DILARANG UNTUK BOOM LIKE GUYS
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Wuuuuzzzz... Booomm...
Dor... Dor... Dor...
Masih banyak lagi suara - suara yang terdengar hingga mampu membuat bulu kuduk meremang seketika saat mendengarnya.
Kini visual beralih ke video yang lainnya. Tampak kekacauan yang terjadi dibeberapa sudut kota dengan para korban yang berjatuhan.
Plaaakk
Sebuah tepukan mendarat dibahu kurus seorang bocah lelaki berusia lima belas tahun.
"Jangan terlalu banyak berinteraksi dengan yang namanya HP. Kalau sibuk sama HP, nanti kamu gak punya banyak teman," tegur ayah sang bocah. "Pergi main sama temanmu sana,"
"Aku cuma lihat video pemberitaan tentang konflik Israel dan Palestina." Bocah lelaki itu mengangkat pandangannya dan melihat bapaknya yang sedang duduk sambil menyalakan TV untuk menonton berita terkini.
"Kasihan para korbannya. Pasti banyak anak - anak yang tiba - tiba kehilangan orang tuanya," ucapnya lagi menyampaikan keprihatinannya pada peperangan antar dua negara yang tak ada habisnya.
"Heem. Jadi kita harus bersyukur karena tinggal di Indonesia yang terbilang masih aman dari peperangan yang sebesar itu," ujar sang bapak.
Bocah itu mengangguk, membenarkan ucapan sang bapak. Ya walaupun tak dapat dipungkiri, keamanan negara ini tidak seratus persen aman, tapi setidaknya kita masih beruntung bisa terhindar dari kekacauan besar yang terjadi seperti didaerah berkonflik.
"Aku mau jadi tentara," ucap bocah itu dengan mantapnya saat mengambil keputusan besar untuk masa depannya kelak.
Sang bapak mengerenyit. Ia menatap wajah sang anak. Tampak keseriusan dari ucapan yang baru saja dilontarkannya. Sejak kapan anaknya punya tekad sekuat ini? Padahal untuk belajar saja orang tuanya harus mengeluarkan taringnya terlebih dahulu agar ia berangkat kesekolah.
"Kalau mau jadi tentara, belajar yang benar. Jaga fisik kamu, jangan ikut - ikutan merokok, minum alkohol dan pakai narkoba," sang bapak mengambil kesempatan dari niat sang anak untuk mengarahkannya agar melakukan hal - hal yang lebih positif.
"Pasti," ucap Bima kian mantap. "Mulai sekarang Bima bakal rajin belajar. Gak bakal ngerokok, minum alkohol apalagi pakai narkoba. Bima mau ikut berjuang sama om - om tentara lainnya buat jaga negara kita. Biar gak ngalamin yang namanya peperangan besar seperti negara lain," ucapnya dengan penuh semangat yang membara.
"Bagus." Sang bapak mengacungkan jempolnya. "Dan untuk latihan fisik tahap awal, kamu bantu Bapak cari rumput buat makan sapi - sapi Bapak." Sang bapak bangkit dari duduknya, bersiap dengan alat tempurnya untuk mencari pangan untuk sapinya.
"Yaahh... Masa cari rumput?" gerutu Bima, yang awalnya semangat empat lima, kini menjadi letoy mendengar ucapan bapaknya.
Langkah sang bapak terhenti, lalu menoleh kebelakang dimana Bima menyandarkan punggungnya disandarkan kursi.
"Anggap latihan ringan. Nanti kalau udah keterima jadi tentara, kamu bakal dapat latihan lebih berat lagi." Sang bapak melanjutkan langkahnya menuju dapur.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Bima Arya, seorang remaja berusia 15 tahun yang sudah menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme dalam dirinya sejak dini.
Melihat seberapa kacaunya keamanan beberapa negara dari pemberitaan melalui video - video dari unggahan banyak pihak di laman YuTub, mampu menggerakkan hatinya untuk menjadi salah satu pejuang untuk melindungi negaranya.
Dengan tekad yang kuat, Bima terus berusaha untuk menggapai cita - citanya. Ia mulai belajar dengan tekun disekolah, sampai melatih fisiknya dengan cara yang mungkin tak masuk akal baginya dengan bimbingan sang bapak.
Melihat keseriusan Bima akan cita - citanya, kedua orang tuanya hanya bisa memberi dukungan penuh serta diiringi doa kebaikan untuk sang anak disetiap sujud mereka.
"Sepertinya tekat anak kita benar - benar kuat, Bu," ucap Cipto yang melihat anak dengan tekun masih melakukan latihannya di halaman belakang rumah.
"Iya Pak. Bukankah ini bagus untuk perubahannya? Dari yang malas, kini dia jadi rajin sekolah dan rajin bantu kerjaan Bapak?" ucap Yanti sambil tersenyum menatap suaminya.
Cipto mengangguk membenarkan perkataan istrinya.
Semenjak untuk yang pertama kalinya Bima mengutarakan niatnya menjadi tentara waktu itu, sang anak menunjukkan perubahan drastis yang mengarah kepada hal yang lebih positif.
"Ibu harus mulai belajar berbesar hati saat nanti tiba waktunya ia meraih cita - citanya. Jauh dari keluarga, apalagi saat dia bertugas kemedan perang. Ibu harus tetap beri dukungan walaupun hati Ibu merasa berat buat melepasnya kemedan juang," Cipto mulai menerawang dimana masanya sang anak maju ke medan tempur.
Yanti menghela nafas kasar. Mungkin bila waktu itu tiba, ia akan merasa berat untuk melepas sang anak. Tapi ia harus berusaha selalu mendukung cita - cita mulia anaknya.
"Semoga Bima berhasil meraih cita - citanya ya, Pak?" ucap Yanti pada suaminya sambil mengelus perutnya yang membuncit.
"Aamiin,"
Saat asik berbincang, sayup - sayup Cipto dan istrinya mendengar suara teriakan dari depan rumah.
"Bim! Bima!" Teriak Anto dari luar pagar rumah Bima.
Cipto yang sedang berbincang dengan sang istri, beranjak untuk melihat siapa yang mencari anaknya.
Tampak bocah seusia anaknya yang sedang bersandar pada pagar besi rumah sebatas dadanya.
"Bima lagi olahraga. Ada apa? Mau ikutan?" Cipto ikut berteriak dari sisi samping rumah saat menyahuti panggilan Anto.
"Olahraga apa sore - sore begini, Pakdhe?" Tanya Anto masih berteriak.
"Lihat sendiri aja," Cipto mengedikkan dagunya kearah dimana Bima berada.
Anto membuka pintu pagar dan langsung menuju dimana Bima berada.
Tampak oleh pengelihatannya, Bima yang sedang bergelantungan pada tiang besi dan mengangkat beban tubuhnya hingga kepalanya lebih tinggi dari tiang yang dipegangnya.
"Oy, Bim! Ngapain gelantungan kayak monyet?" gurau Anto.
Tanpa memperdulikan ucapan teman semprulnya itu, Bima tetap menyelesaikan latihannya yang sebentar lagi akan selesai.
Anto mendengus ketika tak mendapat tanggapan dari Bima. Ia berjalan kearah dimana bapak dan ibunya Bima sedang duduk bersantai.
"Wih... Makin besar aja perut Budhe," ucapnya berbasa basi.
"Namanya juga si adek makin besar didalam. Jadi otomatis perut Budhe ikutan besar," sahut Cipto.
"Ya iya dong Pakdhe, si adek makin besar didalam. Kalau bukan si adek yang makin besar, berarti Budhe terkena busung lapar " kelakar Anto mengajak kedua orang tua Bima untuk bercanda.
Buugh
Yanti melempar tutup toples kearah Anto. "Enak aja bilang Budhe kena busung lapar,"
"Hahaha... Bercanda Budhe,"
...****************...
Jangan lupa beri like dan komen kamu.
Bagian 2
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Bu! Ibu! Bima berangkat. Assalamualaikum," teriak Bima dari luar rumah.
Yanti keluar seorang diri dengan langkah perlahan sambil mengelus perut buncitnya. Sedangkan suaminya sudah berangkat sejak subuh tadi. Maklum saja, sang suami hanya seorang buruh perkebunan karet disalah satu PT. Perkebunan karet yang ada di daerah Sumatra Utara.
"Kamu jangan teriak - teriak gitu kalau pamitan. Kayak tarzan aja kamu itu," Yanti ngedumel melihat kelakuan anaknya.
"Hehehe..." Bima cengengesan mendapat omelan sang ibu. Ia turun dari sepeda dan menstandatkannya. Bima berjalan mendekati ibunya dan mersih tangan wanita yang telah melahirkannya itu untuk dikecup.
"Bima berangkat dulu, Bu. Assalamualaikum," ucapnya dengan lembut.
Bima berbalik, hendak meraih sepedanya. Namun langkahnya terhenti saat ia melupakan sesuatu.
Ia kembali melangkah kearah ibunya, lalu mensejajarkan wajahnya tepat didepan perut buncit saang ibu. "Abang berangkat dulu, Dek. Kamu yang anteng diperut ibu. Temani ibu dirumah ya." Pesan Bima pada calon adiknya, sambil mengelus perut sang ibu.
Yanti sangat bahagia melihat kelakuan putranya yang tampak menyayangi calon adiknya. Semoga kelak kedua anaknya akan selalu akur dan saling menyayangi satu sama lain.
Bima mengayuh sepedanya dengan penuh semangat. Ia akan lebih giat belajar dan berlatih demi mengapai cita - citanya.
Sesampainya disekolah denagan terburu - buru ia menuju kelasnya.
"Ci?" panggilnya pada teman sekelasnya.
Sang empunya nama pun menoleh.
"Kita roker tempat duduk ya?" Tanpa menunggu persetuajuan dari Suci, Bima menarik tas milik gadis itu ke bangkunya yang lama.
"Loh? Kok dipindah? Gak mau ah." Tolak suci yang menahan tasnya yang akan dibawa Bima.
"Ck, gak ada penolakan,"
"Iii apaan sih?" Suci kekeh menolak.
Mendapat penolakan dari Suci, Bima memutar otaknya. Mencari cara agar Suci menurutinya.
"Aku traktir bakso deh. Tapi kita roker tempat duduknya. Gimana?" Bima menaikkan sebelah alisnya.
"Bakso?"
Bima mengangguk dengan mantap. "Semangkuk bakso di kantin Bu Ida,"
Mendengar kata ditraktir dan bakso, jiwa gratisan Suci meronta. Gak ada salahnya 'kan kalau dia menerima tawaran Bima?
"Ok," setelah menyetujuinya, Suci langsung meraih tasnya dari tangan Bima. Dan dengan suka rela ia pindah ketempat duduk Bima dibarisan kedua dari belakang.
Bima tersenyum sumringah karena rencananya membujuk Suci berhasil. Dan ia langsung menduduki bangku itu dan mengambil bukunya dari dalam tas dan langsung membacanya.
Terdengar riuh dua remaja pria yang memasuki kelas itu. Mereka berjalan kearah bangku paling belakang.
"Loh, Ci? Ngapain kamu disini, dibangkunya Bima?" tegur Anto.
"Bima yang minta tukaran tempat duduk," jawab Suci dengan entengnya dan kembali fokus pada PR yang belum ia selesaikan ketika dirumah.
Anto dan Rudi menoleh kearah bangku dimana saat ini Bima tengah duduk anteng dengan buku didepannya.
"Wiiih... Teman kita udah dapat hidayah dari Allah ternyata," seru Rudi.
Dan tak lama, guru pun masuk untuk menyampaikan materi pembelajarannya.
Saat menghadap seluruh muridnya, Bu Dina yang bertugas menyampaikan materi dijam pertama dibuat spechlees melihat sosok yang tepat berada didepannya saat ini.
"Ini benaran kamu, Bima?" tanyanya tak percaya.
Yang disebut namanya pun hanya tersenyum lebar.
Bagaimana tidak terkejut melihat Bima yang terkenal dengan kemalasannya saat belajar, kini tenagah duduk dibarisan paling depan tepat dihadapan meja guru.
"Alhamdulillah... Ternyata kamu sudah mendapat hidayah dari Allah," ucap Bu Dina dengan bangga.
Mendengar ucapan guru mereka, semua murid yang ada dikelas Bima pun sontak tertawa.
Mereka cukup paham dengan bima si pemalas dan si tukang tidur saat guru menjelaskan materi.
Dua jam pun berlalu. beberapa menit lagi jam istirahat tiba.
Kruuukkk kruuukkk kruuukkk
Bunyi perut yang sedang kelaparan pun terdengar nyaring, hingga membuat yang ada disana saling tatap.
Kruuukkk kruuukkk kruuukkk
Bunyi itu terdengar lagi. Dan kini tatapan semua orang tertuju pada sosok yang tadi pagi telah membuat sang guru terkagum - kagum.
"Sangking niatnya belajar, perut kamu sampai terkuras habis isinya ya, Bim?" gurau Bu Dina.
Yang di sindir pun hanya bisa menampakan gigi putihnya yang memiliki gingsul.
"Hehehe..." Bima cengengesan sambil menggaruk kepalanya.
Dan tak lama dari itu, bel panjang tanda istirahat pun berbunyi.
Dan berakhir pula pelajaran sejarah yang sungguh membuat mereka mengantuk.
Di kantin. Bima, Anto dan Rudi kini tengah makan dengan lahapnya. Tepatnya hanya Bima yang terlihat semangat menelan maknanya.
"Bim! Jadi traktir 'kan?" Suci menghampiri ketiga remaja itu, dan menagih yang sudah dijanjikaan oleh Bima.
Bima tak menjawab, tapi ia hanya mengacungkan jempol dan menganggukan kepalanya.
Dengan semangat, Suci memesan semangkuk bakso pada Bu Ida dan berpesan, makanannya akan dibayar oleh Bima.
"Sssstttt, sssstttt." Rudi memberi kode kedua temannya.
Bima dan Anto menoleh. "Apa?" tanya keduanya serempak.
"Noh, lihat si Aya." Rudi menunjuk seorang gadis bernama Aya dengan dagunya. Dan dengan refleksnya, kedua temannya menoleh kesamping, melihat gadis yang dibicarakan Rudi. "Dari tadi ngelirikin Bima terus. Naksir kali ya,?" Tebaknya.
"Gimana gak naksir?" Anto menyeruput teh es-nya. "Buka jendela, wajah si Bima kelihatan. Buka pintu, wajah si Bima lagi yang kelihatan. Keluar dari rumah, lagi - lagi wajah Bima yang terlihat," sahut Anto.
"Gak usah ngomong yang belum tentu betul. Tar ujung - ujungnya jadi fitnah. Fitnah lebih kejam dari kelaparan." Bima bangkit dari duduknya hendak menuju kelas. Diikuti dua temannya.
Namun tampa diduga, tatapan Bima bertubrukan dengan tatapan Aya. Mendapati hal itu, Bima memberi seulas senyumnya dan dibslas dengan senyuman manis Aya.
"Wah... Ternyata bukan Aya aja yang ada hati, ternyata teman kita juga merasakan hal yang sama," goda Rudi saat ia memergoki keduanya saling berbalas senyum.
"Tembak lah kalau memang suka. Janga sampai nanti bisa nembak musuh, gak bisa nembak cewek," Anto ikut menggoda Bima
"Luruskan dulu tuh pipis, baru mikir tembak menembak cewek," sewot Bima yang mulai kesal digoda terus menerus dengan kedua temannya.
****
Subuh ini terasa lebih dingin dari hari biasanya. Karena memang kemarin malam desanya diguyur hujan deras. Dan untunagnya hari ini adalah hari minggu.
Bima yang merasakan dingin yang teramat sangat pun tambah menarik selimut dan bergelung didalamnya.
Tak lama terdengar erangan panjang dari mulutnya. Dan tak lama kemudian ia mulai terbangun dari tidurnya. Bima melirik jam dinding dimpingnya, pukul lima tepat.
Sayup - sayup ia mendengar obrolan pagi kedua orang tuanya. Dan ia memutuskan bangkit dan menghampiri keduanya.
"Loh? Udah bangun, Bim?" tegur sang ibu terlihat heran. Karena biasanya sang anak akan bangun cukup siang ketika libur.
Bima mengangguk sambil menggacak rambut bagian belakangnya dan menghampiri bapaknya yang duduk dikursi dekat dapur.
"Tunggu!" Yanti menghentikan langkah anaknya. "Kamu ngompol, Bim?" Yanti memperhatikan bagian bawah Bima. "Tapi baunya kog bukan bau pesing ya? Kog malah kayak bau--" ia melihat celana bokser abu - abu sang anak tampak basah. Ia dapat mengendus bau khas air khusus milik para kaum pria.
Bima melihat kearah tatapan sang ibu. Dan seketika Bima terkejut dengan keadaannya sekarang. Bima lari terbirit - birit menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri akibat mimpi yang luar biasa menyenangkan.
"Hahaha..." Cipto terbahak melihat kekonyolan anaknya.
"Anak kamu, Pak," Yanti menarik nafas dan menggelengkan Kepalanya.
"Anak kamu juga, Bu. Kita sama - sama buatnya,"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jangan lupa like dan komentar ya.
Bagian 3
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Bima berusaha untuk terus mengayuh sepedanya dengan tenaganya yang masih tersisa ditengah teriknya matahari.
Remaja tanggung itu menyusuri jalanan desa yang bebatuan akibat tanah yang tergerus saat hujan tiba.
Dengan dahi yang dipenuhi peluh dan perut yang keroncongan, karena tak sempat masuk kedalam rumah lebih dulu, Bima terus memacu sepedanya kearah puskesmas yang terletak diujung desa.
Sepulang sekolah tadi, saat ia hendak memasuki pagar besi rumahnya, ada tetangga yang memberikan kabar, bahwa sang ibu sedang berada diunit kesehatan desa mereka untuk mendapatkan penanganan persalinan.
Dan tampa meletakan tas ataupun mengisi perutnya, bima langsung menuju tempat dimana ibunya berada.
Braak...
Bima meletakan sepedanya dengan asal dihalaman puskesmas desa. Ia berlari menyusuri koridor puskesmas untuk mencari dimana ruangan sang ibu berada.
Diujung sana, Bima mendapati sosok tetangga depan rumahnya, yang tak lain adalah ibunya Aya.
"Bulek? Apa ibuku ada didalam?" tanya remaja itu dengan wajah yang terlihat panik.
"Iya. Sama bapakmu. Bentar lagi adik kamu lahir, Bim," setelah bulek Sumi berucap begitu, sedetik kemudian terdengar lengkingan tangis seorang bayi yang baru saja lahir.
Oooweeekkk... Oooweeekkk...
"Alhamdulillah..." seru Bima dan bulek Sumi serempak. Keduanya saling bertukar senyum.
Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah pak Cipto yang masih menyisakan raut wajah tegangnya. Ia sedikit terperanjat saat mendapati sang putra sudah berada didepan ruang bersalin istrinya, dan masih menggunakan seragam lengkap dan sebuah tas dipunggungnya.
Pak Cipto tersenyum, tampak seksali raut wajah bahagianya. Ia menghampiri sang putra, menepuk pundaknya dan sedikit menekan. "Adik kamu sudah lahir," ucapannya terhenti sejenak, ia menoleh pada bulek Sumi sekilas dan berkata lagi pada putranya. "Sesuai keinginanmu, dia seorang perempuan yang tak kalah cantik dari ibumu,"
Mendpati kabar bahagia itu, Bima langsung meunbruk bapaknya dan memeluk pria yang menjadi pahlawan dalam hidupnya itu. Menyalurkan rasa bahagia yang ia punya saat ini.
Bagaimana tidak bahagia? Setelah sekian tahun menungagu, akhirnya ia bisa memiliki seorang adik. Mengingat seberapa besar perjuangan sang ibu, hingga mengalami beberapa kali keguguran.
"Bima udah boleh lihat princess kecil Bima?" pintanya dengan wajah antusias.
Tak menunggu lama, pak Cipto langsung mengangguk pada anak pertamanya yang sekarang telah menjadi seorang kakak. "Bapak kekamar mandi dulu, mau wudhu sebelum meng-iqamat-kan adikmu." Sekali lagi, pak Cipto menepuk pundak Bima. "Titip istri dan anakku sebentar, Mak Aya,"
Bulek Sumi mengangguk lalu bangkit dari duduknya untuk mengikuti Bima kedalam ruangan bersalin bu Yanti.
"Akhirnya ya, Yan. Lahir juga si adik dengan selamat." Bulek sumi mendekati ranjang pasien yang sudah ada bayi dalam gendongan Yanti.
"Iya, Mak. Akhirnya aku sama mas Cipto dikasih kepercayaan lagi buat punya momongan." Ucap Yanti sambil mengelus pipi putri kecilnya.
"Boleh Bima yang kasih nama, Bu?" pinta Bima yang masih betah memandangi adik bayinya yang masih merah.
Yanti menoleh kearah suaminya yang baru saja masuk. Wanita dua anak itu mendapatkan anggukkan sang suami, pertanda memberi izin.
"Emang kamu udah nyiapin nama?" tanya Yanti pada sang putra.
"Udah," Bima menjawab dengan mantap.
"Siapa?" Tanya ibunya.
"Alika Kiara. Kebenaran yang akan selalu bercahaya." Bima langsung mengecup pipi merah sang adik.
"Nama yang indah, dengan arti yang penuh dengan makna, Bang." Cipto menepuk lembut kepala sang putra sulung. "Sini. Bapak mau iqamat si Kiara dulu,"
****
Kini rumah kediaman keluarga Bima sudah ramai oleh para tamu undangan. Hari ini, Cipto dan keluarga tengah mengadakan aqikahan anggota keluarga baru mereka.
Lantunan ayat - ayat suci Al - Qur'an serta sholawatan sudah terdengar dari dalam rumah yang tak terlalu besar itu. Dan tiba saatnya pemotongan rambut si jabang bayi yang sudah berumur tujuh hari ini.
Sedangakan diluar, Bima sedang berkumpul dengan kedua teman karibnya, Anto dan Rudi. Mereka bertiga membicarakan hal - hal random yang berhasil mendatangkan gelak tawa antar ketiganya.
Hingga akhirnya Bima dan kawan - kawan melihat sosok gadis cantik seusia mereka baru saja keluar dari rumahnya.
"Weesss... Calon pacar si Bima, Rud," Tunjuk anto dengan dagunya.
"Lihat, lihat. Doi lihat kemari. Tapi lihatin siapa ya?" Rudi mulai beraksi.
"Gak mungkin lihat kita lah." Anto menggeplak kepala Rudi.
"Aduh! Sakit be gok!" Rudi meringis sambil mengelus bagian belakang kepalanya.
"Gak usah ngadi - ngadi. Masih piyik juga," sewot Bima, namun tatapannya tak lepas dari gadis remaja yang baru saja melintas diahadapan mereka dengan wajah yang tertunduk.
"Prikiteeeww... Cuit cuit... Aya...!" goda Anto saat remaja itu melintas.
Tanpa menghiraukan godaan dari Anto, Aya terus berjalan menuju kearah rumahnya.
Melihat kejahilan teman - temannya, Bima hanya bisa mencibir kelakuan mereka berdua.
****
Hari - hari terus berlalu, tanpa terasa Bima dan kedua temannya sudah menginjak kelas tiga dibangku SMA.
Mereka bertiga memutuskan untuk melanjutkan sekolah ditempat yang sama. Tak terkecuali juga dengan Aya, ia juga bersekolah ditempat ketiga remaja semprul itu belajar.
Dan disinilah Aya berada. Tepat didepan ketiga temannya semenjak SD, SMP hingga SMA.
"Eh... Ada Aya," Anto yang pertama kalinya menyapa.
Gadis itu tersenyum dengan manisnya. "Eeemmm..." gadis itu sedikit ragu saat bicara pada salah satu pemuda diantara mereka.
"Iya, Aya... Ngomong aja. Kita bertiga siap buat dengerin kamu kog," ucap Rudi dengan tengilnya dan langsung diangguki oleh Anto.
Memang ya, kedua pemuda ini tak ada berubahnya dari dulu sampai sekarang. Dan diantara ketiga pemuda itu, hanya Bima lah yang paling kalem dan memiliki wajah tak kalah tampan dari aktor FTV dengan tubuh tegap tinggi yang lumayan berotot akibat latihan rutin dari olahraganya.
"Eeemm, Bim," Aya sedikit ragu meneruskan ucapannya. Lima menit berlalu, tapi belum ada lanjutan dari perkataan Aya.
"Aya suka sama kamu, Bim. Aya mau kamu jadi pacarnya. Diammmpphh...." Celetuk sari yang tak sabar dengan keleletan temannya. Dan Aya langsung membungkam mulut Sari agar berhenti bicara.
"Woooaaahhh..." Anto dan Rudi berseru dengan girangnya.
"Iya, iya. Bima terima Aya jadi pacarnya kog," jawab Rudi dengan cepat, dan anto hanya mengangguk saja.
Melihat kehebohan teman - temannya, Bima masih bisa duduk dengan tenang dan santainya. Ia masih melihat gadis dihadapannya kini tengah tersipu malu sambil ngedumel dengan temannya.
Nyali Aya seaketika menciut, saat ia melihat Bima sedang menatapnya dengan intens. Ia meremas jari - jemarinya yang mulai berkeringat, menunggu sebuah tanggapan apa yang akan diberikan pemuda yang sejak lama ia sukai itu.
****
Bagaimana tanggapan dan jawaban Bima?
Yuk! Terus ikuti kisahnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jangan lupa untuk bari dukungan kamu ya. Beri like dan komentar kamu. Dan masukkan kedaftar favoritmu.
Semoga hari - hari kita dipenuhi keberkahan dan kebahagiaan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!