Seandainya waktu bisa diputar kembali
Aku tidak akan berlabuh disana
Aku akan menahan rasa lapar saat itu
Kehidupanku dan dia mungkin akan berbeda saat ini.
Perseteruan ini membuatku lelah
Lelah menjalani kehidupanku yang panjang
Lelah menghadapi kenyataan
Satu-satunya keluarga yang aku miliki adalah musuhku
Telapak tangan kiri Araga membentur tangan kanan Khaga yang membuatnya terpantul ke belakang. Lalu mereka berdua terhuyung-huyung mundur.
Sambil bersalto ke belakang, Khaga melepaskan dua buah pisau yang melesat ke arah Araga dengan kecepatan kilat yang meninggalkan suara angin yang menderu.
Dalam posisi sulit, Araga melihat dua kilatan cahaya pisau ke arahnya, lalu dengan reflek dia mengayunkan tombak ditangannya menangkis kedua pisau tersebut.
Trang! Trang!
Kedua pisau terpantul ke tanah yang lembab oleh genangan darah. Tangan Araga merasa kebab kesemutan akibat benturan tombak dengan pisau.
Araga kembali terhuyung-huyung mundur dan hampir terjerembab namun masih sempat menopang badannya dengan tombak ke tanah untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Dadanya terasa sesak. Araga berusaha mengambil nafas bersiap jika ada serangan berikutnya.
Sekujur badannya penuh oleh luka-luka yang masih mengalirkan darah segar. Kakinya gemetar karena kelelahan melakukan pertempuran yang tiada berakhir ini.
Sementara Khaga terlihat mencoba berdiri mengambil nafas. Sepercik darah menyembur dari luka baru di lengan kanan Khaga terkena sayatan tombak Araga yang mengenainya.
Ketika kepulan debu di sekitar akibat pertarungan mulai memudar, terlihat disekeliling mereka ada ribuan tumpukan mayat berlumuran darah yang sudah mulai mengering. Berbagai senjata tombak, pedang, pisau, kapak, perisai tertancap, berserakan di sekitarnya bercampur debu dan darah.
Bummm!
Menit berikutnya terdengar ledakan dibarengi angin kencang yang menyapu kesegala arah. Khaga meledakkan auranya bersiap untuk menyerang kembali. Kemudian dia bergerak cepat kearah Araga.
Trang! Trang! Trang! Trang! Tring!
Hanya kilatan cahaya pedang yang beradu dengan tombak terlihat dari pertarungan tersebut. Entah berapa jurus sudah berlalu.
Set! Set ! Jleb! Duezz!
Gerakan mereka terhenti. Ketika debu pertempuran mulai memudar, tampak dua sosok mereka dengan tombak Araga menembus dada Khaga, sementara pedang Khaga menembus tenggorokan Araga.
Selama beberapa detik suasana hening, pandangan mata mereka berdua mulai gelap, terasa bau kematian di tempat tersebut.
Kemudian detik berikutnya mata mereka kembali cerah, mereka mulai sadar kembali. Araga kemudian menendang Khaga yang membuatnya terdorong mundur menyebabkan pedang Khaga terlepas dari tenggorokan Araga, begitu juga tombak Araga tercabut dari dada Khaga.
Mereka berdua mundur terhuyung-huyung, hampir jatuh bersamaan namun mereka masih sigap menopang tubuh dengan senjata masing-masing.
Mata mereka saling memandang sambil menarik nafas kembali dengan terengah-engah. Luka mereka mulai mengucurkan darah.
Hidup abadi bukan berarti mereka tidak bisa terluka. Mereka juga merasakan sakit akibat luka tersebut. Namun keabadian membuat luka mulai tertutup kembali, tetapi membutuhkan waktu selama proses penyembuhannya.
Hening.
Angin kembali tertiup, ini bukan pertarungan yang pertama kalinya bagi mereka, mungkin sudah ratusan kali mereka bertempur di berbagai tempat di belahan dunia ini. Rasa sakit yang dirasakan oleh Araga selalu membekas di hatinya. Luka luar bisa disembuhkan, namun luka hatinya tidak akan pernah sembuh.
Tak terasa hari mulai senja, suara erangan sekitarnya sudah tidak terdengar lagi, bau anyir darah mulai tercium dihembuskan angin membuat suasana medan pertempuran semakin mencekam.
Hanya mereka berdua yang masih berdiri di medan pertempuran ini.
Entah sudah berapa hari pertempuran ini berlangsung, semangat mereka untuk bertempur sudah mulai menurun karena kelelahan.
Manusia biasa tidak akan sanggup bertahan dalam pertempuran berhari-hari tanpa makan dan minum. Jika bukan karena kekuatan internal mereka, mungkin sudah ambruk pada hari kedua.
Khaga mencoba lagi untuk mengumpulkan semangat dan memperkuat auranya, namun dari mulutnya menyemburkan darah segar. Sambil memegang dadanya, Khaga berkata “Araga, aku masih akan menawarkanmu untuk bergabung demi masa kecil kita”.
“Tidak” jawab Araga singkat sambil menarik nafas untuk mengumpulkan sisa-sisa kekuatan.
“Aku tidak menyetujui rencanamu. Manusia berhak memutuskan pilihannya sendiri, kita tidak boleh mengatur mereka sesuai keinginan kita” lanjut Araga
“Manusia?”
Khaga pun tertawa kemudian meringis sambil menahan dadanya dengan tangan kiri.
“Mahluk fana yang bernama manusia telah lama rusak. Mereka tega berbuat semena-mena melakukan segala cara bahkan hal yang kejam sekalipun untuk kepentingan pribadinya. Mereka itukah yang kamu bela?” lanjut Khaga bertanya.
“Apa bedanya denganmu yang melakukan hal ini demi kepentinganmu sendiri” sahut Araga.
“Itu berbeda.” tungkas Khaga
“Aku melakukan ini untuk membangun tatanan baru kehidupan manusia yang damai di dunia ini” kata Khaga selanjutnya dengan pembenaran atas tindakannya.
“Lihat sekelilingmu. Inikah yang kamu sebut damai?” tanya Araga kembali.
“Untuk membentuk suatu yang baru, kadang kala kita harus memusnahkan yang sudah ada karena telah rusak” jawab Khaga dengan pembenarannya lagi dengan nada tinggi.
Mendengar jawaban Khaga, hati Araga semakin perih. Telah banyak teman, sahabat dan kerabatnya telah tewas akibat perseteruan ini.
“Kamu bukan lagi Khaga yang aku kenal. Kamu adalah Iblis berwujud manusia” kata Araga selanjutnya menahan amarahnya.
“Lihat dirimu, Araga.”
“Jika aku Iblis, apakah kamu merasa dirimu malaikat yang berkewajiban untuk menyelamatkan manusia?” tungkas Khaga sambil mencemooh.
“Apa yang kamu lakukan tiada bedanya denganku. Kita adalah sama. Aku dan kamu adalah eksistensi yang berbeda dengan mereka. Kita lahir untuk mengubah dunia” lanjut Khaga
Araga menghela nafas panjang mendengarkan kata-kata Khaga. Dia tidak menyetujui rencana Khaga. Araga lebih memilih untuk tidak ikut campur urusan manusia lainnya. Dan Araga percaya manusia bisa memperbaiki dirinya sendiri seiring perjalanan hidup manusia itu sendiri.
“Kamu sudah tahu pendirianku yang tidak akan pernah menyetujui rencanamu. Sekarang apa yang akan kamu putuskan?” tanya Araga
“Apakah kita akan melanjutkan pertempuran yang tiada akhir ini?” tanya Araga kembali sambil bersiap menggenggam tombaknya dengan erat.
Khaga yang juga merasa kelelahan menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya.
“Kita sama-sama sudah kelelahan. Demi masa lalu, kita hentikan pertempuran hari ini.” ujar Khaga.
“Tapi aku akan kembali mencarimu di masa depan. Saat itu aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri.” lanjutnya dengan tatapan yang tajam seperti pisau yang menusuk ke arah Araga.
Hati Araga kembali merasa teriris mendengar kata-kata Khaga, karena satu-satunya keluarga yang dia miliki berencana untuk membunuh dirinya. Sungguh ironis.
Araga tidak pernah berniat untuk membunuh Khaga. Dia beberapa kali menahan kekuatannya agar tidak membunuh keluarga satu-satunya. Araga berharap suatu saat Khaga akan sadar dan kembali menjadi saudara yang dia kenal.
“Mari kita membuat kesepakatan. Kita memilih jalan masing-masing tanpa saling bersinggungan” ajak Araga untuk berdamai sehingga tidak perlu bertarung lagi di masa depan.
Khaga melihat sekelilingnya, kemudian membalikkan badannya dan menjawab “Baiklah.”
“Kita sepakat memilih jalan masing-masing. Jika kamu menghalangi jalanku di masa depan. Kesepakatan ini berakhir. Jangan pernah lagi muncul di hadapanku atau aku akan membunuhmu” lanjut Khaga dengan ledakan aura dari tubuhnya yang membuat sapuan angin yang dahsyat kesekelilingnya.
Kemudian Khaga pun pergi menghilang di kegelapan malam.
“Oh Tuhan, sampai kapankah perseteruan ini berakhir” gumam Araga sambil memandang ke arah kepergian Khaga.
Masa kini, Boston tahun 2022 di sebuah taman kota dekat Universitas Harvard, di sebuah bangku taman tampak seorang pemuda yang terlihat berusia dua puluhan tahun duduk sambil tangannya menggambar sketsa di atas kertas dengan pensil. Sesekali dia menengok ke depannya melihat anak-anak bermain di taman tersebut.
Musim semi, cuaca cerah dengan udara yang hangat membuat manusia bersemangat dalam beraktifitas. Pemuda itu mengenakan kaos sederhana dengan setelan celana jeans terlihat harganya tidak lebih dari 50 dolar, berambut panjang sebahu tergerai. Kumis dan jenggot tipis menghiasi wajah pemuda tersebut. Orang yang lalu lalang di depannya mungkin akan berpikir dia seorang gelandangan karena penampilannya.
Tak lama berselang, seorang wanita cantik berusia sekitar dua puluhan berjalan melintas di depan pemuda itu, sesaat setelah melewatinya, dia tiba-tiba berhenti, kemudian menoleh ke kertas gambar pemuda itu melihat gambar sketsa yang dibuat olehnya.
“Sketsamu bagus. Kamu berbakat menggambar” kata wanita itu membuka pembicaraan kemudian mengangkat wajahnya menatap si pemuda. Kemudian dia melihat sekelilingnya, seolah-olah ingin menemukan sesuatu.
Pemuda itu menghentikan pekerjaannya, lalu mengangkat kepalanya melihat wanita itu lalu menjawab “Terima kasih.” Kemudian dia kembali meneruskan pekerjaannya menggambar sketsanya.
Wanita itu masih melihat kesekelilingnya, kemudian menghela nafasnya lalu berjalan ke arah pemuda itu dan bertanya “Bolehkah aku ikut duduk disini?”
“Silahkan” jawab pemuda itu singkat tanpa menoleh.
Wanita itupun duduk di sebelah si pemuda, lalu membuka tas nya dan mengeluarkan beberapa buku, sebuah roti
sandwich dan botol minumannya. Kemudian dia menaruh buku-buku itu di bangku diantara mereka berdua, lalu mulai membuka bungkusan roti sandwichnya.
“Apakah kamu mau roti sandwich? Maaf aku hanya bawa satu. Tapi aku bisa membaginya jika kamu mau.” kata wanita itu selanjutnya.
“Tidak, terima kasih” sahut pemuda itu dengan menoleh sedikit lalu kembali meneruskan sketsanya.
Sombong sekali orang ini pikir wanita itu mengernyitkan alisnya. Lalu dia tidak peduli melahap sendiri roti sandwichnya. Selama melahap rotinya, wanita ini terus memutar kepalanya melihat ke arah jalan di taman. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang.
Tak lama kemudian teleponnya berdering, wanita ini pun merogoh handphonenya dari dalam tas kemudian melihat
nama “Cindy dosen sejarah” lalu menjawabnya. “Halo bu” jawab wanita itu sambil bangkit berdiri.
“Sara, kamu ada dimana?” tanya wanita bernama Cindy di seberang telepon.
“Saya sudah berada di taman kota bu sesuai permintaan ibu” jawab wanita yang bernama Sara
“Baiklah, tunggu ibu disana. Ibu segera tiba” sahut Cindy kembali sambil menutup teleponnya.
Sara kembali ke bangkunya, lalu mengamati pemuda itu seraya bertanya” Apakah kita pernah bertemu?”
Pemuda itu mengangkat wajahnya menatap Sara sambil berpikir sebentar. “Aku rasa tidak” katanya sambil melanjutkan gambarnya.
Sepertinya aku pernah melihat wajah orang ini, tapi entah dimana. Sara berpikir keras mengingat-ingat, namun
dia tak berdaya dan akhirnya menyerah lalu berkata “Kalau begitu perkenalkan namaku Sara” sambil menjulurkan tangannya ke arah pemuda itu.
Deg!
Pemuda itu sontak menghentikan pekerjaannya. Sara. Nama ini tidak asing baginya. Segera dia menoleh ke arah
Sara, meneliti wajahnya. Sara memiliki paras yang sangat cantik untuk wanita seusianya, kulit wajahnya putih dengan senyum manis menawan dan aroma tubuhnya yang membuat lelaki di dekatnya terbuai oleh aroma itu.
“Namaku John” jawabnya sambil menjabat tangan Sara namun matanya masih memandang wajah Sara, yang membuat pipinya menjadi merona merah karena tersipu.
“Ah, kenapa kamu memandangku seperti itu?” Sara memalingkan wajahnya menyembunyikan kegugupan karena
pandangan John.
John melihat penampilan Sara, kemudian melihat ke arah tumpukan buku disebelahnya yang bertuliskan “Sejarah
dunia”.
“Ah Maaf. Kamu belajar sejarah?” tanya John menghapus kecanggungan Sara.
“Iya” jawab Sara singkat. ”Kamu juga belajar sejarah?” lanjut Sara penasaran.
“Tidak. Tapi menurutku sejarah yang tertulis saat ini tidak sepenuhnya benar” kata John kembali sambil tersenyum.
Ini pertama Sara melihat senyuman pemuda itu. Kesan sombong saat pertama kali bertemu sirna. Sara merasakan senyuman yang hangat menyentuh hatinya.
“Benarkah kita belum pernah bertemu sebelumnya?” tanya Sara penasaran kembali.
John berusaha mengingat masa lalunya, kemudian mengatakan “Rasanya tidak”, namun John yakin dia pernah
bertemu dengannya disuatu tempat di masa lalu.
“Baiklah, sepertinya kamu sedang menunggu seseorang, kalau begitu aku pergi dulu” lanjut John sambil berdiri dan segera berlalu.
“Sampai ketemu lagi” sahut Sara sambil melambaikan tangannya.
John hanya tersenyum saat menoleh ke arah Sara yang melambaikan tangannya, kemudian berbalik dan pergi.
Saat, beberapa langkah berjalan John mendengar teriakan Sara “Bu Cindy, aku disini!”
“Hai Sara!” sahut seorang wanita yang berada di depan John sambil melambaikan tangan. Sesaat John dan Cindy saling bertatapan sebelum akhirnya saling melintasi.
Deg!
Cindy terdiam sejenak, wajahnya tampak kaget seperti tersihir. Lalu dia berpaling menoleh ke arah punggung John,
seolah-olah dia mengenalinya. Cindy terpaku menatap punggung John yang berlalu menjauh. Siapakah dia, pikirnya.
Pikiran Cindy dibuyarkan oleh suara Sara yang mendekatinya “Ibu kenal laki-laki itu?”
“Siapa?” tanya Cindy sambil menoleh ke Sara yang telah berdiri disampingnya.
“Orang itu. Namanya John” lanjut Sara menjelaskan.
“John?” wajah Cindy mengerutkan alisnya, entah mengapa diapun merasa pernah mendengar nama itu. Dan
wajahnya, sekilas sangat familiar tapi entah dimana.
“Ah, sudahlah. Mari kita bahas masalah tesis mu saja. Ayo kita duduk” ajak Cindy sambil bersama mereka menuju
bangku taman tadi, menyerah dari penelusuran pikirannya.
John, mengapa sepertinya aku pernah mendengar namamu.
Kemudian Cindy dan Sara melanjutkan diskusi mereka tentang sejarah yang akan menjadi tugas akhir Sara. Cindy dan Sara walaupun usia mereka terpaut jauh, mereka bisa akrab karena mereka berasal dari kota yang sama, Kota Terrace, British Columbia Kanada.
Di sore hari, diskusi mereka telah berakhir. Sara kembali ke apartement tempat tinggalnya, demikian juga Cindy kembali ke perumahan dosen tempat tinggalnya selama mengajar di Universitas Harvard.
Malam harinya Sara yang sedang mengerjakan tugas akhirnya, teringat akan kata-kata John yang ditemuinya di
taman bahwa sejarah yang tertulis saat ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini membuat Sara berpikir keras dengan kata-kata itu. Mengapa sejarah ini tidak benar? Bagaimana sejarah yang sebenarnya?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benaknya, membuatnya ragu dan tidak puas akan jawaban yang dia
dapatkan. Hal ini membuat Sara menghentikan tugasnya, dia berusaha untuk tidur berharap esok harinya bertemu lagi dengan John untuk bertanya tentang kata-katanya tersebut.
Sementara itu, Cindy pun di rumahnya tidak bisa tidur. Dalam benaknya berusaha mengingat wajah dan nama John. Dimana aku pernah bertemu dengannya?. Kenapa nama ini tidak asing buatku?
Berbeda dengan Cindy dan Sara yang tidak bisa tidur karena penasaran malam itu. John tersenyum di dalam apartementnya yang tak jauh dari taman kota itu, pikirannya melayang ke musim dingin pada dua belas tahun yang lalu.
Kota Terrace, Kanada, terletak di dikelilingi oleh pegunungan yang disebut Ganeeks Laxha dan dilalui oleh sungai Skeena yang bermuara di Samudra Pasifik yang jaraknya sekitar 70 mil dari pusat kota. Kota Terrace merupakan pusat ritel dan layanan regional wilayah barat laut untuk perusahaan penerbangan British Columbia Kanada saat ini.
Hutan yang lebat masih banyak di sekitar wilayah Terrace, nama Terrace sendiri diambil dari endapan sedimen gletser ribuan tahun yang menghasilkan “teras alami” yang terdapat hampir di sebagian wilayah Terrace. Kota Terrace juga merupakan salah satu kota tujuan wisata di Kanada, disamping kayu cedar sebagai komoditi utama sejak dahulu.
Di bawah puncak Treston di sebelah utara kota Terrace, terdapat sebuah kuil kuno bersejarah yang tinggal reruntuhannya. Di belakang reruntuhan kuil itu terdapat sebuah pohon tua yang sangat besar dengan batangnya yang masih dipenuhi oleh daun yang lebat dihiasi juntaian akar tanaman parasit yang tumbuh di dahannya.
Pohon itu berdiri kokoh menjulang tinggi meneduhi area di sekitar kuil tersebut. Tidak diketahui pasti usia pohon tersebut, namun beberapa ahli memperkirakan usianya lebih dari 3000an tahun.
John berjalan perlahan mendekati pohon tua tersebut. Pandangannya berkeliling mengamati reruntuhan bangunan
kuil hingga akhirnya tertuju kepada pohon tua tersebut.
Angin sepoi dingin bertiup menyibak rambut panjang John memperlihatkan senyuman tipis yang menghiasi wajahnya. John berhenti di bawah pohon tua dan matanya menatap pohon tua yang dipenuhi oleh lapisan usia yang terkelupas dibeberapa bagian batangnya.
John berdiri termenung mengamati pohon tua, pikirannya melayang akan kenangan masa lalunya yang memunculkan bayangan dua anak kecil berumur sekitar belasan tahun berlatih pedang kayu dibawah pohon tua tersebut. Kedua anak kecil itu, Khaga dan Araga tampak serius berlatih dalam memainkan pedang mereka, sesekali mereka beristirahat dan berteduh di bawah rindang dedaunan pohon tersebut.
Wuzzz…
Kembali angin bertiup membuyarkan kenangan John. Kemudian John berjalan mengitari pohon tua itu seolah-olah mencari sesuatu diantara batang pohon tersebut. Tangannya meraba batang pohon itu dan matanya meneliti setiap lekuk batang pohon berharap menemukan apa yang dia cari.
Langkahnya terhenti, saat matanya tertuju pada guratan yang samar-samar berada pada pertengahan batang pohon itu. Walaupun guratan itu tampak sudah memudar ditutupi usia pohon, namun John masih bisa melihat sisa guratan tersebut. Tangannya berusaha membersihkan sekitar guratan itu agar terlihat lebih jelas. Tampak samar huruf K & A yang hanya bisa terbaca olehnya.
Senyuman kembali menghiasi bibirnya mengenang masa kecilnya yang bahagia bersama Khaga bermain di bawah
pohon sambil menorehkan huruf pada batang pohon tua tersebut. “Khaga dan Araga selamanya” masih terngiang jelas kata-kata Khaga saat menorehkan huruf pada batang pohon tersebut.
Entah berapa lama dia terpaku berdiri mengamati guratan huruf itu, terlalu banyak kenangan bahagia masa
kecilnya bersama Khaga ditempat itu. Kemudian tanpa dia sadari seorang anak kecil mendekatinya dan menyapa, “Paman sedang apa disini?”.
John lalu menoleh ke arah datangnya suara anak itu dan melihat seorang anak perempuan berumur sekitar sembilan tahunan berdiri di belakangnya. Wajah anak perempuan itu putih bersih dengan senyum manis yang menghiasi bibirnya.
Sekejap John terkejut menatap wajah anak perempuan itu, hatinya tertegun seolah-olah merasakan sesuatu tentang anak perempuan itu. Dia merasa familiar dengan wajah anak kecil itu.
Anak itu mengenakan pakaian musim dingin yang tebal menutupi badannya dengan syal berwarna merah muda menghiasi lehernya. Anak itu menggenggam permen gula ditangannya sambil menatap John dengan wajah
penasaran.
John pun tersenyum dan menjawab, “Paman sedang mengamati pohon ini. Ternyata pohon ini masih kokoh
berdiri disini”
“Apakah paman pernah ke tempat ini?” tanya anak perempuan itu kembali dengan rasa ingin tahu.
“Iya, tapi sudah lama sekali” jawab John sambil menatap langit seolah-olah berusaha mengingat masa lalunya
kembali.
“Apakah paman masih punya keluarga di kota ini?” tanya anak itu sambil penasaran
“Paman sedang mencari kenalan lama yang berada di kota ini” jawab John kembali sambil menoleh kearah anak
kecil itu. “Ah, Kamu terlalu banyak bertanya nak. Siapa namamu nak?” John balik bertanya sambil tersenyum menggoda anak itu.
“Sara!”
“Kamu bicara dengan siapa nak?” tiba-tiba terdengar suara memecah percakapan mereka.
Tampak seorang lelaki tua datang menghampiri mereka berdua.
“Kakek” kata anak perempuan yang dipanggil Sara itu sambil bergegas mendekati lelaki tua itu.
Lelaki yang dipanggil kakek oleh Sara pun tersenyum pada cucunya lalu memandang John dan berkata “Maafkan
cucuku nak atas ketidaksopanannya. Perkenalkan nama ku Gary Newman”. Lalu kakek Sara menjulurkan tangannya pada John
John menjabat tangan lelaki tua tersebut lalu memandangnya, dia menyipitkan matanya seolah-olah mencari
ingatan akan wajah lelaki itu dalam pikirannya. Gary Newman, nama yang tidak asing dalam benaknya.
“Ah, tidak apa-apa kek” jawab John sambil tersenyum.
Saat John tersenyum, kakek Sara terkejut. Dia seolah-olah melihat wajah orang yang telah lama dia kenal. “Siapa
namamu nak?” tanya kakek Sara.
“Oh maaf, saya lupa mengenalkan diri. Saya John. John Araga” jawab John sambil tersenyum kembali.
“Araga!” gumam Gary sambil meneliti wajah John, dia berusaha mencari nama tersebut dalam ingatan tua nya.
“Kakek, paman ini sedang mencari kenalannya di kota ini” sahut Sara membuyarkan lamunan kakeknya dari mencari ingatan tersebut.
“Oh, Terrace ini kota yang kecil. Kalau boleh tahu siapa yang kamu cari disini nak Mungkin aku mengenalnya”
tanya Gary selanjutnya
John terdiam, dia merasa ragu untuk menceritakan orang yang dia cari kepada Gary. Kemudian dia berkata “Saya
belum ingat pasti namanya kek, jadi saya akan mencarinya sendiri ke kota nanti sambil mengingatnya”
“Baiklah, mampirlah ke kedai kami jika kamu ke kota. Jika membutuhkan bantuanku, kamu bisa menghubungiku” lanjut Gary memahami pikiran John yang ragu untuk menceritakannya. Gary menyerahkan kartu namanya kepada John. Kartu nama yang sederhana dengan kop nama Kedai Newman, nama Gary Newman, nomor telepon dan
alamat di tertulis pada kartu tersebut.
“Terima kasih kek. Saya pasti akan menghubungi kakek apabila membutuhkan sesuatu” lanjut John sambil membungkukkan badannya.
“Ok. Kami tunggu kedatanganmu mampir ke kedai kami. Kalau begitu, kami pergi dulu” lanjut Gary sambil menggandeng tangan Sara cucu tersayangnya untuk pergi.
“Jangan lupa mampir ya paman” teriak Sara sambil melambaikan tangannya
Gary tersenyum melihat cucunya yang periang dan bersemangat seperti itu. Lalu menoleh dan tersenyum ke arah John sebelum berlalu. John pun melihat punggung kakek dan cucunya yang berlalu sambil tersenyum.
“Kamu masih tetap baik Gary, tidak salah aku menilaimu” kata John di dalam hatinya yang telah mengenali kakek tersebut.
Kemudian John pun terlelap dalam tidurnya sambil tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!