Berlin-German tahun 2035.
“Dimana menantu tak berguna itu?” ucap seorang pria dengan kesal menatap ke arah panggung pernikahan yang masih kosong. Sementara tamu sudah pada datang.
“Cepat acara pernikahan akan segera dimulai 15 menit lagi.” ucap seorang wanita yang masuk ke ruang rias pengantin untuk memanggil putri dan menantu prianya.
Di sebuah rumah mewah dari keluarga terpandang di Berlin, keluarga Floyd sedang melangsungkan acara pernikahan satu-satunya putri mereka dengan seorang pria yang bukan kriteria nya.
“Ya, ibu aku sudah selesai.” ucap seorang gadis cantik mengenakan gaun putih menoleh ke belakang menatap ibunya.
“Aku juga sudah selesai Gwen.” ucap pengantin pria yang berdiri di sampingnya, menunggu di rias.
Sengaja mempelai pria menunggu di dalam daripada di luar meskipun sudah selesai duluan di rias daripada mendengarkan omongan pedas yang tak enak di telinga.
“Mervin, cepat keluar.” ucap seorang pria yang tak lain adalah ayah mempelai pengantin wanita, Eric Floyd.
Pria itu menatap mempelai pria dengan tatapan tajam entah apa sebabnya.
“Baik, ayah.” jawab Mervin.
Ia lalu beralih menatap mempelai wanita, Gwen Blossom yang masih duduk di kursi.
“Gwen, ayo kita keluar. Ayah dan ibu mertua juga para tamu undangan sudah menunggu kita di luar.” ucap Mervin.
Ia kemudian menghampiri mempelai wanita lalu menggenggam tangannya dan berjalan keluar menuju ke tempat dilangsungkannya acara pernikahan mereka.
“Jika saja Gwen tak memohon padaku sembari menangis di kakiku saat itu tak mungkin aku akan menikahkan putriku yang berharga dengan pria seperti dia.” gumam Eric tampak kesal pada istrinya.
“Sudahlah itu pilihan putri kita. Kedepannya baru kita pikirkan nanti setelah acara pernikahan ini selesai.” jawab sang istri dengan tenang.
Mereka berdua kemudian segera menuju ke tempat berlangsungnya pernikahan.
Acara pernikahan dimulai dan acara berjalan lancar meskipun di tengah acara resepsi pernikahan terlihat banyak para tamu berbisik disana.
“Siapa menantu pria Eric Floyd itu ?” bisik seorang tamu undangan pria pada tamu undangan lainnya di sana.
“Aku tidak tahu pasti tapi dengar-dengar ada yang bilang menantunya itu seorang loper koran.”
“Oh ya ? Mana mungkin seorang Eric Floyd mau menikahkan putrinya dengan sembarangan orang begitu.
Pria lainnya hanya mengedikkan bahunya saja karena tidak tahu siapa sebenarnya menantu Eric.
Tiga hari kemudian
“Bangun !” bentak Eric di pagi buta di depan kamar Gwen yang sekarang juga menjadi kamar Mervin.
Bahkan saat itu ayam pun belum berkokok. Tapi Eric sudah membangunkan mereka.
Mervin bangun dan duduk. Bahkan Gwen pun sampai ikut terbangun karena teriakan ayahnya yang cukup keras.
“Ada apa ayah ?” tanya Mervin setelah membuka pintu kamar.
Gwen pun mengikuti Mervin lalu berdiri di sampingnya. “Ayah ada apa ?”
Tatapan Eric tertuju pada Mervin.
“Jam berapa ini sekarang ? Waktunya bagimu untuk bekerja ! Ingat jangan pulang ke rumah kalau tidak membawa uang banyak untuk Gwen.” hardiknya dengan mata melotot dan otot di sekitar rahang yang terlihat menonjol.
“Ya, ayah.” jawab Mervin singkat meskipun sebenarnya dia masih mengantuk dan ingin tidur.
“Ayah, ini masih petang belum pagi. Jam segini kantor juga belum buka. Jalanan juga sepi. Lalu siapa yang akan membeli koran Mervin ?” sergah Gwen membela suaminya sembari menarik lengan berotot Mervin supaya bertahan di kamar.
“Aku tidak mau tahu. sebagai anak muda kau harus giat bekerja. Apalagi sebagai loper koran kau harus bekerja giat 100 kali lipat dari pekerja kantor agar bisa sukses. Kau tahu Mervin, kau benar-benar mencoreng muka keluarga Floyd menerima mantu miskin seperti dirimu.”
Mervin hanya diam dan menunduk, tak bisa berkata-kata karena apa yang mertuanya ucapkan memang benar dia adalah orang miskin, anak yatim yang dibesarkan oleh kakeknya yang juga hidup sederhana.
“Cepat keluar ! Kenapa belum beranjak juga dari tempatmu berdiri !” sentak Eric.
Mervin pun kemudian segera keluar dari kamar dan melepaskan tangan Gwen dari lengannya.
Setelah bersiap ia pun masuk ke dapur untuk sarapan.
“Hey Mervin, hari ini kau baru boleh sarapan setelah membawa pulang sejumlah uang.” hardik ibu mertuanya sembari menampik tangan Mervin dengan keras saat menyentuh piring di meja.
“Ya, ibu.”
Mervin pun berbalik dan keluar dari dapur, berjalan dengan lemas sembari memegang perutnya yang terasa perih.
Di luar rumah para tetangga yang saat itu sudah terbangun, melihat Mervin berjalan kaki.
“Lihat itu menantu Eric. Ternyata dia benar seorang loper koran.” gumamnya sembari menunjuk ke arah Mervin yang membawa banyak koran dari pagar rumahnya.
“Astaga, bagaimana bisa dia mengambil menantu sampah seperti dia. Apa tak ada lagi lelaki dunia ini selain pria itu ?” ucapnya dengan mencibir dan suara kerasmya yang tentu saja bisa didengar oleh Mervin.
Mervin menatap dua tetangga yang sudah membicarakan dirinya tersebut kemudian menunduk dan berjalan kembali.
“Mereka membicarakan aku.” gumamnya sedih dan menguatkan hatinya sendiri.
Mervin berjalan dengan membawa bertumpuk-tumpuk koran menyusuri jalanan sambil berteriak menawarkan koran nya.
Tiga bulan berlalu. Setiap harinya Mervin hanya mengelus dada saja menahan semua hinaan serta cacian dari mertuanya tanpa henti.
“Mervin, kau menantu hina. Dasar sampah kau, hanya seginikah uang yang kau dapatkan hari ini ?!” teriak Eric pada malam hari di luar kamar Mervin yang tertutup. “Bahkan uang mu ini tak cukup untuk membelikan baju Gwen !” hardiknya lebih keras.
Pria itu pun terus mengomel panjang dan membahas berbagai hal lainnya yang membuat telinga terasa panas.
“Mervin.” ucap Gwen lirih.
Ia memang belum tidur bersama suaminya itu terlebih kini mendengar teriakan keras ayahnya.
“Aku tak apa, Gwen.” ucap Mervin memegang tangan Gwen yang bermaksud menenangkan dirinya.
Di luar pintu, Eric semakin brutal karena tak ada respon sama sekali dari menantunya itu.
Suara tendangan di pintu terdengar keras menghantam pintu kayu saat itu.
“Hiss.” Mervin hanya bisa menahan kemarahannya dengan mengepalkan tangannya erat-erat dan tetap berpura-pura tidur atas permintaan Gwen.
“Dasar menantu tak tahu diri. Hanya modal dengkul saja kau menikahi putriku yang cantik !” umpat Eric lagi dengan nafas yang terengah-engah dan ia pun segera pergi dari sana.
Mervin lagi-lagi hanya bisa menyimpan rasa kesalnya dalam dada yang membuatnya sesak sekali. Bahkan telinganya sampai memerah mendengar ucapan kasar mertuanya.
Jika saja dia tak punya sopan santun maka sudah pasti dia akan membalas langsung mertuanya itu. Tapi kakeknya selalu mengajarkan pada dirinya untuk selalu menghormati dan menghargai orang yang lebih tua.
“Seandainya saja aku bisa membuktikan pada ayah mertua dan semuanya.” gumamnya pelan sembari mengatur nafasnya yang semakin cepat.
Tiga hari kemudian di pagi hari ada kabar buruk.
Mervin seketika tampak lemas setelah mendengar seseorang yang menelepon nya.
“Kakek Ethan... tidak mungkin.” ucapnya dengan seluruh tubuh yang bergetar hingga ponsel di tangannya jatuh karena tangannya lemas.
“Halo Mervin, apa kau masih di sana ?!” ucap seorang tetangga kakeknya Mervin.
Mervin hanya diam saja dan sampai terduduk lemas di lantai mendengar berita kematian kakeknya, satu-satunya keluarganya yang tersisa.
“Kakek...” pria itu sampai mengusap mukanya karena tak terasa ia meneteskan air mata.
“Mervin, ada apa ?” Gwen menghampirinya karena melihat kondisi Mervin yang tak seperti biasanya.
Ia khawatir jika ayahnya kembali melakukan sesuatu pada suaminya.
“Gwen, kakek Ethan meninggal.” Mervin langsung berbalik dan memeluk erat istrinya itu dan melepaskan semua kesedihannya di sana.
Hari itu juga Mervin mengurus pemakaman kakeknya, Ethan Brooks yang meninggal di usia 80 tahun.
Mervin dan Gwen masih ada di pemakaman ketika semuanya sudah pulang.
Kedua mertuanya tak datang melayat karena tak sudi menginjakkan kakinya ke rumah orang miskin.
“Kakek, kenapa kau pergi begitu cepat meninggalkan aku ?” isak Mervin benar-benar terpukul atas meninggalnya sang kakek.
“Sudah Mervin, ayo kita pulang. Mendungnya gelap sebentar lagi akan turun hujan.” Gwen mengajak Mervin berdiri.
Mereka berdua kemudian kembali pulang ke rumah Gwen.
“Lihat itu menantu Eric tampak sedih. Apakah dia setiap hari mendapatkan perlakuan yang buruk darinya ?” cibir seorang pria, tetangga Gwen yang kembali bergosip dengan tetangga lainnya membicarakan Mervin.
Mervin berhenti dan menatap ke arah tetangga yang membicarakan dirinya. Namun bukannya mereka diam tapi malah tertawa lebar mengejeknya.
“Sudah ayo masuk, jangan ladeni mereka.” Gwen segera menarik Mervin masuk ke rumah daripada mendengar ocehan tetangga yang tak jelas dan membuat panas telinga.
Setelah kematian kakeknya, Mervin yang benar-benar kehilangan kakeknya terkadang sering melamun dan tak pergi menjajakan korannya.
“Hey kau ! Sudah satu minggu ini kau tak berjualan koran. Mau makan apa kau nanti ?! Ingat hutang mu untuk biaya hidupmu selama tinggal di sini, kau harus melunasinya.” ucap Eric mencaci Mervin lagi.
Ia mencatat semua biaya kebutuhan Gwen dan keperluan lainnya lalu menjadikan itu sebagai hutang yang harus dibayarnya.
“Oh.” Mervin sampai menutup mukanya untuk menghindari kertas panjang yang dilempar oleh ayah mertuanya pada dirinya.
“Haah.”dadanya kian sesak saja melihat deretan angka yang harus dia bayar. “Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak ini ?” gemetar hingga kertas di tangannya itu jatuh ke lantai.
Satu minggu berlalu dan setiap hari Erik semakin kasar menindas Mervin.
Tak pernah pria itu memperlakukan Mervin dengan layak sebagai seorang menantu di rumahnya.
“Penat rasanya tinggal lama di sini.” gumam Mervin duduk di kamar dengan menunduk dalam dan wajah yang tertekuk menahan semua stres dan tekanan lainnya.
Tiba-tiba ia pun membawa tas ransel keluar dari rumah tanpa sepengetahuan siapapun.
Ia pergi ke rumah kecil kakeknya. Di sana ia berniat menenangkan pikiran saja.
Mervin masuk ke ruang baca. Di sana banyak sekali literasi tentang sejarah.
“Mungkin buku ini bisa menenangkan pikiranku yang kacau.” ia mengambil satu buku dan membawanya duduk kemudian membacanya.
Sedari kecil, kakeknya selalu mengajarinya tentang sejarah dan hal itu membuatnya menyukai buku-buku literasi sejarah kuno.
“Aku lelah.” satu jam kemudian ia menaruh kembali buku tersebut dan masuk ke kamar kakek.
Tak sengaja ia duduk di kursi dan membuka laci di sampingnya.
“Apa ini ?” pekiknya terkejut saat menemukan sebuah jam tangan di laci yang merupakan jam antik kesayangan kakeknya dulu saat masih hidup.
Ada tulisan di bawah jam tersebut, dan Mervin mengambilnya.
“Jadi... kakek mewariskan jam tangan ini juga rumah ini padaku ?” ucapnya tak percaya.
Mervin menatap jam tangan berwarna putih bulat di laci yang sekarang berpindah di tangannya.
Jam antik itu merupakan jam favorit kesayangan almarhum kakeknya semasa masih hidup.
Banyak kenangannya dengan jam itu.
“Jam ini senantiasa menemani kakek dan juga diriku sejak aku masih kecil.” gumam Mervin terbayang kembali pada masa lalunya bersama sang kakek.
Pikirannya melayang pada masa silam dan membuatnya tersenyum kecil saat mengingatnya kembali.
“Kakek, seandainya saja kau masih hidup.” gumam Mervin satu jam kemudian.
Pria itu berhenti melamun dan kembali menatap jam tangan putih di tangannya.
“Jam ini masih tampak bagus dan berfungsi dengan baik.”Mervin kemudian memakai jam tangan yang berusia 50 tahunan lebih itu di tangan kirinya.
Tic-tac
Terdengar jam itu berdetak di tengah suasana sepi dan hening saat ini.
Sejenak rasa sedih pria itu hilang dari hatinya juga pikirannya hanya dengan memandang jam yang melingkar di tangan kirinya tersebut.
Mervin berdiri setelah puas memandangi jam di tangannya. Ia beralih ke ruangan lain.
“Aku merasa kakek masih ada di sini saja meskipun aku tak melihatnya.”
Ia menatap foto kakek Ethan bersama dirinya yang tergantung di dinding sisi timur.
Mervin kemudian duduk di kursi dan terus memandangi foto dirinya bersama almarhum kakek.
“Semoga saja kakek bisa bertemu dengan ayah dan ibu di surga sana.” gumamnya lagi sembari menitikkan sebulir air mata yang menitik di atas jam tangan yang di pakainya saat dia menunduk.
“Jam ini kenapa tiba-tiba berhenti berdetak ?” pekiknya terkejut saat tak sengaja mengusap air mata pada kaca jam tersebut. “Apa baterainya habis ?”
Mervin yang mengira baterainya habis kemudian melepas jam tangan itu.
Ia membongkar bagian belakang untuk melihat baterainya.
“Ternyata baterai ini masih baru.” ucapnya setelah memeriksanya dengan sebuah alat yang ia ambil dari kotak peralatan di dekatnya.
Langsung saja ia duduk di bawah di lantai kayu membongkar mesin jam antik tersebut menggunakan peralatan yang barusan di ambilnya.
Item-item di tiap bagian jam itu sangatlah kecil dan diperlukan waktu yang tak sebentar untuk memperbaikinya.
“Tak ada yang rusak dan semua kondisinya baik-baik saja.” gumam Mervin setelah membongkar dan mengeluarkan mesin jam tangan tersebut.
Karena tak ada yang rusak dan semuanya berfungsi dengan baik, maka ia pun kembali memasangnya.
“Ooh.” satu jam berikutnya barulah dia selesai memasang jam tersebut sembari mengusap keringatnya yang mulai menetes.
“Akhirnya jam ini berfungsi kembali”
Mervin tersenyum tipis. Hasil jerih payahnya tak sia-sia setelah melihat jam tangan itu kembali berdetak.
Namun itu tak berlangsung lama. Ternyata di menit berikutnya jam itu kembali berhenti berdetak.
“Apa yang terjadi, kenapa jam ini kembali berhenti berdetak ?”
Mervin sampai mengetuk-ngetuk jam tangan itu juga menepuk-nepuk pelan jam tangan tersebut karena terkadang dengan ditepuk jam akan berfungsi kembali.
“Aneh, jam ini masih mati.”
Ia menaruh jam tangan tersebut di lantai sembari memikirkan cara lainnya untuk memperbaiki jam.
Blaz
Sesuatu keanehan terjadi. Jam yang semula berhenti berdetak kini mulai berdetak kembali namun detiknya cepat sekali tidak seperti biasanya.
“Kenapa lagi jam ini ?” Mervin mengambil kembali jam tangan tersebut dan memakainya.
Terlihat jam itu terus berputar cepat dengan arah putaran yang berlawanan dari biasanya.
“Argh !” tiba-tiba seberkas sinar menyilaukan keluar dari jam tangan tersebut hingga membuatnya tak tahan dengan silau itu sampai ia menutup matanya.
Setelah ia merasakan tak ada kilau sinar di tangannya maka ia pun membuka matanya kembali.
Sesuatu yang aneh kembali terjadi.
“Aku ada di mana ?” pekiknya terkejut sekali karena ruangan tempatnya berada saat ini berubah menjadi rumah yang sama sekali tak ia kenal.
Mervin yang tak percaya dengan apa yang dilihatnya, mengucek kedua matanya dan setelah membuka mata kembali ternyata yang dilihatnya tetap.
“Dimana aku ?”
Karena penasaran maka ia pun keluar dari rumah tersebut. Dan ia semakin terkejut mendapati tempat yang sama sekali benar-benar berbeda dan tak pernah dia ketahui sebelumnya tempat apa itu.
Mervin terus berjalan. Sepi, tak ada siapapun di sana. Hanya pepohonan hijau dan tinggi ada di sekitarnya di sepanjang jalan.
Di ujung jalan terdapat sebuah bangunan kuno, mirip seperti museum. Ada dua patung mengapit pintu masuk bangunan tersebut.
“Bangunan apa ini sebenarnya?” gumamnya. Lalu masuk ke tempat itu.
“Permisi! Apa ada orang di sini?” ucapnya dengan setengah berteriak.
Sepi. Tak ada yang menjawab meskipun ia mengulangi beberapa kali.
Mervin terus masuk ke bangunan kuno tersebut. Dia menemukan beberapa ruangan kosong di sana.
“Dimana aku sebenarnya berada?Lalu bagaimana caraku kembali?”
Ia lalu kembali ke berjalan ke depan untuk mencari jalan kembali.
Sesampainya di luar bangunan kuno itu, ia berdiri sejenak bersandar pada patung kesatria di zaman kuno.
Klak
Tiba-tiba saja lantai yang dia pijak saat itu roboh dan membuatnya jatuh terjun bebas ke bawah.
Eric lalu berdiri sembari menatap ke sekitar. Di ditempat yang gelap itu ia melihat sinar terang pada lorong yang ada di depannya.
“Guci emas?”
Ternyata sinar tadi merupakan kilauan dari sebuah guci emas saat dia menghampirinya. Guci berukuran tinggi sekitar 70 cm dengan pahatan simbol-simbol kuno.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!