Jakarta, November 1995
Hujan lebat terus mengguyur pinggiran kota Jakarta. Jalanan licin dan air yang menggenang di jalan-jalan berlubang membuat keadaan kampung menjadi kotor. Tetesan-tetesan hujan juga menembus atap rumah satu petak. Seorang pria tengah duduk termenung di atas kasur kapuk yang sudah lepek, sementara bayi perempuan menangis menjerit di sebelahnya.
Beberapa jam yang lalu badai besar telah menerpa hidup pria itu. Dia tak pernah menyangka orang yang selama ini dia perjuangkan memilih pergi meninggalkannya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Gusman pada sang istri.
“Aku mau pergi sejauh-jauhnya,” jawab Dewi sembari memindahkan pakaian dari atas rigen ke dalam tasnya. “Aku nggak bisa hidup susah terus,” sambung wanita itu sembari kembali memasukkan pakaiannya.
Jantung Gusman mencelus. Perlahan kedua matanya menatap sang bayi yang sedang terlelap. “Wi, kalau kamu pergi, terus anak kita bagaimana?” Dewi memang sudah sering bersikap dan mengancamnya seperti itu, biasanya Gusman mengira kalau Dewi hanya menggertak. Namun, kali ini Dewi tampak serius.
“Sama kamu saja. Aku tidak mungkin membawanya.”
“Maksud kamu apa?” Gusman mendekat dan berjongkok di depan istrinya yang sedang duduk di ranjang sembari merapikan barang-barang yang hendak dibawa. “Kamu kenapa? Ada apa, Wi?” tanya Gusman sembari meraih tangan Dewi.
Dewi berdecak. Dia membuang muka sembari menghela napas. “Siang tadi, aku seperti pengemis datang ke rumahmu untuk mempertemukan anak kita dengan kakek dan neneknya, tapi apa?" Dewi kembali menatap Gusman. "Mereka menghinaku, mengusir dan menginjak-injak harga diriku. Mereka melempar uang ke wajahku. Sudah cukup, Gus. Aku tidak sanggup lagi hidup seperti ini.” Dewi menangis tersedu-sedu.
“Aku sudah memperingatkan kamu, Wi, agar kamu tidak perlu datang ke sana, kita bisa mengurus hidup kita sendiri,” kata Gusman.
Mendengar tanggapan Gusman, Dewi semakin sakit hati. Dia segera menjauhkan tangannya dari tangan pria itu, lalu merogoh dokumen dari dalam tasnya. “Ceraikan aku,” ucapnya seraya memberikan dokumen tersebut.
Gusman terperangah. “Nggak,” tolaknya seraya bangkit, kemudian mundur perlahan.
Wanita berkulit putih tersebut lekas bangkit dan berdiri di depan pria yang baru satu tahun setengah dinikahinya. “Kalau kamu sayang sama aku, kamu harus lakukan,” katanya sembari mendekatkan dokumen tersebut ke dada Gusman.
Gusman tercenung menatap sang istri. Dia merasa seperti disambar petir di tengah malam saat suasana sedang tenang-tenangnya. “Kenapa kamu ingin berpisah dariku, Wi?” lirih Gusman.
Wanita dua puluh satu tahun itu lekas membelakangi sang suami. “Aku masih terlalu muda, aku nggak mau hidup seperti ini terus, Gus. Terkekang dalam kemiskinan bersama kamu.” Dewi kemudian menoleh. “Aku menyesal menerima kamu,” tambahnya getir.
Pria yang juga baru berusia dua puluh satu tahun tersebut menghambur memeluk wanita yang dicintainya. Beribu maaf rasanya tak cukup, dia bersalah karena telah membawa Dewi hidup sengsara. Sekarang dia hanya bisa menenggak liurnya sendiri, seolah baru saja menelan kata maaf yang seharusnya dia ucapkan.
Tergesa-gesa Dewi melepas pelukan Gusman. “Cinta butuh makan, cinta butuh pakaian, cinta bukan hanya butuh pelukan. Mana janji kamu selama ini? Orang tuamu yang kaya itu bahkan mengusir dan menghinaku berulang kali,” keluh Dewi.
Kalimat Dewi benar-benar telah menusuk ulu hati Gusman. “Kamu sendiri yang mengatakan kalau cepat atau lambat ayahku akan setuju dengan pernikahan kita, kenapa sekarang kamu menyerah?” tanya pria berkumis tipis tersebut. “Kita hanya perlu berjuang lebih keras lagi, Wi.”
“Lebih keras? Kamu sudah tidak memiliki apa-apa, bahkan status sebagai anak Ganjar Wijaya pun sudah bukan milikmu lagi, Gus, kamu lupa, ayahmu bahkan mengambil semua hakmu sebagai anak.”
Gusman terperangah. Dewi memang benar, hidupnya menjadi terasa sangat sulit, semua fasilitas dan haknya sebagai anak dicabut hanya karena dia menikahi perempuan miskin seperti Dewi. Perkataan sang ayah bahkan masih jelas terngiang di telinganya.
“Menikahi perempuan miskin seperti Dewi, kemungkinannya hanya dua, Gusman. Dewi yang menjadi seperti kamu, kaya raya dengan semua fasilitas yang Papa berikan, atau kamu yang menjadi miskin seperti Dewi.”
Karena kesombongan dan keangkuhan sang ayahlah, Gusman mendapatkan kemungkinan kedua itu, menjadi miskin seperti Dewi.
Dewi sendiri masih berusaha menahan tangis, dia kemudian memalingkan pandangannya dari Gusman, lalu menatap bayi mungilnya yang tengah terlelap tersebut. Dia menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Dia ingin memeluk bayinya, dia ingin mengecup dan menyampaikan permintaan maaf karena tak bisa menjadi ibu yang baik. Namun, dia takut mengganggu tidur bayi mungilnya itu.
“Kamu urus anak kamu. Katakan padanya kalau aku sudah meninggal.” Dewi kemudian melangkah. Namun, Gusman menahan pinggangnya dari belakang.
“Wi, aku mohon tetap di sini, jangan pernah tinggalkan aku, setidaknya demi anak kita,” mohon Gusman.
“Seandainya aku tahu dari dulu kalau kamu hanya bergantung pada harta papamu saja, mungkin aku tidak akan dibutakan seperti sekarang. Aku tidak masalah menikahi pria biasa atau pria miskin sepertiku yang terpenting dia bertanggung jawab dan pekerja keras, daripada pria kaya sepertimu, tapi tak tahu caranya mencari nafkah, bahkan untuk beli air bersih saja susah,” ungkap wanita itu. Air matanya kembali terjatuh.
Perlahan tangan Gusman menjauh dari pinggang Dewi. Akhirnya semua ungkapan itu menyadarkannya. Dia merasa seperti dilempar jauh ke ujung langit dan terempas ke tempat asing yang sama sekali tak ada kehidupan untuknya. Jantungnya mencelus dan dadanya terasa sesak. Tubuh Gusman gemetar, bahkan terasa sangat dingin saat mendengar kalimat pernyataan Dewi. “Maaf, Wi, aku minta maaf,” desis pria tersebut menjatuhkan lutut ke lantai semen yang di dak.
Dewi tengadah sembari menarik napas. Dia melipat bibirnya ke dalam agar isakan tak keluar dari mulutnya, beberapa detik kemudian dia berbalik. “Sekarang kamu tandatangani ini. Lepaskan aku. Biarkan aku pergi karena aku bertanggung jawab untuk kebahagiaanku sendiri.”
Tangan Gusman gemetar mengambil bolpoin tersebut.Tubuhnya terasa merinding dingin. Entah air mata keberapa yang dia jatuhkan di hadapan Dewi bersama kegetiran yang melolong di tengah sunyinya malam.
Dengan sangat terpaksa Gusman menandatangani surat perceraian tersebut. Dia tidak ingin membuat Dewi hidup menderita. Jika ini yang Dewi inginkan maka coretan tinta diatas kertas tersebut telah mengakhiri pernikahannya.
Sama seperti Dewi yang merasa tertipu dengan janji Gusman. Gusman pun akhirnya menyadari kalau Dewi tak benar-benar mencintainya dan hanya menginginkan harta keluarganya saja. Sekarang bahkan wanita itu telah menghancurkan hidupnya.
Usai Gusman menandatangani dokumen tersebut, Dewi segera merampasnya. Jantung Gusman pun terasa seperti terampas dan terbawa angin malam. Kini dia hanya bisa meratapi apa yang baru saja terjadi. Tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa pelukan, apalagi kecupan. Dewi pergi meninggalkan dirinya dan bayi mungil yang baru berusia enam bulan.
Jakarta, awal tahun 2022.
Ashilla terjaga diantara sunyinya malam. Kekosongan menjadi lubang yang semakin besar menggerogoti hidupnya. Seminggu lalu dia diminta tinggal di Jakarta oleh sang kakek, Ashilla memang sudah berjanji untuk membantu mengurus perusahaan tekstil milik kakeknya.
Wanita dua puluh delapan tahun itu tengah duduk melamun di depan jendela kamar sembari menatap ribuan bintang diantara gelapnya malam. Suara gemericik air di kolam belakang rumah tak pernah berhenti seolah menjadi relaksasi tersendiri.
Pikirannya melayang memikirkan kejadian siang tadi saat tengah terjebak kemacetan ibu kota. Siang itu dia hendak menemui investor perusahaan kakeknya di sebuah resto. Membicarakan bisnis di sela-sela makan siang adalah pengalaman pertama yang pernah dia lakukan. Namun, bukan itu yang menjadi beban pikirannya saat ini, tapi kedua pria yang terus memanggilnya. “Aruna.”
Ketika di New York, Ashila adalah seorang dosen Sastra. Namun, di Jakarta dia dituntut keluar dari zona nyamannya. Andai sang ayah masih ada tentu saja yang ada di posisinya sekarang ini adalah ayahnya karena entah kenapa Ashilla meragukan dirinya sendiri, dia takut tak bisa membangun bisnis tersebut dan membuat Ganjar Wijaya, sang kakek kecewa.
Siang itu dia memaksa turun dari mobil yang dikemudikan sopir pribadi kakeknya. Yayan sendiri yang mengatakan kalau mereka harus memutar arah karena resto tempat diadakannya rapat ada di seberang jalan tempat mereka berada saat itu. Tak ingin semakin terlambat akhirnya Ashilla memutuskan untuk turun.
“Non, yakin mau turun di sini saja?” tanya Yayan pada sang majikan.
“Di seberang, ‘kan?” tanya Ashilla memastikan.
Yayan mengangguk mendengar pertanyaan nyonya mudanya. Ashilla lekas turun kemudian berlari untuk bisa sampai ke seberang. Tiba-tiba jerit klakson memekik membuat jantungnya berdegup kaget.
“Kalau nyebrang hat–” Wanita yang hendak memarahinya itu tiba-tiba menyekat kalimatnya sendiri. Nampaknya si pengemudi tak kalah terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya.
“Maaf,” kata Ashilla, sedetik setelahnya dia lekas pergi tanpa menoleh lagi pada wanita yang hampir menabraknya itu.
Dia segera naik ke lantai dua resto, namun sayang Ganjar baru saja mengakhiri rapat siang itu.
“Kamu terlambat, Shilla.” Ganjar menatap arlojinya. “Satu jam. Dari mana saja kamu?”
“Macet, Opa.”
“Opa sudah bilang sebelumnya.”
Ashilla mengangguk. “Maaf, Opa.”
“Ini Ashilla Wijaya, cucu saya. Dia yang akan melanjutkan perusahaan,” ungkap pria yang hampir berusia delapan puluh tahun tersebut.
“Jadi, Bu Ashilla ini yang akan mewarisi Wijaya Group?” tanya salah seorang kolega. Ganjar langsung mengangguk membenarkan pertanyaan rekan bisnisnya.
“Mohon maaf saya masih banyak belajar,” kata Ashilla.
“Mulai besok saya resmi pensiun dan perusahaan sepenuhnya dipegang Ashilla. Sudah tua begini, masih saja mengejar dunia, sudah sepatutnya saya menghabiskan waktu dengan diri saya sendiri dan Tuhan.” Ganjar kemudian menoleh pada Ashilla. “Mau tidak mau, beban itu akhirnya dipindah tangankan pada cucu saya.”
“Selamat Bu Ashilla. Semoga kedepannya Wijaya group lebih sukses lagi.”
Ashilla hanya mengangguk. Sejujurnya dia ragu untuk menjalankan perusahaan tersebut. Dia tak biasa bersusah payah karena selama ini Ganjar memang terlalu memanjakannya.
Acara siang itu diakhiri dengan makan-makan dan setelahnya Ganjar pulang terlebih dahulu.
“Langsung ke Kantor, Shil,” titah Ganjar sebelum pergi.
“Iya, Opa.” jawab Ashilla singkat. Setelah sang Kakek pergi dan disusul oleh semua koleganya, kini Ashilla duduk sendiri di depan meja yang terdapat delapan buah kursi. Ashilla merasa sangat lelah sehingga dia memutuskan untuk lebih lama berada di sana. Namun, tiba-tiba dia mendengar suara seorang pria.
“Aruna?”
Entah kenapa nama itu asing sekali di telinga Ashilla. Dia mengangkat wajah dan menatap pria yang memanggilnya begitu. “Siapa ya?”
“Kak Iqbal. Masa Aruna lupa?” Pria itu menarik kursi dan duduk di depannya.
Ashilla malah mematung. Setelah satu minggu di Jakarta, baru pertama kali ada yang memanggilnya dengan nama itu. Namun, karena merasa asing, dia lekas bangkit, tapi saat hendak pergi pria itu menahan tangannya.
“Tolong temui Iyash, dia pasti senang,” ujar pria berkacamata tersebut.
“Iyash?” Kening Ashilla seketika mengernyit. “Maaf. Anda salah orang.” Tentu saja karena Ashilla merasa benar-benar asing dengan pria di depannya dan nama yang baru saja didengarnya.
Dia mencoba melepaskan genggaman tangan pria itu. “Saya bukan Aruna, Anda pasti salah orang.” Dia lekas pergi. Sialnya pria itu malah mengejar sembari terus memanggilnya Aruna.
“Aruna, Runa, Aruna tunggu.”
Ashilla benar-benar kesal, dia juga malu karena dilihat banyak orang. Akhirnya dia berbalik dan menunjukkan kartu identitasnya pada pria tersebut. “Ashilla Wijaya, bukan Aruna.”
Pria itu tercenung menatap nama yang tertera di atas kartu identitas tersebut. Dia hendak mengambil Kartu Tanda Penduduk itu untuk melihat lebih jelas lagi, namun Ashilla malah menjauhkannya. “Maaf saya harus pergi.”
“Tunggu.” Pria itu tidak percaya dengan apa yang sudah Ashilla tunjukkan. “Kamu pasti bohong, setelah sepuluh tahun kemana saja kamu selama ini? Kamu tidak peduli lagi dengan kami di sini?”
Di anak tangga terakhir Ashilla tercenung, lalu menoleh pada pria itu. “Iqbal, ‘kan?” tanya Ashilla.
Pria itu lekas mengangguk seraya turun dari tangga dan perlahan mendekat padanya.
“Maaf, saya bukan Aruna, sudah saya bilang, kamu mungkin salah orang. Terima kasih.” Ashilla lekas pergi, namun, pria itu kembali mengejarnya dan itu membuat Ashilla merasa takut.
“Tunggu-tunggu, Aruna tunggu!” Pria itu terus bersikukuh. Dia bahkan meraih tangan Ashilla dan menahannya. Dengan cepat Ashilla menepisnya dan lekas pergi ke luar. Di depan resto tubuhnya menabrak seorang pria berblazer coklat. Dia segera menarik tangan pria itu dan menyeretnya ke dinding depan resto.
Dia bersembunyi di balik dada pria tersebut. “Maaf, tapi semoga kamu bisa menolong saya dari orang asing itu,” kata Ashilla di depan dada pria itu.
Aroma musk menyeruak menguasai penciuman Ashilla. Dia menghirup dan mengisi paru-parunya dengan aroma tersebut. Entah di detik keberapa tiba-tiba dia merasa pria itu mendekapnya dengan erat. “Terima kasih ya, Tuhan.”
Ashilla terperangah, tiga detik setelahnya dia merasa pria itu menggenggam kedua pipinya, lalu menghujaninya dengan kecupan di pipi, kening, hidung dan berakhir di bibir.
Jantung Ashilla berdegup. Dia ingin marah, namun tubuhnya terasa kaku. “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah,” desis pria tersebut sembari kembali merengkuh Ashilla ke dalam dekapannya. “Terima kasih, terima kasih,” tambah pria itu sungguh-sungguh.
Jantung Ashilla semakin berdegup kencang. Seharusnya dia marah, dia memang pantas marah karena baru saja mendapat pelecehan, namun anehnya dia malah mematung dan membiarkan laki-laki itu memeluk dan mengecupnya.
Pria itu menarik tangannya dan hendak mengajak Ashilla ke mobilnya. Namun, Ashilla tersadar dan segera melepaskan genggaman tangan pria tampan itu. Dia kemudian mengambil langkah dan segera masuk ke dalam mobil pajero hitam yang tengah menunggunya. “Jalan, Pak,” kata Ashilla pada Yayan.
“Baik, Non.”
Di dalam mobil kecupan-kecupan pria itu terus merusak dan mengotori pikirannya, debar dibalik dadanya bertambah kencang. Dia meraba kecupan yang tertinggal di pipi, kening, hidung dan juga bibirnya. Ungkapan terima kasih bahkan terus menggema memenuhi rongga pendengarannya, belum lagi aroma musk yang tertinggal di bajunya.
Sepasang kaki jenjang bergantian mengambil langkah usai turun dari mobil. Tiga undakan anak tangga dilewatinya dengan sangat anggun. “Assalamualaikum, Opa, Shilla pulang.” Dia melangkah masuk ke dalam rumah bernuansa klasik bergaya Eropa yang menjadi hunian Ganjar selama ini.
“Waalaikumsalam.”
Sore itu Ganjar sedang duduk di depan televisi menikmati siaran berita yang ditayangkan sebuah televisi nasional. Saat Ashilla melewatinya dan hendak masuk ke kamar dia mendengar suara Ganjar pelan. “Besok Opa harus pergi, ada santunan ke panti asuhan. Yayan sudah urus, besok kamu juga harus ikut.”
Ashilla terdiam dan mematung di tempatnya berdiri. “Kalau nggak ikut?” tanyanya setelah beberapa detik.
“Harus ikut, Opa harus mengenalkan kamu sebagai pewaris Wijaya Group.”
Ashilla menghela napas. Dia tak mungkin menolak.
“Jam tujuh.”
“Tapi, Op–”
Tiba-tiba denting suara bell di depan pintu utama rumah terdengar nyaring. Rumah Ganjar hanya terdiri dari satu lantai yang luas dan lebar, terdapat taman di halaman belakang yang menyatu dengan dapur. Di sana ada kolam kecil dengan beberapa ikan mas peliharaannya.
“Shilla ke kamar dulu, Opa.” Ashilla lekas pergi, namun, Bi Sumi memanggilnya.
“Non Shilla, ada tamu,” ucap wanita yang sudah bekerja selama hampir tiga puluh tahun di rumah tersebut.
Ashilla memberikan tas kepada Bi Sumi. “Tolong disimpan.”
“Baik, Non.”
Dia melihat seorang pria tengah berdiri membelakangi pintu rumah. Angkasa. Ashilla sangat yakin kalau pria itu adalah Angkasa. Pria Jakarta yang dikenalnya di New York dua tahun yang lalu. Sudah hampir satu tahun mereka menjalin hubungan. Angkasa bilang kalau dia serius dan ingin memperistrinya, namun Ashilla belum siap. Dengan penuh pertimbangan dia menerima pria yang menjadi model fashion Miranti Faradisa selaku ibunya itu. Sebenarnya Ashilla tak mempermasalahkan pekerjaan Angkasa di dunia permodelan, hanya saja dia takut Angkasa tidak dapat menerima masa lalunya.
“Hai,” sapa Ashilla ramah.
Angkasa berbalik dan tersenyum, “Sayang,” kedua tangannya terbuka lebar hendak memeluk kekasihnya tersebut. Namun, Ashilla malah menjauh, nampaknya dia tak ingin Angkasa mencium aroma musk dari pria yang memeluknya di resto tadi.
“Kamu sudah pulang? Kok nggak kasih kabar?” tanya wanita itu seraya mundur.
Wajah Angkasa merengut, perlahan kedua tangannya jatuh ke samping. “Pekerjaan aku sama Mama kamu sudah selesai, jadi aku pulang.”
“Oh.”
“Kamu nggak ngajak aku masuk?” tanya Angkasa.
“Aku juga baru pulang, capek, pengen istirahat,” kata Ashilla sembari memijat tengkuk lehernya sendiri.
Angkasa sedikit kecewa. “Tahu begini, mungkin aku akan datang besok.”
“Maaf ya.” Ashilla membasahi tenggorokannya. “Aku nggak tahan pengen mandi,” kilahnya, padahal dia benar-benar takut Angkasa akan mencium aroma aneh ditubuhnya.
“Ya udah kamu mandi aja, biar aku tunggu di sini, aku juga pengen ketemu sama Opa.”
“Lain kali aja.”
“Jadi, kamu nggak mau ketemu aku?” tuduh Angkasa.
“Bukan. Aku senang kamu pulang, tapi sekarang aku capek.”
Angkasa menghela napas. “Ya udah, tapi besok kita jalan, ya?”
“Aku nggak bisa, ada janji sama Opa buat acara santunan anak yatim.”
“Kalau begitu, aku bisa ikut.”
“Hmm, maaf tapi, kayaknyanggak bisa, ini acara keluarga.” Ashilla nampak mencari-cari alasan untuk menghindari Angkasa.
“Kenapa? Aku calon suami kamu, sama aja, ‘kan, memang kamu nggak nganggap aku sebagai keluarga?”
Ashilla menghela napas. “Bukan begitu, tapi….” Dia terdiam menjeda kalimatnya.
“Tapi apa? Sikap kamu barusan persis seperti ke orang asing, aku jadi merasa nggak dianggap,” kata Angkasa seraya mendekat, namun lagi-lagi Ashilla lekas mundur.
“Nggak gitu.” Ashilla menggeleng. “Nggak.”
Perlahan Angkasa mengendus dan mencium aroma parfum lain. “Wangi kamu kok beda.”
Ashilla menghela napas. Akhirnya Angkasa mengenali aroma itu.
“Tadi aku–”
“Tamunya nggak diajak masuk?” Tiba-tiba suara Ganjar terdengar dari dalam dan itu menyelamatkan Ashilla dari tuduhan Angkasa.
Ashilla lekas menoleh ke belakang. “Cuman sebentar, Opa.” Dia kembali menatap Angkasa. “Kamu pulang aja ya,” pintanya cepat.
“Argh … ck. Kamu ngusir aku. Padahal aku bisa temanin Opa kamu main catur.”
“Kayaknya Opa nggak bisa catur,” Kata Ashilla sembari mendorong punggung Angkasa. “Please, pulang aja ya, lain kali kita ketemu.”
“Iya.” Angkasa menoleh dan mendaratkan bibirnya di pipi Ashilla. Seketika Ashilla tergemap dan kembali teringat pada pria yang menghujani wajahnya dengan kecupan beberapa jam yang lalu.
Saat Angkasa hendak menciumnya kembali, Ashilla lekas menghindar dan pria itu malah mencubit hidungnya hingga merah. “Aw.” Ashilla meringis.
“Maaf-maaf.” Angkasa hendak melihat hidung merah Ashilla, namun Ashilla menutupinya dengan tangan. “Aku terlalu keras ya cubit kamunya?”
Ashilla mengangguk.
“Aku nggak tahu kulit kamu sesensitif itu, sedikit-sedikit merah.”
“Tapi, ini beneran sakit,” keluh Ashilla.
“Aduh maaf ya.” Angkasa hendak memeluk kekasihnya itu, namun Ashilla kembali menghindar. Sementara dari kejauhan seorang pria yang tengah duduk di dalam mobil fortuner silver memperhatikan ke arah mereka.
“Ya sudah deh, aku pulang ya, Sayang.” Angkasa melambaikan tangan sembari mundur. “Sayang, aku lupa bunganya,” teriaknya saat Ashilla hendak menutup pintu.
“Aku nggak pesan.”
“Aku bawa ini dari New York,” kata pria itu sembari memberikan bunga Lily putih yang dibawanya.
“Ngarang.” Ashilla memukulkan bunga tersebut ke dada Angkasa. Namun, kegemasan Angkasa kembali terulang, dia mencubit kedua pipi Ashilla, tapi kali ini lebih pelan. “Sampai ketemu besok,” katanya.
“Besok kita nggak ketemu.”
“Besoknya lagi.”
“Nggak juga.”
Angkasa merengut. “Nanti aku keburu balik lagi ke New York.” Dia melipat tiga jari di tengah, kemudian mengacungkan ibu jari dan kelingking, lalu mendekatkan ke pipinya. “Angkasa, kamu masih ada kontrak, cepat kembali, jangan pacaran terus sama Ashilla, nanti aku bilangin sama Tante Miranti.” Dia kemudian menatap Ashilla. “Telepon dari asisten Mama kamu, si Ocha.”
Kali ini Ashilla tersenyum. “Ya sudah cepat balik atau batalkan saja kontraknya sekalian.”
Pria itu membalas senyum Ashilla. “Nanti aku kena denda,” katanya sembari berjalan mundur. “Aku pulang ya. Dah.”
“Hm.”
Pria yang kebetulan mirip Verrel Bramasta itu pun segera berlalu bersama mobilnya dan Ashilla lekas menutup pintu. Namun, saat hendak melangkah pergi, bell kembali berbunyi. Ashilla mendengkus kesal, lalu memutar badan dan menarik gagang pintu. “Apa lag–” Seketika lidahnya tercekat dan dia lekas mendorong pintu.
Pria yang memeluk dan menciumnya di resto itu menahan pintu dan menganjurkan kartu identitas padanya. “Punya kamu, ‘kan?”
Ashilla lekas menyambar KTP tersebut.
“Maaf soal yang tadi, saya cuma salah orang,” kata pria itu.
Ashilla terdiam dan enggan menanggapi. Dia masih berusaha mendorong pintu.
“Shil,” panggil Ganjar kembali. “Kenapa tamunya nggak diajak masuk?”
“Tolong kamu dengarkan aku,” kata Pria tersebut sembari terus berusaha menahan pintu. “Besok atau lusa jika Tuhan takdirkan kita bertemu, kita pasti akan bertemu lagi,” ucap pria itu yakin.
Seketika jantung Ashilla berdentum kencang sekali. Kedua mata pria itu berkaca-kaca dan Ashilla larut sejenak dalam lara yang berpendar di kedua mata pria tersebut.
“Siapa, Shil?” tanya Ganjar seraya mendekat sementara pria itu lekas menjauhkan tangan dari pintu dan berhenti menahannya.
Ashilla berhasil menutup pintu itu. “Ehm, bukan siapa-siapa, Opa,” jawabnya sambil berbalik dan membelakangi pintu. “Cuma orang yang kebetulan menemukan KTP aku di jalan.”
“Loh, jatuh? Kenapa nggak diajak masuk?”
“Buat apa? Bilang makasih juga sudah cukup. Nggak usah terlalu baik, Opa.” Padahal Ashilla sendiri tak mengucapkan terima kasih pada pria asing itu.
“Kamu kok gitu. Jarang loh ada orang yang bersedia datang jauh buat mengembalikan KTP. Itu berarti dia orang baik. Harusnya kamu lihat pengorbanan dia mencari alamat rumah ini.”
“Lupakan, Opa. Ada banyak orang di dunia ini yang berpura-pura baik demi meraih sesuatu,” kata Ashilla sembari berjalan melewati kakeknya itu.
“Terus bunganya? Kamu nggak bilang makasih untuk bunganya?”
“Ini dari Angkasa, dia baru datang dari New York.”
“Kenapa nggak diajak masuk?”
“Shilla capek, lagi pengen sendiri.” Wanita itupun kemudian masuk ke dalam kamar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!