Aku berjalan menyusuri lorong-lorong kantorku yang sudah mulai sepi. Aku mengulas senyum ketika berpapasan dengan rekan kerjaku.
Namaku, Shiena Larasati. Usiaku menginjak 30 tahun di tahun ini. Dan ya, aku sudah menikah. Aku menikah dengan pria yang sudah kupacari selama lima tahun.
Lima tahun! Bukan waktu yang singkat untuk bersama dengan seseorang bukan? Dan kami sudah menikah selama lima tahun. Jadi, aku sudah bersama dengan Mas Willy selama sepuluh tahun.
Aku tiba di parkiran dan mengendarai mobilku. Pekerjaanku sebagai manajer pemasaran di Zayn Building membuatku bisa memiliki mobil meski masih harus mencicil. Tidak apalah, hidup kan memang harus penuh perjuangan, hehe.
Aku melirik jam tanganku dan waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika aku tiba di rumah. Belum terlihat mobil Mas Willy di halaman rumah. Itu artinya suamiku belum pulang.
Usia Mas Willy 3 tahun diatasku. Dia adalah sahabat mendiang kakakku. Ya, kakakku meninggal dunia sekitar sepuluh tahun yang lalu. Dan dia menitipkan aku pada Mas Willy. Jika mengingat tentang Bang Shandy, aku akan mulai bersedih. Dia meninggal dalam kecelakaan karena kesalahanku.
"Haaaah!" Aku merebahkan tubuhku di sofa ruang tamu. Rasanya sangat lelah.
Rumah ini terasa sunyi. Mungkin karena aku dan Mas Willy memutuskan untuk menunda memiliki momongan. Makanya rumah ini terlihat kosong. Hanya ada kami berdua selama lima tahun ini.
Tak lama setelah aku tiba di rumah, deru mesin mobil Mas Willy memasuki pelataran rumah. Rumah ini dibeli dengan hasil keringat Mas Willy. Dia bertekad tidak akan meminangku sebelum dia memiliki hunian yang nyaman untukku.
Ah, sungguh pria yang sangat luar biasa. Ya, suamiku adalah pria yang luar biasa. Sejak awal bertemu dia adalah orang yang hangat dan perhatian.
Suara pintu terbuka dan aku segera bangkit dari rebahanku.
"Mas, sudah pulang?" Aku segera menyalami Mas Willy. Mencium punggung tangannya.
"Hmm, kamu juga kayaknya baru pulang."
"Iya, Mas. Mas udah makan?"
"Sudah tadi sama anak-anak kantor."
Aku mengangguk. Satu lagi yang kusuka dari Mas Willy. Dia tidak pernah menuntutku untuk selalu memasak makanan untuknya. Karena ia tahu jika aku adalah wanita pekerja.
Meski begitu, aku tetap menjalankan kewajibanku sebagai istri yang baik untuknya. Aku tetap menyediakan kebutuhan Mas Willy dengan baik.
"Aku siapkan air hangat dulu ya buat kamu mandi."
Aku akan beranjak pergi, tapi Mas Willy menahanku.
"Tunggu sebentar, She!"
Aku menatap Mas Willy lekat. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi. Tapi apa itu?
"Ada apa, Mas?"
"Duduklah!"
Entah kenapa aku merasa jika ada yang tidak beres dengan Mas Willy.
Mas Willy mengeluarkan sebuah map dari dalam tas kerjanya dan menyerahkannya padaku.
"Apa ini?" tanyaku.
"Kamu buka saja."
Tanpa memiliki kecurigaan sedikitpun, aku membuka map yang berisi beberapa lembar kertas. Aku mengernyit membaca isinya.
"Surat gugatan cerai?" gumamku.
Bagaikan tersambar petir, aku tak percaya apa yang baru saja kubaca.
"Apa maksudnya ini, Mas?" Aku bertanya dengan suara gemetar. Tentu saja aku syok, aku kaget. Dan aku ... sedih.
"Sudah cukup semuanya, She! Aku sudah tidak sanggup lagi melanjutkan pernikahan kita."
Aku menggeleng kuat. "Gak! Kenapa tiba-tiba ingin bercerai, Mas? Rumah tangga kita baik-baik aja kok, kenapa kamu malah ...." Suaraku tercekat. Aku tak mampu melanjutkan kalimat berikutnya.
"Kita baik-baik aja karena itulah yang kita tampilkan di depan orang-orang. Tapi sebenernya kita itu gak baik-baik aja, She!" Suara Mas Willy pun ikut tercekat.
Aku terdiam. Aku memikirkan semua ini dengan hati yang berkecamuk. Kenapa Mas Willy melakukan ini? Apa dia memiliki wanita lain selama ini?
"Jika kamu berpikir aku memiliki wanita lain ... kamu salah, She. Aku hanya mencintaimu. Sampai detik ini aku masih mencintaimu."
Cinta? Lalu kenapa harus bercerai?
"Mari kita berpisah! Aku rasa aku sudah tidak tahan untuk terus mengikuti keinginanmu."
Aku menatap tak percaya ke arah suamiku. Tadi dia bilang cinta, tapi sekarang tak bisa mengikuti keinginanku. Apa maksudnya ini?
"Impianku hanya satu. Ingin memiliki keluarga yang bahagia seperti kedua orang tuaku. Tapi ternyata kamu sudah menghancurkannya." Air mataku tak lagi dapat dibendung.
"Maafkan aku, She. Aku akan bicara baik-baik dengan kedua orang tuamu."
Aku menghapus air mataku. Bagiku tidak perlu ada air mata untuk seorang pria yang berpura-pura mencintaiku. Ya, kini aku mengerti jika selama ini mungkin saja Mas Willy berpura-pura mencintaiku. Dia hanya menjalankan wasiat Bang Shandy untuk menjagaku.
"Jika pertemuan kita hanya menyisakan perpisahan saja, maka seharusnya kita gak perlu bertemu! Aku akan berdoa pada semesta agar aku gak pernah dipertemukan denganmu!" ucapku dengan suara lantang.
Setelahnya terdengar gemuruh petir yang menggelegar. Menandakan jika alam ikut bersedih dengan keputusan dua insan yang katanya saling mencintai.
Aku masuk ke dalam kamar tamu dan mengunci pintu. Aku membenamkan wajahku ke dalam bantal. Hatiku hancur. Hatiku sedih. Ternyata kisah sepuluh tahun kami harus kandas dalam semalam.
"Aku benci kamu, Mas. Aku benci! Aku bersumpah aku gak mau ketemu lagi denganmu di masa lalu maupun masa depan." Aku mengucapkannya dengan suara bergetar. Karena kelelahan menangis, aku akhirnya tertidur. Dan malam ini untuk pertama kalinya aku tidur terpisah dengan Mas Willy.
#
#
#
Pagi harinya aku terbangun karena mendengar suara gedoran pintu kamar yang cukup keras.
"She! Bangun, Nak! Sudah siang!"
Samar-samar aku mendengar suara yang tidak asing di telingaku. Aku masih memejamkan mata. Malam tadi rasanya sangat menyakitkan untukku.
"She! Bangun, sayang! Apa kamu mau terlambat ke kampus?"
Hah?! Kampus?!
Aku langsung membuka mataku selebar mungkin. Aku memperhatikan sekelilingku.
Ini bukan kamar tamu rumahku. Ini ... Adalah kamarku! Ya, ini adalah kamarku! Kamarku sendiri!
Aku segera bangun dari tempat tidur. Aku meyakinkan diriku jika ini bukanlah mimpi.
"She! Kamu udah bangun belum, Nak?"
Itu ... Itu suara Bunda! Bagaimana bisa ada bunda di rumahku? Eh, bukan. Tapi bagaimana bisa aku ada di kamar lamaku. Sementara semalam aku tidur di kamar tamu rumahku.
"Shiena Larasati!"
Suara Bunda sudah naik satu oktaf. Itu artinya Bunda sudah sangat marah.
Aku segera membuka pintu.
"Bundaaaaaaa!" Aku langsung memeluk Bunda dengan erat.
"Sayang! Kamu ini kebiasaan deh! Susah dibangunin!"
"Maaf, Bunda..."
"Hmm, ya udah. Buruan mandi. Nanti telat ke kampus. Abang kamu udah nungguin tuh!"
"Abang? Abang Shandy maksud Bunda?"
"Ya iyalah, emangnya kamu punya abang berapa?"
"Bang Shandy dimana, Bun?"
"Abangmu sedang di ruang makan bersama ayahmu. Mereka menunggumu untuk sarapan bareng."
Aku segera berlari mencari keberadaan kakakku yang tersayang. Astaga! Apakah ini mimpi?
Bagaimana bisa aku kembali ke masa dimana masih ada Bang Shandy disini.
"Abaaaaang!" Teriakku sekeras mungkin hingga membuat wajah Bang Shandy bingung.
Aku memeluknya dengan sangat erat. Ya Tuhan! Ini bukanlah mimpi! Aku bahkan bisa memeluk Abangku lagi.
Tiba-tiba mataku tertuju pada kalender yang terpasang di dinding ruang makan.
Tahun 2012? Apa?! Aku tidak salah kan? Aku kembali ke 11 tahun yang lalu.
Apakah semesta benar-benar mengabulkan keinginanku? Aku tersenyum bahagia masih dengan memeluk Abangku.
Jika ini tahun 2012, maka... Usiaku sekarang masih 19 tahun! No way! Aku kembali muda!
Aku mengusakkan wajahku ke dada bidang Bang Shandy. Itu berarti semesta mengizinkanku untuk mengubah takdirku. Ya, aku akan mengubah takdir agar Bang Shandy tetap berada di sisi kami.
"She! Kamu kenapa?"
Bang Shandy bertanya padaku. Aku tersenyum penuh keharuan menatapnya.
"Gak papa, Bang. Aku hanya sangat senang karena bisa bertemu Abang."
"Ehem! Jadi, kamu gak seneng ketemu Ayah?"
Aku mendengar suara berat satu lagi pria yang sangat berharga di hidupku.
"Ayah!" Aku berganti memeluk Ayah.
Terima kasih, Semesta. Terima kasih. Aku akan memanfaatkan waktu yang terulang ini dengan sangat baik. Aku janji!
Usai membersihkan diri, aku menatap diriku di depan cermin. Aku masih tidak percaya jika diriku kembali ke 11 tahun yang lalu.
"Aw!" Lagi dan lagi aku mencubit pipiku. Dan terasa sakit. Aku tidak sedang bermimpi.
Aku tersenyum menatap wajah mudaku yang masih terlihat ranum. Semuanya terasa kembali.
Aku mencari sesuatu. Ponselku. Ada di atas nakas dekat tempat tidur. Aku mengambilnya.
Aku kembali tersenyum. Ini adalah ponsel lamaku. Aku memeluk ponsel itu.
Aku segera keluar dari kamar karena harus sarapan dengan keluargaku. Sejak dulu tradisi ini selalu dilakukan di keluargaku. Ayah sangat suka suasana berkumpul anak-anaknya.
Dengan telaten Bunda melayani Ayah dan kami semua. Aku sangat bahagia. Ayah dan Bunda adalah idolaku. Aku sangat ingin memiliki pernikahan seperti mereka.
Tunggu! Bicara tentang pernikahan... Ini berarti aku belum bertemu dengan Mas Willy. Ya, benar! Aku mengulang waktu dimana aku belum bertemu dan mengenalnya.
"Oh ya, She. Nanti malam kamu bersiap ya! Akan ada pesta ulang tahun perusahaan. Kamu harus dandan yang cantik. Banyak kolega Ayah yang datang bersama keluarganya."
Kalimat Ayah membuatku membulatkan mata. Benar! Ini adalah hari itu. Hari dimana aku pertama kali bertemu dengan Mas Willy.
Tapi, kenapa aku menjelajah waktu yang bertepatan dengan hari pertemuanku itu. Akh, sial! Aku harus cari alasan agar tidak perlu ikut ke pesta itu.
"Ayah, kenapa aku harus ikut? Ini kan pesta ayah dan abang! Aku di kamar saja ya! Aku punya tugas kampus yang numpuk. Pleeaassee!" Aku memohon pada ayah dan bunda. Semoga saja mereka mau mengerti.
"Gak bisa gitu dong, She! Kamu harus datang!" Bang Shandy malah memperkeruh suasana.
Duh, bagaimana ini? Kenapa aku tetap tidak bisa mengubah takdirku?
#
#
#
Di kampus aku bertemu dengan kedua sahabatku, Anila dan Friska. Mereka sahabatku sedari SMA. Dan kini kami bertiga kuliah di kampus yang sama.
"Ya elah, She. Wajah lo kusut amat sih? Ada apaan?" Tanya Anila.
Tunggu! Di masa mendatang Anila dan Friska sudah tidak di kota ini lagi. Setelah lulus kuliah Friska kembali ke kampung halamannya. Lalu Anila menikah dengan seseorang dan ikut dengan suaminya.
Tapi... Siapa suaminya ya? Aneh! Kenapa aku tidak bisa mengingatnya?
"Woy! Bengong aja lo! Ditanya malah melongo!" Friska menyenggol lenganku.
Aku segera tersadar dan mengulas senyum.
"Nanti malam ayah nyuruh gue datang ke pesta ulang tahun perusahaannya. Gue males aja!" Aku mengedikkan bahu.
Tapi isyarat lain ditunjukkan oleh kedua sahabatku. Ya, aku ingat jika mereka ikut ke pesta itu. Dan saat itu, aku juga terlihat sangat bersemangat untuk pergi ke pesta itu. Tapi tidak dengan sekarang.
Kami bertiga malah sengaja membeli gaun di butik. Sungguh aku tidak menginginkan ini. Kenapa sama sekali tidak ada yang berubah?
"She! Bagus gak?" Tanya Anila sambil membolak balikkan tubuhnya yang sedang mencoba sebuah gaun.
Aku hanya mengangguk malas.
"Lo gak beli gaun, She?" Tanya Friska. "Pasti kan nanti banyak cowok ganteng kan yang dateng! Ayah lo bilang koleganya bawa keluarganya. Pasti anak-anak mereka ganteng, She."
Aku mengedikkan bahu. Entahlah. Aku masih ingat malam itu. Malam dimana Mas Willy menghancurkan seluruh impianku.
Aku tidak mau bertemu dengannya.
"Pokoknya nanti malam aku akan terus menghindar! Ya, aku akan menghindar. Aku gak mau sakit hati karena hubungan kami yang hanya bertahan 10 tahun," Batinku dengan menggebu.
#
#
#
Pesta perayaan hari jadi perusahaan Ayah pun telah dimulai. Aku yang tidak menginginkan hadir di pesta ini terus waspada karena aku takut bertemu dengan Mas Willy.
Sebenarnya aku ingin mengurung diri di kamar saja, tapi Bunda memergoki aku dan memintaku bergabung dengan yang lain.
Pestanya di adakan di halaman belakang rumah. Ya, keluargaku bisa dibilang cukup berada. Ayah memiliki perusahaan yang bergerak di bidang ekspor-impor, makanya ia memiliki banyak kolega.
Lalu, jika kalian bertanya kenapa aku memilih bekerja di perusahaan lain? Itu karena aku tidak ingin dicap sebagai anak manja seperti yang pernah Mas Willy katakan padaku.
Huft! Mas Willy lagi, Mas Willy lagi. Kenapa aku masih terus saja mengingatnya? Bukankah aku ingin mengubah takdirku?
Fokus, She! Fokus!
Aku berjalan mengendap-endap dan melebur bersama kerumunan banyak orang. Aku mencari keberadaan Bang Shandy.
Aku ingat jika saat itu Bang Shandy lah yang memperkenalkan aku dengan Mas Willy. Sikap hangatnya waktu itu membuatku tertarik untuk mengenalnya lebih dekat.
Aku menggeleng kuat. Kenapa aku malah mengingat pertemuan pertama kami?
Karena lelah terus berusaha mengindar dan juga jantung yang detaknya tak bisa kuatur ini, akhirnya aku menuju ke pojokan taman dimana semua hidangan tersaji disana.
Aku meneguk segelas jus jambu hingga tandas. Aku ambil segelas lagi lalu kembali meneguknya.
"Shiena!"
Suara seseorang yang memanggil namaku membuatku langsung tersedak. Keringat dingin langsung membasahi pelipisku. Aku menepuk dadaku yang terasa sesak.
Ya Tuhan, apakah itu Mas Willy? Kenapa secepat ini kami harus bertemu lagi?
"Kamu Shiena kan?"
Hah? Suaranya sangat berbeda dengan tone suara Mas Willy. Dengan pelan aku membalikkan badan dan berhadapan dengan orang yang memanggil namaku.
"Hai, maaf ya kalo aku mengagetkanmu." Pria itu meminta maaf dan tersenyum padaku.
Dia adalah...
"Ah, aku Alex." Dia mengulurkan tangannya padaku.
Ya, aku mengenalnya. Dia adalah Alex Bastian. Kakak tingkatku di kampus yang amat terkenal dan digandrungi banyak gadis.
"Aku Shiena." Aku membalas uluran tangan Kak Alex.
"Aku tahu." Kak Alex tertawa kecil. "Sejak tadi aku memperhatikanmu. Aku seperti pernah melihatmu di kampus, makanya aku mengikutimu. Jadi ternyata kamu adalah putrinya Pak Prayitno ya?"
Aku mengangguk. "Jadi, kakak adalah kolega Ayah juga?"
"Ah tidak bisa dibilang begitu. Pekerjaanku adalah seorang model, dan aku pernah beberapa kali bekerjasama dengan perusahaan Pak Yitno, makanya mungkin aku diundang kemari."
Aku manggut-manggut. Aku ingat jika dulu aku sangat bersemangat untuk hadir di pesta ini karena Ayah mengundang Kak Alex yang adalah BA (brand ambassador) di perusahaannya. Tapi saat itu seingatku Kak Alex tidak datang karena ada pekerjaan.
Lalu, kenapa sekarang dia bisa datang?
Aku menatap Kak Alex yang masih terus bercerita tentang dirinya dan pekerjaannya.
Ya, aku mulai mengerti sekarang. Mungkinkah Semesta mengirimkan Kak Alex untuk bertemu denganku? Jika benar begitu, apakah mungkin takdirku adalah bersama Kak Alex?
Mataku berbinar senang. Siapa yang tidak menyukai Kak Alex? Cowok tampan dengan sejuta pesona yang dibawa olehnya. Aku bahkan langsung menyukainya dari awal aku memasuki kampus.
Akhirnya aku menikmati malam ini. Aku berbincang ringan dengan Kak Alex hingga pesta usai dan dia berpamitan pulang.
Sepanjang malam aku terus tersenyum sambil menatap langit-langit kamarku. Kini aku telah bersiap untuk tidur. Aku bersorak gembira karena ternyata Semesta mengirim Kak Alex dan bukan Mas Willy.
"Terima kasih. Sekali lagi terima kasih."
Aku menggeliatkan tubuhku dan menatap jam dinding di kamarku. Masih terlalu pagi untuk bangun. Tapi karena hatiku sedang bahagia, aku akan bangun pagi hari ini dan membantu Bunda di dapur.
Aku langsung membersihkan diri dan bersiap untuk turun ke dapur. Aku memakai dress rumahan yang kini bisa kupakai kembali.
Amazing! Aku berdecak kagum. Bentuk tubuhku juga kembali seperti dulu. Sebenarnya setelah menikah bentuk tubuhku juga tidak banyak berubah. Tapi yang namanya jadi seorang istri, entah kenapa berat badanku bertambah setelah menikah.
Ah sudahlah, sekarang aku akan membantu Bunda saja.
"Bundaaaa!"
"Lho tumben udah bangun. Biasanya harus dibangunin dulu."
Aku meringis mendengar ucapan Bunda.
"Aku ingin bantuin Bunda masak. Boleh kan?"
Bunda tersenyum padaku. "Boleh dong! Ayo sini potong sayurannya!"
Satu jam berkutat di dapur akhirnya aku dan Bunda berhasil membuat beberapa menu sarapan. Sebenarnya ada Bik Imah yang mengurus rumah. Tapi Bunda bilang jika urusan memasak, Bunda sendiri yang harus turun tangan. Mungkin karena Bunda ingin memastikan jika makanan yang kami makan memiliki gizi yang seimbang.
Pukul tujuh pagi aku melihat Bang Shandy turun dari lantai dua. Kamarku dan Bang Shandy bersebelahan.
"Wah, ada acara Bang kok rapi bener?"
Aku melihat Bang Shandy memakai setelan jas lengkap dengan dasi yang melilit lehernya.
"Hari ini Ayah minta Abang ke kantor," Jawab Bang Shandy.
Ayah yang baru datang juga ikut menimpali.
"Betul. Abangmu ini harus belajar mengurus perusahaan. Lagi pula kuliahnya juga hampir selesai."
"Masih sisa skripsi, Yah."
Aku melihat interaksi antara Ayah dan Bang Shandy. Aku teringat akan kesedihan Ayah ketika Bang Shandy tiada. Impian Ayah untuk membuat Bang Shandy menjadi penerus perusahaan sirna sudah.
Aku menggeleng kuat. Kali ini aku harus memastikan jika Bang Shandy menjadi penerus ayah selanjutnya.
Kami berempat memulai sarapan. Seperti biasa bunda melayani ayah dengan baik. Aku bisa melihat cinta yang begitu besar diantara mereka. Meski sudah menikah selama puluhan tahun, mereka masih menunjukkan rasa cinta mereka masing-masing
"Semalam abang lihat kamu ngobrol sama si Alex. Apa kalian dekat?"
Bang Shandy bertanya padaku.
"Hmm, gak deket sih. Cuma kenal aja."
"Hati-hati, She. Alex itu playboy. Bisa-bisa kamu dimainin sama dia."
"Apaan sih? Aku sama kak Alex cuma temenan doang kok!" Aku mulai tak suka pembicaraan ini.
"Abang kan hanya ngingetin kamu aja, She. Gak usah sewot gitu dong!"
Aku diam. Rasanya tak perlu berdebat dengan Bang Shandy karena masalah sepele.
"Kalau kamu mau, abang bisa kenalin kamu sama..."
"Stop! Stop! Stop! Stop!" Aku langsung mencegat kalimat Bang Shandy.
Sontak saja reaksiku yang dinilai berlebihan membuat semua orang menatapku.
"Maksudku aku... Aku... Aku masih muda, Bang! Aku masih ingin menikmati masa-masa mudaku. Jadi, abang gak perlu ngenalin aku sama siapapun. Ya?"
Aku meringis menatap Bang Shandy. Lalu bang Shandy pun mengangguk. Aku bernapas lega.
"Aku udah selesai sarapan! Aku tunggu abang di depan ya!" Aku segera beranjak dari ruang makan setelah sebelumnya mencium tangan Ayah dan Bunda.
Aku berdiri di teras depan rumah.
"Aku yakin kalau Bang Shandy pasti mau nyebut soal Mas Willy tadi. Untung aku sempet mencegatnya. Huft!" Aku mengusap dadaku.
"She!" Bang Shandy memanggilku.
"Abang udah selese sarapannya?"
"Hmm, lagian ini udah hampir telat. Ayo jalan!"
Bang Shandy berjalan melewatiku dan akan masuk ke dalam mobil.
"Tunggu, Bang!"
"Ada apaan?"
Aku menatap penampilan Bang Shandy yang masih belum rapi.
"Abang ini gimana sih? Pake dasinya yang bener dong! Sini aku rapiin."
Aku menata kembali penampilan Bang Shandy. Satu hal yang tidak pernah kulakukan dan hanya bisa mengejeknya saja dulu. Kini aku dengan senang hati melakukannya meski harus setiap hari.
"Kamu kenapa, She?"
"Ah, gak papa Bang. Ayo berangkat!"
Aku memalingkan wajahku. Air mataku hampir saja jatuh tadi.
Selama perjalanan menuju kampus, aku mengobrol santai dengan Bang Shandy. Sesekali kami juga melempar candaan yang membuat kami tertawa bersama.
Aku merindukan semua ini. Aku merindukan masa-masa ini. Semoga saja aku bisa mengubah semuanya menjadi lebih baik.
#
#
#
Aku melambaikan tangan ketika mobil Bang Shandy mulai menjauh dari pandangan. Aku berjalan menuju kelasku.
Di perjalanan aku bertemu dengan dua sahabatku.
"Hai, She. Diantar Bang Shandy?" Tanya Anila.
"Iya."
"Trus mana Abang lo itu?"
"Udah pergi lah. Dia mau ke kantor."
Aku melihat raut kesedihan di wajah Anila.
"Sekarang abang lo udah jarang ngampus. Jadi kagak ada yang bikin semangat deh!"
Eh? Apa maksud ucapan Anila barusan. Apa dia...
Ingin rasanya bertanya lebih lanjut, tapi karena suara sorakan heboh di belakang kami membuat Anila dan Friska menoleh.
"Hmm, si idola kampus udah dateng tuh!" Ucap Friska.
Aku ikut menoleh. Ternyata itu adalah kak Alex. Dia baru saja tiba di kampus dan mahasiswi centil sudah menyorakinya. Aku memutar bola malas. Sepertinya sangat tidak mungkin bagiku mengharapkan lebih.
"Yok ah ke kelas!" Ajakku.
"Shiena!"
Suara seseorang memanggilku. Aku tatap Anila dan Friska yang melongo tak percaya.
"She, dipanggil tuh!" Bisik Friska.
"Siapa?"
Aku menoleh lagi dan melihat Kak Alex berjalan ke arahku.
"Kakak manggil aku?" Pertanyaan yang sangat-sangat bodoh.
Kak Alex tertawa kecil. Ya ampun, senyumnya membuatku meleleh seketika.
"Iya lah. Emangnya ada lagi yang namanya Shiena disini?"
Friska dan Anila menggelengkan kepala.
"Ada apa, Kak?" Tanyaku yang mulai risih dengan tatapan tajam para gadis fans garis keras kak Alex.
"Gak papa. Kamu mau ke kelas? Aku antar ya!"
"Eh? Ah, gak usah. Aku bareng sama..."
"Silakan kak! Kalo gitu kita duluan ya, She!" Friska menarik tangan Anila.
Aku serasa mati kutu. Aku menunduk malu.
"Ayo, Shiena!" Ajak Kak Alex.
"I-iya, Kak."
Aku berjalan beriringan dengan kak Alex. Dia menanyakan beberapa hal yang umum padaku. Hatiku menghangat dengan sikapnya.
#
#
#
Jam perkuliahan telah berakhir. Aku menunggu Bang Shandy di depan gerbang kampus. Satu hal yang perlu kalian tahu. Para pria di keluargaku itu sangat protektif padaku.
Kemana-mana aku tidak dibolehkan pergi sendiri dan harus dengan pengawalan dari Bang Shandy atau Ayah. Meski awalnya aku merasa risih, tapi lama kelamaan aku lebih nyaman bersama kedua pria itu.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bang Shandy.
"She, maaf banget ya, abang gak bisa jemput. Kerjaan abang masih banyak. Tapi abang udah suruh orang buat jemput kamu. Tenang aja! Dia adalah orang kepercayaan abang."
Aku mendesah kasar. Aku yakin itu pasti sekretaris abang. Aku mencari tempat untukku duduk.
Tiba-tiba sebuah motor sport besar menghampiriku. Aku menelisik penampilan si pengendara yang memakai helm dan tak terlihat wajahnya.
"Kamu Shiena?"
Aku mengernyit. "Iya. Lo siapa?" Tanyaku ketus.
"Saya diminta Shandy untuk menjemputmu."
Aku tak langsung percaya begitu saja.
"Mana buktinya kalo lo disuruh Bang Shandy?"
Orang itu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan pesan dari Bang Shandy padanya.
"Sudah percaya? Sekarang cepat naik! Saya juga sibuk!"
Aku berpikir sejenak. Aku tidak boleh gegabah. Aku menghubungi Bang Shandy lebih dulu.
"Bener ini orang suruhan abang? Motornya merk XXX dan plat nomornya B 1710 XY."
"Iya, She. Itu orang suruhan abang. Kamu bisa percaya sama dia."
Aku mengakhiri panggilan dengan Bang Shandy.
"Apa perlu ya menyebutkan merk motor dan plat nomor motor saya segala?" Orang itu terlihat kesal.
"Ya harus dong! Gue harus mastiin kalo lo bukan orang jahat!"
"Kalo kamu gak percaya sama saya, kamu bisa pulang naik taksi saja!"
Pria itu bersiap untuk pergi. Duh, bagaimana ini? Siapa sih dia? Kenapa terlihat misterius sekali.
Pria itu menstarter motornya kembali. Aku masih bingung apakah aku harus ikut dengannya atau tidak. Ditambah suasana kampus sudah sepi karena menjelang malam.
"Saya akan bilang pada Shandy kalo kamu gak percaya sama saya. Permisi!"
"Eh, tunggu!" Aku menghadang di depan motornya.
"Buka helm lo! Gue harus lihat muka lo dulu!"
Aku bisa melihat dari balik helm, dia sedang memperhatikanku. Siapa dia sebenarnya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!