NovelToon NovelToon

Suami Kontrak CEO Cantik

BAB 1 Vonis Dokter

"Apa Dok, putri kami di vonis mengidap kanker otak?"

"Maafkan kami Tuan-Nyonya, karena dari hasil pemeriksaan memang seperti itu. Mikayla harus menjalani perawatan intensif karena sudah masuk stadium tiga." Ucapan dokter bagaikan petir yang menyambar di siang bolong untuk Hans dan Citra, istrinya. Tubuh Hans terasa sangat lunglai, begitu pula Citra.

Sesampainya di rumah, Hans dan Citra hanya saling diam. Karena saat ini Mikayla masih memaksa untuk masuk sekolah.

"Mas, semua ini kerena kamu Mas."

"Kenapa kamu menyalahkan aku, Citra? Kamu Ibunya, bagaimana kamu menjaganya setiap hari? Kamu bahkan lebih sering bersama teman-temanmu daripada di rumah. Sebaiknya berhenti bersikap sok kaya. Kamu tahu kalau aku ini cuma guru honorer. Untuk apa kamu mengaku pada mereka kalau aku ini seorang PNS?"

"Aku malu lah, Mas. Semua suami teman-temanku rata-rata PNS semua. Ada yang seorang polisi, TNI dan dosen juga. Kapan sih Mas, kamu bisa diangkat jadi PNS? Aku sudah 9 tahun sabar mendampingi kamu, Mas."

"Citra, aku sudah berusaha keras untuk mencari tambahan dan ikut tes tapi masih belum rezeki. Aku saja ambil kerja paruh waktu direstoran. Tapi kamu malah hambur-hamburkan uang untuk hang out atau apalah." Hans mulai kesal, ia terpancing amarah oleh ocehan istrinya.

"Mas, aku juga butuh hiburan. Kamu pikir gaji guru honorer mu 600 ribu cukup untuk satu bulan? Belum lagi kerja paruh waktumu tiap bulan cuma dapat 1,5 juta. Kamu pikir itu semua cukup? Aku bisa gila, Mas."

"Namanya hidup juga butuh proses, Citra. Kamu lupa awal komitmen kita?" Hans mulai memelankan suaranya.

"Aku tidak lupa tapi sebaiknya kamu cari tambahan lagi saja. Menjadi pengusaha lebih menjanjikan. Atau jadi kerja kantoran sepertinya gajinya lumayan besar. Suaminya Sinta juga kerja kantoran, makmur dia sekarang. Habis beli rumah dan mobil baru. Suaminya juga keluar dan berhenti jadi guru honorer. Kamu kan juga sarjana komputer, pasti ijazah kamu laku lah. Kita butuh biaya tambahan untuk pengobatan Mikayla."

Hans hanya bisa mendesah mendengar ucapan istrinya. "Tapi kamu juga ubah gaya hidup kamu, Cit. Jangan foya-foya."

"Mas, seharusnya kamu sadar. Orang tuaku tidak pernah membuatku susah. Bahkan semua yang aku butuhkan selalu di penuhi tapi hidup sama kamu lama-lama aku bosan juga, Mas. Uang memang bukan segalanya tapi sekarang segalanya butuh uang. Mana janji kamu ingin membahagiakan aku? Selalu bertahan menjadi guru honorer yang tidak punya masa depan yang jelas." Citra dengan marah memasuki kamarnya sambil membanting pintu. BRAK!

Lagi, Hans hanya bisa mendesah. Menjadi seorang guru adalah cita-cita Hans sejak dulu. Mengabdi memang butuh perjuangan dan pengorbanan karena Hans melakukan dengan ketulusan dan dari hati, bukan sekedar memikirkan banyaknya gaji atau status sebagai seorang PNS. Kini kepalanya semakin pusing karena biaya perawatan Mikayla pasti sangat banyak. Dapat uang darimana untuk mendapatkan biaya sebanyak itu untuk sekali berobat.

Malam itu setelah Mikayla tidur, Hans menyusul Citra yang sudah terlebih dahulu ke kamar.

"Citra, bagaimana kalau kamu jual atau gadaikan gelangmu?''

"Apa Mas? Gelang? Aku tidak mau. Gelang ini hasil kerja kerasku. Kamu usaha sendiri sana, kamu kan kepala keluarga. Dan mulai besok aku juga akan cari kerjaan. Karena setelah ini, kamu tidak akan punya uang lagi untuk membiayai aku, apalagi untuk makan. Uangmu saja di pakai untuk berobat akan habis."

"Citra, Mikayla itu anak kita. Masa kamu tidak mau berkorban untuknya?"

"Mas, selama 9 tahun, aku sudah banyak berkorban. Korban perasaaan! Aku ingin merasakan yang namanya liburan dan senang-senang, selama ini liburan juga di dalam kota saja. Bosan aku, Mas. Sekarang aku tahu Mas kalau cinta nomor kesekian tapi ke mapanan dan uang nomor 1." Tegas Citra. Ucapan Citra semakin membuat dada Hans terasa amat sangat nyeri. Hans hanya bisa terdiam sambil menghela nafas panjang. Ya, Hans sendiri merasakan perubahan sikap istriya yang sudah tak sehangat dulu. Bahkan untuk berhubungan diatas ranjang saja, mereka sudah sangat jarang melakukannya. Tentu saja itu karena Citra yang terus menolaknya. Sekalipun melayani, Citra pun sambil uring-uringan bahkan saat Hans belum sampai klimaksnya, Citra menyudahinya.

"Sudah Mas, sana kamu. Cepat cabut." Ketus Citra.

"Tap-tapi aku kan belum sampai."

"Tidak ada sampai-sampai. Jatah bulananmu saja tidak membuatku bahagia jadi untuk apa aku memaksa untuk memuaskanmu." Ya, itulah kalimat yang Citra lontarkan pada Hans saat keduanya bercinta. Dengan wajah memelas, Hans pun mencabut miliknya dan terpaksa menuntaskannya sendiri di kamar mandi.

Dan semua sikap itu berubah saat Mikayla mulai memasuki bangku sekolah. Citra sering uring-uringan karena memutar otak untuk uang yang sangat pas-pasan. Di tambah dengan para perkumpulan orang tua yang tampak glamor dan suka mengadakan acara anjangsana membuat Citra merasa gengsi. Citra sendiri memang bukan berasal dari keluarga orang kaya namun setidaknya kehidupan Citra serba berkecukupan. Sebelum menikah, Citra bekerja di sebuah showroom mobil sebagai SPG. Karena Hans begitu posesif dan tidak rela Citra memakai pakaian minim, akhirnya Hans meminta Citra untuk berhenti bekerja. Tentu saja saat itu Citra bersedia karena rasa cinta itu masih hangat-hangatnya. Namun seiring berjalannya waktu, pola pikir Citra berubah dan lebih realistis saat melihat kesuksesan teman-temannya yang mendapatkan suami yang mapan. Hal itu memicu rasa iri dan kesal bagi Citra karena sejak menikah dengan Hans, hidupnya sama sekali tidak ada progress. Yang ada malah makin kacau. Hans sampai detik ini bertahan karena ia sungguh mencintai Citra. Namun bagi Citra, saat ini cinta bukanlah prioritasnya karena ia lebih berpikir realistis dan berusaha memegang komitmen. Tidak lucu saja ia tiba-tiba bercerai sedangkan ia selalu menunjukkan kehidupan yang wah pada teman-temannya.

*****

"Ayah, aku akan sembuh kan?" begitulah kata Mikayla saat hendak memasuki ruang kemoterapi.

"Iya sayang, kamu pasti sembuh kok."

"Bunda temani aku ya," ucap Mikayla.

"Iya, bunda akan temani kamu." Citra lalu menggandeng Mikayla dan menemaninya kemoterapi. Sembari menunggu Mikayla menjalani kemoterapi, Hans berusaha mencari lowongan perusahaan via online. Senyum Hans merekah saat ada lowongan di bagian kepala gudang disebuah perusahaan kosmetik ternama. Melihat rincian gaji dan intensiv, membuat Hans tertarik. Tentu saja gajinya berkali lipat dari gaji guru honorernya.

"Aku sebaiknya mencoba mengisinya. Tidak apalah perusahaan kosmetik. Ini juga brand ternama. Kalau aku diterima, Citra pasti sangat senang dan sikapnya akan kembali hangat. Aku masih bisa menjadi guru dengan cara lain. Dan juga Mikayla butuh banyak biaya untuk berobat." Gumamnya. Hans lalu segera mengisi formulir secara online, berharap ia segera mendapat kabar baik.

Setelah pulang dari kemoterapi, wajah Hans langsung meringsuk. Rincian biaya sangat membuatnya pusing. Kini ia tidak punya uang sepeser pun.

"Mas, aku mau beli beras. Nanti untuk makan malam, masa iya mau makan angin."

"Maaf sayang, aku tidak pegang uang sama sekali. Semuanya sudah habis untuk biaya pengobatan Mikayla. Masak mie saja ya."

"Mas, Mikayla butuh gizi yang cukup untuk melewati masa penyembuhannya. Sebaiknya kamu keluar sana cari pinjaman sana. Besok kita juga harus ke rumah sakit lagi dan butuh biaya sebanyak itu lagi. Aku tidak mau tahu Mas, pokoknya gimana kamu. Aku udah capek. Aku fokus menenangkan Mikayla saja. Terserah lah kamu dapat uang darimana aku tidak peduli. Masa iya harus minta Ayah dan Ibuku? Malu!" cerocos Citra panjang lebar dengan segala marahnya. Citra kemudian berlalu menuju kamar Mikayla. Ia lebih memilih menemani Mikayla daripada harus melihat wajah suaminya. Lagi, Hans hanya bisa mendesah mendengar ucapan istrinya yang memang selalu menyakitkan. Terkadang Hans juga merindukan ucapan lembut dan sentuhan hangat dari istrinya. Setidaknya sentuhan dan sikap lembut Citra bisa membuat Hans semakin semangat untuk mengais rezeki.

BAB 2 Mencari Pinjaman

Setelah mendapati kemarahan istrinya, Hans pun pergi keluar berusaha mencari pinjaman. Sebenarnya pantang bagi Hans untuk hutang atau mencari pinjaman, bukan apa-apa tapi Hans tidak mau semakin menambah susah hidupnya. Namun kali ini Hans tidak punya pilihan lain. Dan pinjaman yang paling mudah ia dapatkan saat ini adalah meminjam Bang Jack. Ia pun lantas pergi menuju kerumah Bang Jack. untuk meminjam uang.

"Sore Bang," sapa Hans yang melihat Bang Jack santai diteras sembari menyeruput secangkir kopi.

"Hans, ada apa? Tumben sekali, ayo duduk." Kata Bang Jack dengan ramah. Tentu saja Bang Jack bisa bersikap ramah, karena Hans adalah mangsa baru baginya.

"Begini Bang, saya langsung saja ya. Saya mau pinjam uang."

"Uang? Bukannya kamu ini PNS dan banyak tunjangannya ya? Kenapa mendadak butuh uang?" Bang Jack pun bahkan sampai mendengar berita yang dikarang oleh istrinya.

Hans tersenyum. "Anak saya sakit, Bang. Jadi butuh tambahan uang."

"Oh begitu. Butuh berapa kamu?"

"Butuh dua puluh juta, Bang."

"Tapi tahu kan bunganya berapa?"

"Berapa Bang memangnya?"

"50%." Ucap Bang Jack dengan tegas.

"APA? 50%?" Hans terkejut bukan kepalang mendengar suku bunga yang begitu besar.

"Bang, besar sekali. Di bank pada umumnya 2% saja. Itu banyak sekali, Bang."

"Aku ini bukan bank ya. Jadi jangan sama kan aku dengan bank. Kalau kamu tidak mau ya sudah. Pergi sana! Mengganggu saja." Bang Jack pun mulai marah.

"Lalu jatuh tempnya kapan Bank?"

"Untuk pinjaman 20 juta, kamu bisa mengangsurnya selama 10x tapi kalau lewat tanggal, kamu harus membayar bunganya dua kali lipat."

GLEG! Hans hanya bisa menelan ludah mendengar ucapan Bang Jack. Sungguh sangat mencekik karena tiap bulannya harus membayar sebesar itu beserta bunganya. Sedangkan gajinya saja tidak mencukupi untuk membayar itu. Tapi bagaimana lagi, Hans sangat membutuhkan uang. Demi Mikayla dan Citra.

"Baiklah Bang, saya bersedia." Ucap Hans dengan terpaksa.

"Oke tunggu sebentar. Setidaknya tanda tangani berkas perjanjian hutangnya. Aku ambilkan uang dan berkasnya dulu." Bang Jack pun lalu masuk ke dalam rumah untuk beberapa saat.

"Ini tanda tangan dulu dan pastikan baca dulu isinya." Kata Bang Jack. Hans mengangguk, lalu membacanya. Kata 'bunga berjalan' sungguh mencekik leher Hans tapi Hans tidak ada pilihan lagi. Mau mencari pinjaman bank, BPKB motornya tidak cukup untuk mendapat pinjaman sebanyak itu. Akhirnya dengan nekat, Hans menandatangani perjanjian hutang piutang itu.

"Sudah Bang."

"Kalau begitu mana BPKB motormu sebagai jaminan awal."

"Pakai jaminan juga Bang?"

"Iyalah. Aku bisa rugi kalau tidak ada jaminan. Kalau selama dua bulan berturut-turut kamu tidak bisa membayar, motormu aku ambil. Jadi pastikan bayar tepat waktu, kalau tidak mau ada masalah di kemudian hari. Sudah bagus motormu itu laku 20 juta denganku. Di bank tidak akan lagu." Ketus Bang Jack.

"Baik Bang, kebetulan ada di dalam bagasi motor. Saya ambilkan." Hans lalu beranjak dari duduknya dan mengambil BPKB yang tersimpan di dalam bagasi motornya.

"Ini Bang."

"Oke. Dan ini uangnya. Hitung dulu sebelum kamu pulang."

"Iya Bang. Sudah pas, terima kasih, Bang." Ucap Hans setelah memastikan uangnya cukup.

"Iya, sama-sama. Jangan lupa jatuh temponya." Pesan Bang Jack sebelum Hans pergi.

"I-iya, Bang." Hans kemudian pulang.

Sesampainya di rumah, ia langsung menuju kamar Mikayla. Ia membelai wajah putirnya yang kini sudah berusia 9 tahun. Hati orang tua mana yang tidak sakit meihat darah dagingnya menderita seperti ini.

"Seandainya bisa, biar Ayah yang menggantikan sakitmu, Nak." Ucap Hans seraya mengecup kening putrinya. Disaat yang bersamaan, Citra masuk ke dalam kamar Mikayla.

"Kamu darimana Mas?" ketus Citra karena Hans pergi tanpa pamit.

"Seperti yang kamu katakan tadi. Kita sebaiknya bicara di kamar. Jangan sampai membuat Mikayla terbangun."

"Baiklah." Citra menurut. Kini keduanya sudah duduk berdua di dalam kamar.

"Aku habis cari pinjaman untuk biaya pengobatan Mikayla." Hans menunjukkan bungkusan amplop warna coklat pada Citra. Mata Citra menghijau melihat uang warna merah itu.

"Sebanyak ini darimana Mas? Hebat juga kamu. Kalau seperti ini, aku tidak akan marah-marah lagi."

"Aku pinjam Bang Jack."

"APA? Bang Jack, rentenir itu?" Citra terbelalak kaget.

"Iya. Mau pinjam siapa lagi? Mau pinjam di bank, mana bisa. Ini bisa diangsur selama 10x dengan bunga 50%."

"Apa? 50%? Gila apa. Ngasih pinjaman atau mau mencekik."

"Aku tidak punya pilihan lain. Setidaknya ini bisa membantu Mikayla untuk sampai 3 sesi kemoterapi dari 12 sesi. Sisanya aku akan memikirkan bagaimana caranya. Kamu doakan supaya aku keterima kerja."

"Maksudnya kamu cari kerjaan lain?"

"Iya dibagian kepala gudang. Gaji dan intensivnya lumayan. AKu tadi memasukkan lewat formulir onilne. Nanti aku akan dikabari lewat email untuk datang keperusahaan sekaligus membawa civi." Mendengar ucapan suaminya, mata Citra berbinar.

"Iya Mas, pasti aku doakan. Akhirnya kamu sadar juga kalau pekerjaanmu 9 tahun itu sia-sia."

"Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Aku tetap bangga menjadi guru honorer setidaknya aku sudah membagikan ilmu untuk anak-anak didikku."

"Terserah apa katamu, Mas. Yang penting berikan aku uang. Aku mau ke supermarket, belanja keperluan kita. Dua juta ya, Mas."

"Hah? Dua juta? Banyak sekali, Cit."

"Mas, itu untuk beli beras 1 karung, 25kg. Belum lauknya, ikan, daging, ayam, telur dan sayurannya. Minyak goreng habis dan bumbu dapur menipis. Kamu pikir tidak pusing apa. Sedangkan kita harus menyeimbangkan gizi makanan untuk Mikayla. Masa iya tiap hari makan tempe terus." Cerocos Citra dengan segala kekesalannya. Hans mendesah, ia lalu memberikan uang 2 juta pada Citra.

"Tolong ya Cit, kamu harus berhemat. Nanti kalau aku diterima, kita bisa menjalankan kehidupan sesuai yang kamu inginkan dan bantu doa juga."

"Iya-iya. Aku doakan supaya kamu diterima dan kita tidak menderita lagi. Sekarang aku mau belanja, kamu temani Mikayla."

"Iya. Kamu hati-hati."

"Oh ya Mas, minta tambahan 500 ribu lagi."

"Untuk apa?" Hans mengernyitkan dahinya.

"Untuk beli skincare. Skincare ku sudah mulai habis." Lagi, Hans hanya bisa mendesah dan memberikan uang 500 ribu dengan pasrah.

"Kamu sudah cantik tanpa skincare, Citra. Lihatlah, Mikayla saja sangat cantik."

"Iya tapi tetap saja cantik butuh dirawat, Mas. Kalau aku cantik, kamu bangga juga dong jadi suami aku. Aku cantik dan pandai merawat badan aku." Ucap Citra seraya memakai sweater dan make up tipis di wajahnya.

"Citra, setidaknya berikan aku ciuman sebelum kamu pergi. Kita sudah lama tidak melakukannya." Pinta Hans dengan wajah memelas. Citra lalu memberikan kecupan sekilas di pipi Hans.

"Untuk itu nanti saja kalau kamu sudah diterima kerja. Aku pergi dulu." Citra kemudian berlalu begitu saja. Hanya untuk meminta dilayani saja, Citra harus menegosiasi dengan pekerjaan. Hans hanya bisa bersabar dan mencoba memahami istrinya. Hans sendiri juga bukan terlahir dari keluarga kaya. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Rumah yang ia tempati pun adalah rumah peninggalan kedua orang tuanya. Hans membiayai kuliahnya dengan cara bekerja paruh waktu. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama begitu melihat Citra. Gayung pun bersambut. Saat itu Citra kagum dengan pria pekerja keras seperti Hans. Karena dalam benak Citra saat itu, pasti Hans adalah sosok pria yang bertanggung jawab dan setia jadi tidak ada keraguan untuk menambatkan hati pada Hans. Setelah dua tahun pacaran, mereka memutuskan untuk menikah hingga akhirnya tepat satu tahun pernikahan, lahirlah Mikayla Putri Dinata.

BAB 3 Bertemu Mantan

"Akhirnya bisa belanja di supermarket juga. Biasanya belanja di abang-abang sayur keliling. Segar sekali mata ini." Gumam Citra sembari memilih berbagai macam sayuran.

"Citra!" suara seorang pria cukup mengejutkannya. Seorang pria berperawakan tinggi, berotot, memiliki hidung yang lancip dan kulit sawo matang.

"Andra!" seru Citra yang begitu pangling dengan penampilan Andra.

"Iya aku, Andra." Andra lalu mengulurkan tangannya pada Citra. Citra menerima uluran tangan Andra dengan hangat.

"Ya ampun, aku tidak menyangka kalau itu kamu. Dulu kamu cungkirng." Ucap Citra seraya tertawa kecil.

"Hahaha, iya. Aku sudah memperbaiki giziku sekarang. Tapi kamu masih tetap cantik seperti dulu, tidak ada yang berubah." Ucapan Andra membuat Citra tersipu.

"Kamu bisa saja. Sudah kepala 3 ini, Ndra. Bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang kamu lihat. Aku sehat. Kamu bagaimana?"

"Seperti yang kamu lihat juga." Jawab Citra seraya tertawa. Citra celingak-celinguk seperti mencari sesuatu.

"Cari apa Cit?"

"Istri dan anak kamu mana? Kok sendirian saja."

Andra tertunduk lesu. "Kami sudah berpisah sejak dua tahun lalu dan hak asuh anak jatuh ke tangan Adel. Pasca bercerai, aku balik lagi ke Bandung dan meninggalkan Jakarta. Untung saja perusahaan tempat aku kerja, menyetujui kepindahanku. Setidaknya aku bisa berobat menenangkan hati ku yang terluka."

"Sabar ya, Ndra. Terkadang kehidupan tak seindah yang kita bayangkan."

"Iya, Cit. Sebenarnya dulu, selesai kuliah, aku sempat mencarimu lagi tapi ternyata kamu sudah menikah." Mereka pun terlibat obrolan sembari memilih-memilih belanjaan.

"Kamu serius?" Citra tidak percaya jika Andra sempat mencarinya.

"Iyalah, untuk apa aku bohong. Kamu cinta pertama ku dan berharap jadi cinta terakhirku tapi aku terlambat."

"Ya habisnya dulu kamu putusin buat nerima beasiswa kuliah di Jakarta. Dan aku tidak bisa LDR."

"Ya, memang bukan jodohnya kita kali ya, Cit."

"Oh ya kamu bahkan tidak mengundangku ke acara pernikahanmu."

"Untuk apa undang kamu? Kamu juga sudah lupa. Dan nomor kamu juga tidak bisa di hubungi. Kamu juga tidak memberiku kabar saat menikah. Itupun aku mendengar teman-teman dari grup SMA."

"Hehehe iya juga sih. Ya, setelah mendengar kabar kamu menikah, aku sibuk cari kerja dan akhirnya aku bertemu Adel."

"Mmmm kenapa kalian berpisah?"

"Memang sudah bukan jodohnya, Cit. Adel juga mau menikah lagi dengan pria yang lebih dari segalanya. Wanita zaman sekarang sangat realistis ya. Jarang sekali ada yang mau di ajak berjuang bersama. Apalagi mereka yang hidup di kota besar dan modern."

"Ya namanya zaman, Ndra. Segalanya butuh uang. Memangnya sekarang kamu kerja dimana?"

"Aku kerja di perusahaan IT sebagai manager."

"Wah, hebat banget ya kamu. Gede tuh gajinya." Seloroh Citra dengan tawa kecilnya.

"Ya alhamdulillah, Cit. Aku sudah bisa membeli rumah impian ku dan mobil impian ku."

"Kalau sudah mapan dan sukses, kenapa tidak menikah lagi?"

"Belum ada yang cocok. Oh ya, kita ngobrol sebentar di cafe depan ya."

"Iya baiklah. Belanjaan ku sudah penuh juga. Dari tadi muter-muter sambil ngobrol penuh juga." Kekeh Citra.

"Ya sudah, sekalian aku juga mau bayar. Cuma beli parfum dan buah saja. Sekalian aku bayarin belanjaan kamu."

"Eh jangan, Ndra. Aku sudah bawa uang kok."

"Sudah tidak apa-apa, Cit. Hampir 10 tahun lho kita tidak bertemu. Sekarang aku sudah sukses jadi aku kamu juga ikut merasakannya." Ucapan Andra mendadak membuat jantung Citra berdegup kencang. Citra akhirnya hanya bisa mengangguk pasrah. Setelah membayar, mereka berdua berjalan menuju tempat parkir. Sebuah mobil pajero sport keluaran terbaru tampak gagah disana. Membuat Citra merasa ikut bangga melihat keberhasilan Andra.

"Andra, tapi aku bawa motor."

"Citra, belanjaan banyak begini masa kamu bawa motor. Kenapa tidak bawa mobil?"

"Tidak punya mobil, Ndra. Punya nya cuma motor." Jawab Citra malu-malu. Andra merasa kasihan pada Citra. Sepertinya kehidupan Citra biasa saja.

"Ya sudah, biar nanti belanjaan kamu dibawa taksi saja ya. Jadi kamu bisa naik motor tanpa kerepotan."

"Tidak usah, Ndra. Aku tidak mau merepotkanmu."

"Aku tidak repot kok. Aku masukkan kedalam mobil dulu ya. Kita ngobrol santai di cafe. Nanti aku antar balik lagi kesini sekalian sama belanjaan kamu."

"Iya baiklah." Jawab Citra. Wanita mana yang tidak terpesona melihat penampilan Andra yang begitu gagah. Apalagi perlakuan Andra yang begitu lembut. Bodoh sekali wanita yang meninggalkan Andra. Andra dan Citra dulu sempat menjalin kasih selama 7 tahun. Hubungan itu terjalin saat keduanya masih SMP kelas 3 dan berlanjut sampai keduanya semester dua saat kuliah. Namun saat masuk dua semester itu, keduanya menjalani LDR. Dan akhirnya Citra menyerah karena Andra semakin sibuk dan sulit dihubungi. Padahal kedua jarak itu tidaklah terlalu jauh. Sudah pasti kesibukan keduanya membuat cinta diantara mereka memudar. Kini keduanya tengah duduk santai berdua disebuah cafe yang tak jauh dari supermarket.

"Citra, aku minta maaf sama kamu."

"Minta maaf untuk apa?"

"Ya karena aku sulit dihubungi dan karena kesibukan ku saat kuliah dulu."

"Kita saat itu memang kurang sabar dan kurang dewasa. Aku juga minta maaf karena aku sempat menyerah. Tapi ya sudahlah, namanya juga masa lalu."

"Oh ya ceritakan suamimu dan keluargamu."

"Tidak ada yang spesial dan yang perlu dibanggakan, Ndra." Jawab Citra dengan setengah malas. Andra bisa membaca sepertinya Citra memang mentimpan sesuatu.

"Ayolah, cerita saja. Aku juga sudah cerita," paksa Andra yang sangat ingin tahu kehidupan tentang Citra.

Citra menghela. "Suamiku, dia pria yang pekerja keras dan bertanggung jawab. Meskipun karirnya tidak sesukses dirimu. Kehidupan kami jauh dari ekspetasi kamu tapi aku tetap bersyukur, meskipun kadang lelah juga. Dia begitu setia menjadi guru honorer dengan gaji yang tak seberapa. Membuatku harus memutar otak untuk mencukupkan gaji yang bisa dibilang tidak cukup. Aku butuh pekerjaan, Ndra. Saat ini anakku sakit dan aku butuh uang tambahan." Mendengar cerita Citra, membuat Andra merasa kasihan dengan wanita yang pernah mengisi hatinya selama 7 tahun.

"Sabar ya Cit, kamu harus kuat untuk anakmu. Berapa usia anakmu? Dan dia sakit apa?"

"Namanya Mikayla, usianya 8 tahun. Dokter memvonisnya kanker otak stadium 3." Bulir air mata jatuh membasahi wajah Citra begitu saja. Melihat kondisi Citra seperti ini, membuat Andra ikut merasakan sakit. Masih ada sisa-sisa cinta di sudut hati Andra untuk Citra.

"Aku 9 tahun bertahan dengan kondisi suamiku menjadi guru honorer, Ndra. Kondisi yang membuatku begitu sulit dan rasanya ingin menyerah. Padahal aku sudah memintanya untuk mencari pekerjaan lain. Dia juga kuliah dan lulusan sarjana tapi dia tetap saja tidak ada perubahan. Awal menikah sampai detik ini uang segitu mana cukup. Kadang aku juga capek. Aku juga pingin bisa santai, senang-senang, setidaknya menyenangkan diri sendiri. Sedangkan dia melarangku bekerja. Dulu karirku lumayan tapi dia memintaku untuk berhenti dan aku menurut saja karena dia suamiku jadi aku berusaha patuh. Aku akui, dia bertanggung jawab tapi dengan pendapatan seperti itu, apa bisa aku bertahan? Belum lagi kebutuhan lain-lain di luar kebutuhan sehari-sehari. Terkadang aku ingin memilih sendiri tapi kasihan Mikayla, apalagi saat ini dia sedang sakit. Aku bingung, Ndra." Citra pun mulai terisak. Andra lalu meraih dan menggenggam tangan Citra.

"Citra, percayalah. Semua akan bisa terlewati dengan mudah. Aku akan membantumu mencari pekerjaan. Siapa tahu ada posisi kosong di perusahaan."

"Terima kasih ya, Ndra. Maaf kalau aku harus menceritakannya padamu. Aku tidak mungkin mengadu pada kedua orang tuaku. Yang ada mereka malah semakin sedih."

"Iya tidak apa-apa. Kamu bisa anggap aku temanmu, Cit. Sudah ya, jangan menangis lagi." Andra dengan lembut menyeka air mata Citra. Sentuhan yang membuat Citra semakin berdebar. Setelah mengobrol cukup lama, Citra akhirnya pulang. Dan sebelum pulang, keduanya pun saling bertukar nomor telepon.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!