengan cukup kencang.
"Eh yang sopan Lo sama Gue!" Bentak Rey tak terima.
"Eh Elo yang sopan sama temen Gue!" Bentak gadis itu tak mau kalah. Bahkan kini kedua nya sudah saling menantang dengan saling berkecak pinggang.
"Udah Meta, malu di liatin orang" Aku mengalihkan perhatian ku kearah suara yang sangat lembut melintas di telingaku.
Seorang gadis berkacamata tebal sedang berdiri di samping gadis yang tengah menantang Rey menarik narik ujung tas si gadis penantang Rey.
Aku menyunggingkan senyuman ketika gadis berkacamata itu melihat kearah ku sebelum akhir nya Dia menundukkan kepala nya ketika tatapan kami bertemu sesaat.
Julian memperhatikan Aghnia dengan seksama. Seulas senyuman di berikan Julian kepada Aghnia ketika secara sembunyi-sembunyi gadis berkacamata itu melirik nya dari bahu Meta.
Julian bahkan tak menghiraukan keributan yang dibuat oleh Rey dan Meta yang semakin menjadi.
Aghni yang merasa di perhatikan oleh Julian dengan seksama itu pun akhirnya semakin menarik ujung tas Meta seraya berbisik untuk menyudahi pertengkaran nya dengan Rey.
"Apaan sih Nia!. Nih manusia kalau nggak di labrak nggak bakal kapok!" Sentak Meta yang membuat Aghnia terjengkit terkejut karena terimbas amarah Meta.
"Ini peringatan terakhir buat Lo ya Kak Rey. Gue tau umur Lo lebih tua dari kita kita secara Lo tuh murid abadi di sekolah. Tapi Gue nggak takut karena Lo udah keterlaluan selalu menghina Aghnia padahal Dia nggak pernah ngusik hidup Lo!" Cecaran Meta membuat Julian mengalihkan pandangan nya kearah Rey yang memasang wajah pura-pura tak tahu kepada Julian.
"Ehm"
Dehaman Julian membuat Meta menghentikan omelan nya lalu menatap tajam kepada Julian yang dehaman nya mengganggu omelan nya kepada Rey.
Setelah melihat wajah Julian yang tampan membuat amarah Meta langsung menghilang.
Rey dan kawan kawan nya bahkan menatap tak percaya kepada Meta yang langsung merubah wajah galak nya menjadi wajah manis.
Dan hal itu membuat Julian melemparkan senyuman nya kepada Meta hingga membuat gadis itu salah tingkah.
"Eh maaf Om" Rey mencembik kesal mendengar suara Meta yang di buat selembut mungkin kepada Julian.
Aghnia dan teman-teman Meta yang tengah kerja kelompok itu pun menggelengkan kepala nya melihat tingkah Meta yang garang langsung berubah manis ketika melihat Julian.
"Saya mohon maaf sudah ketenangan Om menikmati makan siang di Cafe ini" Ucapan Meta membuat Rey memasang wajah ingin muntah kepada Meta yang langsung di balas Meta dengan tatapan tajam nya kepada Rey.
"Justru Saya yang harus minta maaf karena ulah adik Saya yang mengganggu teman Kamu" Ucap Julian lembut dengan suara bariton nya yang membuat Meta semakin salah tingkah.
Kedua bola mata Meta membulat ketika menyadari ucapan Julian yang mengatakan kalau Rey adalah adik nya yang berarti pria dewasa nan tampan dan bersuara khas pria dewasa itu adalah pemilik Cafe yang tengah mereka singgahi untuk belajar kelompok hari ini.
"Maaf Kak, Kami nggak tau kalau Kakak itu kakak nya Kak Rey" Ucap Meta selembut mungkin bahkan gadis itu langsung merubah panggilan Om menjadi Kakak kepada Julian, dan hal itu pun membuat Rey memasang kembali wajah penuh kemenangan karena Julian mengakui nya sebagai adik nya.
"Jadi Rey selalu menghina teman Kamu?" Wajah sumringah Rey langsung berubah muram ketika Julian melontarkan pertanyaan yang di angguki Meta dengan cepat dan penuh semangat.
"Iya Kak. Kak Rey itu selalu menghina Aghnia" Balas ucap Meta yang kembali menatap tajam Rey.
"Aghnia?" Meta mengangguk lalu menarik tubuh Aghnia yang masih setia berdiri di belakang Meta.
Aghnia menolak ketika Meta memaksa berdiri disamping nya dan berhadapan dengan Julian yang kini bisa melihat dengan jelas Aghnia.
"Ini Aghnia Kak, Kak Rey selalu saja mengganggu nya. Mengatai nya cupu juga jelek" Ujar Meta seraya menatap tajam Rey yang juga tengah menatapnya dengan tajam.
Julian kembali menyunggingkan senyuman kepada Aghnia ketika mereka bertemu pandang.
"Maafkan sikap juga tingkah laku Rey kepada Kamu selama ini." Aghnia menganggukan kepala nya pelan tak berani bertatapan dengan Julian yang masih terus menatap Aghnia.
Entah mengapa ketika pertama kali melihat Aghnia, Julian seperti terlempar kembali ke masa di saat Dia berusia 14 tahun saat berlibur ke kampung halaman sang Bunda.
Disana dia bertemu dengan seorang gadis kecil berusia 3 tahun yang tiba-tiba memberikannya pelukan ketika dia tengah duduk termenung meratapi nasib nya setelah melihat sang Bunda menangis menceritakan kehidupan nya bersama sang Ayah kepada Kedua orang tua nya.
Flash Back Julian
"Aa apa?" Pertanyaan itu justru membuatku menangis. Usapan dari tangan mungil nya di pipi ku semakin membuat tangisan ku menjadi.
"Aa nda oye angis" Kali ini usapan tangan mungil itu menghapus air mata ku.
"Anji ndak angin agi" Aku mengangguk menjawab pertanyaan gadis kecil yang sepertinya berusia tak jauh beda dengan adik ku Rey.
Cantik. Ya gadis kecil itu sangat cantik. Memiliki kulit putih bersih dengan kedua bola mata bulat berwarna coklat nan indah hingga membuat siapapun yang menatap nya merasakan keteduhan dan kenyamanan.
Rambut sedikit ikal dengan warna sedikit kecoklatan membuat kecantikan nya semakin terlihat.
"Astaghfirullahalazim" Aku bergumam ketika merasakan ada yang berbeda dengan perasaan ku ketika berhadapan dengan gadis kecil yang kini tengah duduk di pangkuan ku.
"Aa Ia au ecim" Aku tersentak ketika gadis kecil itu merengek sambil menunjuk kearah sebuah warung yang berada tak jauh dari tempat ku berteduh meratapi nasib.
"Siapa nama Kamu?" Tanya ku mengusap lembut surai gadis kecil yang kini sedang ku gendong setelah memberikan nya sebuah es krim corn coklat.
"Ia." Jawab nya sambil menikmati es krim yang ku belikan dalam perjalanan pulang menuju rumah gadis kecil itu.
"Nama kakak Julian" Aku memberitahukan namaku kepada gadis kecil itu namun seperti nya gadis yang belum pandai bicara itu hanya bisa memanggil nama belakang ku saja.
"Aa Ian au" Aku menggeleng ketika tangan kecil nya menyodorkan es krim yang tengah di nikmati nya.
"Buat Ia aja" Tolak ku.
"Neng" Tiba-tiba seorang pria ingin merebut gadis kecil dari gendongan ku dan ku tahan bahkan membuat kami saling tarik menarik tubuh kecil Ia.
"Ayah" Aku pun segera melepaskan gendongan ku kepada Ia dan menyerahkan gadis kecil itu kepada pria yang di panggil Ayah oleh Ia.
"Astaghfirullah Neng. Neng dari mana Ayah sama Ambu nyariin Neng" Ucap Ayah Ia khawatir.
"Aa Ian beyi ecim uat Ia Yah" Ayah Ia menciumi pipi gembul putri cantik nya itu dengan gemas lalu melihat kearah ku yang tengah malu karena tadi menahan nya untuk tak mengambil Ia.
"Maaf ya Aa. Neng pasti maksa Aa buat belikan Es krim" Ucap Ayah Ia lalu menyerahkan selembar uang pengganti es krim yang Aku belikan buat Ia.
"Oh tidak usah Pak. Saya ikhlas kok" Tolak Ku setika Ayah Ia menyodorkan uang kepada Ku.
"Alhamdulillah, terima kasih ya Aa. Neng udah bilang makasih ke Aa?" Ayah Ia menggantung ucapan nya.
"Ian Pak. Panggil saja Saya Ian" Ucap Ku.
"Udah bilang makasih sama Aa Ian?" Ia mengangguk masih terus menikmati es krim dalam gendongan Ayah nya.
"Saya baru lihat Kamu di sekitar sini" Tanya Ayah Ia dalam perjalanan.
"Saya dan Ibu juga adik sedang berlibur kerumah Nenek Pak" Jawab Ku yang di angguki oleh Ayah Ia yang bernama Andi.
"Oh Kamu anak nya Teh Laras?. Cucu nya Abah Dayat?" Aku mengangguki pertanyaan Pak Andi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!