Happy reading!😊😘
.
.
.
***
"Apa aku anak pungutmu? Bagaimana mungkin kau menjualku dengan harga serendah itu?"
"Hanya dia yang bisa menyelamatkan hidup kita, Sara!"
"Aku tidak ingin menikah, Peter!"
Sara O'connor, seorang perempuan berusia 25 tahun dipaksa ayahnya untuk menikahi seorang pria kaya yang mampu membayar semua hutang milik keluarganya.
"Semuanya akan terjadi!"
"Tidak! Aku tidak mau!"
Dengan air mata yang terus mengalir, Sara mencoba melepaskan ikatan di tangannya. Meronta-ronta di atas kursi yang dijadikan tempatnya ditahan. Karena jika Peter tidak melakukannya, sudah dipastikan Sara akan kabur dan menyelam di dasar laut atau mendaki puncak tertinggi di dunia bersama teman-temannya.
"Kau akan menikahinya, Sara."
"Kau bukan papaku lagi, Peter! Kau pria brengsekk! Aku tidak akan pernah menikah!"
Peter terkekeh mendengar umpatan kasar anak perempuannya.
"Tom, berikan penenang padanya! Malam nanti, dia akan menjadi pengantin yang sangat cantik!"
Tom, asisten ayahnya mengangguk. Mendekati Sara dengan sebuah suntikan penenang yang dimaksud.
"Lakukan!"
Saat Tom mendekat, Sara meludahinya.
"Pergi kau ke neraka, sialan! Aku akan membunuhmu!"
Tetapi, tenaga Sara yang diredam tali itu tidak seberapa. Sekuat apapun dia meronta dan sekencang apapun dia menendang, tetap tenaga pria yang bebas itu lebih besar.
"Aku akan membunuhmu...."
Saat cairan penenang itu larut di dalam tubuhnya, Sara tertidur di atas kursi besi itu.
*****
"Apa yang kau lakukan padaku? Lepaskan aku!"
"Saya ditugaskan Tuan Peter untuk mendandani Anda, Nona!"
"Pergi! Pergi dari sini! Aku tidak mau!"
"Tap--"
"Pergiii!"
Karena ketakutan, wanita yang disuruh Peter itu keluar dari kamar Sara.
"Kau brengseekk, Peter! Sialan!"
Sara melemparkan semua benda yang ada di kamarnya, menengadah ke langit-langit kamarnya untuk menahan air mata yang terus mengalir.
"Aku pastikan hidupmu akan berakhir di neraka!"
"Aku membencimu!"
Peter masuk tanpa diketahui Sara dan melihat kamar itu bak tempat sampah. Pecahan kaca dari botol-botol parfum milik Sara berserakan di lantai. Semua peralatan make-up berjejer tidak beraturan.
"Apa kau binatang, Sara? Kamarmu seperti kandang hewan!"
Sara menatap nyalang pada Peter. "Pergi kau sialan! Jangan masuk ke kamarku! Kau binatang menjijikkan!"
Peter berdecak, menghindari pecahan kaca di lantai itu dan mendekat.
"Kau akan menikah nanti malam, Sara. Berhenti bersikap layaknya anak kecil!"
"Kau binatang, Peter! Andai mama masih ada, kau pasti akan dibunuh!"
"Jangan pernah menyebutnya lagi, Sara!"
"Kenapa? Apa kau juga akan membunuhku seperti yang kau lakukan pada mama?"
Sara mendekat dengan serpihan beling di tangannya. Dia mengacungkannya ke arah Peter.
"Bunuh! Bunuh aku! Dan aku akan bersama mama di Surga!"
Peter marah, dia menampar Sara.
"Aku lebih baik dibunuh daripada menikah dengan pria kejam sepertimu, Peter! Dia pasti akan sepertimu!"
"Tom! Ikat dia!"
Yang dipanggil datang. Masuk dengan beberapa bodyguard yang bertubuh besar.
"Jangan mendekat! Aku akan membunuhmu!"
Tetapi, pria bertubuh besar itu tetap maju.
"Pergi, sialan!"
"Jangan berontak, Sara! Kau akan menjadi pengantin Tuan Maxwell malam ini!"
"Tidak akan terjadi jika aku melakukan ini!"
Kemudian, Sara mengacungkan tangan yang masih memegang beling itu di lehernya. Saat bodyguard itu mendekat, semakin Sara menekan beling itu sehingga darah keluar dari sana.
"Hentikan, Sara!"
"Tidak! Lebih baik aku mati, Peter!"
"Tom!"
"Ya, Tuan?"
"Lakukan sesuatu!"
Mendapat perintah darurat seperti itu, Tom dengan lihai membuka jasnya dan berlari secepat kilat ke arah Sara. Dia merampas beling itu dan memegang tangan Sara.
"Ikat dia!"
Para bodyguard itu melaksanakannya.
"Berikan lagi penenang itu dan bawa dia ke tempat Orpa!"
*****
"Bagaimana persiapannya?"
"Sudah 80% hampir selesai, Señor."
"Bagus, bawa aku ke salon!"
"Baik, Señor."
Max berdiri dari kursi kebesarannya, merapikan jasnya yang sempat kusut dan melangkah keluar diikuti Alex. Masih sore, tetapi dia harus merapikan dirinya untuk nanti malam. Malam yang mengharuskannya mengganti statusnya.
"Wanita itu?"
"Dia digiring ke tempat kecantikan, Señor."
Max terkekeh. Dia tahu Sara bukan perempuan yang gampang dibentuk. Karena itulah, dia menerima penawaran dari Peter. Menggantikan semua kerugiannya.
"Dia masih memberontak?"
"Anda mengetahuinya, Señor."
Alex menekan tombol lift, menunggu sampai terbuka lalu keduanya turun.
"Dia manis." Max terdiam saat menyadari ucapannya. Mata birunya kembali meredup.
"Kau belum menemukannya, Alex?"
"Maafkan saya, Señor."
Max menghembuskan napas berat. "Dia pandai bersembunyi. Entah bagaimana reaksinya saat tahu aku telah menikah."
*****
Sara masih terlelap dalam ketenangannya saat Orpa mengarahkan seluruh pekerja untuk melakukan pekerjaan mereka dengan cepat tetapi rapi.
"Kau mengetahui sifatnya saat dia terbangun, Casey!"
"Aku sedang berusaha."
"Teruslah berhati-hati. Tuan Peter akan membunuh kita jika waktu yang diberikannya telah selesai."
"Aku mengerti."
Melakukan perawatan seluruh tubuh pada perempuan yang sedang tidur itu sedikit merepotkan. Pasalnya, sedikit gerakan dari Sara membuat mereka berhenti. Demikian juga dengan luka di lehernya, mereka diharuskan memuluskan kulit tubuh Sara.
"Bagaimana dengan luka ini, Orpa?"
"Kita lakukan yang terbaik."
Hampir habis waktu yang ditentukan, tetapi seluruh riasan Sara bahkan masih berantakan.
"Bagaimana ini?"
"Tetap hati-hati! Jangan gegabah!"
"Tinggal beberapa menit lagi, Orpa!"
"Aku tahu, karena itu tetap tenang. Jangan pedulikan waktu!"
"Tuan Peter akan marah!"
"Dia akan mati!"
"A-apa?"
"Tidak, lanjutkan pekerjaanmu!"
Tak lama setelah itu, pintu diketuk dan masuklah Peter beserta rombongannya.
"Maaf, Tuan. Sebentar lagi selesai."
"Apa kau tidak bisa melakukan perawatan, Orpa?"
"Maaf, Tuan. Keadaan seperti ini sedikit sulit."
"Aku membayarmu!"
Sementara itu, para pekerja itu terus melanjutkan pekerjaan mereka hingga mata Sara perlahan terbuka. Dia kembali meronta dalam ikatannya.
"Aku akan membunuhmu, Peter! Kau brengsekkk!"
*****
Hotel Paramount milik Maxwell Del Montaña disulap menjadi tempat yang paling indah. Dengan permata swarovski menghiasi seluruh langit-langit gedung itu menjadikan malam berbintang di langit bertambah memesona dengan kilauan permata dari dalam hotel itu.
Max berdiri dengan gagah di depan Pendeta, menunggu kedatangan pengantinnya.
Dengan senyum manis terukir di bibirnya, Max menerima uluran tangan Peter yang menyerahkan putrinya.
"Jaga putriku!"
"Dengan nyawaku, Peter."
Mata Max beralih pada perempuan cantik yang dibalut gaun pengantin di hadapannya. Aura kecantikan Sara menguar dari balik penutup kepalanya.
"Ayo, sayang."
Max masih melihat kemarahan di mata Sara yang mana membuatnya menggenggam erat tangan perempuan itu.
"Aku akan selalu bersamamu, Sara."
Pendeta melangsungkan pernikahan tertutup itu dan membiarkan kedua pengantin mengucapkan janji suci di hadapan Tuhan.
"I accept you Sara O'connor to be my wife, to have one another and keep, from now and forever. In times of trouble and joy, in times of abundance and in deprivation, in good health and sickness, to love one another and to esteem, till death divides us, according to the sacred law, and this is my sincere faithfull promise."
Max mengucapkan sumpah suci itu dengan lantang, menggenggam erat tangan Sara dan menatap dalam manik perempuan itu.
"I accept you Maxwell Del Montaña to be my husband, to have one another and keep, from now and forever. In times of trouble and joy, in times of abundance and in deprivation, in good health and sicness, to love one another and ro esteem, till death divides us, according to the sacred law, and this is my sincere faithfull promise."
.
.
.
Love,
Xie Lu♡
Happy reading!😊😘
.
.
.
***
Di bawah taburan permata swarovski dengan lantunan melodi indah, kedua insan yang baru saja mengikrarkan janji suci itu bergerak mengikuti irama.
Mata Max tak hentinya menilik penampilan Sara, begitu pula sebaliknya.
"Ada yang salah dengan gaya rambutku?" tanya Sara.
"Sedikit berbeda dari gadis petualang yang pernah ku lihat."
"Tentu saja, aku berdandan untuk malam ini."
"Menjadi pengantinku memang diharuskan menjadi cantik, sayang," bisik Max di telinga Sara.
Pinggangnya ditarik Max agar menempel dan tangannya melingkar di leher pria yang berstatus sebagai suaminya itu.
"Jangan mengambil kesempatan, Max. Kau harus jaga jarak denganku."
"Kau istriku kalau kau lupa."
Sara terkekeh. "Aku hanya gadis pelunas hutang, Max. Bukan istri yang sebenarnya."
Max tersenyum penuh makna, mata birunya menajam. "Janji yang baru saja kita ikrarkan di hadapan Tuhan itu suci, Sara. Sebuah pernikahan itu suci, terlepas dengan cara bagaimana kau memasuki kehidupanku. Kita adalah satu dari jiwa yang berbeda."
Sara terkekeh lagi. "Kau menganggapku seperti itu karena rasa kasihan? Jika benar demikian, aku harap kau tetap pada sikapmu yang tegas. Aku tidak membutuhkan rasa simpati dari siapapun."
"Aku memang kasihan padamu karena kau tidak bisa menaklukan puncak Himalaya." Max terkekeh dengan tangan yang membelai pipi Sara. "Kau ingin sekali melakukannya, bukan? Tenang saja, suamimu yang tampan ini akan mewujudkan semua keinginanmu."
"Benarkah?" tanya Sara antusias.
"Tentu saja. Tapi...."
Sara mendadak lesu. Dia mengerucutkan bibirnya mendengar kata tapi yang penuh misteri itu. "Apa?"
"Aku akan memberitahumu nanti di kamar kita."
"Astaga, kau membuatku kesal."
Sara menggigit tuxedo Max karena kesal. "Kau bilang kamar kita? Berarti kita satu ranjang?"
"Tentu saja. Apa kau ingin tidur di lantai?"
"Kau sangat pelit." Sara mengerucutkan bibirnya. "Seorang perempuan cantik dan penuh kharisma sepertiku tidak diizinkan tidur di lantai. Bahkan untuk dudukpun, aku tidak boleh melakukanya."
"Aku tidak pelit, sayang. Aku sudah mengatakan akan memenuhi keinginanmu untuk menaklukkan puncak Himalaya."
"Semoga saja kau tidak mengingkari janjimu."
"Apapun untukmu, Nyonya Del Montaña!"
Sara memukul punggung Max. Dia memutar bola matanya.
"Kenapa kau memukulku?"
"Aku hanya ingin."
"Ingin memulai malam kita?"
"Kau?!" Sara mendelik sempurna. Matanya menatap tajam pada Max.
Merasa bahwa banyak ribuan telinga di tempat itu, Sara membenamkan wajahnya di ceruk leher Max. Dia merasa kikuk karena membuat para tamu kehilangan fokus mereka oleh teriakannya.
"Maafkan istriku, Tuan-tuan. Dia ingin segera ke kamar dan memulai malam milik kami berdua." Max menyeringai setelah selesai mengatakannya karena Sara sudah menggigit kerah jasnya di sana.
Para undangan hanya menggeleng dan tersenyum nakal melihat mereka berdua.
"Apa yang kau katakan, Max? Mereka mengira aku mesum."
"Sudah seharusnya. Ini akan menjadi malam milik kita berdua, Nyonya Del Montaña."
Sara bedecak, dia mengerucutkan bibirnya dan kembali memukul dada Max.
"Kau mesum, Max."
"Ingin coba?"
Pipi Sara merona, dia malu-malu mengerti arti perkataan Max.
"Tutup mulutmu, Max!"
Max terkekeh keras. "Kau berpikiran mesum? Astaga, Sara, aku mengajakmu olahraga malam, bukan menggali harta karun."
Sara mengerucutkan bibirnya kesal. Ia melepaskan pelukan Max di pinggangnya.
"Aku lelah," elaknya saat Max menatap dengan tatapan penuh tanya.
"Ayo ke sana!"
Max langsung menarik tangannya keluar dari ballroom hotel itu.
"Hei, kita kemana, Max?"
"Kau lelah, bukan?"
"Tapi, kenapa masuk ke mobil?"
"Kita harus pulang."
"Hah?! Bagaimana dengan pestanya?"
Max terkekeh. "Kau tidak lupa siapa suamimu yang tampan ini, bukan?" Ia membuka pintu mobil dan membiarkan Sara masuk. "Alex akan mengurus sisanya."
"Itu tamu istimewa, Max."
"Aku yang teristimewa di atas segalanya, sayang."
"Tukang pamer," sungut Sara.
Sopir yang bersiap di mobil itu segera membawa mobil itu memecah hiruk pikuknya malam di kota Madrid.
Sara menyandarkan kepalanya di kursi penumpang dan memejamkan matanya. Dia tidak berbohong tentang kelelahannya. Sepanjang hari dia harus mengeluarkan semua energinya melawan Peter yang berakhir dengan dirinya yang diikat dan sekarang telah jatuh di tangan pria di sampingnya.
"Menyandarlah di sini!"
"Aku baik-baik saja."
"Ayolah, jangan keras kepala. Di sini gratis untukmu semalam."
Sara berdecih tetapi tak urung juga dia menyandarkan kepalanya di pundak Max.
"Bagaimana? Feel it's better?"
"Hm. Empuk seperti batu," gumam Sara.
Max tertawa renyah mendengar penuturan tidak jelas perempuan itu. Empuk seperti batu?
"Apa otakmu bermasalah?"
"Apa maksudmu?"
"Empuk seperti batu?"
"Aku mengatakannya?"
"Kau mengigau?"
"Tidak," sanggah Sara seraya mengusap air liur yang menetes di sudut bibirnya.
"Astaga, kau ketiduran beberapa detik sampai mengeluarkan ilermu. Bagaimana nasibku kalau semalam bersamamu? Bisa saja ranjangku kebanjiran."
Sara membuka matanya. Ia mendongak ke arah Max dan pada saat itulah mata mereka bertemu.
"Kau baru menyadari kalau wajahku tampan?"
"Ya, seperti tarzan."
"Apa?!" tanya Max horor.
"Jambangmu banyak."
"Wow, aku menikahi perempuan yang hebat dalam memberi pujian," kekeh Max tidak percaya.
"Tentu saja."
Tak selang beberapa lama, mobil yang membawa mereka masuk ke sebuah bangunan yang Sara duga itu adalah rumah yang dimaksud Max.
"Ini rumahmu?"
"Ya."
"Astaga, kau mencuri dari mana sampai bisa membangun rumah sebesar ini? Aku pernah ke Taj Mahal tapi bangunan itu tidak sebesar ini."
"Kau melupakan siapa diriku, Sara."
"Aoh ... iya, iya. Aku sudah ingat. Karena itulah Peter menjualku padamu."
***
"Apa kita tidak bisa tidur berpisah?"
Max memberi tatapan penuh peringatan pada Sara. "Ingat perkataanku tadi, Sara. Jangan coba-coba melupakannya!"
"Yang mana? Oh, bagian menggali harta karun?"
"Kau siap?"
"Tentu saja, tapi ...."
"Hm?" Max mengangkat sebelah alisnya.
"Tapi-mu di pesta tadi belum kau beritahu alasannya."
"Oh, kau tidak mudah lupa, sayang. Aku akan mengatakannya pada saat yang tepat. Sekarang kau harus mandi agar kita bisa menggali harta karun yang masih tertimbun."
Sara menurut. Saat hendak membuka gaun pengantinnya, tangan Sara seakan tidak sampai pada ritsleting itu. Hendak meminta bantuan Max, tapi dia berpikir tidak baik rasanya menyuruh pria itu melakukannya.
Semakin ia berusaha menggapai punggungnya, ritslering itu seakan tidak bisa dilepas. Akhirnya, Sara menyerah. Meminta bantuan Max tidak ada salahnya.
"Max? Tolong aku!"
"Butuh bantuan, sayang?" Max mendekat.
"Tolong bukakan ritsletingnya."
"Ritsleting apa?"
"Gaun ini." Sara berbalik memunggungi Max, bermaksud memberikan ruang bagi Max untuk menarik ritsleting itu.
Namun, hal yang tidak terduga terjadi. Max memeluknya dari belakang dan menaruh wajahnya di ceruk leher Sara.
"Max?"
"Hm?"
"Tolong buka ritsleting gaunnya!"
"Biarkan aku seperti ini lima menit."
"Aku gerah, Max."
"Aku menaikkan suhu pendingin ruangan."
"Tapi baju sialan ini menghimpit rongga dadaku."
Menghela napas pasrah, Max melakukannya. Saat gaun itu hendak melorot, Sara segera menutup mata Max menggunakan tangannya.
"Jangan lihat!" ancamnya dengan nada dingin.
Max terkekeh. "Aku suamimu, Sara."
Max berusaha melepaskan tangan Sara tetapi tenaga perempuan itu lumayan kuat juga.
"Jangan buka atau aku akan menciummu!"
"Coba saja!"
"Astaga, Max. Please ...."
"Oke, aku berbalik." Max mengangkat kedua tangan ke atas. "Larilah sebelum aku menangkapmu!"
Sara celigukan mencari tempat yang ditujunya. "Dimana kamar mandi?"
Seketika Max tertawa. "Aku melupakannya."
Max berjalan ke sisi ranjang dan mengambil sebuah remote control dari sana. Kemudian menekan salah satu tombol sehingga muncul sebuah pintu berwarna keemasan di tempat tersembunyi.
"Wow, kau sangat kaya, Max."
Max hanya tersenyum tipis lalu kembali berbaring di ranjangnya dan menutup mata.
Sebuah pesan masuk membuka matanya. Max panik membaca isi pesan tersebut dan segera mengganti pakaiannya dengan pakaian casual.
Saat dia meraih pintu untuk keluar, disaat itulah Sara keluar dari kamar mandi.
"Max?"
"Maaf, aku punya urusan mendadak. Tidurlah, jangan menungguku!"
"Kau mau ke-- Astaga, dia bahkan tidak menciumku sedikit saja. Apa dia benar-benar serius dengan ucapannya tadi? Seorang istri? Janji suci? Aku tidak mengucapkannya dengan sungguh-sungguh di hadapan Tuhan tadi. Apakah itu sebuah dosa? Oh Kristus, benarkah aku akan terlepas dari statusku sebagai gadis pelunas hutang jika Max serius dengan ucapannya?"
Sara terdiam sejenak, mengatur napasnya yang tersengal-sengal sejak tadi. Jika bukan karena Peter menyinggung soal ibuny, sudah dipastikan ia akan kabur dari altar tadi. Ia membenci pernikahan ini.
.
.
.
iklan**
.
Author : cieeee.... ketipu sama judul ya😆😆😆😆
Netizen : gue buru-buru baca kirain ada adegan panas thor😑
Author : gue juga kena tipu, gue pikir mereka bakalan gali harta karun, ternyata enggak😆😆😆😆
Netizen : lu jahat thor, pehapein😑
Author : bodoamat, asal poinnya dikencengin biar imajinasi gue lancar trus ada adegan horor itu😆
Netizen : janji lu😃
Author : gak😄
Netizen : poin gue tahan😄😄😄
Author : 😭😭😭😭😭😭
Love,
Xie Lu♡
Happy reading!😊😘
.
.
.
***
"Inilah alasan aku tidak ingin menikah. Lihat saja, pria itu pergi meninggalkanku sendiri di sini."
Sara berguling-guling di atas ranjang king size itu. Tangannya tak henti-henti memukul bantal dan guling di sana. Mulutnya berkomat-kamit menyumpahserapahi pria yang menjadi suaminya itu.
"Dasar pria brengseekk! Andai bukan karena Peter mengikatku pasti aku sudah berada di puncak Himalaya sekarang. Max sialan!"
"Ya, aku akui kau lumayan tampan dan untung saja kau bukan pria yang dingin sedingin wajah sialanmu itu. Dan apa katanya tadi? Pernikahan itu suci? Jelas aku tahu itu sialan. Tapi bukan pernikahan denganmu yang aku inginkan."
Sekali berguling dengan kaki yang menendang udara, Sara terjatuh dari ranjang itu.
"Aw! Ranjang sialan! Kau sama menyebalkannya dengan pemilikmu."
Ia memukul ranjang itu sampai tangannya merasa sakit.
Merasa kesal karena mendapatkan kesialan, perempuan itu keluar dari kamar. Rasa penasarannya dengan bangunan itu mengalahkan rasa lelahnya.
Kakinya melangkah ke segala arah yang tidak diketahuinya. Sampai ia terjebak di sebuah ruangan yang tidak bisa lagi dibuka setelah dirinya masuk ke sana.
"Astaga, bagaimana cara membukanya? Apa pakai remote seperti kamar mandi tadi? Apa orang kaya memang seperti ini? Tapi tidak mungkin. Peter juga punya rumah yang besar tapi tidak seaneh ini."
Tangannya memukul-mukul pintu itu. "Aku bisa mati kepanasan di sini."
Hingga tanpa ia sadari, peralatan gym nampak di sana setelah pukulannya mengenai sebuah tombol di pintu itu.
Ketika ia mundur hendak menendang pintu itu, kakinya tersangkut benda yang berat.
"Sial, apa lagi ini?! Oh my God! Bagaimana ini bisa ada di sini? Apa di rumah ini ada jin?"
Matanya terbelalak sempurna. Bagaimana peralatan gym semuanya lengkap di sana. Dengan mata berbinar-binar, Sara mencoba satu persatu.
"Wow, lebih menyenangkan daripada milik Edwin."
Berulang kali ia melakukannya dengan berbagai macam alat hingga ia lelah.
"Astaga, aku lupa kalau di sini sangat gerah. Apa tidak ada pendingin ruangan? Yang benar saja, pasti benda itu tersembunyi lagi."
Karena tidak bisa menemukan apapun lagi atau dia yang tidak pandai meneliti sekeliling, akhirnya Sara tidur telentang sambil menatap langit-langit ruangan itu.
"Jika pria itu benar-benar menahanku untuk tetap menjadi istrinya, apa yang harus ku lakukan? Aku masih punya mimpi untuk menaklukan puncak Everest."
Saat sedang asyik berguling di lantai yang dingin itu, tiba-tiba lehernya pegal.
"Astaga, aku lupa kalau bagian ini terluka. Hufftt, harusnya aku tidak melakukan itu tadi jika aku tahu pria yang menjadi suamiku adalah pria tampan. Ck, tidak ada bedanya, Sara. Dia tampan tapi bukan milikmu! Lihat saja, dia pergi begitu saja."
Sara memijat lehernya yang pegal itu sampai sebuah ketukan di pintu mengejutkannya.
"Pintunya tidak bisa dibuka!" teriaknya pada seseorang yang di luar.
Bersamaan dengan itu, seseorang muncul di sana.
"Maaf, Nyonya. Saya belum mengunci pintu ini tadi."
"Apa maksudmu?"
"Saya belum menguncinya makanya Nyonya bisa masuk ke sini. Ini tempat terlarang untuk siapapun masuk ke sini, Nyonya."
Sara terbelalak. Dia menelan ludahnya kasar seraya meremas jemarinya.
"Apa yang harus ku lakukan? Aku telah bermain dengan peralatan itu tadi!" Ia menunjuk pada benda-benda di sekitarnya.
"Tuan melihatnya, Nyonya." Orang itu menunjuk ke sudut ruangan bagian atas yang terdapat benda kecil berkedip di sana.
"Astaga, aku pasti dibunuh pria jahat itu." Sara bergidik ngeri. "Aku tidak sengaja masuk ke sini dan pintunya tiba-tiba terkunci dan setelah itu, tiba-tiba muncul lagi peralatan gym itu dan aku melakukan olahraga malam hari," jelas Sara seraya mengerucutkan bibirnya.
"Apa dia benar-benar akan membunuh siapapun yang masuk ke sini?"
"Aku tidak mengatakan itu, Nyonya. Aku hanya mengatakan bahwa ruangan ini terlarang untuk siapapun."
"Oh Yesus, apa kau bodoh? Terlarang berarti itu sama dengan menyodorkan diri di lubang kematian."
"Panggil saya Adrian, Nyonya, dan mengenai perkataanku tadi, jangan takut karena Tuan tidak seperti yang Anda bayangkan."
"Apa yang ku bayangkan?"
Adrian mengedikkan bahu dan menuntun Sara keluar.
"Bagaimana membuka pintu itu? Sejak tadi aku mencari kunci."
***
Max berjalan dengan langkah santai, sesekali ia bersiul dengan riang. Mata birunya tetap menatap tajam apapun yang melintas. Satu tangannya menyibakkan anak rambut yang jatuh di kening dan tangan lainnya memegang pistol.
"Alex, apa kau bisa menerka siapa dalang dalam insiden itu?"
"Maaf, Tuan. Sepertinya aku tidak bisa menebak."
Max terkekeh. "Ayolah, Alex. Ayo kita bertaruh! Yang menang dia yang berhak membunuh orang itu."
Alex hanya menggeleng dengan isi kepala Max. Pria itu hobi taruhan dan membunuh. Karena menang taruhan itulah dia berhasil menjebak Peter dengan uang yang banyak.
"Aku tidak akan melakukannya, Tuan. Aku takut kau memiliki dua istri."
Max tertawa mendengar penuturan Alex. "Memangnya kau punya anak? Atau punya seorang saudari?"
"Itu yang aku khawatirkan, Tuan. Aku tidak punya apa-apa untuk dijadikan tumbal kekalahanku."
"Astaga, malangnya hidupmu, Alex. Cari wanita dan menikahlah!"
Alex mendengus. Dalam hati ia selalu merutuki perkataan pedas seorang Maxwell. Meremehkan dirinya yang tidak pernah memiliki wanita.
"Aku harus pastikan Anda bahagia, Señor."
"Ck, aku selalu bahagia dengan pekerjaanku, Alex. Kau tahu hobiku. Itulah defenisi bahagia yang sebenarnya. Melakukan apapun yang kau suka bisa membuatmu bahagia termasuk sekarang."
Max mengarahkan pistolnya ke kegelapan dan menembak seekor binatang liar di sana.
"Itu selalu mendebarkan jantungku, Alex."
Percakapan keduanya terhenti saat sampai di tempat yang dituju. Para penjaga yang bertugas mengamankan tempat itu segera mempersilahkan Max untuk masuk. Beberapa di antara mereka mengikuti dan masuk ke dalam.
Mereka mengantar Max ke dalam sebuah tempat yang disiapkan tersebut.
"Dia tidak membuka mulutnya, Señor."
"Tidak apa, kalian pergilah!"
Penjaga itu membiarkannya sendiri di sana. Max mendekat. Mata tajam disertai seringai di bibirnya membuat wajah tampan berjambangnya sedikit menyeramkan.
"Hola, amigo. (Halo, kawan)," sapanya.
Melihat wajah pria di depannya, Max ingin sekali tertawa. Namun, ia harus menahannya demi harga dirinya sebagai seorang mafia, pemilik negara Spanyol.
"Bagaimana pria tampan sepertimu bisa berada di tempat kumuh seperti ini?"
Pria yang diikat di kursi itu meronta-ronta. Wajahnya menunjukkan amarah yang terpendam. Dengan mulut yang ditutup rapat, ia mencoba berbicara.
"Alex, buka penutup mulutnya. Sepertinya ada yang ingin disampaikannya padaku sebelum aku melakukan ritualku."
Alex segera melakukannya. Pria itu terus meronta dan setelah penutup mulutnya terbuka, ia melancarkan umpatannya.
"Kau pria brengseekk! Mafia sialan! Kau akan mati terbunuh! Dioses La Muerte akan hancur!"
Max terkekeh dengan seringai di bibir tipisnya. "Dalam mimpimu, kawan."
"Lepaskan aku, sialan!"
Max menunduk tepat di depan wajah pria itu. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
"Aku memegang kendali hidupmu, Joe. Lihat ini!"
Max menunjukkan selembar foto yang diberikan Alex tadi tentang identitas pria itu.
"Kau memiliki anak perempuan yang manis."
"Jangan menyentuh putriku, brengsekk!"
"Jika kau memberitahuku siapa yang menyuruhmu menyembunyikan barang milikku!"
Seringai di bibirnya semakin lebar seiring dengan ketakutan pria itu.
"Aku tidak tahu! Dan aku tidak melakukan itu!"
"Dan nyawa gadis manis ini tidak akan tertolong!"
"Jangann!"
"Katakan!" tegas Max dengan pistol yang ditodongkan di kening pria itu.
"Dia akan membunuhku jika membuka mulut!"
"Tidak ada bedanya dengan sekarang! Kau memilih putrimu atau dirimu yang berada di neraka?"
Bagai makan buah simalakama, Joe tidak memiliki pilihan. Nyawa putri kecilnya berada di tangan Max jika ia tidak memberitahu kebenarannya, dan nyawanya pasti akan terancam jika ia memberitahu kebenaran itu. Dalam keadaan terdesak ini, dia diberikan pilihan yang sangat sulit.
"Pilihlah salah satu, Joe!"
Di ambang jurang kematian, Joe membuka mulutnya.
"Peter O'connor!"
.
.
.
iklan**
.
Author : gue baru tahu kalo ada orang di dunia nyata yang sama dengan nama sara o'connor di novel ini. sueerr, gue gatau😅
Netizen : yang penyanyi itu kan
Author : ho'oh gue baru nyadar pas ada yang komen kemarin
Netizen : yah maklum aja authornya kan sedikit oneng
Ini merupakan ketidaksengajaan yang ditakdirkan. Apabila nanti terdapat kesamaan nama di sini, maafkan daku😅.
Netizen : asal jan pake nama gue aja
Author : amit-amit dah, jauh jauh sono. nama Jubaedah mana cocok sm daerah mafia🙄.
eiiitttssss.... jan ketipu mulu sama judulll😅😅😅. kasian gue lama lama sm lu😂
Netizen : 😑😑😑😑
.
***
Love,
Xie Lu♡
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!